BerandaTafsir TematikTafsir AhkamKonsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

Pembahasan mengenai dalil menempati posisi sentral dalam kajian Ilmu usul fikih. Hal ini wajar karena dalil merupakan objek kajian usul fikih. Di samping itu, keberadaan dalil juga sangat diperlukan untuk merumuskan sebuah preskripsi hukum mengenai suatu kasus, sehingga keputusan hukum yang akan dihasilkan memiliki landasan kuat dari sudut pandang syariat.

Pada tulisan ini akan dibahas seputar definisi dalil, klasifikasi dalil, dan legalitas dalil. Dengan memahami konsep mengenai dalil dalam kajian fikih dan usul fikih, diharapkan juga menjadi pengayaan bagi mereka yang menganggap bahwa dalil itu hanya terbatas pada Alquran dan hadis.

Definisi dalil

Secara bahasa, dalil dapat diartikan sebagai petunjuk. Menurut terminologi usul fikih, dalil adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh keputusan hukum syariat operasional melalui proses penalaran yang benar [Ghayah al-Wushul, hal 23]. Dengan pengertian ini, kata dalil atau adillah semakna dengan istilah al-mashadir al-tasyri’iyah dan al-ushul al-ahkam yang kesemuanya dapat diartikan sebagai sumber hukum.

Ada beberapa istilah yang saling bertautan antara satu sama lain ketika membicarakan dalil. Ketiga istilah itu adalah al-dal, al-dalalah dan al-madlul. Al-dal identik dengan dalil. Sedangkan ­al-madlul merupakan kesimpulan yang dihasilkan dari dalil tersebut. Proses kinerja sebuah dalil sehingga bisa menghasilkan sebuah ­al-madlul (kesimpulan) disebut sebagai al-dalalah (dalalah).

Macam-macam dalil

Umat Islam sepakat bahwa Alquran dan hadis merupakan sumber paling asasi dalam memutuskan hukum. Menurut K.H. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Am PBNU, suatu preskripsi hukum akan layak disebut hukum Islam manakala ia bernasab (berkaitan) kepada Alquran dan Hadis, baik secara langsung maupun melalui perantara.

Secara umum, ulama usul fikih mengklasifikasi dalil menjadi dua, yaitu al-adillah al-muttafaq alaiha (dalil-dalil yang disepakati otoritasnya) dan al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil yang masih diperselisihkan otoritasnya). Dalil-dalil yang masuk dalam kriteria pertama adalah Alquran, hadis, ijmak, dan kias. Ulama sepakat (selain kalangan al-dzahiri) bahwa keempat dalil ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses istinbat hukum.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Sementara al-adillah al-mukhtalaf fiha masih menjadi ranah perdebatan ulama mengenai keabsahan dalil-dalil tersebut sebagai acuan dalam merumuskan sebuah keputusan hukum. Dalil-dalil ini biasanya diaplikasikan dalam internal mazhab tertentu dan ditolak oleh mazhab lain, seperti Imam Hanafi dengan istihsannya, Imam Syafi’i dengan istishab-nya, dan Imam Malik dengan maslahat mursalah-nya.

Di antara dalil-dalil yang masuk kriteria kedua ini adalah: Istishab, Istihsan, maslahat mursalah, qaul al-shahabi, uruf, dan syariat umat terdahulu.

Dasar legalitas dari dalil

Agar dalil-dalil tersebut dianggap sahih dijadikan landasan hukum menurut sudut pandang syariat, dibutuhkan semacam legalisasi dari syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Dasar legalitas untuk ber-istidlal menggunakan dalil-dalil di atas adalah firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 59:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا } [النساء: 59]

Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An-Nisa: 59).

Dari ayat di atas, ulama menyimpulkan bahwa taat kepada Allah dan dan Rasul-Nya adalah dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunah. Adapun perintah untuk menaati ulil amri (pemegang otoritas) dimaknai sebagai perintah untuk mengikuti ijmak ulama. Sebab, dalam masalah hukum Islam, merekalah yang diberikan otoritas untuk merumuskan sebuah keputusan hukum. Sehingga mengamalkan ijmak adalah sebentuk pengamalan terhadap perintah menaati ulil amri.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Sedangkan legalitas kias diperoleh dari perintah untuk mengembalikan kasus-kasus al-mutanaza’ fih (kasus yang menjadi ajang perdebatan) kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunah) [Mafatih al-Ghaib, 112-114].

Di samping itu, ayat di atas juga mengindikasikan adanya hierarki antara satu dalil dengan dalil lain. Artinya dalam memutuskan sebuah keputusan hukum, seorang mujtahid harus mencari keterangannya terlebih dahulu di dalam Alquran. Jika tidak menemukan kejelasan dalam Alquran maka ia harus beralih kepada hadis.

Jika dalam dua sumber utama tersebut masih belum menemukan jawaban maka alternatif berikutnya adalah ijmak. Baru setelah itu menerapkan konsep kias untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ada penjelasan hukumnya dalam ketiga sumber di atas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diterapkan oleh para sahabat Nabi dalam beristidlal.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi, diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar r.a. dihadapkan kepada sebuah persoalan, beliau mencari jawabannya dalam kitab Allah. Jika jawabannya ditemukan, maka beliau memutuskannya sesuai dengan keterangan yang beliau dapatkan dalam Alquran.

Namun, jika beliau tidak mendapati jawabannya di dalam Alquran maka beliau mencari jawabannya dalam tuntunan-tuntunan yang diajarkan oleh Rasul (sunah). Jika masih belum ditemukan maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Jika mereka mencapai sebuah kesepakatan maka beliau memutuskan dengannya [Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 10, hal. 196].

Baca juga: Menelusuri Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren di Indonesia

Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sahabat Muadz bin Jabal r.a. pernah ditanya oleh Nabi saw. ketika hendak berangkat ke daerah Yaman untuk menyebarkan Islam. Nabi saw. bersabda:

«كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»،

“Jika dihadapkan sebuah kasus kepadamu maka dengan apa kamu akan memutuskannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Aku akan memutuskannya dengan kitab Allah (Alquran). Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kau temukan jawabannya dalam kitab Allah?” “Maka dengan sunah Rasulullah,” jawab sahabat Muadz. Nabi kembali bertanya, “Jika di dalam sunah Rasulullah masih tidak ditemukan jawabannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dan aku tidak akan main-main dalam ijtihadku.” Rasulullah pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusannya Rasulullah.” (HR. Abu Dawud).

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum ulama sepakat bahwa Alquran, sunah, ijmak, dan kias dapat dijadikan acuan untuk melakukan proses istinbath al-ahkam. Sementara dalil-dalil yang lain seperti istishab, istihsan, uruf  dan seterusnya masih diperselisihkan kehujahannya dan hanya dioperasikan di dalam internal mazhab-mazhab tertentu.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU