Sejarah Kodifikasi Al-Quran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran

Kodifikasi Al-Quran
Kodifikasi Al-Quran

Sejarah kodifikasi al-Quran dijelaskan dalam al-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an dibagi ke dalam dua fase yakni fase Kenabian dan fase al-Khulafa al-Rasyidun. Kata jam’u yang biasanya dijadikan sebagai kata kunci pembahasan dalam beberapa kitab Ulumul Qur’an merujuk pada makna kodifikasi baik melalui hafalan maupun tulisan.

Fase Nubuwwah

Pada fase pertama aktivitas kodifikasi al-Quran terbagi ke dalam dua metode yakni:

  1. Metode hafalan

Dalam kitab-kitab sejarah umumnya terdapat informasi bahwa bangsa Arab pra-Islam memang terkenal dengan kemampuannya dalam menghafal (cepat dan kuat). Mereka mampu menghafal ribuan syair serta ratusan silsilah nasab atau keturunannya. Keistimewaan yang mereka miliki inilah yang menjadi sebab mudahnya mereka menyimpan al-Qur’an dalam dada mereka dan menjaga otentisitasnya.

2. Metode penulisan

Pada fase pewahyuan, Nabi memiliki kuttab al-wahy atau asisten pribadi yang bertugas menulis wahyu. Di antara yang masyhur namanya adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, dan Abu Zaid.

Namun selain para penulis wahyu yang khusus ditugaskan Rasulullah, ada beberapa sahabat yang juga berinisiatif secara mandiri untuk menuliskan wahyu yang didengarnya dari Nabi dan dibuktikan dengan keberadaan mushaf pribadinya. Di antara para sahabat tersebut ialah Ibn Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib, Aisyah dan lainnya.

Baca Juga: Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Media yang mereka gunakan untuk menulis di antaranya tulang-belulang, permukaan batu yang lebar, kulit binatang, serta daun-daun yang lebar. Mengapa tidak di kertas? Sebab penggunaan kertas—dalam bentuk yang sangat sederhana—baru terdapat di zaman Persia dan Romawi dan itupun masih sangat terbatas. Maka, tidak heran jika zaman itu bangsa Arab menggunakan media apapun yang mudah dijumpainya sebagai media tulis.

Selanjutnya, para Sahabat menyusun al-Qur’an ke dalam susunan yang kita jumpai saat ini (tartib mushafi) merupakan petunjuk langsung dari Allah kepada Nabi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa saat Jibril menurunkan ayat per ayat al-Qur’an, ia menginformasikan kepada Nabi letak dan susunannya yang merupakan instruksi langsung dari Allah.

Fase Khulafa Rasyidun

Fase kodifikasi al-Quran ini secara khusus akan membahas bagaimana sebab-sebab eksternal mendorong terjadinya proyek kepenulisan al-Qur’an secara tersistematisasi dan terorganisir.

  1. Fase Khalifah Abu Bakar

Fase ini merupakan fase pertama dalam periode penulisan al-Qur’an secara tersistematisasi dan terorganisir. Hal yang menjadi alasan dari aktivitas tersebut ialah terjadinya tragedi Yamamah. Di mana pasukan muslimin berperang dengan para murtaddin dari pengikut Musailamah al-Kadzab. Namun sayangnya, menurut data sejarah yang populer, sebanyak lebih dari 70 orang penghafal Qur’an syahid di pertempuran ini. Dalam data sejarah yang lain dikatakan sampai ribuan.

Banyaknya penghafal Qur’an yang syahid di medan perang, menyebabkan Umar ibn Khatab gusar dan sedih karena khawatir ketidaan mereka akan menyebabkan hilangnya al-Qur’an secara perlahan. Maka Umar pun mendatangi Abu Bakar dan meminta padanya sebagai Khalifah saat itu untuk memutuskan sebuah kebijakan yaitu melaksanakan program penulisan al-Qur’an.

Pada awalnya Abu Bakar saat itu merasa ragu untuk melakukannya (sebab di zaman Nabi tidak ada secara jelas Nabi memerintahkan untuk mengumpulkan al-Qur’an ke dalam satu mushaf), namun Umar berhasil meyakinkannya dengan memaparkan maslahat yang ada dalam kebijakan tersebut. Maka Abu Bakar yang telah setuju kemudian meminta kepada Zaid ibn Tsabit untuk menjadi ketua dari proyek penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf (sebab selama ini penulisan al-Qur’an masih tercecer dalam berbagai media tulis yang berbeda).

