Penafsiran Al-Qur’an tidak terbatas pada tafsir tulis, melainkan dijumpai dalam tafsir lisan. Bahkan, tafsir lisan sebenarnya telah dimulai jauh sebelum terjadinya tafsir tulisan. Dalam hal ini, Andreas Gorke memberi perhatian khusus tentang kajian tafsir lisan, sebagaimana dalam artikelnya yang berjudul Redefining the Borders of Tafsir: Oral Exegesis, Lay Exegesis and Regional Particularities.
Ada dua hal yang menarik perhatian Andreas Gorke. Satu, kajian tafsir Al-Qur’an cenderung menempatkan diri sebagai pelaku yang memahami Al-Qur’an. Sarjana Al-Qur’an menjadi penafsir Al-Qur’an. Dua, sarjana yang mengkaji tafsir Al-Qur’an masih berpatokan pada sumber tertulis, seperti kitab tafsir dan semacamnya, baik dalam bahasa Arab maupun lainnya, baik yang telah dicetak maupun masih dalam bentuk manuskrip.
Dua hal tersebut seakan menafikan fakta awal, bahwa penafsiran Al-Qur’an pertama kali dilakukan dalam bentuk lisan. Andreas Gorke menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai penafsir bentuk lisan pertama. Ia juga menunjukkan maraknya tafsir lisan dari pasca Nabi Muhammad SAW hingga di media saat ini.
Baca Juga: Mengenal Asma Barlas Sebagai Tokoh Tafsir Feminis
Tentang Andreas Gorke dan Kajiannya
Andreas Gorke adalah sarjana kontemporer sekaligus dosen dalam studi Islam di Universitas Edinburgh. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Hamburg pada tahun 2001 dan di Universitas Basel pada tahun 2010. Ia juga menjadi peneliti di beberapa tempat sekaligus seperti di Universitas Hamburg, Universitas Basel, Pusat Penelitian Ilmu Sosial Berlin (WZB), Universitas Kiel, dan sebagai professor pada kajian klasik dan awal Islam di Universitas Hamburg.
Andreas Gorke termasuk sarjana yang meminati banyak kajian seputar Islam seperti sejarah Islam awal, sirah Nabi Muhammad SAW, studi Al-Qur’an, dan tafsir Al-Qur’an, Hadis, hukum Islam, manuskrip Arab, dan lainnya. Di antara karyanya adalah Criteria for Dating Early Tafsir Traditions: The Exegetical Traditions and Variant Readings of Abu Mijlaz Lahiq B. Humayd (2021), Tafsir and Islamic Intellectual History: Exploring the Boundaries of a Genre (2015), Redefining the Borders of Tafsir: Oral Exegesis, Lay Exegesis and Regional Particularities (2014), dan lainnya.
Kajian tafsir lisan merupakan bagian dari kajian artikel yang berjudul Redefining the Borders of Tafsir. Buku ini membahas oral tafsir, partial tafsir, lay exegesis, dan regional trends and variety of languages. Terkait oral tafsir atau tafsir lisan, Andreas Gorke mengatakan bahwa sebagian besar dalam tradisi tafsir selama berabad-abad ini tidak lepas dari lisan, yang dapat ditemui secara beragam.
Kemunculan Tafsir Lisan dan Perkembangannya
Menurut Andreas Gorke, fenomena tafsir lisan sebenarnya telah berlangsung sejak era Nabi Muhammad SAW, bahkan tafsir lisan ini merupakan bentuk awal dari tradisi tafsir Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal banyak memberikan penjelasan terhadap sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, yang kemudian banyak direkam dalam kitab-kitab Hadis.
Setelah masa Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada era sahabat, fenomena tafsir lisan ini tidak hilang. Menurut Andreas Gorke bahwa pada era sahabat penjelasan dan penafsiran Al-Qur’an sebagian besar dilakukan dalam bentuk lisan. Lebih jauh, fenomena tafsir lisan terus dilakukan di kemudian hari, sekalipun telah muncul tafsir tulis.
