Sebuah manuskrip mengungkapkan sebuah relasi yang harmonis antara budaya dan agama. Kertas tua dengan tulisan tangan ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kode yang diambil adalah NB 817. Beberapa teks menghuni naskah setebal 40 halaman ini. Tembang macapat menyatukan mereka dalam harmoni.
Cover adalah kertas cokelat dengan tulisan “hadis” dalam aksara Jawa dan diletakkan di dalam buah Maja. Namun halaman buku yang nampak modern muncul setelah cover cokelat ini. Ia tidak ditulis dalam kertas lokal nusantara seperti daluwang atau lontar. Bukan pula kertas dari Eropa. Halaman kertas putih muncul dengan garis lintang dan bujur yang membentuk kotak-kotak. Ingatan membawa kita pada buku latihan matematika saat sekolah dasar di tahun 90-an.
Baca Juga: Inilah Daftar Karya Tafsir dan Terjemah Al-Quran Berbahasa Jawa dengan Huruf Carakan
Beberapa teks lain menempati manuskrip ini. Dimulai dari wejangan terkait menjaga anak yatim, janda, dan orang miskin (Sinom 4 bait, h. 16-17), hak Allah dan hak hamba (Sinom, 5 bait, h. 17-19), tanda-tanda kekuasaan Allah (Pangkur, 16 bait, h. 19-25), tafsir Q.S. al-Isra [17]: 13-14 (Pangkur, 14 bait, h. 25-30), dan terakhir tentang memuliakan tamu (Artati, 14 bait, h. 30-37).
Dalam semua topik yang dibahas, rujukan terhadap hadis selalu dilakukan. Jelas karena kesatuan inilah pada sampul halaman kita melihat kitab ini dinamai hadis, dan pada awal tulisan kitab ini disebut kutipan hadis. Yaitu, ini adalah tembang ajaran agama Islam dalam banyak topik yang utamanya merujuk pada hadis Rasulullah dan hadis Qudsi.
Pertanyaan muncul di kepala, kapan semua teks dalam wujud tembang dengan beragam topik ini digubah?
Jawaban ditemukan pada kolofon di halaman akhir dari 37 halaman yang ditulisi
Titi ing tondhana gurat* ing dintěn
salasa kliwon tanggal 11 Běsar 1880
utawi Surya kaping 4 Oktoběr 1949
*(Pada naskah: “garat”. “Ga” tidak diwulu. Namun menurut saya ini kesalahan tulis untuk “gurat” yang artinya menuliskan)
Terjemahan:
Catatan atas penanda penulisan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 11 Besar 1880.
Adapun penanggalan solar, pada 4 Oktober 1949.
Pada tahun 1949, seorang menuliskan ajaran Islam, diantaranya berisi tafsir Al Fatihah, dan rujukan terhadap hadis dengan aksara Jawa. Menarik! Pada halaman pertama teks, penggubah kitab menuliskan dengan jelas bahwa kitab ini adalah tafsir Q.S. Al Fatihah [1]: 1-7.
/1/Pethikkan Hadis
Tapsirre ayat: 1 bismillahhir
rohmannirrohim. lan: 2 alha
mdulillahhi robbil ‘alamin. Tuměka
satammatte.
Terjemahan:
Kutipan hadis
Tafsir ayat 1 bismillahir rahmanir rahim dan 2 Alhamdu lillahi rabbil alamin hingga selesai.
Semakin menarik karena tafsir ini dituliskan dalam bentuk tembang macapat. Tafsir ini ditempatkan pada 15 halaman. Halaman yang cukup panjang untuk jenis teks puisi. Lebih tepatnya dalam satu pupuh Asmaradana dan dalam 47 bait (pada), tembang tafsir al-Fatihah digubah.
