BerandaUlumul QuranMaqasid al-Qur'an Perspektif ‘Abd al-Karim Hamidi

Maqasid al-Qur’an Perspektif ‘Abd al-Karim Hamidi

Maqasid al-Qur’an merupakan kajian lama yang hingga kini masih menjadi perhatian penting bagi ulama kontemporer. Banyak ulama yang menjadikan maqasid al-Qur’an sebagai kajian yang tidak terpisah dari maqasid al-shari’ah. Tentunya, dua kajian ini memiliki konsep yang berbeda.
Definisi maqasid al-Qur’an adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dengan diturunkannya Alquran untuk mencapai kemaslahatan dan menolak kerusakan. Sedangkan maqasid al-shari’ah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dari ditetapkannya syariat untuk kemaslahatan manusia. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa maqasid al-shari’ah merupakan kajian tentang hukum yang sumber utamanya adalah Alquran, sedangkan maqasid al-Qur’an merupakan kajian yang lebih umum dari maqasid al-shari’ah yang membahas tentang tempat kembalinya hukum Islam. Sehingga, dapat dikatakan bahwa maqasid al-Qur’an merupakan dasar dari maqasid al-shari’ah, dan semua maqasid al-shari’ah kembalinya pada maqasid al-Qur’an.
Dua kajian ini kemudian memunculkan tren baru dalam studi Alquran yang disebut dengan tafsir maqasidi. Pada umumnya, tafsir ini berusaha membaca isu-isu yang terjadi di era kontemporer dan memposisikan Alquran sebagai kitab suci umat Islam, yang salih li kulli zaman wa makan. Sehingga, umat Islam dituntut untuk senantiasa mengembangkan pikirannya agar dapat memahami dan menafsirkan ayat Alquran secara kreatif dengan menyesuaikan konteks yang terjadi sekarang.

Baca juga: Ḥannân Laḥḥâm: Aktivis Perempuan, Pegiat Tafsir Virtual, dan Pengarang Kitab Maqâṣid al-Qur’ân al-Karîm 

Para ulama telah berusaha merumuskan definisi dan pembagian dari maqasid al-Qur’an yang tertulis dalam karya-karyanya. Tentu, terdapat perbedaan pendapat dalam perumusan tersebut. Namun dari perbedaan itu, definisi yang ditawarkan oleh ulama tetap bermuara pada satu hal yang sama yakni maqasid al-Qur’an merupakan inti atau pokok dari ajaran Alquran yang abadi. (Ulya Fikriyati, Maqāsid Al-Qur’ān: Genealogi dan Peta Perkembangannya Dalam Khazanah Keislaman, ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, Vol. 12 No. 2, 2019, 211)

Biografi ‘Abd al-Karim Hamidi

Setelah kitab Maqāṣid al-Qur’ān al-Karīm, karya Ḥannān Laḥḥām yang membahas tentang maqasid al-Qur’an berdasarkan katalogisasi tema ayat al-Qur’an terbit, muncul tokoh lain yang memberikan kontribusi dalam merumuskan teori maqasid al-Qur’an. Beliau adalah ‘Abd al-Karim Muhammad al-Tahir Hamidi, atau yang lebih dikenal dengan Abd al-Karim Hamidi, yang lahir di Setif, Aljazair pada tahun 1958 M.
Sebagai peletak dasar teori maqasid al-Qur’an, Hamidi berhasil menuangkan pemikirannya dalam dua karya monumental yakni al-Madkhal ila Maqasid al-Qur’an dan Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam. Berdasarkan riwayat pendidikannya, ulama yang lahir di Aljazair ini menuntaskan pendidikan doktoral pada bidang fikih dan ushul fikih di Universitas al-Amir ‘Abdul Qadir, Qusnathunah. Sehingga tak heran apabila beliau menulis banyak karya dari berbagai disiplin ilmu seperti dalam bidang fikih, Alquran, dan lain sebagainya.
Adapun karya tulis lain yang tidak kalah menarik dari dua karya sebelumnya yaitu seperti, Manhaj al-Qur’an fi Tashri’i al-Ahkam, Maqasid al-Qur’an fi Tahqiqi Silahi al-Insan, al-Ba’du al-Ijtima’i fi al-Khitabi al-Qur’ani, Dawabit fi Fahmi al-Nas, dan lain-lain. (‘Abd al-Karim Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 685-686)