Menurut Andreas Gorke fenomena kekhasan lisan penting dilihat ketika sebuah tafsir telah berbentuk tulis. Seringkali ditemui tafsir tulis, tetapi sebenarnya ia berasal dari tafsir lisan. Perkembangan tafsir lisan ini semakin hari semakin banyak ditemui, bukan hanya dalam konteks Arab, tetapi juga di luarnya. Bahkan, tafsir lisan tersebut akan lebih banyak ditemui di luar Arab.
Selain itu, perkembangan alat elektronik yang menghasilkan alat perekam suara (lisan) berupa audio dan video menjadi bagian penting dan tersendiri dalam menyaksikan perkembangan tafsir lisan yang lebih luas. Hal ini karena data-data tafsir lisan semakin mudah diakses dan dijaga. Termasuk dalam hal ini adalah kehadiran media sosial, yang juga ikut ‘mempromosikan’ bahkan lebih memeriakkan fenomena tafsir lisan dari sebelum-sebelumnya.
Tradisi Tafsir Lisan di Sekitar Kita
Sebenarnya, tradisi tafsir lisan bukan hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW beserta sahabat-sahabat beliau, tetapi juga banyak ditemui di sekeliling kita, terutama di luar wilayah Arab dan didukung adanya berbagai media. Misalnya, seorang guru memberikan pengajian kitab tafsir atau ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian murid menuliskan isi pengajian tersebut. Biasanya ditulis dalam satu buku tertentu, atau di bagian pinggir/tepi salinan Al-Qur’an.
Menurut Andreas Gorke bahwa dalam proses pengajian tersebut, sangat mungkin terjadi penjelasan tambahan yang dilakukan oleh guru tersebut yang tidak tertuang dalam kitab-kitab tafsir. Penjelasan tambahan inilah yang menempatkan guru tersebut melakukan tafsir lisan. Lebih jauh, penjelasan tambahan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh keilmuan guru (penafsir), keadaan muridnya (audiens), ataupun faktor lainnya.
Dalam kasus lain, pengajaran beserta penjelasan Al-Qur’an (karena multak bagi Al-Qur’an berbahasa Arab), juga menjadi bagian tersendiri maraknya fenomena tafsir lisan. Andreas Gorke mengatakan bahwa sekitar abad 18-19 banyak ditemui penjelasan yang disampaikan dan diajarkan secara lisan daripada tulisan, Termasuk di dunia Melayu-Indonesia. Sebenarnya, model ini masih marak ditemui hingga saat ini, terutama di daerah-daerah kampung di mana masyarakat awam mengandalkan penjelasan lisan dari seorang Kiai atau Ustadz.
Memasuki era media, tafsir lisan memainkan peran penting yang bahkan mengalami perbedaan sebelum era media. Andreas Gorke menilai bahwa sebelum modern (era media), tafsir lisan mungkin hanya berupa sisa-sisa lisan, karena yang ditemui kita saat ini adalah catatan-catatan tafsir, yang merupakan hasil transmisi lisan ke tulis. Beberapa tafsir tampaknya berasal dari penjelasan lisan dari karya-karya tafsir lainnya.
Baca Juga: Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an
Tetapi di era media, data-data tafsir lisan dengan jelas secara gampang ditemukan. Bahkan, menurut Andreas Gorke bahwa karya tafsir modern dan kontemporer awal berasal dari kuliah umum, atau sebagai program televisi atau radio, yang kemudian direkam dalam bentuk tulisan. Terdapat juga bentuk tafsir lisan, dalam bentuk ceramah misalnya, yang disimpan dalam bentuk rekaman kaset, video, podcast, youtube, dan lainnya.
Semua ini, memungkinkan kita untuk mengkajinya dari sudut pandang yang berbeda: antara Tafsir lisan yang telah selesai, atau tafsir lisan yang masih berlangsung. Antara tafsir lisan yang telah berbentuk tulisan, atau yang masih dalam bentuk lisan yang tersimpan di audi dan video. Singkatnya, tafsir lisan adalah bentuk awal penafsiran itu sendiri, yang muncul secara beragam sepanjang perkembangan zaman, dan karenanya menghasilkan bentuk kajian yang khas juga. []