Zaid pun merasa ragu saat itu, namun akhirnya berhasil diyakinkan dan proyek pun dilaksanakan hingga akhirnya al-Qur’an terkumpul ke dalam satu mushaf. Mushaf ini lalu turun temurun diwariskan kepada Umar ibn Khatab dan terakhir kepada Hafshah bintu Umar.

Adapun dalam proses penulisannya, mushaf Abu Bakar ini ditulis oleh Zaid dengan mempertimbangkan dua sumber yakni hafalan para huffadz dan tulisan-tulisan yang telah ada di zaman Rasulullah. Mushaf ini juga memuat ragam dialek baik secara sanad mutawatir maupun ahad yang dijumpai di era tersebut.

2. Fase Khalifah Utsman

Kodifikasi al-Quran di masa Utsman memiliki permasalahan lain, berbeda halnya dengan zaman khalifah Abu Bakar yang mengadakan proyek karena kekhawatiran akan sirnanya al-Qur’an bersamaan dengan ketiadaan para hafiz. Permasalahan yang dimilikinya berdasar pada ekspansi kekuasaan pemerintahan Islam.

Ekspansi wilayah kekuasaan ini menyebabkan umat Islam tersebar ke berbagai daerah baru. Di daerah-daerah baru tersebut Utsman mengirimkan para sahabat untuk menjadi paku bumi atau pusat pengajaran. Sepertinya halnya di Syam, maka ada Ubay ibn Ka’ab sebagai pengajar atau muallim/ muqri’, kemudian di Kufah ada Abdullah ibn Mas’ud, dan di Bashrah ada Abu Musa al-Asy’ari.

Masing-masing dari pengajar memiliki kekhasannya tersendiri khususnya dalam hal qira’at yang dipakai dan diajarkan. Perbedaan itu ternyata menimbulkan perdebatan, pengkafiran dan bahkan peperangan di antara masing-masing murid para sahabat tatkala berjumpa. Keresahan ini juga disampaikan Hudzaifah ibn al-Yamani tatkala memperluas wilayah kekuasaan Islam di Armenia dan Azerbaijan.

Baca Juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Ia menyaksikan bagaimana perdebatan para murid dari daerah yang berbeda dan tergabung dalam satu pasukan itu sudah seperti perselisihan dua agama yang berbeda (layaknya Yahudi dan Nasrani). Maka Utsman semakin khawatir dan akhirnya memutuskan untuk menjalankan proyek Mushaf Imam sebelum keadaan semakin parah.

Proyeknya dimulai dengan meminjam mushaf dari Hafshah bintu Umar, kemudian ia menunjuk Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn Ash, dan Abdurrahman ibn Harits ibn Hisyam untuk menuliskan ulang mushaf Abu Bakar agar menjadi banyak. Dari keempat orang tersebut, hanya Zaid yang bukan orang Quraisy. Utsman pun berpesan, apabila saat penulisan al-Qur’an terjadi perdebatan antara Zaid dan ketiga orang Quraisy lainnya, maka tulislah dengan logat atau dialek Quraisy sebab al-Qur’an turun dengan dialek orang Quraisy.

Keempat orang itu setuju dan menulis ulang mushaf Abu Bakar ke dalam beberapa mushaf yang kemudian disebar oleh Ustman ke berbagai daerah. Ia juga memerintahkan agar segala bentuk tulisan selain dari mushaf yang diproduksinya agar dibakar.

Meskipun kehadiran mushaf Utsmani ini juga berimplikasi pada hilangnya hilangnya beberapa dialek yang sebelumnya terdapat dalam mushaf Abu Bakar, sebab hanya memuat dialek Quraisy dengan harapan meminimalisir terjadinya perbedaan dan perpecahan di tengah umat Islam. Adapun cara penulisan al-Qur’an pada masa Utsman inilah yang kemudian melahirkan ilmu yang disebut sebagai Ilmu Rasm Utsmani.