Kiai Abdul Basith termasuk penulis beken dan populer di kalangan penulis 60-an. Ia adalah seorang putra pahlawan sekaligus putra pejuang kemerdekaan, Kiai Abdullah Sajjad. Dari usia remaja sampai usia senja saat ini, Kiai Basith masih aktif menulis bermacam-macam buku. “Banyak karangan saya yang sudah dibukukan. Dari saking banyaknya, saya sendiri sampai lupa apa saja yang pernah saya tulis.” Tutur Kiai Basith kepada matamaduranews.com.
Sekilas Biografi KH. Abdul Basith
Kiai Abdul Basith bernama lengkap KH. Abdul Basith bin Abdullah Sajjad. Ia lahir di Sumenep pada tanggal 4 Juni 1944 di sebuh desa beralamat Jl. PP. Annuqayah Karang Jati, Sabajarin, Guluk-guluk, Sumenep. Kiai Basith adalah putra ke tiga dari Kiai Abdullah Sajjad dengan istri ke duanya, Nyai Aminah binti Kiai Abu Ahmad. Kiai Basith merupakan salah satu penerus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.
Kiai Basith tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren yang kental dengan nilai-nilai keagamaan. Ia belajar Al-Quran pertama kali kepada ibunda, Nyai Aminah. Sementara untuk keilmuan dan persoalan agama seperti Fiqih, Nahwu dan Sharraf, ia belajar kepada saudara-saudaranya yang lain. Selama itu, Kiai Basith lebih banyak menimba ilmu kepada sang kakak, Kiai Ahmad Basyir Abdullah Sajjad yang juga merupakan alumnus Pondok Pesantren Sidogiri.
Baca Juga: Mengenal Thaifur Ali Wafa Al-Muduri, Mufasir Kontemporer Asal Madura
Kiai Basith memulai perjalanan keilmuannya di bangku sekolah dasar SDN Guluk-Guluk yang ketika itu baru diresmikan. Selang waktu yang tak begitu lama, ia pindah ke Madrasah pesantren Annuqayah, kemudian melanjutkan studinya ke tingkat Muallimin selama 4 tahun. Tidak sampai kelas 5 dan 6, Kiai Basih lalu pindah untuk menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Darul Ulum, Paterongan, Jombang.
Sepanjang karirnya, Kiai Abdul Basith pernah belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (sekarang UIN) dan kursus Bahasa Arab selama 6 bulan di Surabaya. Selain itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan ‘Keahlian Pengembangan Masyarakat’ yang diadakan oleh LP3ES selama 6 bulan, bertempat di Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Berkat kedekatan dengan Nasihin Hasan dan Gus Dur serta turut terlibat dalam pendirian ACFOD di Bangkok, Kiai Basith berkesempatan dua kali menimba ilmu di Bangkok, 15 hari di Bangladesh, 15 hari di Nepal dan 15 hari di Chiang Mai, Thailand.
Dalam kesehariannya, Kiai Basith dikenal akrab dan membaur di tengah-tengah masyarakat sekitar. Selain untuk kehidupan masyarakat, ia juga membawa perubahan besar terhadap perkembangan Pondok Pesantren Annuqayah. Melalui kerjasama dengan LSM-LSM luar negeri, Kiai Basith berhasil mendirikan lembaga TK (Taman Kanak-Kanak) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) di pesantren asuhannya itu, termasuk melengkapi dan merenovasi bangunan-bangunan di area pesantren.
Kiai Basith sempat terjun ke dunia politik. Tercatat ia pernah menjabat sebagai pengurus dewan pakar PKB selama satu periode. Pernah menjabat Mukhtasar dan Wakil Rais Syuriah PCNU Sumenep periode 2000-2005. Selain itu, ia juga pernah aktif di LP3ES pusat di Jakarta. Namun, semenjak Kiai Abdullah Sajjad meninggal, Kiai Basith memilih meninggalkan kesibukan-kesibukan di luar dan melepas karir politiknya. Ia memikul tanggung jawab mengasuh pesantren dan meneruskan perjuangan sang ayah.
Baca Juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura
Tafsir Surah Yasin dan Karya-karya Lain
Sejak masih muda, Kiai Abdul Basith adalah aktivis yang memiliki pemikiran metropolis dan inklusif. Meski lahir dan besar dari keluarga pesantren salaf, ia tidak segan-segan berkunjung ke berbagai negara walaupun mayoritas non-muslim. Kiai Basith termasuk sosok yang produktif. Ia banyak mengisi waktu luangnya dengan mengarang buku-buku baik dalam bahasa Arab, Inggris ataupun bahasa Indonesia. Bahkan, saking banyaknya, ia sampai lupa apa saja yang pernah ditulis.
Meskipun dalam keadaan sakit, ia tidak pernah lelah untuk terus berkarya. Sudah lebih dari 20 tahun ia menderita sakit kencing manis, dan sekitar 10 tahun lebih ia tidak bisa berjalan sampai terkena serangan struk. Dalam berkarya, Kiai Basith dibantu putranya, Gus A. Wajid Muntaqa dan juga putrinya, Ning Shafieqah El-Nabilah.
Melansir keterangan matamaduranews.com, karya pertama yang ditulis Kiai Basith adalah Pribahasa 3 Bahasa pada tahun 60-an, tetapi baru dicetak dan dibukukan sekitar tahun 1999. Karya lain berjudul Sekumpulan Hadis Pilihan dan Nibrah al-Nufus. Kemudian Antologi Dzikir dan Doa Sehari-hari yang diterbitkan oleh Muara Progresif Surabaya.
Sementara karya-karya lain yang masih berbentuk arsip kini menjadi koleksi dan beberapa disimpin di Pascasarjana INSTIKA (Institut Ilmu Keislaman Annuqayah). Selain produktif berkarya, Kiai Basith juga membentuk sekaligus menjadi redaktur utama majalah Annajah.
Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura
Tafsir Surah Yasin adalah salah satu dari beberapa karya Kiai Abdul Basith. Pada mulanya, tafsir ini ditulis dengan tiga bahasa; bahasa Indonesia, Bahasa Ingris dan bahasa Arab. Hanya saja, yang telah berhasil diterbitkan adalah versi bahasa Indonesianya. Tafsir ini diterbitkan oleh Muara Progresif Surabaya yang bekerjasama dengan LTN NU Sumenep pada Juni 2013 lalu.
Tujuan utama penulisan tafsir ini adalah dalam rangka agar para pecinta dan pengamal surah Yasin dapat mengetahui manfaat penggunaannya, merasa mudah membaca dan memahi artinya, serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi Kiai Basith, berkarya dalam bentuk tulisan merupakan saluran kecintaan tanpa perlu menghitung hasilnya. “Berkarya bisa memberi manfaat bagi pembaca dan tentu saja dinilai pahala di sisi-Nya. Mengabadikan kebaikan adalah dengan tidak mengingat-ingatnya.” Begitulah kira-kira pesan yang siampaikan Kiai Basith. Semoga kita semua dapat meneladani beliau yang tak pernah lelah dan selalu istiqomah dalam berkarya. Amin.
Wallahu a’lam