BerandaKisah Al QuranKepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman

Kepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman

Dalam galeri agung para pemimpin dunia, di balik kisah para nabi, sosok Sulaiman as. muncul sebagai pemimpin dengan paradoks yang menarik. Dia memiliki kekuasaan terbesar dalam sejarah, tetapi tetap menjaga sikap rendah hati yang luar biasa. Paradoks inilah yang menjadikan model kepemimpinannya relevan untuk dikaji di tengah budaya kesombongan yang sering mengiringi kekuasaan di era modern. Bagaimana mungkin kekuasaan absolut tak menghasilkan kesombongan mutlak? Kisah Sulaiman membuka tabir jawaban atas pertanyaan mendasar ini.

Doa Kerajaan: Bukan Ambisi, Tapi Misi

Melalui doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Sulaiman meminta: Dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi” (Q.S. Shad [38]: 35).

Permintaan Sulaiman akan kerajaan yang tak tertandingi sering disalahpahami sebagai ambisi duniawi belaka. Dalam kajian tafsirnya, Al-Marâghî (23/165) menguraikan bahwa makna “kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku” bukan manifestasi ambisi pribadi, melainkan mukjizat yang relevan dengan misinya sebagai nabi. Sebagai putra Daud as. yang merupakan seorang raja sekaligus nabi, Sulaiman meminta bukti kenabian dan sarana dakwah yang sesuai dengan konteksnya, yakni kerajaan dengan keajaiban yang menjadi bukti bagi umatnya.

Perspektif menarik datang dari Ibnu ’Âsyûr (23/263) yang menyoroti bagaimana Sulaiman menutup doanya dengan pengakuan bahwa “hanya Allah yang Maha Pemberi” menunjukkan kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah hak, melainkan anugerah yang memerlukan pertanggungjawaban. Di era pemimpin yang menganggap posisi sebagai hak istimewa, model doa Sulaiman ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati selalu terjalin dengan tanggung jawab spiritual.

Menyadari Sumber Kekuatan

“Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.’” (Q.S. An-Naml [27]: 16).

Al-Qurthubî (13/164) menjelaskan bahwa dari sembilan belas putra Daud, hanya Sulaiman yang dianugerahi kenabian dan kerajaan, bukan warisan umum, melainkan pilihan khusus dari Allah. Sikap Sulaiman yang menekankan “telah diberi” bukan “telah memperoleh” menunjukkan kesadaran bahwa kemampuannya adalah pemberian, bukan pencapaian pribadi.

Baca juga: Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi

Sikap ini sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazâlî (3/342) yang dengan jernih menguraikan bahwa pada dasarnya jiwa manusia telah dicampur dengan tiga penyakit batin: kesombongan, ketamakan, dan kedengkian. Ketika seorang pemimpin seperti Sulaiman mampu mengenali asal-usul kekuasaannya sebagai pemberian Allah, ia sebenarnya sedang melawan kecenderungan alami manusia untuk merasa superior karena pencapaian dan kelebihannya.

Perspektif ini sangat berbeda dengan cerita “usaha sendiri” yang sering digembar-gemborkan dalam kepemimpinan masa kini. Pemimpin modern sering terjebak dalam ilusi bahwa kesuksesan adalah murni hasil jerih payah sendiri. Sulaiman menunjukkan model kepemimpinan yang mengakui bahwa kekuatan sejati berasal dari luar diri, menciptakan dasar kerendahan hati yang kokoh.

Kepekaan Terhadap Suara Rakyat Kecil

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.” (Q.S. An-Naml [27]: 18-19).

Ibnu Katsir (6/166) meriwayatkan bahwa Sulaiman dapat memahami peringatan semut yang khawatir kaumnya akan terinjak pasukan kerajaan. Respons Sulaiman sungguh menakjubkan, bukannya tersinggung dengan kekhawatiran yang mungkin mencerminkan ketidakpercayaan pada kehati-hatiannya, ia justru tersenyum dan berdoa syukur.

Kisah ini seperti cermin bagi para pemimpin masa kini. Semut dapat dianalogikan sebagai rakyat kecil atau kelompok marjinal dalam sebuah negara. Suara-suara mereka sering tak terdengar, yang kekhawatirannya sering diabaikan. Ketika mereka mencoba menyampaikan keresahan, pemimpin besar seperti Sulaiman tidak menganggapnya sebagai kritik yang mengancam wibawa, melainkan sebagai perspektif berharga yang patut diapresiasi.

