BerandaTafsir TematikMakna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

Makna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa makna istri terkadang menggunakan lafadz imra’ah maupun zaujah. Apakah lafadz imra’ah dan zaujah itu berbeda? Bagaimana perbedaan di antara keduanya? Mari kita analisis perbedaan kedua lafadz tersebut.

Pertama, imra’ah. Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur, kata imra’ah diartikan perempuan, yang menunjukkan perempuan dewasa. Selain itu, dalam Al-Qur’an ada yang menggunakan imra’ah bermakna istri yang tidak seideologi dan tidak ada kecocokan dalam pemikiran, seperti istri Nabi Nuh, Nabi Luth, dan Fir’aun. Sebagaimana pemaknaan imra’ah dalam QS. At-Tahrim [66]: 10

 …..ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ

Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth...

Pada QS. At-Tahrim [66]: 10 makna istri tidak menggunakan lafadz zaujah, tetapi menggunakan lafadz imra’ah. Di dalam kitab Tafsir Muyassar dijelaskan bahwa Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang kafir kepada Allah dan Rasulnya, seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth.

Baca Juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran

Kedua istri tersebut adalah dua istri bagi hamba yang saleh (istri nabi). Tetapi, mereka mengkhianati suaminya dengan menghalang-halangi dari jalan Allah dan malah istri Nabi Nuh dan Luth menolong orang-orang kafir dari golongan mereka. Sehingga kedudukan mereka sebagai istri nabi tidak ada manfaatnya dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka bersama orang-orang kafir dan fasik.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Nuh dan Nabi Luth berbeda keimanan dengan istrinya. Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak beriman kepada Allah SWT.. Sedangkan Nabi Nuh dan Nabi Luth beriman kepada Allah SWT..

Selain itu, firman Allah SWT. dalam QS. Al-Qasas [28]: 9

وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ

“Dan istri Fir’aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu…”

Dalam QS. Al-Qasas [28]: 9, pemaknaan istri juga menggunakan lafadz imra’ah. Dalam kitab Ma’alim al-Tanzil karya Al-Baghawi diceritakan bahwa Ketika Fir’aun dikalahkan Nabi Musa, istrinya itu beriman dan ketika Fir’aun mengetahui istrinya beriman, maka kedua tangan dan kaki istrinya dipasak dengan 4 pasak dan dijemur di bawah terik panas matahari.

Baca Juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

Tapi, kenapa dalam pemaknaan istri pada Nabi Zakaria dan istrinya menggunakan lafadz imra’ah? Kenapa tidak menggunakan zaujah? Yang notabene antara Nabi Zakaria dan istrinya telah sama-sama beriman, sepemikiran, dan seideologi. Mengapa demikian?

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Maryam [19]: 5

وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا

“…padahal istriku (istri Nabi Zakaria) seorang yang mandul…”

Dalam Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab bahwa Nabi Zakaria sangat khawatir terhadap kerabatnya yang tidak dapat menangani urusan agama dengan baik, setelah nantinya Nabi Zakaria meninggal dunia.  Kemudian Nabi Zakaria berdoa seraya berharap kepada Allah SWT., mengadu dengan-Nya supaya dianugerahi keturunan. Setelah itu, Allah mengabulkan harapan dan dianugerahi seorang anak yaitu Nabi Yahya.

Dengan demikian, mengapa istri Nabi Zakaria menggunakan lafadz imra’ah padahal keduanya sama-sama beriman kepada Allah SWT. adalah karena adanya masalah kemandulan (belum mempunyai keturunan/ dianugerahi anak oleh Allah SWT.).

Setelah Allah mengabulkan permintaan Nabi Zakaria, maka pemaknaan istri dalam tidak lagi menggunakan lafadz imra’ah, tetapi menggunakan lafadz zaujah. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 90

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung)…”

Dari beberapa ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa penggunaan lafadz imra’ah dalam Al-Qur’an dimaknai sebagai istri yang tidak sepemikiran, seiman, dan seidelogi. Selain itu, imra’ah dimaknai sebagai istri yang mandul (tidak memiliki keturunan) meskipun memiliki kecocokan dalam agama maupun seiman.

Baca Juga: Inilah Beberapa Perempuan yang Disinggung dalam Al-Quran

Kedua, zaujah. Menurut Raghib Al-Ishfahani dengan karyanya, Mufradat fi Gharib Al-Qur’an penggunaan lafadz zaujah bermakna dua hal yang sama-sama berpasangan, misalnya pria dan wanita. Sehingga penggunaan lafadz zaujah dalam Al-Qur’an diartikan sebagai perempuan yang menjadi istri (pasangan hidup) dan memiliki ideologi, keimanan, dan pemikiran yang sama.

Selain itu, timbul adanya rasa cinta kasih dan keharmonisan di dalam hubungannya dan istri tersebut dapat memberikan keturunan (anak), seperti istri Nabi Muhammad saw.. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Ahzab [33]: 59

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin…”

Selain itu, terdapat juga pada firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah [2]: 35

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ

“Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga…”

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa Allah memberikan kehormatan yang dianugerahkan kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat bersujud kepadanya, lalu mereka bersujud kecuali iblis. Allah mempersilahkan Adam dan istrinya untuk bertempat tinggal di surga dan boleh makan apa saja dengan leluasa sesuai yang dia kehendaki. Sehingga pada ayat ini, dalam Al-Qur’an menggunakan lafadz zaujah. Karena Nabi Adam dan istrinya termasuk sebagai orang yang sama-sama beriman dan memiliki kecocokan dalam pemikiran.

Wallahu a’lam bishowab.

Fina Izzatul Muna
Fina Izzatul Muna
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bisa disapa di @fina.muna_
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU