Pembahasan korupsi juga menjadi salah satu perhatian mufasir Indonesia. Salah satu mufasir yang dimaksud adalah Hamka. Korupsi dalam penafsiran Hamka dibahas dalam satu bab yang merupakan penafsiran dari empat ayat dalam surah Ali ‘Imran [3]: 161-164.
Korupsi dalam penjelasan Tafsir al-Azhar
Pembahasan korupsi dibuka dengan pengertian kata yagulla pada awal ayat 161 yang memiliki arti curang. Korupsi dalam penafsiran Hamka dikaitkan dengan gambaran peristiwa pencurian ganimah sebelum barang tersebut dibagi sama rata. Sesuai dengan konteks tersebut, korupsi dapat diartikan sebagai pengambilan barang secara sembunyi-sembunyi demi kepentingan pribadi (al-Azhar, 2/977).
Dalam konteks ayat 161 ini, Hamka juga menegaskan bahwa pelaku curang dikategorikan sebagai seseorang yang berkhianat, sehingga dalam hal ini tidak mungkin seorang nabi melakukan hal sehina itu. Pernyataan ini muncul diiringi perkataan yang diutarakan oleh salah seorang pasukan Perang Badar. Dia berprasangka bahwa selendang hasil ganimah telah digunakan oleh Nabi Muhammad saw. secara pribadi sehingga selendang tersebut menghilang. Maka dari itu, ayat ini juga menjadi peringatan bagi mereka untuk menghilangkan prasangka terhadap nabi yang melakukan korupsi.
Baca Juga: Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya
Korupsi dalam penafsiran Hamka tidak berhenti pada pendefinisian korupsi itu sendiri. Hamka juga memberikan peringatan bagi perilaku kecurangan tindak korupsi, bahwa tempat mereka adalah seburuk-buruknya tempat kembali yakni neraka jahannam. Hamka juga mengartikan pelaku korupsi ini sebagai perusak, maka mereka akan mendapatkan imbalan setimpal baik di dunia juga di akhirat. Apa pun yang mereka sembunyikan akan terbuka satu persatu.
Setelah ditelisik, korupsi dalam penafsiran Hamka berusaha menyanggah prasangka terhadap nabi dan berusaha memulihkan sikap amanah yang dimiliki nabi. Penafsiran ini berfokus pada penggambaran seberapa lembut dan baiknya Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat.
Nabi Muhammad saw. selalu membagi ganimah sama rata, bahkan nabi akan menyisihkan barang ganimah milik pasukan yang tidak datang pada waktu pembagian. Nabi sebagai pemimpin selalu mengutamakan rakyatnya dibandingkan penderitaan yang dialami oleh dirinya sendiri.
Baca Juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi
Pemaknaan korupsi oleh mufasir Indonesia yang lain
Hamka yang secara khusus menyebutkan kata korupsi dalam tafsirnya, sedikit berbeda dengan beberapa mufasir lain. Beberapa mufasir memahami yagulla tidak langsung dengan korupsi, misal Quraish Shihab, beliau memaknai kata ini dengan ‘pengkhianatan’. Pemaknaan ini dikaitkan dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan kepada masyarakat ataupun kepercayaan antar individu (al-Mishbah, 2/265) sehingga secara tersirat Quraish Shihab memaknai korupsi ini adalah sebuah bentuk pengkhianatan pemimpin pada rakyat demi kepentingan tertentu.
Sementara itu, mufasir sebelumnya, yaitu Mahmud Yunus, menjelaskan bahwa korupsi adalah perilaku curang. Lalu dalam hal ini, Mahmud Yunus mengaitkan ayat ini sebagai petunjuk bagi pemimpin yang diberi tanggung jawab untuk adil dan memelihara apa yang telah dipercayakan pada mereka.
Menurut Mahmud Yunus, tindakan korupsi ini berbanding lurus dengan kualitas iman seseorang. Idealnya, orang yang beriman tidak akan melakukan korupsi, karena dia sadar bahwa segala perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. (al-Qur’an al-Karim, 1/96).
Meminimalisir Tindakan Korupsi
- Musyawarah dalam segala hal untuk meminimalisir prasangka
Cara pertama dapat dilakukan dengan bermusyawarah seperti penjelasan pada surah Ali-‘Imran [3]: 159,
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
“Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan-urusan keduniaan mereka”. Dalam hal ini Hamka bahkan mengaitkan dengan kinerja nabi terdahulu yang selalu menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan sesuai dengan musyawarah bersama para sahabat.
Hamka juga menggambarkan pentingnya penegakan demokrasi sebagaimana yang dilakukan pada zaman nabi dalam memilih pemimpin setempat. Hal ini berfokus pada keterlibatan masyarakat dalam berbagai hal yang nantinya akan meminimalisir terjadinya prasangka kepada pemimpin setempat (al-Azhar, 2/970). Sebab, prasangka merupakan poin awal korupsi dapat terjadi.
- Peningkatan etos kerja
Selanjutnya, peningkatan etos kerja sebagaimana dijelaskan dalam surah at-Taubah [9]: 105,
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Beramallah kamu, maka Allah akan memperhatikan amalan kamu”. Amalan di sini oleh Hamka dikaitkan dengan pemaknaan Q.S. al-Isra’ [17]: 84,
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا
Wahai Muhammad, katakanlah: “Setiap orang akan beramal menurut bakatnya, tetapi Tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan”.
Maksudnya, setiap amalan tersebut dapat berupa bekerja sesuai dengan kemampuan dan bakat mereka masing-masing sehinggga dari sinilah mereka dapat berlomba-lomba untuk meningkatkan etos kerja demi mendapat rezeki yang berkah dari Allah Swt.
Dalam hal ini Hamka memberi penegasan bahwa sebesar dan sekecil apa pun pekerjaan yang kita lakukan jangan pernah sekalipun berlaku curang, sebab Allah swt. akan selalu melihat kita. Sebagaimana pangkal surah at-Taubah [9]: 105, “Kelak kalian akan dikembalikan kepada Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Allah akan mengabarkan kepada kalian semua perbuatan yang telah kalian lakukan di dunia”. Pada hari kiamat jujur atau curangnya mereka tidak dapat disembunyikan lagi. Demikian pesan Hamka dalam tafsirnya. (al-Azhar, 4/3120). Wallah a’lam.
*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi IAT UIN Sunan Ampel, Surabaya