BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir DuniaKritik Sayyid Abdullah al-Ghumari Terhadap Kitab al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an

Kritik Sayyid Abdullah al-Ghumari Terhadap Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an

Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an merupakan salah satu kitab induk dalam bidang kajian ilmu Al-Qur’an. Kitab ini dinilai sebagai rujukan utama dikarenakan kepopulerannya dan seringkali dipandang sebagai kitab yang otoritatif (mu’tabar). Akibatnya, mayoritas kajian terhadap kitab tersebut hanya bersifat apresiatif, dan sedikit sekali yang menggunakan pendekatan kritis dalam mengkaji kitab tersebut. Untuk mengisi kekosongan tersebut, maka melalui artikel ini penulis ingin menyampaikan sebuah kritik konstruktif dari seorang muhaddits asal Maroko yaitu Sayyid Abdullah al-Ghumari.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Sekilas Biografi Abdullah al-Ghumari

Secara nasab, nama Sayyid Abdullah al-Ghumari adalah Abdullah ibn Muhammad ibn Shiddiq ibn Ahmad al-Ghumari. Baik nasab dari ayah maupun ibunya, kedunya merupakan nasab orang-orang mulia. Melalui nasab ayahnya yaitu Sayyid Muhammd ibn Shiddiq al-Ghumari itu bersambung hingga Rasulullah. Sedangkan Nasab dari ibunya, yaitu Fatimah al-Zahra bersambung hingga Ibnu Ajibah al-Hasani, seorang ulama besar pengarang kitab al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, dan Iqadh al-Humam fi Syarh al-Hikam.

Dalam kitab ‘Abdullah ibn al-Shiddiq al-Ghumari: al-Hafidz al-Naqid karya Faruq Jamadah, dijelaskan bahwa Sayyid Abdullah al-Ghumari dilahirkan pada akhir bulan Jumadil Akhir tahun 1328 H/1910 M di kota Tangier, Maroko. Sejak kecil, melalui tarbiyah ayahnya, pada usia 5 tahun, Sayyid Abdullah al-Ghumari sudah mulai menghafal Al-Qur’an melalui riwayat Imam Warsy di al-Kuttab al-Qur’ani. Tidak hanya Al-Qur’an, ia juga menghafalkan beberapa madzumah dan mutun kitab seperti Maurud al-Dham’an, Matn al-Arba’in al-Nawawiyah, al-Jurumiyah, Alfiyah ibn Malik, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam dan Mukhtashar al-Syaikh Khalil ibn Ishaq (fikih maliki).

Setelah itu, Sayyid Abdullah al-Ghumari kemudian melanjutkan rihlah ilmiahnya ke kota Fez, tepatnya di Universitas al-Qarawiyyin. Selama di tempat tersebut, ia belajar ragam keilmuan Islam, mulai dari Nahwu, Fikih, Hadis, Tafsir, Ushul Fikih, dan Mantiq kepada para masyayikh al-Qarawiyyin, seperti Sayyid al-Habib al-Muhaji, al-Muhaddits Muhammad ibn Ja’far al-Kattani, al-Faqih Abi al-Tsana’ al-Shanhaji, al-Allamah al-Husain al-Iraqi, dan masih banyak ulama lainya.

Tidak berhenti disitu, pada tahun 1929 M, Sayyid Abdullah al-Ghumari dengan ditemani saudara-saudaranya yaitu Sayyid Ahmad al-Ghumari, dan Sayyid Zamzami al-Ghumari melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama di al-Azhar, ia berguru kepada beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Mahmud Zahid al-Kautsari, Syaikh Yusuf al-Dijwi, Syaikh Muhammad al-Khadr al-Tunisi, Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti’i, Sayyid Ahmad Rafi’ al-Thathawi, dan Syaikh Abd al-Majid al-Labban.

Setelah hampir 40 tahun berada di Mesir, pada tahun 1970, Sayyid Abdullah al-Ghumari kembali ke Maroko dan mengajar di Zawiyah al-Shiddiqiyah. Sebagai seorang ulama besar yang menjadi pakar di bidang ilmu hadis, tentu ia menjadi rujukan para pelajar ilmu keislaman dari berbagai dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama besar pada masanya yang menjadi murid-muridnya, seperti Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki, Syaikh Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Syaikh Muhammad ‘Awwamah, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Shalih al-Ja’fari, Syaikh Muhammad Ali al-Murad, dan masih banyak lainya

Baca Juga: Mengenal Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dan Kitabnya, al-Qawaid al-Asasiyah fi Ulum al-Qur’an

Guru dari para ulama besar ini wafat pada usia 85 tahun, bertepatan dengan hari kamis tanggal 19 Sya’ban 1413 H/11 Februari 1993 M di Tangier, Maroko. Jasad Sayyid Abdullah al-Ghumari dikebumikan di Zawiyah al-Shiddiqiyah, berdampingan dengan makam ayahnya.

Selama hidupnya, kritikus Al-Itqan ini memiliki banyak karya tulisan dalam berbagai ragam bentuk fan keilmuan Islam, salah satunya adalah tentang kajian ulum al-Qur’an. Dalam bidang ulum al-Qur’an, al-Ghumari menulis 7 kitab, yaitu al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan, Bida’ al-Tafasir, Bayan al-Shahih al-Aqawil fi Tafsir Ayah Bani Israil, Taudhih al-Bayan li Wushul Tsawab al-Qur’an, Dzauq al-Halawah bi Bayan Imtina’ Naskh al-Tilawah, al-Ru’ya fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Minhah al-Ra’uf al-Mu’thi bi Bayan Dla’f Wuquf al-Syaikh al-Habthi.

karya al-Ghumari yang mengkritik Al-Itqan-nya As-Suyuthi
karya al-Ghumari yang mengkritik Al-Itqan-nya As-Suyuthi

Kritik Sayyid Abdullah al-Ghumari

Dalam mengkritik kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 1505 M), al-Ghumari menyampaikan kritiknya dengan menulis sebuah kitab yang berjudul al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan. Kitab al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan ini dicetak oleh penerbit Maktabah al-Qahirah, Mesir. Dalam cetakan tersebut, kitab ini tersusun sebanyak 63 halaman, mulai dari sampul buku, mukaddimah, isi pembahasan hingga daftar isi.

Secara umum, karena Sayyid Abdullah al-Ghumari merupakan seorang pakar hadis (muhaddits), maka pendekatan yang digunakan untuk mengkritik kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an adalah pendekatan ilmu hadis. Sehingga kritik yang disampaikan tidak jauh dari pembahasan shahih tidaknya sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi. Oleh karena itu, dalam karya ini, kritik yang diberikan lebih berkutat pada aspek kritik sanad dan kritik matan dari sebuah riwayat.

Kemudian, terkait latar belakang mengapa Sayyid Abdullah al-Ghumari menulis kritik ini, tidak lain dikarenakan memang ada beberapa riwayat yang bermasalah dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, namun Imam al-Suyuthi lupa untuk memberikan peringatan atau keterangan atas riwayat yang bermasalah tersebut. Selain itu, dalam mukaddimahnya, al-Ghumari juga menyampaikan bahwa banyak ditemukan dari kalangan orientalis yang sengaja menggunakan riwayat-riwayat yang bermasalah tersebut untuk mengkritik Al-Qur’an.

Dari total 80 subab pembahasan yang terdapat dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Sayyid Abdullah al-Ghumari hanya memberikan kritik terhadap 18 subab pembahasan, sebagaimana rincian berikut: (1) Ma’rifah al-Makki wa al-Madani [bab 1]; (2) Ma’rifah al-Hadhari wa al-Safari [bab 2]; (3) Ma’rifah Sabab al-Nuzul [bab 9]; (4) ma Nazala Mufarraqan wa ma Nazala Jam’an [bab 13]; (5) ma Unzila minhu ‘ala Ba’d al-Anbiya’ [bab 15]; (6) fi Kaifiyah Inzalihi [bab 16]; (7) fi Ma’rifah Asma’ihi wa Asma’ Suwarihi [bab 17]; (8) fi Jam’ihi wa Tartibihi [bab 18]; (9) fi ‘Adad Suwarihi wa Ayatihi [bab 19]; (10) fi Ma’rifah Huffadzihi wa Ruwwatihi [bab 20]; (11) fi Adab Tilawatihi [bab 35]; (12) fi Ma’rifah al-Wujuh wa al-Nadha’ir [bab 39]; (13) fi Naskhihi wa Mansukhihi [bab 47]; (14) fi Wujuh Mukhathabatihi [bab 51]; (15) fi Kinayatihi [bab 54]; (16) fi al-’Ilm al-Mustanbathah min al-Qur’an al-Karim [bab 65]; (17) fi ma Waqa’a fi al-Qur’an [bab 69] dan (18) fi Thabaqat al-Mufassirin [bab 80].

Baca Juga: Membaca Urgensi Konteks Al-Qur’an dari Tiga Karya Fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Ambil contoh misalnya dalam bab fi Jam’ihi wa Tartibihi, Imam al-Suyuthi menyampaikan sebuah riwayat yang berasal dari Ikrimah, sebagaimana berikut:

عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: لَمَّا كَانَ بَعْدَ بَيْعَةِ أَبِيْ َبَكْرٍ، قَعَدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ فِيْ بَيْتِهِ، فَقِيْلَ لِأَبِيْ بَكْرٍ: قَدْ كَرِهَ بَيْعَتَكَ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: أَكَرِهْتَ بَيْعَتِيْ؟ قَالَ: لَا وَاللهِ، مَا أَقْعَدَكَ عَنِّيْ؟ قَالَ: رَأَيْتُ كِتَابَ اللهِ يُزَادُ فِيْهِ، فَحَدَّثْتُ نَفْسِيْ أَلَّا أَلْبِسَ رِدَائِيْ إِلَّا لِصَلَاةٍ حَتَّى أَجْمَعَهُ.

“Dari Ikrimah, berkata: usai pembaiatan Abu Bakar, Ali ibn Abi Thalib duduk di rumahnya (tidak ikut hadir dalam pembai’atan), kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: Ali tidak suka untuk berbai’at padamu. Maka Abu Bakar mengutus seseorang kepadanya, kemudian Abu Bakar bertanya: Apakah engkau benci untuk berbai’at kepadaku? Ali berkata: Tidak, demi Allah. Kemudian Abu Bakar bertanya: Apa yang membuatmu tidak bisa hadir? Ali menjawab: Aku melihat kitab Allah (Al-Qur’an) telah ditambahi, maka aku bertekad dalam hati untuk tidak mengenakan selendangku kecuali untuk sholat, hinga aku dapat menghimpun kitab Allah tersebut.”

Sayyid Abdullah al-Ghumari menyatakan bahwa riwayat tesebut munqathi (terputus) dan tidak shahih. Hal ini dikarenakan Ikrimah belum pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Selain itu, al-Ghumari juga menilai ucapan Ali ibn Abi Thalib terkait adanya penambahan terhadap Al-Qur’an itu tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan pembai’atan Abu Bakar tersebut dilakukan hanya berselang dua hari pasca wafatnya Nabi Muhammad. Padahal di era saat ini, setelah 14 abad lamanya, Al-Qur’an masih otentik, tidak ada penambahan maupun pengurangan sedikit pun.

Kemudian, Sayyid Abdullah al-Ghumari juga mengkritik pembahasan bab Ma’rifah al-Hadhari wa al-Safari. Dalam memberikan contoh ayat yang turun pada saat Rasulullah sedang bepergian (al-Safari), al-Suyuthi mencantumkan QS. al-Rum [30]: 1-5. Namun, al-Suyuthi mengutip pendapat al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa kata ghulibat al-rum (غُلِبَتِ الرُّوْمُ) pada ayat kedua, dibaca ghalabat al-rum (غَلَبَتِ الرُّوْمُ) dengan cara mengfathahkan huruf lam. Menurut al-Ghumari, pendapat al-Tirmidzi tersebut merupakan qira’at yang syadzah dan menyalahi qira’at mutawatirah. Secara hukum, qira’at syadzah ini tidak diperbolehkan dibaca ketika shalat.

Contoh terakhir, dalam subab pembahasan ma Nazala Mufarraqan wa ma Nazala Jam’an, al-Ghumari mengkritik riwayat dari Ibnu Mas’ud tentang proses turunya QS. al-Mursalat secara sekaligus, sebagaimana berikut:

فَفِيْ الْمُسْتَدْرَكِ عَنْ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ص.م فِيْ غَارٍ، فَنَزَلَتْ عَلَيْهِ: (وَالْمُرْسَلَتِ عُرْفًا)، فَأَخَذْتُهَا مِنْ فَيْهِ وَإِنّ فَاهُ رَطَّبَ بِهَا، فَلَا أَدْرِيْ بَأَيِّهَا خَتَمَ: (فَبِأَيِّ حَدِيْثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُوْنَ) [المرسلات: 50]. أَوْ: (وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ ارْكَعُوْا لَا يَرْكَعُوْنَ) [المرسلات: 48]

“Dalam kitab al-Mustadrak, dari Ibnu Mas’ud, berkata: Kami pernah bersama Nabi saw. di sebuah gua, maka turunlah (ayat) kepadanya: wa al-mursalat ‘urfa. Maka aku mendengarkan surat ini secara langsung dari Nabi, dan sesungguhnya mulutnya basah dengan surat tersebut. Maka saya tidak mengetahui dengan ayat manakah surat ini diakhiri: fa bi ayyi hadits ba’dahu yu’minun (al-Mursalat: 50) atau wa idza qila lahum irka’u la yarka’un (al-Mursalat: 48)”

Menurut al-Ghumari, kalimat fala adri bi ayyiha khatama merupakan sebuah kalimat tambahan yang munkar. Hal ini dikarenakan dalam Shahih al-Bukhari riwayat Ibnu Mas’ud tidak ada tambahan kalimat tersebut. Dan akhir QS. al-Mursalat yang benar adalah ayat ke-50 bukan ayat ke-48. Selain itu, al-Ghumari juga mengkritik uraian al-Suyuthi yang menyatakan bahwa QS. al-An’am itu diturunkan secara sekaligus (jam’an). Padahal riwayat yang dijadikan landasan oleh al-Suyuthi adalah riwayat yang dha’if (lemah). Sehingga, yang benar adalah QS. al-An’am itu diturunkan secara berangsur-angsur (mufarraqan) sebagaimana mayoritas surah-surah Al-Qur’an lainya.

Hal yang demikianlah yang membuat al-Ghumari menilai bahwa Imam al-Suyuthi dalam hal ini perlu diberikan kritik, dikarenakan telah mengutip dan menampilkan sebuah riwayat yang bermasalah, tanpa adanya keterangan/peringatan atas pengutipan riwayat bermasalah tersebut. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...