Meski sebelumnya Hannah sempat khawatir kalau-kalau Maryam tidak dapat diterima sebagai khadam Bait al-Muqaddas, ternyata kenyataan berkata sebaliknya. Tatkala ia membawa Maryam ke Masjid, para jamaah di sana malah menyambut hangat kehadirannya. Imam al-Alusi dalam menafsiri ayat ke-37 Ali ‘Imran menceritakan kisah ini dengan menukil riwayat Ibnu ‘Abbas berikut,
لَمَّا وَضَعَتْهَا خَشِيَتْ حَنَّةُ أَنْ لَا تُقْبَلُ الْأُنْثَى مُحَرَّرَةً فَلَفَّتْهَا فِي الْخِرْقَةِ وَوَضَعَتْهَا فِي بَيْتِ الْمُقَدَّسِ عِنْدَ الْقُرَّاءِ فَتُسَاهِمُ الْقُرَّاءُ عَلَيْهَا- لِأَنَّهَا كَاَنتْ بِنْتَ إِمَامِهِمْ- أَيَّهُمْ يَأْخُذُهَا فَقَالَ زَكَرِيَّا وَهُوَ رَأْسُ اْلأَحْبَارِ: أَنَا آَخِذُهَا وَأَنَا أَحَقُّهُمْ بِهَا لِأَنَّ خَالَتَهَا عِنْدِيْ، فَقَاَتْ الْقُرَّاءِ: وَلَكِنَّا نَتَسَاهَمُ عَلَيْهَا فَمَنْ خَرَجَ سَهْمُهُ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
“Setelah Hannah melahirkan, ia lalu khawatir jika putrinya tidak diterima sebagai muharrar. Maka kemudian ia membedung Maryam kecil dan membawanya ke Masjid al-Muqaddas di tengah-tengah para jemaah. Lantas saja para jemaah berebut untuk menjadi kafil (pengasuh) Maryam, putri dari imam masjid mereka (‘Imran). Maka Zakariya, pemimpin para pendeta berkata, “Saya yang akan menjadi kafilnya, saya lebih berhak, sebab bibi anak ini tak lain adalah istriku (yang dimaksud adalah Iisya’ binti Faqudza, saudari Hannah), para jemaah kemudian berkata, “Tidak bisa begitu. Kita adakan undian saja untuk menentukan hak pengasuhan ini. Yang undiannya keluar dialah yang berhak mengasuhnya.” (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 1330)
Baca Juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah
Tiga Kali Undian dan Kesabaran Nabi Zakariya
Diadakanlah undian untuk menentukan hak pengasuhan atas Maryam saat itu. Sekalipun sebenarnya Nabi Zakariya memang paling berhak mengasuh Maryam, ia tetap legowo dengan penentuan berdasar undian itu, sebab keputusan bersama lebih diutamakan daripada keinginan pribadi.
Undian tersebut dilakukan dengan melemparkan pena mereka ke dalam kolam -bukan sembarang pena, sebab pena ini yang digunakan untuk menulis wahyu saat itu. Kemudian, seorang pemuda belia, secara acak tentunya, diperintah Nabi Zakariya untuk mengambil salah satu pena yang berada di dalam kolam. Tanpa kesengajaan, pena yang diambil pemuda itu ternyata adalah milik Nabi Zakariya.
Hasil undian ini tidak memuaskan para jamaah, sehingga mereka bersepakat untuk melakukan undian kedua kalinya. Nabi Zakariya menerima saja dengan keputusan itu. “Kali ini biarkan aliran sungai Ardan yang menentukan, yang penanya mengambang duluan, dia lah yang berhak,” begitu kata para jemaah. Maka undian kedua dilakukan. Dan lagi-lagi, pena Nabi Zakariya yang mengambang duluan.
Tak sampai di sini, para jamaah bersepakat untuk mengadakan undian final. Ketentuan kali ini berbanding terbalik dari sebelumnya; yang penanya tidak mengambang dia lah yang berhak mengasuh Maryam. Secara sepintas, tentu dapat kita tebak bahwa Nabi Zakariya tidak bakal menang, sebab pada undian sebelumnya pena Beliau yang mengambang sendirian.
Nabi Zakariya tetap menerima hasil keputusan tersebut. Beliau tidak marah sebab para jamaah seakan tidak mau menerima dua hasil undian sebelumnya. Syahdan saja undian ke tiga dilangsungkan. Hasil keputusannya tetap, ternyata Allah swt. memang menghendaki Nabi Zakariya yang mengasuh Maryam kecil. (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 133)
Baca Juga: Pola Asuh Anak Ala Istri Imran: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 35-37
Mihrab Maryam dan Rizki dari Allah
Maryam kecil tumbuh di lingkungan Masjid al-Muqaddas. Allah swt. sendiri yang menjaga dan menumbuhkembangkan Maryam dengan pertumbuhan yang baik (nabatan hasana). Sebagaimana dalam firman-Nya,
وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا
“Dan Ia (Allah) membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik…” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 37)
Fakhrudin al-Razi menafsiri ayat ini dengan melansir keterangan Ibnu al-Anbari. Menurutnya, maksud pertumbuhan yang baik di sini adakalanya berkaitan dengan dunia atau dalam agama. Mufassir yang condong pada opsi pertama mengatakan, “Ia (Maryam) pada hari itu memiliki pertumbuhan fisik yang sama dengan anak-anak lainnya yang dilahirkan pada tahun yang sama.”
