Kisah Khuzaimah al-Ansary Dzu-syahadatain, atau Khuzaimah Sang Pemilik Dua Kesaksian lumayan terkenal ketika membicarakan sejarah kodifikasi Alquran. Ia adalah penemu ayat terakhir dalam pengumpulan Alquran di masa Utsman bin Affan r.a. Ketika itu, Zaid bin Tsabit yang sedang dalam proses review master mushaf lagi galau-galaunya. Zaid menyadari ada satu ayat yang ia hafal, tetapi ia tidak memiliki salinannya, yaitu Q.S. Al-Ahzab/33: 23. Kisah ini dikisahkan dalam hadis no. 4988 di Shahih Bukhari serta disebutkan dalam berbagai kitab tafsir.
Terkait dengan penemuan penggalan ayat tersebut, Khuzaimah Dzu-syahadatain juga menjadi bukti nyata mukjizat kebenaran Rasulullah saw. dalam “ramalan” beliau tentang masa depan. Detail peristiwa tersebut telah dikisahkan saudara Muhammad Hisyam Wahid di situs ini pula.
Menurut hemat penulis, kemasyhuran Khuzaimah Dzu-syahadatain disebabkan karena dalam pengalamannya tersebut terpercik i’jaz dari Baginda Nabi Muhammad saw., yang narasinya notabene mengandung unsur supranatural, ajaib, aneh bin nyata. Hal-hal yang spektakuler dalam pandangan masyarakat.
Baca juga: Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23
Dalam kejadian lain, peristiwa pencarian dokumen mushaf seperti pada Q.S. Al-Ahzab/33: 23 ini juga terjadi pada dua ayat terakhir surah Bara’ah. Ayat laqad ja’akum dianggap tidak mutawatir dan banyak diserang oleh orientalis dalam rangka pelemahan Alquran. Bersama kalangan Syi’ah, mereka berusaha memunculkan keraguan terhadap kemutawatiran Q.S. At-Taubah/9: 128-129 berdalilkan ketidaksesuaian periwayatannya dengan “pakem mutawatir” yang harusnya diterapkan betul-betul sebagai metodologi dalam kodifikasi Alquran (Kemutawatiran Alquran: Metode Periwayatan dalam Sejarah Al-Qur’an, 227).
Untuk dinyatakan sebagai qath’iyyuts tsubut (pasti sebagai wahyu Tuhan), keseluruhan bagian dari ayat Alquran, baik dalam bentuk bacaan (qira’at) maupun tulisannya (rasm) mesti diriwayatkan oleh orang banyak yang secara akal dan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Mereka juga harus berasal dari jamaah yang sama, dalam hal ini kalangan sahabat Nabi saw. Ini berlaku untuk seluruh tingkatan periwayatannya, dari atas hingga bawah (Tarikh Tasyri’ al-Islami, 81).
Q.S. At-Taubah/9: 128-129 disinyalir tidak memenuhi kriteria mutawatir karena berdasarkan sejarah kodifikasinya ayat ini hanya ditemukan pada satu orang, yaitu (sesuai matan hadis Bukhari no. 4988) Abu Khuzaimah Al-Ansary. Zaid bin Tsabit selaku ketua tim kodifikasi tidak pernah menemukan dokumen tentang ayat ini di tangan orang lain.
Baca juga: Sejarah Kodifikasi Alquran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran
Faktanya, banyak anggapan dan justifikasi bahwa Q.S. At-Taubah/9: 128-129 juga ditemukan oleh Khuzaimah Al-Ansary Dzu-syahadatain yang sebenarnya bernama lengkap Khuzaimah bin Tsabit bin al-Fakih Al-Ansary (al-A’lam, juz 2, 305). Contohnya tulisan ini. Akibatnya, muncul asumsi cacat metodologis pada hasil kerja Zaid bin Tsabit. Ia dituduh inkonsisten dalam menerapkan “pakem mutawatir” ketika menemukan ayat ini. Langkah Zaid langsung menerima ayat ini dianggap tergesa-gesa, walau didapatkan dari Dzu-syahadatain.
Padahal para perawi hadis sendiri berpolemik mengenai nama Khuzaimah yang berperan pada pengumpulan Q.S. At-Taubah/9: 128-129. Ada yang menuliskan bahwa ayat tersebut ditemukan pada Khuzaimah, sebagian perawi lain menulis nama Abu Khuzaimah (Fathul Bari, juz 9, hal. 20).
Sehingga muncul pertanyaan: Siapa Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud? Apakah hanya ada satu Khuzaimah ataukah mereka aslinya dua orang? Tulisan ini hadir untuk menguak Khuzaimah-Khuzaimah lain yang bersangkut paut dengan kodifikasi, sekaligus membantah pendapat yang mencoreng klaim kemutawatiran Alquran.
