Pasca kehancuran Firaun dan bala tentaranya, kisah bani Israil memasuki babak baru. Mereka dijanjikan akan mewarisi berbagai kemuliaan, harta dan kebebasan yang sebelumnya dimiliki Firaun jika mematuhi perintah Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, “Demikianlah, dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil.” (QS. asy-Syu’ara [26]: 59).
Imbas dari keruntuhan kekuasaan Firaun juga merembes ke tatanan sosial politik masyarakat Mesir. Menurut Ibnu Abdul Hakam dalam kitabnya Tarikh Mishr – pasca kehancuran Firaun dan bala tentaranya – wanita-wanita bangsawan Mesir mulai menguasai tahta kerajaan. Karena hampir seluruh laki-laki bangsawan tewas tenggelam di laut merah bersama Firaun.
Baca Juga: Surat Asy-Syuara Ayat 65 – 68: Kisah Kehancuran Firaun dan Tentaranya
Pada waktu itu, perempuan bangsawan Mesir memulai tatanan baru kehidupan bermasyarakat, di mana mereka melakukan akusisi dan pengelolaan terhadap sumber daya kerajaan yang sebelumnya dikuasai oleh bangsawan laki-laki. Untuk meneruskan keturunan bangsawan, mereka juga mulai menikah dengan rakyat selain bangsawan, yakni laki-laki dari kalangan masyarakat biasa.
Kisah bani Israil ini dimulai ketika mereka menyeberangi laut dan pergi menuju negeri Syam. Selama tiga hari mereka tidak bisa mendapatkan air. Banyak dari bani Israil yang mengeluh atas kondisi tersebut. Bahkan sekalipun mereka menemukan air, mereka tidak mendapati kecuali air asin dan pahit yang hampir mustahil untuk diminum (Qashash al-Anbiya: 517).
Setelah beberapa hari dalam perjalanan panjang pasca kehancuran Firaun dan bala tentaranya, kondisi bani Israil cukup memprihatinkan, terutama krisis air minum. Allah Swt kemudian memerintahkan Musa untuk mengambil sebatang kayu dan menaruhnya ke dalam sumber air yang tidak layak konsumsi. Berkat izin Allah Swt, air tersebut berubah menjadi air tawar dan dapat diminum oleh seluruh bani Israil.
Selain memberikan mukjizat tersebut, pada waktu itu Allah Swt juga mengajarkan kepada nabi Musa as dan bangsa Israil tentang berbagai kewajiban, sunah-sunah dan wasiat-wasiat. Allah Swt mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga itu semua dalam setiap situasi dan kondisi. Namun setelah beberapa waktu, bangsa Israil malah mengabaikan pesan Ilahi yang disampaikan melalui sabda nabi Musa ini.
Penyelewengan yang dilakukan bani Israil pasca kehancuran Firaun dan bala tentaranya ini tercatat di dalam Al-Qur’an, yakni surah al-‘Araf [7] ayat 138-139 yang berarti:
Dan Kami selamatkan Bani Israil menyeberangi laut itu (Laut Merah). Ketika sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka berkata, “Wahai Musa! Buatkanlah kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” (Musa) menjawab, “Sungguh, kamu orang-orang yang bodoh.” Sesungguhnya mereka akan dihancurkan (oleh kepercayaan) yang dianutnya dan akan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.
Untuk menyadarkan bani Israil, Nabi Musa kemudian menyebutkan berbagai nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, bahwa mereka telah dilebihkan dari umat-umat terdahulu dari segala segi kehidupan, mulai dari ilmu, syariat, jumlah rasul yang berada di tengah mereka, kebaikan, hingga karunia dari-Nya seperti diselamatkan dari cengkeraman kekuasaan Firaun dan bala tentaranya, serta nikmat-nikmat lain yang tak terhitung jumlahnya.
Beliau menjelaskan bahwa ibadah hanya berhak diberikan kepada Allah Swt, tiada sekutu bagi-Nya. Sebab Dia adalah Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki dan Maha Perkasa. Pada saat bersamaan, Nabi Musa juga menegur mereka secara langsung bahwa permintaan mereka untuk dibuatkan patung berhala agar bisa disembah adalah permintaan yang sangat bodoh bagi orang-orang – seperti mereka – yang telah mendapatkan karunia langsung dari Allah Swt.
Nabi Musa kemudian memerintahkan bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdis dan memerangi kaum kafir zalim penyembah berhala kala itu, yakni kaum Majusi dari kalangan orang-orang Haitsan, Fazar, Kan’an, dan lain sebagainya. Karena pada saat itu terjadi sengketa kekuasaan politik dan karena sebelumnya Allah Swt telah menjanjikan tempat tersebut bagi bani Israil melalui lisan nabi Ibrahim dan nabi Musa (Qashash al-Anbiya: 519).
Namun kenyataannya, bani Israil menolak dan enggan untuk berjihad mematuhi perintah Ilahi. Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” (QS. al-Maidah [5]: 22)
Mereka bahkan secara tegas menolak perintah nabi Musa untuk berjihad setelah diperingatkan olehnya beberapa kali. Sebagian bangsa Israil berkata dengan keras dan lantang, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.” (QS. al-Maidah [5]: 24)
Mendengar jawaban kaumnya, nabi Musa sangat sedih dan hanya bisa berdoa, “Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS. al-Maidah [5]: 25). Maka Allah Swt menimpakan kepada mereka rasa takut yang berlebihan dan mendamparkan mereka di padang Tiih. Mereka terluntang-lanting di sana selama empat puuh tahun tanpa negeri.
Kisah bani Israil pasca kehancuran firaun dan bala tentaranya ini diakhiri dengan firman-Nya, “(Allah) berfirman, “(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah eng-kau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (QS. al-Maidah [5]: 26).
Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit
Mereka (bangsa Israil) dihukum karena pembangkangan mereka manakala diperintahkan oleh Allah berjihad di jalan-Nya. Mereka berjalan tanpa arah tujuan siang dan malam. Dikatakan bahwa tidak ada seorangpun dari mereka yang dapat keluar dari padang Tiih selama empat puluh tahun. Tidak ada yang tersisa kecuali anak keturunan mereka, yakni Yudha’ dan Kalib. Wallahu a’lam.