Pupuh I Asmaradana
1
miwitti kalawan muji
asmaning Allah ta‘ala
kang murah ing donya mangko
lan kang asih ing akhirrat
marang mukmin sadaya
mangkono ing tafsirripun
iku ayat al-Basmallah
2
satuhu bangět wigati
ngandhut těgěs luwih jěmbar
anadhene wigatine
luwih kidhik tiněrangna
sabdane Rasulullah
mangkene ing dhawuhipun
saběn-saběn pagateyan
Terjemah
1
memulai dengan puji
asma Allah ta‘ala
Yang dermawan di dunia ini
dan Yang pengasih di akhirat
kepada seluruh mukmin
ini adalah tafsir
ayat basmallah tersebut
2
penting sekali diperhatikan
mengandung makna lebih luas
adapun maknanya
sedikit sekali diterangkan
Rasulullah bersabda
demikian sabdanya
tiap-tiap keadaan
Dua bait membuka tafsir basmallah bagi 12 bait panjang tafsir ayat ini saja. Didalamnya kita melihat betapa penggubah memahami betul tafsir surah pembuka ini. Meski dalam bentuk puisi, penggubah memasukkan rujukan kepada hadis-hadis Rasulullah yang menjelaskan makna ayat ini. Dari hadis Abu Hurairah (bait 2-5) tentang setiap tindakan yang mengandung “wigati” harus diawali dengan basmallah, hadis Anas (bait 6-9) terkait posisi spiritual dari basmallah yang dapat melindungi pembacanya dari penglihatan jin dan malaikat, serta hadis terkait pewahyuan al-Qur’an dimulai dengan basmalah (bait 10-12).
Dari Arab ke Jawa, dari Al Quran ke Macapat
Naskah ini melengkapi kajian tentang bagaimana masyarakat Jawa, sejak awal Islam datang hingga masa modern, berusaha menjadikan pemahaman terhadap bahasa Arab al-Qur’an mudah. Bahasa Jawa dipilih karena dia bukan hanya sesuai dengan bahasa masyarakat penulisnya, namun juga karena pemahaman agama ini harus dibumikan di masyarakat. Oleh karena itu, tembang macapat dipilih wadah baru bagi cahaya dari pesan-pesan Al-Qur’an. Wadah yang sangat mudah dinikmati bagi masyarakat Jawa kala itu. Wadah yang menjadikan ayat-ayat ini bisa dilagukan dan ditembangkan dalam berbagai kesempatan. Wadah yang wujudnya sangat membumi.
Baca Juga: Isyarat Ilmiah dalam Peristiwa Mikraj dalam Pembacaan Bisri Musthofa
Tentu mengubah bentuk pesan dari satu bahasa asal menuju bahasa tujuan sudah merupakan tantangan tersendiri. Bahasa Arab yang sangat kaya pemaknaan (ambiguity) di satu sisi, diubah menjadi bahasa Jawa yang maknanya relatif fixed meskipun sangat mudah dijadikan alegori baru (bahasa pasěmon).
Hal ini ditambah rumitnya aturan metrum macapat. Setiap bait memiliki jumlah larik tertentu (guru gatra), jumlah suku kata tertentu (guru wilangan), dan bahkan akhiran huruf vokal tertentu (guru lagu). Dalam konteks ini, bukan hanya penggubah harus memperhatikan menyusun kata yang mampu memenuhi aturan-aturan tersebut, namun juga dia harus mengusahakan makna yang muncul dari bentuk puisi ini tidak keluar dari apa yang hendak disampaikannya. Namun itu semua justru menunjukkan kejeniusan penggubah dalam bidang seni.
Selain itu, tembang macapat tafsir ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Muslim (baca: Jawa) tidak mengenal sikap antipati terhadap wujud ekspresi kebudayaan untuk ajaran agama, bahkan untuk Kalamullah, al-Qur’an. Apalagi tembang macapat tidak bisa dipisahkan dari bayangan bahwa dia digubah untuk dinyanyikan. Paling tidak untuk penggubahnya, dalam berbagai kesempatan di saat ingin mengingat makna al-Fatihah, maka tembang di atas bukan hanya dibaca namun juga dilantunkan.
Terakhir, naskah ini juga menunjukkan bahwa kaum santri di Jawa tidak hanya menulis dalam aksara pegon. Banyak sekali manuskrip menunjukkan keberadaan keduanya dalam catatan-catatan santri. Namun narasi kolonial, misalnya dari Pigeaud, menggambarkan seakan keduanya saling bertentangan dalam basis pengguna dan konten yang dituliskan. Namun sayang sekali, aksara Jawa dan Pegon hari ini dalam masyarakat Jawa bahkan masyarakat santri mulai ditinggalkan. Dampaknya semakin dikhawatirkan ribuan manuskrip kita tidak bisa diakses oleh masyarakat. Hanya narasi kolonial tentang pemecahan kelompok yang menetap di pikiran kita.
Betapapun untuk saat ini kajian kritis terhadap naskah ini penting dilakukan. Kita perlu mengungkap bagaimana tafsir ini disusun dan bagaimana “suara” sang penyair penting dalam menentukan makna ayat-ayat suci al-Qur’an. Demikian!