Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [3]: Menghormati Jiwa Hingga Menjaga Alam

Maqashid Al-Quran Al-Karim
Maqashid Al-Quran Al-Karim

Kita tiba pada maqashid Al-Quran yang ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh dari ayat-ayat perang. Lima maqashid dari ayat perang yang tersisa ini antara lain menghormati setiap jiwa, menjaga kehormatan diri, memelihara harta, menghormati Hak Asasi Manusia dan menyelamatkan alam dari kerusakan serta setiap hal yang mendukung kelimanya.

Hifz al-Nafs wa Tatwir Wasail Istikmalih

Al-Quran mengajarkan manusia untuk menghormati setiap jiwa yang hidup (Al-Maidah: 32). Melegalkan “hak individu” untuk meniadakan jiwa yang hidup akan berlawanan dengan ajaran tersebut. Dengan demikian, ayat: faqtulu al-mushrikin haytsu wajadtumuhum… tidak bisa ditafsirkan sebagai hak individu setiap Muslim untuk melegalkan pembunuhan atas orang-orang non-Muslim di setiap tempat di mana mereka dijumpai.

Surat At-Taubah ayat 5
Surat At-Taubah ayat 5

Ketika seorang Muslim berkewarganegaraan Indonesia menafsirkan ayat tersebut dengan tanpa mengontekstualisasikan dengan kultur Indonesia, maka sejatinya ia tidak melaksanakan tuntunan Al-Quran untuk “meningkatkan—dan tentunya menjaga— dirinya sendiri”. Bagaimana tidak, seseorang yang tertangkap basah membunuh orang lain hanya karena berbeda agama akan dihadapkan pada mahkamah konstitusi dengan tuduhan tindak pidana.

Pada kasus ini, ia justru menjerumuskan dirinya pada ifsad al-nafs yang seharusnya dihindari oleh siapa pun. Bahkan dalam ayat qisas ketika ditawarkan hukuman bunuh bagi siapa saja yang membunuh, Allah juga mengenalkan tindakan lain untuk kasus yang sama, yaitu memaafkan. Tindakan yang dapat dikatakan bertolak belakang dengan praktik bunuh itu sendiri. (Al-Baqarah: 179)

Memaafkan merupakan salah satu maqam dari kesempurnaan jiwa dan tidak semua orang dapat melakukannya, khususnya untuk kasus- kasus berat semisal menghilangkan nyawa seseorang. Inilah—menurut penulis—alasan lain, mengapa dalam ayat tersebut, kata “memaafkan” diletakkan  setelah tawaran  qisas, dan bukan sebelumnya. Karena tingkat kesempurnaan seseorang yang membalas kekerasan dengan kekerasan, tentulah masih berada di bawah tingkat iktimal dari mereka yang memaafkan. Oleh karena itu, kata-kata qatl perlu ditafsirkan dengan lebih “lembut”, mempertimbangkan maqasid  al-Qur’an dalam konteks hifz al-nafs wa al-sa‘y ‘ala ikmalih.


Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan


Hifz al-‘Irdh wa Tatwir Wasail li al-Husul ‘alayh

Dalam bahasa Indonesia, al-‘Irdh dapat dimaknai dengan kehormatan. Mengembangkan semua hal yang dapat menjaga kehormatan seorang Muslim sebagai manusia dan sebagai penganut ajaran Islam adalah sebuah keharusan bagi yang mengimani Al-Quran. karena  maqashid keempat dari Al-Quran adalah hifz al-‘irdh wa tatwir wasailih.

Dari sisi maqashid Al-Quran keempat ini, deradikalisasi penafsiran ayat-ayat “bunuh” menjadi sebuah kebutuhan. Dengan menafsirkan qatl dengan membunuh, lagi-lagi kita akan dibenturkan pada dua realita berat. Pertama, jika kita memaksakan makna “membunuh” dengan sebenar-benarnya, maka kita akan terjebak pada kemungkinan untuk “meninggalkan” perintah Al-Quran. Dengan kata lain, kita hanya menerima perintah Al-Quran dalam tataran ide, dan bukan pada kehidupan riil yang dijalani sehari-hari. Pada titik ini, kita “menanggalkan” ‘irdh sebagai seorang Muslim dengan meninggalkan perintah kitab sucinya.

