Imam al-Suyuthi dalam Kitab al-Itqan fi ‘ulum al-Qur’an menuliskan satu bab yang secara khusus membahas perihal kemukjizatan Al-Quran (i’jaz Al-Quran). Pada mulanya, al-Suyuthi menyebut bahwa terdapat beberapa ulama yang membuat karangan tersendiri yang membahas khusus perihal kemukjizatan Al-Quran. Ini menandakan betapa banyaknya aspek kemukjizatan Al-Quran yang dapat dikaji oleh para ulama. Al-Suyuthi menyebutkan beberapa ulama, antara lain adalah al-Khattabi (Bayan I’jaz Al-Quran), al-Rummani (al-Nukat fi I’jaz Al-Quran), Imam al-Razi, dan Qodli Abu Bakar al-Baqilani (I’jaz Al-Quran).
Hakikat Mukjizat
Secara kebahasaan, kata mukjizat merupakan kata benda subjek (isim fa’il) dari kata a’jaza-yu’jizi–i’jaz yang memiliki arti melemahkan atau membuat sesuatu atau seseorang menjadi lemah dan tidak mampu (al-Munjid fi al-lughah, hal 488).
Imam al-Suyuthi sendiri mendefinisikan mukjizat sebagai,
اَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّى سَالِمٌ مِنَ الْمُعَارَضَةِ
“Mukjizat adalah perkara yang di luar nalar yang dibersamai dengan tantangan kepada manusia untuk membandinginya dan bebas dari sanggahan-sanggahan.” (Al-Itqan, hal 484).
Perlu diketahui bahwa kepentingan adanya mukjizat adalah sebagai bukti verifikasi kenabian seseorang. Ahli Kitab dahulu selalu meminta bukti tersebut dari seorang yang mengaku sebagai nabi. Kebiasaan mereka adalah meminta nabi itu berkurban, baru ketika kurban tersebut dimakan oleh api, mereka mau percaya (Q.S. Ali ‘Imran (3): 183). Sehingga mukjizat akan selalu berupa hal-hal yang di luar nalar manusia, karena yang dapat melakukannya hanya Allah Swt. semata. Ini akan membuktikan kebenaran risalah seorang nabi.
Selanjutnya, mukjizat akan selalu membuka tantangan kepada manusia untuk membandinginya. Ini sebagai bukti validitas selanjutnya, bahwa perkara di luar nalar tersebut tidak bisa dibuat-buat oleh manusia, melainkan benar-benar dari Allah semata (Q.S. Hud (11): 13-14). Oleh karenanya, mukjizat tidak akan pernah mendapat sanggahan bandingan dari siapapun, manusia bahkan jin seluruhnya sekalipun tidak mampu untuk berbuat demikian (Q.S. Al-Isra’ (17): 88).
Baca juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya
Macam Mukjizat: Empiris dan Rasional
Setelah menjelaskan hakikat mengenai mukjizat, Imam al-Suyuthi membagi macam-macam mukjizat yang jarang kita ketahui. Berikut kata al-Suyuthi,
وَهِيَ اِمَّا حِسِّيَّةً وَاِمَّا عَقْلِيَّةً, وَاَكْثَرُ مُعْجِزَاتِ بَنِى اِسْرَائِلَ كَانَتْ حِسِّيَّةً لِبَلَادَتِهِمْ وَقِلَّةِ بَصِيْرَتِهِمْ وَاَكْثَرُ مُعْجِزَاتِ هَذِهِ الْاُمَّةِ عَقْلِيَّةٌ لِفَرَطِ ذُكَّائِهِمْ وَكَمَالِ اَفْهَامِهِمْ
“Mukjizat adakalanya bersifat empiris dan adakalanya bersifat rasional (maksudnya fenomena mukjizat adakalanya merupakan pengalaman empiris yang melibatkan indra manusia yang menyaksikannya, dan adakalanya fenomena yang murni menggunakan akal untuk dapat direnungi). Kebanyakan mukjizat Bani Israil adalah mukjizat empiris, karena kebebalan mereka dan pendeknya nalar mata hati mereka, sedangkan kebanyakan mukjizat umat ini (Islam) adalah mukjizat rasional karena kecerdasan pikiran mereka dan kesempurnaan pemahaman mereka.” (Al-Itqan, hal 482).
Berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi ular, terbelahnya Laut Merah untuk memberi jalan kepada Bani Israil, Nabi Isa yang dapat berbicara ketika masih bayi, dan mampu menghidupkan orang mati dengan izin Allah adalah sederet fenomena-fenomena di luar nalar yang dapat diketahui dengan indra penglihatan. Mukjizat-mukjizat ini hanya dapat disaksikan oleh orang-orang yang hadir saat itu.
Singkatnya, kesemua mukjizat ini mempunyai masa berkala (expired date), sebab generasi setelahnya tidak dapat menyaksikan lagi mukjizat tersebut, yang lumrahnya juga akan muncul lagi pertanyaan akan kebenaran mukjizat dari mereka ketika hanya mendengar cerita tersebut.
Baca juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam
Sedangkan yang dimaksudkan Imam al-Suyuthi sebagai mukjizat rasional tak lain dan tak bukan adalah Al-Quran. Jelas beliau berikut,
وَمُعْجِزَةِ الْقُرْآنِ تُشَاهَدُ بِالْبَصِيرَةِ فَيَكُونُ مَنْ يَتْبَعُهُ لِأَجْلِهَا أَكْثَرَ لِأَنَّ الَّذِي يُشَاهَدُ بِعَيْنِ الرَّأْسِ يَنْقَرِضُ بِانْقِرَاضِ مُشَاهِدِهِ وَالَّذِي يُشَاهَدُ بِعَيْنِ الْعَقْلِ بَاقٍ يُشَاهِدُهُ كُلُّ مَنْ جَاءَ بَعْدَ الْأَوَّلِ مُسْتَمِرًّا
“Mukjizat Al-Quran dapat disaksikan dengan mata hati (bashirah). Sehingga orang yang mengikuti Al-Quran sebab tuntutan mata hati akan lebih banyak, karena mukjizat yang hanya bisa disaksikan dengan mata kepala akan dapat habis dengan matinya orang-orang yang menyaksikannya. Sedangkan mukjizat yang disaksikan dengan mata akal (bashirah) akan selalu ada, akan selalu dapat disaksikan oleh setiap orang pada generasi selanjutnya.” (Al-Itqan, hal 483).
Inilah keistimewaan Al-Quran dibandingkan mukjizat-mukjizat nabi yang lain. Seperti dijelaskan Imam al-Suyuthi bahwa kemukjizatan Al-Quran bersifat rasional. Artinya untuk dapat menghayati nilai-nilai Al-Quran diperlukan akal pikiran dan hati (bashirah) yang matang. Jadi siapapun itu, selama ia memiliki kedua perangkat ini akan selalu merasa takjub pada kemukjizatan Al-Quran, kapanpun, bahkan sampai hari kiamat kelak.
Jika kita hanya membaca Al-Quran tanpa berusaha untuk merenungkan makna-maknanya, kemukjizatan Al-Quran tidak akan sampai kepada kalbu kita karena ia bersifat mukjizat ‘aqliyah. Oleh karenanya, sebagai generasi qurani sudah menjadi tugas kita untuk senantiasa mengasah nalar rasional untuk dapat mengambil pelajaran dan ibrah dari Al-Quran. Wa Allahu a’lam.
Baca juga: 3 Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Menurut Manna’ Khalil al-Qathan