Konsep Maqasid al-Qur’an Menurut ‘Abd al-Karim Hamidi

Kata maqasid berasal dari kata kerja قَصَدَ – يَقْصُدُ – قَصَدًا – وَمَقْصَدًا yang memiliki arti maksud atau tujuan. Sedangkan kata قَصَدَ dalam Alquran menurut Hamidi dapat ditemukan pada beberapa tempat yang kebanyakan mengandung makna al-istiqamah, al-tawassuth, dan al-i’tidal. Seperti pada lafaz aqsid dalam surat Luqman ayat 19 yang bermakna tawassuth yang berarti seimbang antara cepat dan lambat. Pada lafaz qasdu yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 9, yang bermakna istiqamah di jalan Allah, serta pada lafaz muqtasid dalam surat Luqman ayat 32 yang bermakna adil dalam janji.
Sedangkan makna maqasid secara istilah menurut Hamidi adalah al-Ghayah wa al-Hadf yang berasal dari kamus bahasa ahli hukum, yang berarti maksud dan tujuan. Dalam hal ini beliau mengaitkannya dengan maksud dan tujuan yang diinginkan syari’ (Allah) dari diberlakukannya hukum syariat yang telah ditetapkan.
Berdasarkan definisi di atas, Hamidi menyimpulkan maqasid al-Qur’an adalah tujuan yang diturunkan Alquran untuk tercapainya kemaslahatan manusia. Definisi yang disampaikan Hamidi ini tampak sederhana dan global serta lebih mengarah pada maqasid al-shari’ah. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 18-22)

Pembagian Maqasid al-Qur’an Menurut ‘Abd al-Karim Hamidi

Dalam kitabnya, Hamidi membagi maqasid al-Qur’an menjadi 3, yakni maqasid ammah, maqasid khassah, dan maqasid juz’iyyah. Pembahasan dalam maqasid ammah mencakup seputar makna dan hikmah dari keseluruhan Alquran yang terdiri dari al-salahu al-fardi (kemaslahatan individual), al-salahu al-ijtima’iyy (kemaslahatan sosial kemasyarakatan), dan al-silahu al-‘alamiyy (kemaslahatan universal).
Maksud dari al-silahu al-fardi adalah terwujudnya kemaslahatan bagi individu. Adanya kebaikan dunia tergantung pada kebaikan masyarakatnya atau individu didalamnya. Oleh sebab itu, tujuan Alquran untuk mencapai kebaikan individu adalah dengan adanya pemeliharaan terhadap akal, jiwa, dan pemeliharaan terhadap tubuh. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 53-54)
Adapun maksud dari al-silahu al-ijtima’i>yy adalah terwujudnya kebaikan bersama atau masyarakat. Terjadinya interaksi dalam masyarakat memungkinkan terjadinya perselisihan antar sesama. Oleh karena itu, mengatur hubungan ini secara baik merupakan hal yang penting untuk kelangsungan hubungan masyarakat. Untuk itu, Alquran datang dengan syariat yang bertujuan untuk mencapai maslahat. Pada maqasid ini Hamidi membaginya menjadi 3, yakni tujuan perbaikan keluarga, harta, dan sanksi atau hukum. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 253-254)

Baca juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur
Sedangkan maksud dari al-silahu al-‘alamiyy adalah tercapainya kebaikan universal. Dasar dari pembentukan dunia adalah masyarakat yakni manusia yang ada di dunia itu, apabila masyarakat diperbaiki, maka sudah pasti akan menimbulkan dampak baik pada dunia atau alam semesta. Dalam hal ini, Hamidi membaginya menjadi 2, yakni tujuan memperbaiki syariat dan tujuan memperbaiki politik. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 511-512)
Selanjutnya untuk pembahasan maqasid khassah, mencakup seputar makna dan hikmah yang berkaitan dengan ditetapkannya syariat, seperti perbaikan akal, jiwa, raga, keluarga, harta, hukuman atau sanksi, politik, dan hukum. Adapun maqasid al-juz’iyyah mencakup makna dan hikmah yang berkaitan dengan hukum yang ditujukan pada orang-orang tertentu dan berhubungan dengan hukum individu, seperti tujuan dari wudhu, tayamum, menghadap kiblat, salat, dan lainnya. (Hamidi, Maqasid al-Qur’n min Tashri’i al-Akam, 47-50)
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kitab al-Madkhal ila Maqasid al-Qur’an dan Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam karya Hamidi menjelaskan bahwa maqasid al-Qur’an adalah tujuan penurunan Alquran untuk tercapainya kemaslahatan manusia. Hamidi membaginya ke dalam 3 bentu, yakni maqasid ammah, khassah, dan juz’iyyah.
Dalam kaitannya dengan maqasid al-shari’ah, Hamidi menyebutkan ada hubungan di antara keduanya. Menurutnya, Alquran memuat banyak asul-usul maqasid dan pelengkapnya, seperti maqasid al-shari’ah ammah, khassah, dan juz’iyyah. Oleh sebab itu, Hamidi dalam mendefinisikan maqasid al-Qur’an mirip dengan konsep maqasid al-shari’ah. Wallahu a’lam[]

Lidya Karmalia
Lidya Karmalia
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Peminat kajian Alquran dan tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...