Kedua, kita melaksanakan “perintah” Al-Quran dengan membunuh dan memerangi semua non-Muslim yang dapat kita temui. Jika itu yang dilakukan, maka otomatis kita akan menjadi seorang kriminal dengan pidana pembunuhan. Itu artinya, kita telah merusak ‘irdh sebagai seorang warga negara yang baik.

Surat At-Taubah ayat 29
Surat At-Taubah ayat 29

Menghadapi dua pilihan berat tersebut, deradikalisasi penafsiran atas ayat sayf mendapatkan tempatnya. Kita tetap melaksanakan perintah Al-Quran dan juga tetap menjadi manusia yang “baik” dengan meyakini bahwa qatl yang ada dalam ayat tersebut tidak selalu harus “dibaca” sebagai perintah untuk membunuh dan atau memerangi dalam bentuk langsung dalam konteks masyarakat Indonesia yang damai. Sebaliknya, ia bisa ditafsirkan dengan penafsiran yang lebih sesuai dengan konteks keindonesiaan saat ini, dengan mempertimbangkan konteks realitas saat ayat tersebut diturunkan.


Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [2]: Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi


Hifz al-Mal wa Tanmiyatuh

Hifz al-mal wa tanmiyatuh, merupakan poin kelima dari maqashid Al- Quran yang juga harus diperhatikan dalam tawaran deradikalisasi penafsiran. Kendati sekilas seperti tidak ada hubungan antara penafsiran “radikal” atas sebuah ayat dengan pengembangan ekonomi seseorang, namun tidak demikian realitanya. Menerima begitu saja penafsiran “radikal” sama artinya dengan mengamini bom-bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Islam-nya sebagai yang paling benar.

Di saat yang sama, kenyataan bahwa bom bunuh diri selalu tidak hanya menyasar orang-orang yang dianggap “halal dibunuh”, tapi juga warga-warga lain yang ternyata beragama Islam, perlu dipertimbangkan. Jika mereka yang terbunuh adalah “tulang punggung” keluarganya, maka membunuh mereka sama dengan merusak harta dan ekonomi seluruh keluarga tersebut. Belum lagi jika dilihat dari kacamata yang lebih luas, pemaknaan radikal tersebut juga akan membatasi ruang gerak ekonomi umat Islam.

Surat At-Taubah ayat 36
Surat At-Taubah ayat 36

Jika Al-Quran memerintahkan untuk membunuh seluruh orang non- Muslim yang ditemui di manapun mereka berada, tentunya tidak akan pernah ada izin untuk saling bertransaksi dengan mereka. Dalam konteks keindonesiaan saat ini, dan dunia kontemporer secara umum, akan sangat sulit untuk membatasi diri hanya untuk bertransaksi dengan orang-orang Muslim. Sekali lagi, penafsiran untuk membunuh semua orang non-Muslim layak untuk “dijinakkan”.


Baca Juga: Tafsir Maqashidi: Sebuah Pendekatan Tafsir yang Applicable untuk Semua Ayat


Hifz al-Huquq al-Insaniyah wa ma Yandarij Tahtaha

Hak Asasi Manusia (HAM) yang didefinisikan oleh Jack Donnelly dalam Universal Human Rights in Theory and Practice sebagai hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu karena ia dilahirkan sebagai manusia, dan bukan lantaran diberikan oleh sebuah masyarakat ataupun hukum positif di mana ia tinggal, merupakan salah satu tujuan utama yang diusung Al- Quran sejak ia diturunkan.

Menafsirkan ayat-ayat sayf sebagai pe-nasakh salah satu maqashid Al-Quran yang diajarkan oleh ayat-ayat lain yang berjumlah lebih banyak, pantas untuk dipersoalkan. Membunuh seorang non-Muslim karena ia non-Muslim sama artinya dengan memaksakan ajaran Islam.