Baca juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Al-Ghazâlî (3/343) memperkuat pesan ini dengan kisah teladan tentang seseorang yang dulunya angkuh di Mekkah, tetapi kemudian ditemui dalam keadaan hina di Baghdad. Orang itu berkata, “Aku mengangkat diriku di tempat orang-orang merendahkan diri, maka Allah merendahkanku di tempat orang-orang mengangkat diri.” Kisah ini mengingatkan bahwa kesombongan terhadap suara-suara kecil akan berujung pada kehilangan kehormatan dan legitimasi kepemimpinan.

Dalam era kepemimpinan yang sering mengabaikan suara dari bawah, sikap Sulaiman ini menawarkan model kepemimpinan yang mendengarkan dengan empati, bahkan terhadap “bisikan-bisikan lemah” yang mungkin mengandung kritik tersembunyi. Kemampuan menerima masukan dari bawah tanpa merasa terancam merupakan kualitas kepemimpinan yang semakin langka namun sangat dibutuhkan.

Memaknai Kesuksesan Ujian Singgasana

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).’” (Q.S. An-Naml [27]: 40).

Al-Marâghî (19/131) menguraikan bahwa ketika dihadapkan dengan keajaiban perpindahan singgasana Ratu Balqis, Sulaiman tidak tergoda membanggakan diri. Sebaliknya, ia memahami momen tersebut sebagai ujian spiritual, apakah akan bersyukur dengan mengakui sumber kekuatannya atau mengklaim keberhasilan sebagai prestasi pribadi.

Al-Qurthubî (13/206) memperdalam makna ini dengan penjelasan bahwa syukur sejati adalah “pengikat nikmat yang ada dan pembuka nikmat yang belum ada.” Melengkapi perspektif para ahli tafsir ini, Al-Ghazâlî (1431, 3/344) menyumbangkan wawasan psikologis yang tajam dengan membedakan antara kesombongan (kibr) dan ujub (bangga diri).

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Menurutnya, kesombongan membutuhkan orang lain yang dipandang rendah, sedangkan ujub hanya membutuhkan diri sendiri yang dipandang tinggi. Sulaiman berhasil menghindari kedua perangkap ini dengan melihat pencapaian spektakuler sebagai ujian, bukan kesempatan untuk meninggikan diri.

Dalam budaya kepemimpinan yang terobsesi dengan pencapaian dan pengakuan, cara pandang Sulaiman menawarkan pemahaman alternatif bahwa kesuksesan bukanlah tujuan akhir, melainkan ujian yang menentukan kualitas spiritual pemimpin.

Poin-Poin Pelajaran

Model kepemimpinan anti kesombongan Sulaiman menawarkan beberapa pelajaran kontekstual untuk direnungkan:

Pertama: Kepemimpinan sebagai Amanah

Di era yang mengagungkan pemimpin yang mengubah segalanya dengan visi pribadi, Sulaiman mengingatkan bahwa jabatan sejati adalah amanah, bukan hak istimewa. Pemimpin hebat tidak terobsesi dengan membangun monumen kebesaran pribadi, melainkan dengan mengelola kekuasaan yang menyejahterakan rakyat.

Kedua: Mengakui Keterbatasan

Berbeda dengan cerita “dari nol” yang sering dipuja, kepemimpinan autentik menyadari peran faktor-faktor di luar kendali pribadi. Di mana kesempatan, keistimewaan, dukungan sistem, dan bahkan keberuntungan. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati yang tulus, bukan pura-pura.

Ketiga: Kepekaan pada Suara Rakyat Kecil

Kemampuan Sulaiman mendengarkan kekhawatiran seekor semut mengajarkan pentingnya pemimpin mempertimbangkan perspektif dari kelompok paling rentan dalam masyarakat. Era digital semakin membuktikan bahwa ide-ide inovatif sering muncul dari pinggiran, bukan dari pusat kekuasaan.

Keempat: Memaknai Ulang Kesuksesan

Dalam budaya yang memuja angka dan pencapaian terukur, sosok Sulaiman menawarkan tolok ukur kesuksesan alternatif, bukan pada pencapaian lahiriah, melainkan pada kemampuan untuk tetap bersyukur dan berkontribusi. Kesuksesan sejati adalah yang tidak mengubah karakter menjadi buruk, melainkan yang memurnikannya.

Penutup

Model kepemimpinan Sulaiman mengundang para pemimpin masa kini untuk merenungkan paradoks yang jarang dibahas: bahwa kebesaran sejati terletak pada kemampuan mengelola kekuasaan tanpa diperbudak olehnya. Dalam era yang didominasi oleh ego dan ambisi pribadi, teladan anti kesombongan Sulaiman bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan resep spiritual untuk mengembalikan keaslian pada kepemimpinan yang semakin terputus dari nilai-nilai luhur. Wallahu ‘alam.

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Konsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

0
Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun ada satu dimensi yang jarang dibahas, yakni makna...