BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranTradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia

Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia

Sebuah hadis dla‘if dalam riwayat Al-Tirmidzi yang didukung cerita-cerita israiliyat menyebutkan bahwa iblis pernah memberikan ‘wahyu’ kepada Hawa untuk menamakan putranya dengan ‘Abd al-Harits. Al-Harits sendiri merupakan panggilan populer dari para malaikat untuk iblis sehingga secara harfiah, ‘abd al-harits berarti ‘seorang hamba iblis’.

Hawa pun menerima ‘wahyu’ iblis tersebut dan menamakan putranya dengan ‘Abd al-Harits. Diceritakan bahwa, sebelumnya, Hawa telah beberapa kali mengandung tetapi tak satu pun dari kandungan tersebut yang lahir dan hidup hingga kelahiran ‘Abd al-Harits, yang namanya di-‘wahyu’-kan oleh iblis.

Baca juga: Israiliyat dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Menurut Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir, kendati berstatus dla‘if, riwayat ini dijadikan pegangan (i‘timad) oleh beberapa mufasir Alquran terdahulu, termasuk Al-Suyuthiy, penulis Tafsir al-Jalalain. Al-Zuhailiy sendiri menukil penjelasan ini dalam tafsir rangkaian surah Al-A‘raf [7] ayat 189-193 yang menerangkan penciptaan manusia.

Sekilas, hal ini seolah menunjukkan bahwa Adam dan Hawa telah berlaku syirik dengan mengiyakan ‘wahyu’ iblis. Namun menurut Hasan al-Bashriy, redaksi ja’l (ja’alaa) pada ayat 190 yang merujuk pada Adam dan Hawa sebagai subjek dimaksudkan pada keturunan keduanya yang berlaku syirik, yakni Yahudi dan Nasrani. Tafsir ini didukung oleh Ibn Katsir dengan berpegang pada isyarat redaksi isyrak (yusyrikun) di akhir ayat yang menggunakan shigah al-jam‘.

Terlepas dari ke-dla‘if-an riwayat dan pro-kontra di atas, rangkaian ayat ini memiliki posisi yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia sebagai pijakan amaliah menghadapi kehamilan dan kelahiran, yang notabene bagian dari siklus ‘krisis’ kehidupan manusia. Bagi masyarakat Jawa secara khusus, amaliah tersebut dinamakan tingkeban.

Tradisi tingkeban dan filosofinya

Clifford Geertz dalam Agama Jawa menjelaskan bahwa tingkeban merupakan selametan (acara keagamaan yang bersifat komunal) utama yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan. Tingkeban menjadi salah satu dari ragam bentuk selametan yang digelar sepanjang masa kehamilan hingga kelahiran. Bentuk selametan lainnya seperti babaran atau brokohan untuk kelahiran itu sendiri, pasaran untuk lima hari pascakelahiran, dan telonan untuk bulan ketiga di masa kehamilan.

Bagi masyarakat Jawa lain, tradisi tingkeban juga dikenal dengan istilah mitoni yang praktiknya tidak hanya diselenggarakan bagi kehamilan anak pertama, tetapi umum pada setiap kehamilan bulan ketujuh. Selain itu juga dikenal istilah ngapati untuk selametan bulan keempat masa kehamilan, yang merujuk pada riwayat peniupan ruh dalam tahapan penciptaan manusia.

أنَّ خَلْقَ أحَدِكُمْ يُجْمَعُ في بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِينَ يَوْمًا أوْ أرْبَعِينَ لَيْلَةً، ثُمَّ يَكونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يَكونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يُبْعَثُ إلَيْهِ المَلَكُ فيُؤْذَنُ بأَرْبَعِ كَلِماتٍ، فَيَكْتُبُ: رِزْقَهُ، وأَجَلَهُ، وعَمَلَهُ، وشَقِيٌّ أمْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يَنْفُخُ فيه الرُّوحَ

“Penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama 40 hari atau 40 malam, kemudian menjadi segumpal darah 40 hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging 40 hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia, kemudian Allah meniupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari)

Baca juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

Ayat yang menjadi mahal al-syahid (titik fokus) dari rangkaian surah Al-A‘raf di atas adalah ayat ke 189,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْها زَوْجَها لِيَسْكُنَ إِلَيْها فَلَمّا تَغَشّاها حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفاً فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللهَ رَبَّهُما لَئِنْ آتَيْتَنا صالِحاً لَنَكُونَنَّ مِنَ الشّاكِرِينَ.

“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menjadikan pasangannya agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Kemudian, setelah ia mencampurinya, dia (istrinya) mengandung dengan ringan. Maka, ia pun melewatinya dengan mudah. Kemudian, ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, “Sungguh, jika Engkau memberi kami anak yang saleh, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Di ayat ini, disebutkan bahwa setelah Hawa mengandung (hamalat) dan kandungan tersebut berangsur-angsur membesar (atsqalat), maka Adam dan Hawa pun berdoa (da‘awaa) demi keselamatan (shalihan) bayi yang akan dilahirkan.

Bagi masyarakat Jawa, diksi tsiqal yang secara harfiah berarti berat dipahami sebagai tuanya usia dan besarnya kandungan yang dimiliki, yang kemudian diterjemahkan sebagai tujuh bulan. Kemudian diksi do‘a yang berarti panggilan atau doa merupakan permohonan yang lantas terimplementasi dalam wujud tradisi tingkeban.

Ayat yang dibaca dan resepsinya

Pada praktik penyelenggaraan tradisi tingkeban atau selametan kehamilan, terdapat sejumlah ayat dan atau surah dari Alquran yang dibaca selama prosesi selametan. Di suatu daerah misalnya, dibacakan surah Al-Fatihah [1], Al-Syarh [94], Al-Qadr [97], dan ayat kursi (surah Al-Baqarah [2] ayat 255) sebanyak tujuh atau sebelas kali. Sementara di daerah lain, dibacakan surah Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, Al-Ahqaf [46] ayat 15, Yusuf [12] ayat 4-5, Maryam [19] ayat 30-35, ‘Ali ‘Imran [3] ayat 37-38, dan Ar-Rahman [55].

Dari perspektif ilmu sastra, dalam pembacaan ayat dan surah ini terdapat berbagai macam bentuk resepsi (penerimaan) atas segala aspek Alquran. Surah Al-Fatihah dan Al-Syarh misalnya diresepsi secara leksikal dari penamaan surah. Arti literal dari kata tersebut merupakan pembuka dan pelapang yang diharapkan dapat mempermudah proses kelahiran bayi kelak. Surah Al-Qadr yang di dalamnya menyebutkan diksi inzal yang secara literal berarti menurunkan juga diresepsi secara sama.

Baca juga: Hikmah Membaca Surah Maryam bagi Ibu Hamil

Sedangkan pada surah Al-Mu’minun, Al-Ahqaf, Yusuf, Maryam, ‘Ali ‘Imran, dan Ar-Rahman, resepsi yang dilakukan lebih kepada aspek hermeneutis terhadap arti dan maksud kandungan ayat, satu per satu. Kesemuanya dimaksudkan sebagai doa terhadap bayi yang kelak akan dilahirkan dapat memiliki nilai-nilai positif sebagaimana disebutkan dalam ayat.

Oleh karenanya, memanjatkan doa dan permohonan keselamatan bagi bayi dalam kandungan pada dasarnya merupakan ajaran leluhur yang telah dimulai bahkan sejak manusia pertama kali dilahirkan. Yang membedakan adalah praktik pelaksanaannya yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupinya. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...