Adapun mufassir yang berpegang pada opsi kedua mengatakan bahwa Maryam memiliki pertumbuhan kecerdasan spiritual di atas rata-rata, kesalehannya, ‘iffah, dan ketaatannya. (Al-Tafsir al-Kabir, juz 4 hal 29)
Waktu terus bergulir. Setelah Maryam sempurna dua tahun menyusu, ia lalu ditinggalkan sendirian pada suatu ruangan khusus yang kita kenal dengan sebutan Mihrab Maryam. Setelah itu, Nabi Zakariya memasrahkan sepenuhnya ihwal kondisi Maryam pada Allah swt.
Dari informasi Imam al-Rabi’, Ibnu Jarir mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang diperkenankan memasuki mihrab Maryam tersebut terkecuali Nabi Zakariya. Mihrab itu sangat eksklusif. Ungkap Ibnu Jarir, “Dan apabila Nabi Zakariya selesai menjenguk dari sana, mihrab itu dikunci dengan tujuh buah pintu.” (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 134)
Di sanalah Maryam memfokuskan dirinya untuk beribadah. Telah disebut pada artikel sebelumnya bahwa tugas khadam (muharrar) hanya menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah swt. Ia tidak lagi terikat dengan urusan-urusan dunia, bahkan seorang khadam tidak akan pernah menikah. Itulah alasan mengapa ruangan ini disebut mihrab, yang memiliki akar kata yang sama dengan haraba yang berarti berperang. Sebab di tempat itu, seorang hamba layaknya sedang berperang melawan setan, dan tempat itu ia jadikan sebagai tempat peperangan. (Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 2 hal 237)
Pada masa ‘uzlah, derajat Siti Maryam makin dekat dengan Allah swt. Ada banyak karamah yang diberikan Allah kepada hamba perempuan-Nya ini. Salah satu macam karamah itu diabadikan dalam firman-Nya,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَامَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 37)
Imam Abi Hayyan mewartakan keterangan dari Mujahad dan al-Dlahak, “Zakariya menjumpai buah-buahan musim dingin saat musim panas, dan buah-buahan musim panas padahal kala itu musim dingin.” Imam Qotadah dan al-Sadi juga berkata demikian. Namun, jika merujuk pada perkataan Imam al-Hasan, maka buah-buahan yang dimaksud pada ayat tersebut bukan lagi buah dari dunia, tapi adalah buah-buahan surga yang diberikan oleh Allah swt. (Al-Bahr al-Muhith, juz 2 hal 461)
Baca Juga: Doa Nabi Zakaria dan Tafsir Ali Imran [3]: 38
Kecerdasan Nubuwwah Nabi Zakariya
Nabi Zakariya mengamati keanehan ini. Kejadian yang tidak biasa ini (khariq al-‘adat) menyalahi hukum alam pada biasanya (sunnatullah). Dan hanya Allah-lah yang memiliki kuasa akan hal itu. Allah swt. dengan karamah yang diberikannya pada Siti Maryam telah menampakkan diri-Nya (tajalli) di sana.
Menyadari hal ini Nabi Zakariyya lalu berdoa di Mihrab Maryam (Q.S. Ali’ Imran [3]: 38). Ia memohon pada Allah swt. agar dikarunia seorang anak, sebab telah lama ia mengidam-idamkannya sampai masa tuanya sekarang, selain juga karena istrinya, Iisya’ telah mandul. Alasan Beliau berdoa di sana adalah karena “kejadian tidak biasa” yang diperoleh Siti Maryam. Tentu besar kemungkinan Allah swt. mengabulkan keinginannya di sana yang rasanya sudah tidak mungkin lagi memiliki anak di usia yang sesepuh itu, sama-sama khariq al-‘adat.
Doa Nabi Zakariya di Mihrab Maryam ini menjadi dalil kebolehan bertabarruk pada tempat-tempat suci dan mulia para wali; tak lain karena di sana lah Allah pernah bertajalli (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 135 dan al-Tahrir wa al-Tanwir juz 2 hal 238). Daripada itu, sikap tidak berputus asa Nabi Zakariya patut kita teladani bersama, terutama bagi pasutri yang belum juga dikaruniai buah hati, ia tetap berusaha dan berdoa pada Allah swt.
Wa Allahu A’lam.