Kodifikasi Alquran yang dilakukan di masa Usman bin Affan dengan tujuan menyamakan bacaan ternyata masih memiliki celah yang menimbulkan perdebatan qira’at. Ketika Mushaf Usmani selesai ditulis dan disebarkan ke beberapa ahlul qurra’ di berbagai wilayah Islam, rupanya tidak mudah mengubah kebiasaan para guru Alquran untuk mengajarkan sesuai dengan Mushaf Usmani.
Meskipun demikian, usaha keras yang dilakukan oleh Usman bukanlah suatu hal yang sia-sia karena pada akhirnya mengantarkan ahlul qurra’ generasi berikutnya untuk mengompilasi riwayat-riwayat qira’at dengan berpedoman pada Mushaf Usmani. Ini menjadi awal dari kodifikasi qira’at.
Baca Juga: Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah
Masa Awal Pembukuan Qira’at
Pembelajaran qira’at hadir di tengah majelis bersamaan dengan kegiatan belajar mengajar Alquran. Jika ditelusuri kembali, upaya kodifikasi qira’at pertama kali yang dilakukan oleh ulama ahlul qurra’ dimulai pada abad kedua hijriah. Penyusunan varian qira’at dapat ditetapkan berdasarkan banyaknya riwayat-riwayat qira’at yang diterima maupun berdasarkan imam-imam qira’at.
Di antara yang pertama kali menulis kompilasi riwayat-riwayat qira’at menurut Ahmad Ali Al-Imam dalam buku Variant Readings of the Qur’an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins adalah Yahya bin Ya’mur (w. 129 H) dengan menuliskan varian-varian yang sesuai dengan Mushaf Usmani. Selanjutnya yakni salah satu imam qira’at al-‘asyrah, Yahya bin Ishaq al-Hadrami (w. 205 H) menulis satu qira’at yang disebut dengan al-Ja’mi.
Ibnu al-Jazari (w. 883 H) dalam al-Nashr fi al-Qira’at al-‘Asyr menyebutkan bahwa Abu Ubayd al-Qasim bin Salam (w. 224 H) mengompilasi 25 varian-varian qira’at dengan menyandarkan kepada 25 imam qurra’. Selain itu, ulama ahli tafsir dan sejarawan terkenal Ibnu Jarir At-Tabari (w. 310 H) juga dikabarkan menulis kitab yang memuat 20 varian bacaan yang diatribusikan kepada 20 imam qurra’. Namun, sangat disayangkan karya-karya ini tidak dapat ditemukan hari ini.
Pada era awal pembukuan riwayat-riwayat qira’at, para ahlul qurra’ tidak menetapkan jumlah tertentu varian qira’at yang diterima maupun yang tidak. Faktor yang melatarbelakangi adanya perbedaan ini setidaknya dikarenakan para sahabat maupun tabiin yang mengajarkan Alquran mengacu pada hafalan yang dimiliki daripada Mushaf Usmani. Disisi lain, Mushaf Usmani yang tidak memiliki syakl maupun nuqtah memungkinkan adanya perbedaan bacaan.
Baca Juga: Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif
Masa Kompilasi Qira’at as-Sab’ah
Qira’at as-Sab’ah pertama kali dipopulerkan oleh Ibnu Mujahid (w. 324 H) pada awal abad keempat hijriah melalui karyanya Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at. Ibnu Mujahid memilih tujuh qira’at ini dengan berdasarkan tujuh imam dan riwayat qira’at yang terkualifikasi serta dua perawi yang dianggap paling unggul untuk memudahkan para pembaca Alquran.
Ibnu Mujahid tidak pernah menyebut kualifikasi imam qira’at dalam kitabnya, namun apabila dianalisis dari segi kualitas riwayat qira’at serta keilmuan imam-imam qira’at, setidaknya dikarenakan tiga hal. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Shady Hekmat Naser dalam buku The Transmission of the Variant Readings of the Qur’an: The Problem of Tawatur and the Emergence of Shawadhdh: a) riwayatnya berkesinambungan dengan rasm Usmani, b) fasih dalam bahasa Arab, c) riwayat mutawatir yang bacaannya masyhur dan secara ijma’ diterima oleh penduduk sekitarnya.
