Imam As-Suyuthi merupakan seorang ulama yang banyak dirujuk oleh para pemikir Islam setelahnya, baik mutaakhirin maupun kontemporer, terutama dalam diskursus studi Al-Quran. Karya besarnya tentang tema tersebut antara lain kitab Al-Mutawakkili. Kitab ini yang akan diulas dalam tulisan ini.
Karya-karya As-Suyuthi yang lain yang juga cukup terkenal adalah Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, Al-Muhadzdzab fi ma waqa’a fi Al-Quran min Al-Mua’rrab, dan Asrar Tartib Al-Quran dan Mufhamat Al-Aqran fi Mubhamat Al-Quran.
Bisa dikatakan, Imam As-Suyuthi adalah seorang ulama ensiklopedi cum prolifik, yang sama sekali tidak meninggalkan suatu fan ilmu, kecuali ikut berkontribusi dalam menuangkan pandangannya. Misalnya kitab Al-Asybah wa An-Nadhair (ushul fiqh).
Sebagaimana karya-karya Imam As-Suyuthi lainnya, kitab ini menarik sebab—sependek pembacaan saya—belum ada ulama lain yang mengarang karya dengan tema seperti ini. Bahkan ia menulis dua risalah sekaligus dalam mengupas tentang kata serapan dalam Al-Quran, yaitu kitab Al-Muhadzdzab dan kitab Al-Mutawakkili. Namun yang menjadi korpus tulisan ini hanya seputar risalah yang terakhir.
Risalah Al-Mutawakkili adalah kitab kecil yang termasuk pada bagian yang saling terkait dalam tema ulum al-quran, yang menjelaskan bermacam-macam bahasa non-Arab yang digunakan di dalam al-Quran.
Begini tajuk lengkapnya, al-Mutawakkili fii maa warada fi al-Quran bi al-Lughah al-Habasyiyyah wa al-Farisiyyah wa al-Hindiyyah wa al-Turkiyyah wa al-Zanjiyyah wa al-Nabthiyyah wa al-Qibthiyyah wa al-Suryaniyyah wa al-‘Ibraniyyah wa al-Rumiyyah wa al-Barbariyyah. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam Al-Quran dari bahasa Habsyi, Persia, Hindia, Turki, Zanji, Nabth, Qibthi, Suryani, Ibrani, Romawi, dan Barbar.
Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif
Ihwal Penamaan Kitab Al-Mutawakkili
Dalam naskah (pdf) yang dipublikasikan Perpustakaan Universitas Princeton, yang diterbitkan (cetak) oleh Maktabah al-Qudsiy wa al-Buraid, Damaskus, 1348 Hijriah atau 1929 Masehi, tercantum keterangan Imam As-Suyuthi mengenai alasan penamaan kitab belieu tersebut.
Model penamaan kitab Al-Mutawakkili ini juga lazim dipakai oleh kebanyakan ulama klasik. As-Suyuthi menuturkan bahwa penulisan risalah tersebut merupakan permintaan Amirul Mukminin Al-‘Abbasiy Al-Mutawakkil, keturunan paman Nabi Muhammad Saw, Sayyidina Abbas, untuk menghimpun dan mengidentifikasi lafal-lafal dalam al-Quran yang diadopsi dari bahasa selain Arab seperti Habsy, Persia, Koptik dan lain sebagainya.
Sebab itulah, penamaan kitab tersebut dinisbatkan kepada sosok yang meminta beliau untuk menuliskannya, yang tak lain adalah Amirul Mukminin Al-Mutawakkil. Model tersebut terinspirasi oleh Imam Abu Bakr al-Syasyi, yang mengarang sebuah kitab fikih atas perintah Khalifah al-Mustadhir Billah. Lalu kitab itu diberi tajuk al-Mustadhiriy.
Ada pula Imam Haramain. Beliau mengarang dua kitab fikih yang diberi nama masing-masing al-Ghiyatsiy dan al-Nidzamiyyah, merujuk pada sosok gubernur Ghiyats al-Din Nidzam al-Mulk. Lalu Imam Ibn Faurak yang mengarang kitab ushul al-din berjudul al-Ghiyatsiy yang dinisbatkan kepada sosok yang sama dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Baca Juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran
Kontroversi Ta’rib dalam Al-Quran
Seperti bahasa pada umumnya, bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Quran tidak bisa lepas dari saling mempengaruhi dan menyerap dari bahasa asing yang lazim diistilahkan dengan at-ta’rib, arabisasi. Hal tersebut tidak lain disebabkan adanya persinggungan antara bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Sebut satu contoh saja adalah adanya transaksi perdagangan antar bangsa.
