BerandaUlumul QuranKetika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Ketika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Tafsir lughawi merupakan tafsir yang mencoba menampakkan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan, seperti yang diaplikasikan oleh imam Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya Al-Kasysyaf dan Al-Farra dalam kitab tafsirnya Ma’ani Al-Qur’an. Tafsir lughawi menjelaskan makna-makna Al-Qur’an melalui interpretasi semiotik dan semantik, termasuk analisis gramatikal, leksikal, retorikal, etimologis, dan morfologisnya (Syafrijal, Jurnal Al-Ta’lim).

Sama halnya dengan corak-corak tafsir lainnya, tafsir lughawi juga tak luput dari penyimpangan di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi apabila proses penafsiran yang dilakukan hanya memerhatikan aspek bahasa (tanpa memerhatikan konteks turunnya ayat) seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Khaliq Hasan dalam bukunya “Kaidah-Kaidah Tafsir Al-Qur’an” (2013: 62).

Baca juga: Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an

Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Selain memerhatikan aspek kebahasaan, mufassir juga harus memerhatikan kaidah-kaidah tafsir lainnya, termasuk konteks dan makna ayat. Mufassir yang hanya berpatok pada aspek kebahasaan akan menghasilkan penafsiran yang berkemungkinan besar mengalami penyimpangan. Ini seperti kemungkinan yang dapat terjadi pada penafsiran Q.S Al-Anbiya: 79 berikut:

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۚ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَاعِلِينَ

Artinya: Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.

Lafaz الطَّيْرَ dari segi bahasa yaitu segala sesuatu yang mempunyai sayap. Jika dalam menafsirkan lafaz ini sang mufassir hanya berdasarkan pada aspek kebahasaan dan memasukkan unsur-unsur modernitas dan scientific, maka lafaz tersebut bisa dimaknai dengan pesawat tempur. Padahal makna sesungguhnya dari lafaz “ath-thayr” tersebut adalah burung-burung. Akan sangat berbahaya apabila mufassirnya tidak memerhatikan konteks dan makna dari ayat yang ditafsirkannya atau hanya memerhatikan aspek bahasanya saja.

Contoh lain dari tafsir bercorak lughawi yang menyimpang dapat dilihat pada dua penafsiran berikut:

  1. QS At-Tin ayat 1-4.

وَٱلتِّينِ وَٱلزَّيْتُون

Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun

وَطُورِ سِينِينَ

Dan demi bukit Sinai

وَهَٰذَا ٱلْبَلَدِ ٱلْأَمِينِ

Dan demi kota (Mekah) yang aman ini

Oleh sebagian kalangan Syiah, ayat pertama ditafsirkan dengan Hasan dan Husain, ayat kedua ditafsirkan dengan Ali bin Abi Thalib, sedangkan ayat ketiga ditafsirkan dengan Nabi Muhammad saw (Muhammad Abdul Khaliq Hasan: 2013).

Baca juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

  1. Al- Isra ayat 71

يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ ۖ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَٰئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

Artinya: (Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.

Imam al-Zamakhsyari dalam tafsirnya, Al-Kasysyaf mengatakan, termasuk penyimpangan paling besar bahwa kata imam (إِمَام) di ayat ini dianggap sebagai bentuk jamak dari اُمّ (um) yang berarti ibu. Jadi, menurut pandangan ini, pada hari kiamat orang akan dipanggil dengan disertai nama ibunya, bukan dengan nama ayahnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga perasaan Nabi Isa serta memperlihatkan kemuliaaan Hasan dan Husein. Dengan cara ini pula, anak-anak dari hasil zina tidak akan merasa dipermalukan.

Muhammad Husein Adz-Dhahabi dalam bukunya al-Ittijahat al-Munharifah fi Tafsir al-Qur’an al-Karim: Dawafi’uha wa Daf’uha mencantumkan bahwasanya ketidaktepatan dalam penafsiran tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mufassirnya tentang bahasa Arab. Bentuk Jamak dari lafaz “Ummun” adalah “Ummahat”, bukan “imamun” seperti yang terdapat dalam penafsiran QS. Al-Isra ayat 71 tersebut.

Penutup

Alhasil, tafsir lughawi atau tafsir yang bercorak kebahasaan tidaklah terlarang, sebagaimana banyak karya-karya tafsir yang bercorak demikian. Akan tetapi mufassir hendaknya juga memerhatikan aspek-aspek penting lainnya dari kaidah tafsir seperti konteks turunnya ayat (asbab al-nuzul). Ini menunjukkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran tidak cukup hanya dengan kecakapan bahasa Arab, melainkan ada banyak piranti-piranti penafsiran yang harus dikuasai terlebih dahulu.

Baca juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Anggit Sutraningsih
Anggit Sutraningsih
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Raden Mas Said Surakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...