Pada abad ke-3 di era Imam Mujahid, menjadi suatu keyakinan umum di kalangan muslim bahwasanya Mushaf Usmani disebarkan ke lima kota: Mekkah, Madinah, Damaskus, Basrah, dan Kufah. Ibnu Mujahid memilih masing-masing imam dari setiap kota untuk dikompilasikan ke dalam kitabnya. Meskipun tidak diketahui secara pasti alasan Ibnu Mujahid mengambil tiga imam qira’at dari Kufah, namun apabila melihat konteks sosial Kufah pada saat itu yang majemuk, maka dapat dimengerti bahwa syarat ijma’ di Kufah bukan suatu hal yang mudah, sehingga masuk akal apabila Ibnu Mujahid memberikan beberapa opsi pilihan qira’at–qira’at Kufah yang memenuhi standar yang ditetapkannya.
Ketenaran qira’at al-sab’ah tidak dapat dilepaskan dari campur tangan politik. Kedekatan Ibnu Mujahid dengan penguasa Dinasti Abbasiyah memudahkan langkahnya dalam menetapkan otoritas qira’ah sab’ah. Penetapan tujuh qira’at ini menjadi sebuah doktrin yang berlaku di masyarakat.
Ibnu Jinni (w. 392 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Muhtasib fi Tabyin Wujuh Syawadz al-Qira’at wa al-Idahi ‘Anha bahwa Ibnu Mujahid menegaskan qira’at di luar kompilasi Kitab Sab’ah adalah qira’at yang syadz. Inilah mulanya ketika membaca selain qira’at tujuh dapat membuat seseorang dihukum dera. Seperti yang terjadi pada Ibnu al-Sunbudhi yang mendapat hukuman dera karena membaca qira’at Ibnu Mas’ud yang tidak sesuai dengan rasm Mushaf Usmani.
Baca Juga: Mengenal Klasifikasi Qiraat dan Para Imam Madzhabnya
Masa Pemisahan Qira’at Mutawatir dan Syadz
Setelah klaim tujuh qira’at sebagai qira’at mutawatir oleh Ibnu Mujahid, muncul konsep baru yang dikenal sebagai qira’at mutawatir dan qira’at syadzah. Para ulama berlomba dalam mendefinisikan kedua konsep tersebut. Qira’at mutawatir diharuskan memenuhi tiga kriteria sebagaimana qira’at al-sab’ah. Sedangkan qira’at syadzah adalah sebaliknya meskipun hanya terpenuhi dua syarat maka tidak dapat diterima.
Konsep baru ini kemudian berpengaruh pada tren untuk menulis kitab qira’at berdasarkan riwayat-riwayat yang diterima. Para ulama ahlul qurra’ tidak secara mentah-mentah menerima klasifikasi qira’at al-sab’ah Ibnu Mujahid. Setelah dikaji ulang terhadap validitas riwayat-riwayat qira’at beserta imamnya, ternyata para ulama tidak sepakat seutuhnya. Upaya penulisan kitab-kitab qira’at yang diterima dilakukan dengan menambahkan list Ibnu Mujahid sehingga menjadi qira’at delapan, qira’at sembilan, dan qira’at sepuluh.
Di antaranya adalah Ibnu al-Jazari yang mempopulerkan qira’at al-‘asyrah yang termuat dalam kitab al-Nashr fi al-Qira’at al-‘Asyr. Ibnu al-Jazari menambahkan tiga orang dari daftar imam-imam qira’at Ibnu Mujahid diantaranya adalah Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami, dan Khalaf. Menurutnya, ketiga imam qira’at tersebut memiliki kualitas setara dengan tujuh imam qira’at Ibnu Mujahid. Banyak ulama yang menyetujui hasil ijtihad Ibnu al-Jazari, kendati demikian popularitas qira’at al-‘asyrah pada hari ini masih kalah dengan tawaran qira’at al-sab’ah Ibnu Mujahid yang terlebih dahulu dikompilasi dan menjadi suatu hukum berlaku di era Dinasti Abbasiyah.
Demikian perjalanan sejarah singkat qira’at. Sejarah qira’at setidaknya dapat dibagi dalam tiga periode: masa pra-Ibnu Mujahid, masa qira’ah sab’ah, dan masa pasca Ibnu Mujahid. Begitu besar sumbangsih Ibnu Mujahid yang dapat mengubah haluan sejarah kodifikasi qira’at serta memunculkan satu bidang baru dalam qira’at yakni qira’at mutawatir dan qira’at syadz yang kemudian dikembangkan oleh ulama setelahnya. Wallahu a’lam.