Kecaman Al-Quran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161

Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161: perilaku korupsi
Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161: perilaku korupsi

Korupsi akhir-akhir ini menjadi trending topic  di media masa Indonesia pasca operasi tangkap tangan KPK yang mencatut dua Menteri Kabinet Indonesia  Maju. Masing-masing  dari menteri tersebut terjerat kasus  dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster dan  suap pengadaan bantuan sosial penanganan covid-19.  Hal ini tentunya menuai kecaman dari berbagai pihak termasuk jika kita telusuri lebih dalam Al-Quranpun terlebih dahulu turut mengecam perilaku nista ini sebagaimana pada surat Ali-Imran ayat 161.

Mengenal Perilaku Korupsi

Secara bahasa korupsi berasal dari bahasa latin Corruption yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Dalam KBBI korupsi dimaknai sebagai sebuah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Secara mudah bisa kita simpulkan bahwa korupsi tidaklah terlepas dari dua ciri utamanya yakni, suatu penghianatan terhadap kepercayaan dan pemanfaatan harta orang lain yang bukan haknya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 18-19: Islam Menolak Kepercayaan Sial

Dalam catatan sejarah Islam sendiri korupsi pernah terjadi pada masa Nabi Saw, diantaranya adalah kisah Karkirah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Karkirah adalah seorang pembawa barang-barang Nabi Saw ketika perang, singkat cerita ia mati dalam sebuah peperangan, lalu Nabi Saw mengatakan kepada para sahabat “ia masuk neraka”. Kemudian para sahabat memeriksanya, ternyata mereka mendapatkan sehelai pakaian yang ia korup dari ghanimah (harta rampasan perang).

Begitu pula pada masa Khulafa ar-Rasyidin tepatnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Pada masa ini nampaknya juga telah ditemui berbagai upaya praktik korupsi. Asumsi ini dikuatkan dengan usaha Umar yang memerintahkan seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta kekayaan para pejabat pemerintahan. Hal ini kiranya tidak mungkin dilakukan jika saat itu tidak ada indikasi perilaku korupsi.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 73-74: Lalat, Makhluk Lemah yang Memiliki Kelebihan

Penafsiran QS. Ali-Imran Ayat 161

Dalam Al-Qur’an jika kita telisik lebih jauh memanglah tidak ada ayat-ayat yang secara eksplisit membicarakan tentang korupsi.  Bahkan Ahmad Baidlawi (2009) secara tegas mengemukakan bahwa dalam Al-Qur’an tidaklah ada pembahasan terkait korupsi secara jelas. Meskipun demikian, terkait perilaku ini ada beberapa ayat yang terindikasi mengecamnya. Diantaranya adalah QS. Ali Imran ayat 161.

وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ   

“Tidaklah mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

Pada QS. Ali Imran ayat 161  di atas dijelaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi melakukan “ghulul” (berkhianat dalam urusan harta rampasan perang) dan barang siapa melakukan “ghulul” maka ia akan datang dihari kiamat dengan membawa apa yang ia khianatkan itu. Terkait ayat diatas M. Quraish Shihab menafsirkan dalam kitab Tafsir al-Misbah bahwa seorang  Nabi (terlebih Nabi Muhammad saw) tidak akan melakukan suatu penghianatan, sebab hal tersebut bertentangan dengan sifat amanah Nabi.

Dengan demikian, khianat dalam ayat ini juga berarti khianat secara umum termasuk di dalamnya adalah khianat ketika diberikan amanah publik (misalnya jabatan) dan lain sebagainya. Ghulul ini hukumnya adalah haram dan mereka harus mempertanggung jawabkan sesuatu yang telah disembunyikannya. Bahkan Ibnu Katsir  menyebutkan bahwa di akhirat,  seseorang yang telah menggelapkan sesuatu akan memanggul sesuatu yang pernah disembunyikannya sehingga semua orang mengetahuinya.

Lebih jauh terkait ayat ini Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam kitab tafsirnya Al-Munir bahwa ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat Rasulullah saw dan tugas atau misi beliau di dalam memperbaiki umat. Oleh karena itu, sebagai sosok yang senantiasa dijaga oleh Allah tidaklah mungkin seorang Nabi melakukan sebuah penghianatan mengingat bahwa kenabian adalah sebuah kedudukan yang tinggi yang menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang rendah dan hina.

Baca juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Selamat dalam Pelayaran

Ayat  ini juga sekaligus menunjukkan betapa mengerikannya tuduhan dan kekeliruan yang dilakukan oleh kaum munafik dengan menisbatkan sikap khianat dan tidak jujur kepada Rasulullah dalam urusan harta rampasan perang padahal beliau terbebas dari semua tuduhan itu.

Selain itu, ayat ini juga sekaligus mengecam bahwa barang siapa berkhianat dan tidak jujur dengan mengambil sebagian dari harta rampasan yang ada secara sembunyi-sembunyi, maka kelak di hari kiamat ia akan datang sembari memikul di atas lehernya apa yang diambilnya secara tidak jujur tersebut. Maksudnya adalah memikul beban tanggung jawab dan dosa perbuatan itu.

Hal ini senada dengan firman Allah dalam QS. Lukman ayat 16, yang mana pada ayat ini Allah menerangkan bahwa setiap jiwa akan dipenuhkan kepadanya balasan dari apa yang pernah diperbuatnya yang baik maupun yang buruk sekecil apapun itu. Orang yang bersikap khianat dan tidak jujur atau orang yang melakukan amal perbuatan lainnya akan mendapatkan balasan dari masing-masing perbuatannya secara adil tanpa didzalimi. (Wallahu A’alam)