Ahmad Rafiq, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang fokus mengkaji studi Living Qur’an, menjadi salah satu akademisi yang mengenalkan teori Sam D. Gill, yaitu dualisme fungsi: informatif dan performatif kitab suci. Dengan teori Gill, Rafiq mengamati masyarakat Banjar dalam disertasinya yang berjudul The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community (2014).
Sam D. Gill sendiri adalah profesor studi agama di Universitas Colorado di Boulder. Banyak karya yang lahir dari tangan emasnya, sehingga ia bisa dibilang sangat produktif. Agama penduduk asli Amerika menjadi fokus karyanya selama ini. Dan belakangan, di umurnya yang ke 80, ia mendedikasikan hidupnya untuk belajar dan mengajar tari. Sebenarnya, minatnya kepada seni tari sudah muncul sejak 1990-an. Dari daerah Eropa hingga Bali dan Jawa, sudah ia singgahi untuk belajar dan mengamati ritual dan tarian. Karya terbarunya, Dancing: Stepping to the Rhythms of Life, membuktikan minatnya tersebut. Mungkin menarik untuk penulis kaji di tulisan selanjutnya mengenai “agama dan tari” itu.
Teori Gill yang dibahas di tulisan sini termaktub dalam sub-bab dari buku The Holy Book in Comparative Perspective (1985). Di awal tulisannya itu, Sam D. Gill mengungkapkan bahwa judul “Nonliterate Traditions and Holy Books” adalah seperti sebuah koan, suatu bentuk teka-teki atau tanya jawab yang hasilnya dapat meruntuhkan tatanan logika dalam tradisi Zen Buddhisme. Dan memang demikian adanya, sebab dua istilah dalam judul sangat bertentangan secara radikal, yaitu bagaimana cara menggabungkan antara “tradisi buta huruf” (yang tidak bisa membaca tulisan) dan “kitab suci” (yang berupa tulisan yang harus dibaca).
Namun, Gill percaya apa yang ia sampaikan akan menuntun para pembaca untuk menemukan kembali agama. Bahwa tidak semua agama, terlebih di masyarakat tradisional, mempunyai kitab suci. Kitab suci adalah teks; dan teks tidak melulu tentang tulisan. Ia bisa berbentuk ucapan atau suara dan tindakan. Oleh sebab itu, Gill menawarkan konsep dua dimensi: horizontal (sebagai data teks dan praktik) dan vertikal (sebagai interpretasi yang informatif dan performatif).
Buta Huruf dan Melek Huruf
Sebelum itu, dalam mendiskusikan masyarakat “buta huruf” dan “melek huruf”, Gill nampak setuju, di satu sisi, terhadap keteguhan masyarakat buta huruf untuk mempertahankan cara komunikasi mereka dan menentang apapun yang berupa kertas dengan garis-garis hitam di atasnya: tulisan.
Penentangan mereka tentunya dilatarbelakangi oleh sejarah penindasan terhadap mereka oleh orang kulit putih yang bisa baca-tulis. Mereka melihat budaya membaca dan menulis sebagai sebuah degradasi dan bahaya komunikasi. Menulis juga dapat menyebabkan kelupaan. Pengetahuan yang utuh tidak diperoleh dari tulisan, melainkan dari pengalaman intim dan transmisi face to face.
Baca juga: Living Qur’an; Melihat Kembali Relasi Alquran dengan Pembacanya
Dari sisi lain, Gill sadar terhadap kritik-kritik yang dilontarkan mereka. Mungkin bagi sebagian orang, bahkan banyak, yang menganggap mereka sebagai atribut negatif dan primitif. Namun, orang juga akan terkejut dan bersimpati atas evaluasi mereka mengenai pentingnya pengalaman langsung dan tanggung jawab untuk mengabadikan tradisi keagamaan. Pun, kita juga disadarkan bahwa di beberapa kasus, apa yang orang buta huruf lakukan dalam liturgi-liturgi bisa jadi lebih emosional daripada orang melek huruf yang hanya menatap kosong tulisan-tulisan di atas kertas.
Gill pada hakikatnya tetap berada di pihak “melek huruf” meskipun secara bersamaan ia juga disadarkan oleh perspektif kritis tradisi “buta huruf”. Penekanan ini berguna tentunya bagi studi mengenai kitab suci dan konsepsi mengenai keterkaitannya dengan agama. Menurut Gill, studi keagamaan kala itu hanya terpaku terhadap sejarah kitab suci (teks) yang ditulis dan ditafsirkan ke dalam bentuk doktrinal, teologis, dan kultural. Bentuk data studi agama yang dipelajari dibatasi begitu ketat, yakni teks (yang berarti tulisan).
Fungsi Informatif dan Performatif
Gill memulai dengan mempertimbangkan kritik masyarakat “buta huruf”, bahwa hakikat kritik mereka tidak serta-merta hanya kepada tulisan, melainkan jauh dari itu adalah dimensi perilaku dan cara berpikir yang didorong oleh struktur teks tersebut. Dimensi-dimensi ini berhubungan dengan aspek kritik, semantik, dan kode bahasa. Dan seyogianya, studi agama merupakan penggalian suatu informasi di dalam teks menggunakan dimensi-dimensi yang disebutkan tadi. Akan tetapi, untuk memperluas kontekstual dan penggunaan data, menurut Gill, dimensi vertikal dibutuhkan dalam hal ini.
Dimensi vertikal didefinisikan sebagai dimensi yang berkaitan dengan pendekatan interpretatif. Pendekatan interpretatif dapat dilakukan melalui dua cara, yakni informatif dan performatif. Dua fungsi ini berkaitan erat dengan dimensi horizontal atau “data” di mana dengannya subjek pembaca memaknai apa yang dikatakan (informatif) dan apa yang dipraktikkan (performatif).
Baca juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq
Untuk lebih memahami bagaimana cara kerja dua dimensi di atas, Ahmad Rafiq menyebutkan empat pola yang dihasilkan dari kombinasi dua dimensi: 1) data teks diinterpretasikan secara informatif; 2) data praktik diinterpretasikan secara informatif; 3) data teks diinterpretasikan secara performatif; dan 4) data praktif diinterpretasikan secara performatif (Living Qur’an: Teks, Praktik, dan Idealitas dalam Performasi Alquran, 2022).
Berkaitan dengan studi Alquran, gagasan Sam D. Gill di sini sesuai dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat Islam tentang bagaimana mereka membaca Alquran, memahami, dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di beberapa daerah terpencil seperti pelosok-pelosok desa, pasti ditemukan banyak muslim yang pada dasarnya “buta huruf”, tetapi “ruh” Alquran hidup (living) di antara tradisi-tradisi mereka.
Baca juga: Tradisi Batamat Alquran di Kalangan Masyarakat Banjar
Bahkan juga pada beberapa kasus, mereka hanya mengamalkannya tanpa tahu alasan di baliknya. Mereka hanya akan bilang bahwa itu sudah turun-temurun dilakukan sejak nenek moyang. Dalam hal ini, fungsi praktik adalah sejajar dengan fungsi teks sebagai penyampai pesan, dan kemudian pesan tersebut diaktualisasikan melalui tindakan yang kontinu.