Lebih jauh, sejak zaman jahiliyah atau sebelum turunnya Al-Quran, bahasa Arab telah mengalami proses ta’rib. Hal itu dapat dilihat dari bahasa syair-syair jahili. Kendati demikian, keberadaan kosakata serapan dalam Al-Quran yang merupakan kalamullah masih menjadi perdebatan yang panjang di kalangan cendekiawan muslim.
Baca Juga: Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran
Secara garis besar, perbedaan pendapat tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, mereka yang menolak adanya ta’rib dalam Al-Quran seperti Imam As-Syafii, Abu Ubaidah, Qadhi Abu Bakar dan Ibnu Faris. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada firman Allah QS. Yusuf [12]: 2,
إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Kedua, mereka yang berpendapat bahwa ada kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran, tetapi tidak berarti keluar dari kearabannya, sebagaimana kata Arab dalam syair Persia, misal, tidak menjadikannya keluar dari ke-persia-annya. Mereka berargumen dengan firman Allah QS. Ibrahim [14]: 4,
وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٤
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ketiga, Mereka yang mengatakan bahwa ada kesamaan bahasa antara bangsa-bangsa non-Arab ketika itu. Ibnu Jarir, sebagai yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran bukanlah asing dalam arti sebenarnya, namun itu hanyalah fenomena kesamaan bahasa, di mana bangsa-bangsa lainnya juga menggunakannya.
Keempat, mereka adalah golongan yang menengahi ketiga pendapat sebelumnya. Mereka merumuskan bahwa semua kata-kata al-Quran adalah bahasa Arab, termasuk yang telah di-ta’rib, karena kata-kata asing itu telah mengalami arabisasi dan jamak dipakai oleh bangsa Arab jauh sebelum turunnya al-Quran.
Golongan ini juga membagi ta’rib menjadi dua; ta’rib makna (membuat isim Arabiy sebagai ganti isim A’jamiy) dan ta’rib isti’mal (membuat isim A’jamiy menjadi A’rabiy dengan mengikuti pakem pola Arab).
Baca Juga: Mengenal Kamus Fathurrahman, Memudahkan Melacak Kosakata Dalam Al-Quran
Kosakata Mu’arrab dalam Al-Quran
Di antara keempat golongan di atas, Imam As-Suyuthi adalah salah satu ulama yang menempati golongan keempat, yang menjadi penengah. Selanjutnya beliau mengklasifikasi tipologi kosakata mu’arrab berdasarkan bangsa asal kosakata tersebut. Ada sebelas bangsa yaitu, Ethiopia (Habsy), Persia, Romawi, India, Suryani, Ibrani, Nabtain (Lebanon), Koptik, Negro dan Turki serta Barbar.
Klasifikasi tersebut dilakukan Imam As-Suyuthi secara teliti dan mendalam. Beliau bukan hanya mendasarkan klasifikasinya itu pada syair-syair, atau atas persepsi subyektifnya, akan tetapi juga mendasarkan pada keterangan sanad dan riwayat dair para Sahabat, Tabiin, dan generasi-generasi selanjutnya.
Kita sebut beberapa contoh saja. Di antara kosakata al-Quran yang berasal dari Persia adalah Sijjil (QS. Al-Fil [105]: 4), Abariq (QS. Al-Waqiah [56]: 18), Zanjabil (QS. Al-Insan [76]: 17), dan Kafur (QS. Al-Insan [76]: 5).
تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ ٤
بِأَكۡوَابٖ وَأَبَارِيقَ وَكَأۡسٖ مِّن مَّعِينٖ ١٨
وَيُسۡقَوۡنَ فِيهَا كَأۡسٗا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا ١٧
إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ يَشۡرَبُونَ مِن كَأۡسٖ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا ٥
Dari semua riwayat yang tertulis dalam kitab Al-Mutawakkili, kurang lebih 129 kosakata mu’arrab dirangkum oleh Imam As-Suyuthi menjadi sebuah gubahan nazam dalam kitab Al-Muhadzdzab fi Maa Waqa’a fi al-Quran min Al-Mu’arrab. Wallahu a’lam.