Ketika berbicara mengenai tafsir di lingkungan Pesantren yang pertama kali terlintas di benak para santri adalah Tafsir Jalalayn. Popularitas penggunaan Tafsir Jalalayn sebagai kitab tafsir yang dikaji oleh para santri di berbagai pesantren di Indonesia tidak diragukan. Tafsir ini sangat dominan mengisi ruang kajian pada kelas-kelas di Pesantren, baik di Pesantren “tradisional” maupun “modern”.
Bila ditarik ke belakang, popularitas Tafsir Jalalayn bahkan telah dimulai sejak akhir abad ke-14 M yaitu sekitar tahun 1471. Pada tahun tersebut, Tafsir Jalalayn telah populer di India, wilayah yang sangat jauh dari tempat kelahirannya di Mesir. Mengingat pada tahun tersebut transportasi belum semaju sekarang.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ervan Nurtawab, dosen IAIN Metro Lampung dan juga Alumni Monash University Australia, pada acara Kajian Membumikan Al-Quran (KMQ) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Quran (PSQ) bekerja sama dengan Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia pada Kamis (26/08) pukul 10.00 – 12.00 melalui Zoom.
Acara dengan tajuk Tafsir Santri: Tradisi Pengajaran dan Khazanah Pemaknaan di Lingkungan Pesantren ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurtawab ketika menyelesaikan disertasinya di Monash University dengan judul “Jalalayn pedagogical practices: Styles on Qur’an and tafsir learning in contemporary Indonesia.” Ervan melakukan studi tentang sejauh mana Tafsir Jalalayn dipelajari oleh pesantren tradisional dan pesantren modern di Indonesia.
Berdasarkan penelitian antropologis selama beberapa tahun di Pesantren di Jawa Barat khususnya di Pesantren Assalafiyah 1 Sukabumi sebagai representasi pesantren dengan gaya bandongan atau sorogan dan juga di Pesantren Persatuan Islam (Persis) 99 Rancabango Garut sebagai representasi pesantren reformis/modernis, Ervan menemukan bahwa terdapat cara pengajaran yang khas dan berbeda antara masing-masing pesantren.
Secara garis besar Ervan mengemukakan ada dua cara pengajaran yang dipraktikkan di lingkungan Pesantren ketika mengajarkan Tafsir Jalalayn. Pertama, metode chanting atau menembang. Metode ini khusus banyak digunakan di pesantren-pesantren tradisional. Model ini bisa menjadi prasyarat bagi pengajar Tafsir Jalalayn sebagai alat penjaga konsentrasi santri dan untuk mengawal kebersamaan dalam melewatkan kata demi kata kandungan Tafsir.
Kedua, metode pedagogi tekstual. Metode ini berkaitan dengan penguasaan pengajar terhadap teks Tafsir Jalalayn yang tanpa harakat kemudian melahirkan tradisi pencatatan yang diterapkan baik di lingkungan pesantren tradisional maupun modern.
Dalam konteks pesantren tradisional, metode pedagogi tekstual ini dikenal dengan istilah ngalogat atau maknani. Biasanya aksara yang digunakan adalah aksara pegon dengan bahasa lokal baik Sunda, Jawa, Melayu ataupun Madura. Begitu pun dengan pesantren modern juga turut mengembangkan tradisi pedagogi tekstual. Di Pesantren yang diteliti oleh Ervan, ditemukan bahwa para santri mencatat dalam bentuk terjemah bahasa Indonesia dan melakukan tradisi vokalisasi atau memberikan harkat pada kitab.
Perbedaan lain yang tampak di antara pesantren tradisional dan modern adalah penggunaan alat tulis. Di pesantren tradisional alat tulis yang digunakan adalah pulpen. Hal ini terkait dengan social prestise karena kitab yang sudah penuh dengan catatan bisa diwariskan, dan yang mendapat warisan bisa memberikan catatan kembali juga revisi/koreksi (parateks). Kalau di pesantren modern lebih banyak memakai pensil dengan alasan takut mengotori kitabnya.
Kemudian kaitannya dengan mengapa Tafsir Jalalayn begitu populer, menurut Ervan bisa jadi terkait dengan fokus Tafsir Jalalayn pada 3 aspek: Qiraat, Gramatikal, dan Naratif. Ketiga aspek ini paling sering dibahas oleh guru-murid selama praktik mereka belajar mengajar. Selain itu, Tafsir ini juga mengakomomir fleksibilitas karena penjelasannya yang ringkas. Semakin ringkas tafsir, fleksibilitas menyampaikan ke audiens semakin mudah. Semakin rumit, maka semakin sulit untuk disampaikan. Pengajar akan terkurung oleh penjelasan mufasir.