Khuzaimah Al-Ansary kedua
Khuzaimah kedua bernama lengkap Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid bin Ashram al-Ansary (Usudul Ghabah, 1311). Seperti halnya Khuzaimah Dzu-syahadatain, Abu Khuzaimah juga seorang Ansar, sehingga ber-laqab al-Ansary. Namun pembedanya, Abu Khuzaimah berdarah Khazraj. Sedangkan Dzu-syahadatain merupakan keturunan Aus.
Abu Khuzaimah adalah salah satu ahlul Badar atau sahabat yang sempat mengikuti perang Badar serta berpartisipasi dalam berbagai peperangan berikutnya. Ia wafat pada masa Utsman, setelah sebelumnya didahului oleh saudaranya bernama Mas’ud yang wafat di masa Umar (Thabaqat Kubra, juz 3, 373).
Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran
Kalau hadis tentang penemuan ayat Al-Ahzab yang disimpan Dzu-syahadatain berada pada no. 4988 dalam Shahih Bukhari, hadis mengenai bara’ah berada di nomor selanjutnya, yaitu pada no. 4989. Akan tetapi kronologi lengkapnya sudah diinput terdahulu, yakni pada no. 4986 (Shahih Bukhari, 1274-1276).
Memang dalam kedua riwayat Bukhari tersebut nama Abu Khuzaimah al-Ansary disebutkan secara gamblang, tetapi pemahaman kalangan ulama terhadap teks hadisnya berbeda-beda. Walaupun shohihul matn wal isnad (valid secara matan dan sanad), bisa saja pemahaman pembaca tidak shohihul ma’na (valid memahami maknanya) sebagaimana dalam perkara ini.
Khuzaimah Al-Ansary ketiga
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menulis bahwa ada riwayat lain dari Abu Dawud yang menyebutkan bahwa manuskrip ayat laqad ja’akum disimpan oleh al-Harits bin Khuzaimah al-Ansary. Ada pula pandangan lain bahwa nama tersebut ialah nama asli Abu Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud oleh hadis (Fathul Bari, juz 9, 20). Sehingga, al-Harits bin Khuzaimah menjadi Khuzaimah ketiga dalam tulisan ini.
Adapun Khuzaimah yang ini bernama asli al-Harits bin Khuzaimah bin ‘Ady al-Ansary. Ketika Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, beliau memasangkan Iyas bin Abi yang datang berhijrah dengan al-Harits sebagai saudara barunya. Al-Harits wafat dalam usia 67 tahun.
Baca juga: Pengumpulan Alquran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit
Anggapan bahwa dialah yang dimaksud sebagai Abu Khuzaimah al-Ansary disebabkan karena kedua nama ini sama-sama terlibat beberapa peperangan bersama Rasulullah saw. Selain itu, keduanya juga berasal dari kabilah Khazraj. Namun, sebenarnya garis keturunan mereka berbeda; al-Harits dari Bani Abdil Asyhal sedangkan Abu Khuzaimah berdarah Bani Najjar (al-Isti’ab, 288).
Asusmi kesamaan ini langsung ditarjih oleh al-Asqalani, ia menetapkan bahwa penyimpan manuskrip yang dimaksud ialah Abu Khuzaimah bin Aus (Fathul Bari, juz 9, hal. 20). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ayat laqad ja’akum tidaklah divalidkan oleh Zaid berdasarkan kekuatan persaksian Khuzaimah Dzu-syahadatain, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Bukan pula didapatkan dari al-Harits bin Khuzaimah yang memiliki kemiripan identitas dengan sang penyimpan ayat, Abu Khuzaimah bin Aus.
Kemutawatiran ayat terakhir
Lalu berlanjutlah pertanyaan, bagaimana kriteria mutawatir terpenuhi sedangkan Zaid bin Tsabit hanya menemukannya pada Abu Khuzaimah? Jawabannya sangat sederhana jika meninjau sisi ontologis sejarah kodifikasi!
Pembantah kemutawatiran Alquran menyangka bahwa megaproyek Zaid bin Tsabit ketika itu bertujuan untuk mengumpulkan ayat-ayat Alquran secara utuh dari para sahabat. Padahal Zaid bin Tsabit beserta seluruh anggota timnya hanya mengumpulkan catatan, dokumen maupun manuskrip Alquran yang dikoleksi para sahabat. Adapun untuk hafalan, mereka sudah tentu menguasainya (The History of The Quranic Text, 84; Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, 122).
Setelah ditemukan, dokumen-dokumen tersebut juga ditinjau kembali para sahabat. Masih ada para ahli seperti Utsman, Umar, Abu Bakar, dan Ali yang terlibat dalam verifikasi dokumen tersebut. Dengan adanya dokumen-dokumen tersebut, validitas Alquran semakin kuat untuk mencapai mutawatir, bukan malah sebaliknya.
Dengan demikian, teks Alquran yang diterima sekarang dapat dipastikan sama persis dengan teks yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya.