Dalam teori living qur’an – studi tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat – disebutkan bahwa al-Qur’an mempunyai dua fungsi yang dominan, di antaranya ialah fungsi informatif (informative function) dan fungsi performatif (performative function). Fungsi informatif pada Al-Qur’an biasanya dipahami sebagai pendekatan interpretatif, yakni untuk memahami apa yang tersurat di dalam sebuah teks. Sedangkan fungsi performatif adalah apa yang dilakukan khalayak ramai terhadap teks itu sendiri. Misalnya, ilmu Nagham Al-Qur’an atau yang familiar dengan tradisi seni tilawah Al-Qur’an, merupakan salah satu bentuk dari fungsi performatif terhadap Al-Qur’an.
Seni tilawah merupakan Al-Qur’an dibaca dengan dilagukan beragam note lagu yang sudah distandarisasi. Bahkan, di Indonesia, tradisi melagukan Al-Qur’an sudah banyak diperlombakan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Anna K Rasmussen seorang profesor dibidang musik dalam penelitiannya yang berjudul Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia pada tulisan tersebut dijelaskan “Di Indonesia, ada tradisi unik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, di mana mereka berlomba-lomba melagukan Al-Qur’an dalam sebuah event yang disebut dengan MTQ. Bahkan, uniknya lagi seni tilawah ini diajarkan di hampir semua lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an yang ada di Indonesia”.
Baca juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia
Latar Belakang Kemunculan Lagu-Lagu Al-Quran
Tulisan ini tidak akan membahas mengenai bagaimana hukum melagukan Al-Qur’an, karena tentu saja sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang membahas hal tersebut. Namun, melalui tulisan ini setidaknya penulis akan mencoba menelusuri bagaimana latar belakang kemunculan lagu-lagu Al-Qur’an, apa faktor-faktor yang membuat hal ini terjadi, serta bagaimana perkembangan seni tilawah Al-Qur’an tersebut.
Jauh sebelum Al-Qur’an berbentuk mushaf seperti sekarang ini, Al-Qur’an terlebih dahulu diajarkan melalui sebuah sistem yang disebut dengan talaqqi, yaitu Nabi membacakan langsung Al-Qur’an di depan para sahabat atau sebaliknya para sahabat menyetorkan bacaan yang telah dihafalkan kepada Nabi untuk dikoreksi. Hal tersebut dilakukan dengan tanpa perantara mushaf atau apapun yang berbentuk tulisan. Fakta tersebut terjadi karena Al-Qur’an turun di lingkungan masyarakat Arab yang sangat kental dengan budaya oral, sehingga wajar-wajar saja jika proses belajar mengajar pada saat itu berbasis oral (lisan) dan aural (bunyi).
Di sisi lain kita mengetahui bahwa salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah ‘ijaz lughawi (mukjizat kebahasaan). Bahasa yang indah ini di satu sisi merupakan bukti kesempurnaan Al-Qur’an, tapi di sisi lain juga merupakan dampak pengaruh budaya Arab yang pada saat itu sangat dekat dengan seni sastra sampai suatu waktu Al-Qur’an hadir untuk mendominasi budaya sastra tersebut. Keindahan sastra yang ada pada Al-Qur’an ternyata tidak berhenti hanya pada pilihan kata, tetapi juga termasuk dalam bunyi, ketika dibaca dan diperdengarkan. Bahkan, tidak jarang kita menemukan kesamaan bunyi akhir pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 201: Doa Memohon Kebaikan di Dunia dan di Akhirat
Fakta-fakta di atas sementara ini setidaknya sudah cukup untuk mengaitkan hubungan antara Al-Qur’an dan suara (aspek bunyi). Fakta -fakta di atas juga menjadi salah satu faktor yang membuat Al-Qur’an dilantunkan secara indah. Jika dilihat melalui bingkai sejarah, ada beberapa riwayat yang menampilkan hal ini. Salah satunya ialah riwayat dari Abdullah bin Mughaffal yang menginformasikan bahwa Nabi pernah melantunkan surah Al-Fath ketika sedang menunggangi unta, karena keindahan bacaan Nabi unta tersebut terperanjat dan secara spontan menghentikan Langkah kakinya.
Riwayat lain misalnya, dari kalangan sahabat ada seseorang yang langsung mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad akan kemerduan suaranya ketika sedang membaca Al-Qur’an, yaitu Abdullah bin Mas’ud yang nantinya menjadi salah satu rujukan pengajar Al-Qur’an dan sanad dalam ilmu Qiraat Al-Qur’an. Dalam sebuah riwayat lain juga dikisahkan, Rasulullah pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Quran. Nabi pun berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari 5048, Muslim 793).
Riwayat-riwayat inilah yang kemudian menjadi cantolan epistimologis pembacaan Al-Qur’an dengan indah yang nantinya berkembang menjadi seni-seni tilawah yang terangkum dalam ilmu Nagham Al-Qur’an.
Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad SAW
Ibnu Manzur, seperti dinukilkan oleh Dr. Basyar Awad Ma’ruf, Al-Bayan fi Hukm At-Taghanni bi Al-Quran, ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham Al-Quran. Pertama, nagham Al-Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al-Quran pada mulanya memang berasal dari khazanah tradisional Arab. Sehingga tidak heran tradisi ini terus berlanjut hingga ke masa Nabi, sahabat, bahkan hingga sampai saat ini.
Secara detail memang tidak ada riwayat atau catatan historis yang membahas mengenai perkembangan nagham Al-Qur’an yang pada saat ini sudah mempunyai delapan maqamat qur’aniyyah (delapan irama lagu Al-Qur’an). Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa, transformasi seni baca Al-Qur’an berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedelapan varian nagham tersebut ialah Bayyati (Husaini), Sika, Shoba (Maya), Rasta alan nawa, Hijazi (Hijaz), Jiharkah, Nahawand (Iraqi), dan Banjaka (Rakbi).
Data teraktual saat ini mengenai maqamat qur’aniyyah sebagaimana hasil penelitian M. Husni Thamrin dalam tesisnya yang berjudul “Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia” menyebutkan bahwa maqamat qur’aniyyah yang ada pada hari ini diindikasikan terinspirasi dari wilayah Mesir. Qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syeikh Muhammad Rif’at, Syeikh Mustafa Ismail. Dan Syeikh Abdul Basith Samad mampu menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Al-Qur’an.