BerandaTafsir TematikBanyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

Banyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

Ada pribahasa yang sudah dikenal banyak orang yaitu ”malu bertanya sesat di jalan”. Pribahasa tersebut menganjurkan kita untuk tidak segan bertanya mengenai sesuatu yang belum jelas. Al-Quran juga menganjurkan kita untuk bertanya kepada ahlinya sebagaimana Firman Allah QS. Al-Anbiya [21]: 7 “maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui”. Akan tetapi, ternyata ada ayat Al-Quran yang berisi larangan bertanya, tepatnya larangan banyak bertanya.

Ayat Al-Quran yang dimaksud adalah Firman Allah QS. Al-Maidah [5]: 101. Berikut bunyi ayat dan terjemahnya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, (justru) at kan menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika al-Qur’an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu, Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. (QS. Al-Mā`idah [5]: 101).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

Berbagai riwayat seputar surah Al-Maidah Ayat 101

Menurut al-Maraghi di dalam Tafsīr al-Marāghī (juz 7, halaman 40) ayat tersebut memberikan arahan kepada orang-orang mukmin tentang larangan banyak bertanya kepada Nabi Muhammad SAW agar pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak menjadi sebab bertambahnya beban syariat yang akan memberatkan orang mukmin.

Dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 4622 diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengolok-olok Nabi Muhammad SAW. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad SAW “siapakah bapakku?” dan sebagain yang lain berkata “dimanakah untaku?” Maka Allah menurunkan ayat tersebut (HR. Bukhari). Pertanyaan semacam ini dilontarkan oleh orang-orang munafik yang ingin mengolok-olok Nabi Muhammad SAW. Sedangkan khitob (sasaran bicara) dalam ayat tersebut adalah orang-orang beriman.

Hal ini menurut Ibn ‘Asyūr di dalam Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr (juz 7, halaman 66) dimaksudkan sebagai peringatan bagi orang-orang beriman mengenai larangan banyak bertanya kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang ditanyakan oleh munafik yang memang tujunnya adalah untuk mengolok-olok Nabi Muhammad SAW.

Menurut Ibn Kaṡīr di dalam Tafsīr Ibn Kaṡīr (juz 3, halaman 203) bahwa ayat tersebut merupakan pendidikan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya dan larangan untuk bertanya mengenai sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini karena jika dijelaskan mengenai hal tersebut bisa jadi menjadi keburukan dan memberatkan bagi orang mukmin yang mendengarnya.

At-Tabari di dalam Jāmi’ al-Bayān (juz 11, halaman 104) menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi Muhammad mengenai haji. Ketika diturukan ayat mengenai haji orang-orang bertanya “wahai Rasulullah, apakah kami haji setiap tahun? “. Rasulullah SAW diam. Orang-orang kembali memgulang lagi pertanyaan tersebut dan Rasulullah SAW akhirnya menjawab “tidak. Demi Allah, jika aku berkata “iya” niscaya wajib bagi kalian untuk haji setiap tahun.”

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Tafsir surah Al-Maidah ayat 102

Ayat selanjutnya memberi penjelasan tentang alasan tentang larangan banyak bertanya mengenai ketentuan syariat. Ayat tersebut adalah

 قَدْ سَأَلَهَا قَوْمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوا بِهَا كَافِرِينَ

sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang meanyakan hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir (QS. Al-Mā`idah [5]: 102).

Al-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyāf  (juz 1, 684) berkata bahwa Bani Israil banyak meminta fatwa kepada nabi-nabi mereka tentang banyak hal namun ketika mereka diperintah, mereka kemudian mengingkarinya dan karena itulah akhirnya mereka celaka.

Al-Quran sendiri mengisahkan Bani Israil yang banyak sekali bertanya ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi.

Mereka berkata “mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu”. Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak musa, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”

Mereka berkata ““mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya”. Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orang-orang yang memandang(nya.”

Mereka berkata “mohonkan kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. Karena sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kamu, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.” Dia (Musa) menjawab “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang belum dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.”

Mereka berkata, “sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya dan nyaris nereka tidak melaksanakan (perintah) itu. (QS. Al-Baqarah [2]: 68-72).

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Berdasarkan kisah Bani Israil tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang terus dilontarkan oleh mereka membuat kriteria sapi betina yang harus disembelih semakin sulit dicari. Padahal bisa saja seandainya Bani Israil bergegas untuk  melaksanakan perintah menyembelih sapi betina tersebut, niscaya akan jauh lebih mudah mendapatkan sapi betina untuk disembelih. Apa yang dilakukan Bani Israil justru membuat perintah Nabi Musa sulit dilaksanakan dan berat bagi mereka.

Jadi, ada beberapa poin penting yang dapat diambil dari penafsiran QS. Al-Māidah ayaṭ 101-102 antara lain:

  1. Jangan banyak bertanya mengenai perintah syariat yang hanya akan mempersulit kita dalam melaksanakan perintah tersebut. Apalagi sampai membuat kita enggan melakukan perintah tersebut. Lakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
  2. Tidak diperkenankan bertanya mengenai sesuatu yang meskupun dijawab tidak memberi manfaat apapun kepada kita. Apalagi pertanyaan tersebut bertujuan untuk menguji atau mengolok-olok orang yang kita beri pertanyaan.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Adib Falahuddin
Adib Falahuddin
Mahasiswa S2 Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU