BerandaUlumul QuranMembincang Islam dan Evolusi, "Gak Bahaya Tah?"

Membincang Islam dan Evolusi, “Gak Bahaya Tah?”

Tentang hubungan antara Islam dan evolusi, kita tidak terlalu asing mendengar atau pun membaca beberapa karya yang relevan. Tapi tengok “anak judul” buku itu: Ghazali dan Paradigma Evolusi Modern. Bagi yang akrab dengan sosok dan pemikiran Imam al-Ghazali, tidak mustahil akan bertanya-tanya: “Apa urusan Imam al-Ghazali dengan evolusi?” Shoaib Ahmed Malik, Penulis buku ini, menyadari kemungkinan munculnya pertanyaan seperti itu. Tapi dia bergegas menyatakan: “Penelitian (buku) ini bekerja dengan dasar pemikiran bahwa sejarah intelektual Islam merupakan gudang ilmu yang bisa digunakan untuk menelaah isu-isu terkini.” Jadi, kita ikuti saja bagaimana Shoaib menggunakan teologi Asy’ariyah lewat salah satu tokoh terkemukanya, yakni Imam al-Ghazali, untuk menelaah salah satu isu terkini yaitu evolusi.

Namun, sebelum ke Imam al-Ghazali dengan teologi Asy’ariyah-nya, kita dudukkan dulu beberapa perkara: apa itu teori evolusi, serta bagaimana pola relasi antara Islam dan evolusi yang terekam sebelum buku karya Shoaib ini ada. Saya sendiri, ingatan atau pengetahuan pertama tentang evolusi itu adalah penyataan ini: “Manusia berasal dari kera.” Pernyataan itu ternyata merupakan pandangan populer. Pada perkembangannya, evolusi acap dianggap sama dengan ateisme, naturalisme, marxisme, komunisme, nihilisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, sekularisme, saintisme, dan serupa itu. Sederet isme yang mengiringinya itu, yang belum tentu ada hubungannya, menjadikan evolusi yang merupakan teori saintifik murni kerap dihindari untuk dibahas secara mendalam dan serius.

Baca juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56

Lalu, apa sebenarnya teori evolusi itu? Evolusi adalah teori biologi yang menyatakan bahwa semua kehidupan saling terhubung melalui bio-historis dan menempatkan kita semua dalam “pohon kehidupan”. Artinya, entitas biologi yang lebih baru merupakan derivasi dari entitas biologi sebelumnya. Mutasi acak dan seleksi alam adalah sebab yang menghasilkan proses evolusi. Dari beragam bukti ilmiah yang sudah ditemukan, evolusi menyatakan bahwa manusia tidak dikecualikan dalam proses ini. Dengan kata lain, manusia tidak tiba-tiba muncul seketika. Manusia ikut mengalir dalam alur dunia biologis lainnya. Teori evolusi antara lain menyatakan bahwa manusia lahir dari proses seleksi alam dan memiliki leluhur yang sama (common ancestor) dengan spesies lain seperti simpanse.
Lantas seperti apa posisi pemikir Muslim terkait teori evolusi? Tercatat ada empat: Pertama, kreasionisme. Ia sepenuhnya menolak teori evolusi. Kata kelompok ini, segala sesuatu, mulai dari makhluk tidak hidup hingga makhluk hidup seperti manusia, diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan. Tokoh Muslim penyokong posisi ini antara lain adalah Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, Mazaffar Iqbal, dan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Kedua, eksepsionalisme manusia. Menurut posisi ini, evolusi itu berlaku untuk semua organisme kecuali manusia. Manusia tidak lahir dari proses evolusi, tetapi dari penciptaan Tuhan sebagaimana yang dinarasikan oleh Alquran. Tokoh yang mengajukan pandangan ini antara lain Yasir Qadhi dan Nazir Khan.

Ketiga, eksepsionalisme Adam. Posisi ini menerima teori evolusi dalam porsi yang lebih besar dari posisi sebelumnya. Menurut posisi ini, prinsip-prinsip evolusi seperti leluhur borsama, seleksi alam, dan mutasi genetik juga berlaku untuk manusia, kecuali Adam. Alquran menjelaskan secara gamblang penciptaan Adam sehingga seorang Muslim tidak mungkin mengingkarinya. Namun, di saat yang sama, Alquran tidak momberikan penegasan atau pun penolakan terhadap ide bahwa sudah ada manusia di muka bumi sebelum Adam diturunkan dari surga. David Solomon Jalajel, penyokong pandangan ini, menyebut Alquran memiliki sikap abstain (tawaqquf) terhadap keberadaan manusia sebelum Adam. Sikap abstain Alquran ini memberi ruang bagi teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia memiliki hubungan kekerabatan dengan seluruh organisme yang ada atau pun pernah ada di dunia—yang mendahulai keberadaan Adam.

Keempat, tanpa pengecualian. Posisi ini menerima secara total teori evolusi: ia berlaku untuk semua organisme tanpa kecuali. Organisme non-manusia, manusia, bahkan Adam sendiri adalah bagian dari rangkaian besar proses evolusi. Narasi Alquran tentang penciptaan Adam tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi perlu ditafsir secara metaforis karena bertentangan dengan teori ilmiah yang memiliki bukti empiris. Tokoh Muslim yang mengajukan pandangan ini antara lain Rana Dajani, Mohamad Iqbal, dan Nidhal Guessoum.

Baca juga: Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia

Lalu di mana posisi Shoaib? Dia lebih mendukung posisi eksepsionalisme Adam. Bagi Shoaib, posisi ini secara hermeneutika paling dapat dipertanggungjawabkan dalam usaha mendekatkan Islam dengan teori evolusi. Tapi ada yang lebih menarik dari posisi Shoaib terhadap teori evolusi. Yaitu kerangka teologi dan hermeneutika yang dikembangkan oleh Shoaib dalam membangun posisi itu. Ia menggunakan frame (teologi) Asy’ariyah melalui salah satu tokoh utamanya, yakni Imam al-Ghazali. Apa yang di awal dikatakan sebagai pertanyaan bernada kebingungan: “Apa urusan teologi Asy’ariyah dengan teori evolusi?”, justru di saat sama merupakan daya tarik utama buku ini.
Ada beberapa prinsip yang berkaitan dengan evolusi: naturalisme, peluang, inefisiensi, desainer intelegen, kejahatan dan penderitaan, serta moralitas objektif. Maksudnya, teori evolusi “melahirkan” prinsip-prinsip turunan tersebut. Kita ambil satu sebagai contoh, yaitu naturalisme, lalu bagaimana Shoaib menyikapi prinsip tersebut menggunakan teologi Asy’ariyah di tangan al-Ghazali. Kompatibelkah ajaran teologis Asy’ariyah dalam “racikan” Imam al-Ghazali dengan prinsip naturalisme?
Secara ontologis, naturalisme merupakan pandangan bahwa yang nyata hanyalah alam ini sendiri. Tidak ada apa pun di luar alam ini. Secara epistemologis, naturalisme adalah pandangan yang menganggap bahwa segala hal ihwal dapat dijelaskan dengan merujuk pada proses-proses alamiah semata, tidak dibutuhkan satu pun keterlibatan supranatural dalam hal tersebut. Seperti terbaca, naturalisme bertabrakan dengan keyakinan agama apa pun tentang semesta. Jika demikian, bagaimana teologi Asy’ariyah di tangan al-Ghazali bisa sejalan dengan prinsip naturalisme?

Shoaib mendudukkan persoalan ini. Sangat penting, menurut Shoaib, untuk membedakan antara dua tipe naturalisme. Naturalisme filosofis, metafisis, atau ontologis memang berimplikasi pada penolakan terhadap keberadaan entitas supernatural. Naturalisme filosofis menolak keberadaan Sang Pencipta, malaikat, kehidupan setelah kematian, dan seterusnya. Yang ada hanya alam di bumi, alam yang terbatas dimensi ruang dan waktu. Tidak mungkin mencari jawaban lain. Sementara itu, naturalisme metodologis mengatakan bahwa para ilmuwan hanya fokus pada fenomena alam. Mereka tidak berupaya mengaitkannya dengan supernatural. Dalam ungkapan lain, dalam payung naturalisme metodologis, sains secara ketat terbatas pada ranah metodologi saja ketika meneliti tentang alam dan meninggalkan pertanyaan terkait entitas supernatural.

Baca juga: Tafsir Kemanusiaan Syekh Abdul Latif Syakur

Maka itu, naturalisme metodologis adalah sebuah epistemologi atau sebuah posisi metodologis. Sehingga dengannya seseorang bisa percaya Tuhan dan menjadi ilmuwan sekaligus—hal yang tidak bisa terjadi dalam ranah naturalisme filosofis. Dipandang melalui prisma naturalisme metodologis, Tuhan tidak harus dikesampingkan dari alam sehingga memungkinkan penafsiran ramah teistik mengenai evolusi seperti intelligent design atau evolusi teistik. Sampai di sini dapat disimpulkan pula bahwa prinsip naturalisme yang tidak berbenturan dengan teologi Asy’ariyah adalah naturalisme metodologis, bukan naturalisme filosofis.
Lalu bagaimana Shoaib mendamaikan teologi Asy’ariyah lewat tangan Imam al-Ghazali dengan prinsip-prinsip turunan teori evolusi lainnya seperti prinsip peluang, inefisiensi, desainer intelegen, kejahatan dan penderitaan dan moralitas objektif? Silakan dibaca sendiri bukunya.Di sini saya hanya ingin menyebut dua poin: Pertama, seperti telah disebutkan, Shoaib dengan pisau teologis-hermeneutis Asy’ariyah-nya mendukung posisi eksepsionalisme Adam. Artinya, bagi Shoaib, semuanya diciptakan melalui proses evolusi, kecuali Adam (dan Hawa). Sebetulnya, pemikiran metafisis (teologis) Asy’ariyah yang dikembangkan Imam al-Ghazali kompatibel dengan empat posisi terkait evolusi, yaitu: kreasionisme, pengecualian manusia, pengecualian Adam, dan bahkan tanpa pengecualian. Hanya saja secara hermeneutis teologi Asy’ariyah-nya Imam al-Ghazali tidak menerima posisi keempat (tanpa pengecualian). Dari pemetaan secara metafisis dan hermeneutis itu, Shoaib sepemikiran dengan David Solomon Jalajel, yakni mengambil posisi pengecualian Adam. Artinya, khusus untuk Adam berlaku posisi kreasionisme.

Kedua, lalu seperti apa formula yang dikembangkan Shoaib sehingga sampai pada posisi “pengecualian Adam”? Posisi ini, seperti telah disinggung, dibangun lewat mekanisme hermeneutika, sebab secara metafisika (teologis), Asy’ariyah-nya Imam al-Ghazali pun kompatibel dengan posisi “tanpa pengecualian” (semua ‘lahir’ melaui evolusi). Begini formula hermeneutikanya: Posisi ini, sebagaimana telah disinggung di awal, menerima teori evolusi dalam porsi lebih besar dari posisi sebelumnva. Dalam posisi ini, prinsip-prinsip evolusi seperti leluhur bersama, seleksi alam, dan mutasi genetik juga berlaku untuk manusia, kecuali Adam. Kenapa Adam dikecualikan? Karena Alquran menjelaskan secara gamblang penciptaan Adam sehingga seorang Muslim tidak mungkin mengingkarinya. Namun, di saat sama, Alquran tidak memberikan penegasan atau pun penolakan terhadap ide bahwa sudah ada manusia di muka bumi sebelum Adam diturunkan dari surga. Menurut pandangan ini, Alquran tidak memiliki sikap terhadap keberadaan manusia sebelum Adam. Sikap abstain Alquran ini memberi ruang bagi teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia memiliki hubungan kekerabatan dengan seluruh organisme yang ada atau pun pernah ada di dunia—yang mendahului keberadaan Adam.
Terakhir. Di luar apresiasi atas usaha mendialogkan atau mengintegrasikan agama dan sains yang dilakukan Shoaib ini, saya sepemikiran dengan Taufiqurrahman, dosen Fakultas Filsafat UGM dan Direktur Antinomi Institute for Science, Philosophy and Religion, dalam “Pengantar Ahli” untuk buku Islam dan Evolusi ini, bahwa sejatinya teori evolusi merupakan teori ilmiah, ia bersifat tentatif. Upaya integrasi agama dan sains bisa berbahaya bagi agama itu sendiri. Jika doktrin agama dipaksa kompatibel dengan teori ilmiah, doktrin agama mau tidak mau harus direvisi jika teori ilmiah itu mengalami perubahan. Jika demikian, membincang Islam dan evolusi, meminjam bahasa orang-orang sekarang yang lagi ngetren, “Apa gak bahaya tah?”

Abad Badruzaman
Abad Badruzaman
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU