Mengapa Mushaf Al Quran Pusaka Bergaya Turki dan Mesir, Bukan Bergaya Bombay (India)?

mushaf Al Quran Pusaka
mushaf Al Quran Pusaka

Mengapa Mushaf Al Quran Pusaka Bergaya Turki dan Mesir. Tapi sebelumnya, adakah di sini yang masih ingat kalau mushaf Al Quran yang kita gunakan untuk belajar mengaji dulu itu berhuruf tebal?. Mushaf dengan gaya huruf tebal ini dikenal dengan nama mushaf Bombay. Bombay atau Mumbai jelas menunjukkan sebuah lokasi yang ada di India, tempat di mana mushaf-mushaf seperti itu bermula di cetak.

Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia sejak pertengahan abad ke-19 sangat familiar dengan mushaf Bombay. Dalam berbagai penelitian menyebut bahwa salah satu penyebab maraknya mushaf Bombay di Indonesia, karena adanya percetakan litograf (cetakan batu) yang terinspirasi dari percetakan Al Quran di India. Terlebih pemilik percetakan litograf ini orang Palembang dan menyebarkannya di berbagai wilayah Indonesia. Percetakan itu milik Haji Muhammad Azhari ibn Kemas Haji Abdullah pada tahun 1854.

Dari salah satu alasan itu, tidak heran jika mushaf Bombay sangat dekat dengan masyarakat muslim Indonesia. Namun belakangan mushaf jenis ini semakin ditinggalkan, terkikis seiring hadirnya mushaf pojok.

Mushaf baru ini awalnya dipopulerkan oleh para penghafal Al Quran. Dalam sejarahnya, mushaf ini merupakan hasil reproduksi salah satu mushaf Turki kepunyaan KH M Arwani Amin Kudus pada tahun 1974. Karena dianggap memudahkan para penghafal Al Quran maka mushaf ini diperbanyak, dan akhirnya masyarakat umum pun lebih menyukai mushaf jenis ini.

Namun sebelum adanya mushaf pojok, ternyata mushaf Pusaka yang diresmikan pada tahun 1960 sudah menerapkan sistem waqaf pojok. Padahal mayoritas masyarakat masih menggunakan mushaf gaya Bombay. Bagaimana itu bisa terjadi?


Baca juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz


Karakteristik Mushaf Pusaka

Terkait kesejarahan, bisa kita baca artikel sebelumnya dengan judul “Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia” .

Sementara karakteristik fisik, Mushaf Pusaka cukup besar yakni 2 x 1 m. Mushaf yang ditulis Salim Fachry dengan goresan tangan ini dibagi menjadi tiga bagian, Juz 1-10, juz 11-20, dan juz 21 sampai 30. Ukuran kertasnya 100 x 75 cm dan ukuran kotak teksnya 80 x 50 cm. Kertas yang digunakan berjenis karton putih, meski saat ini berubah warnanya menjadi coklat. Sampul mushaf ini berasal dari papan kayu jati dengan ukiran ornamen khas dan tulisan Arab “layamussuhu illal muthahharuun”, Mashaf Republik Indonesia dan “tanzilun min rabbil ‘Alamiin”

Setiap juz dari mushaf ini terdiri dari 20 halaman, dan total halaman mencapai 604 halaman. Selain itu, terdapat juga halaman tambahan seperti 3 halaman doa khotmil Quran, 3 halaman keterangan penulis, 1 halaman lembar pentashihan dan 17 halaman deskripsi mushaf (ta’rif bihadzal mushaf) serta daftar isi.

Dalam keterangan (ta’rif bihadzal mushaf), Al Quran Pusaka ini ditulis berdasarkan Qiraat ‘Ashim riwayat Hafs. Penulisannya menggunakan khat naskhi dengan rasm Usmani. Total ayatnya berjumlah 6236 ayat mengikuti hitungan ahli Kuffah dari Abu Abdur Rahman dalam kitab Nadhimah az-Zuhri karya Imam As-Syatibi, Kitab Abu Qasim Umar bin Muhammad bin Abdul Kafi, dan kitab Tahqiq al Bayan karya Syekh Muhammad al-Mutawalli Mesir.


Baca juga: Mengenal Ali Akbar: Penulis Blog Khazanah Mushaf Al Quran Nusantara


Kemudian penamaan makkiyah dan madaniyyah merujuk pada kitab Abu Qasim serta berbagai kitab tafsir. Keterangan waqaf merujuk pada Syekh Muhammad bin Ali al-Husaini Mesir. Ayat-ayat sajdah merujuk pada kitab-kitab fiqih empat madzhab dan bacaan saktah merujuk pada riwayat Hafs thariq as-Syatibi.

Keterangan yang menjelaskan rujukan-rujukan tersebut sama persis dengan mushaf yang pada tahun 1957 dicetak di Mesir di bawah kepemimpinan Malik Faruq. Mushaf yang dicetak di Mesir ini, merupakan mushaf revisian dari mushaf cetakan tahun 1924 di bawah komando Malik Fuad.

Sayangnya, dari jumlah halaman, mushaf Pusaka tidak sama dengan jumlah halaman mushaf Mesir.  Mushaf Pusaka hanya 604 halaman sementara mushaf Mesir 827 halaman. Perihal jumlah halaman, mushaf Pusaka ternyata lebih cenderung mengikuti mushaf Turki.

Kita tak bisa secara langsung menyebut mushaf Pusaka merujuk pada satu saja antara mushaf Mesir dan Turki. Jika merujuk Mesir, jumlah halamannya berbeda. Kalau pun mengikuti mushaf Turki, rasm yang digunakan pun berbeda. Rata-rata mushaf Turki saat itu menggunakan rasm imla’i bukan rasm usmani. Dari uraian ini, nampaknya Salim Fachry melakukan elaborasi  dari mushaf kedua negara tersebut.


Baca juga: Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara


Tentu kreativitas Salim fachry juga sangat memengaruhi atas lahirnya mushaf Pusaka dengan gaya seperti itu. Karena penulis mushaf yang pernah menjadi Dekan Fakultas Tarbiyan UIN Jakarta ini mengenyam Pendidikan kaligrafi di Mesir. Tercatat ia sebagai alumni Madrasah Tahsīn el-Khuṭūt el-‘Arabiyah pada tahun 1930 dan Madrasah Tazhīb al-Khuṭūt pada tahun 1932.

Catatan terakhir, mengapa mushaf Pusaka jarang terdengar oleh masyarakat Indonesia dan tidak memiliki pengaruh terhadap mushaf Bombay? Karena mushaf ini dirawat sebagai mushaf monumen, bukan refrensi percetakan mushaf yang ada di kemudian hari.

Wallahu a’lam bi al-shawab