Dalam konteks Indonesia yang berpenduduk dengan keyakinan lebih dari satu, penafsiran ayat sayf tersebut menjadi tidak masuk akal. Kebebasan orang Islam untuk menerapkan agamanya akan selalu dibatasi oleh kebebasan orang non-Muslim untuk melaksanakan keyakinannya (Hurriyat al-mar’i mahsurah bi hurriyah ghayrih).

Karenanya, menjadi Muslim yang baik di Indonesia bukan berarti harus menjadi anti Pancasila, UUD ’45, atau segala aturan yang membentuk NKRI, dengan alasan menerapkan penafsiran “radikal” akan ayat-ayat sayf. Kerukunan umat beragama di Indonesia akan bermasalah jika setiap penganut agama tidak memperhatikan hak-hak orang lain terkait dengan agama yang mereka anut. Untuk itu, pembacaan kritis atas tafsir-tafsir klasik khususnya yang ditulis bukan dalam konteks keindonesiaan, menjadi pilihan dalam upaya deradikalisasi penafsiran.


Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur


Hifz al-‘Alam wa Tatwir ‘Imaratiha

Maqashid Al-Quran yang ketujuh tidak bisa dikesampingkan dibanding dengan keenam   maqashid sebelumnya. Dalam proses deradikalisasi penafsiran Al-Quran aspek ‘imarat al-‘alam juga harus dijadikan pertimbangan. Peperangan dan pembunuhan selalu saja menggunakan berbagai jenis senjata penghancur yang tidak hanya memusnahkan manusia, tetapi juga merusak alam. Padahal, salah satu visi manusia di dunia adalah sebagai khalifah yang seharusnya memakmurkan bumi, bukan merusak dan menghancurkannya.

Ketika efek dari perang dan pembunuhan tidak baik bagi kelangsungan alam, sepantasnyalah perang dan pembunuhan itu tidak dianjurkan dengan mudah. Gagasan dan konsep yang mendorong pada terjadinya perang atau pembunuhan, harus dikendalikan dengan baik. Salah satunya adalah dengan menderadikalisasikan penafsiran terkait dengan ayat- ayat yang “menyugesti” umat untuk melakukan peperangan dan pembunuhan atas “yang lain”. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk “menggantikan” pilihan bunuh atau perang tersebut.

Surat At-Taubah ayat 41
Surat At-Taubah ayat 41

Slogan la tuqawwam al-afkar illa bi al-afkar (sebuah pemikiran harus dihadapi dengan pemikiran) harus diaktualisir dalam menghadapi gejolak perbedaan, dan bukan dengan tindak anarkis yang justru merusak identitas keagamaan, dan juga alam sekitar. Karenanya Al-Quran menyebut zahar al-fasad fi al-barr wa al-bahr bima kasabat ayd al-nas, dan bukan bima kasaba afkar al-nas. Ini menunjukkan bahwa apa yang dengan mudah dapat dipikirkan dalam wacana gagasan dan ide, tidak selalu dapat dipraktikkan dalam alam realita.

Menafsirkan ayat-ayat yang memerintahkan “kekerasan” mungkin akan terasa mudah sebagai wacana, namun realita yang dihadapi oleh kaum Muslim tentunya tidak mengamini hal itu. Oleh karena itu, membenturkan otoritas realita terhadap teks wahyu dan mempertemukan otoritas teks terhadap realita—taslits al-waq’ ‘ala al-nashsh wa taslits al-nashsh ‘ala al-waqi‘— menjadi suatu hal yang niscaya untuk dilakukan, sebagaimana pernah disuarakan oleh Hasan Hanafi dalam Al-Wahy wa Al-Waqi’. Umat Islam saat ini sekali-kali tidak hanya hidup dalam kumparan teks, tapi juga dalam dunia global yang sedikit banyak berbeda dengan masa ketika Al-Qur’an diturunkan.

Wallahu A’lam