Mengenal K.H. Suhaimi Rafiuddin dan Naskah Tafsirnya

Mengenal K.H. Suhaimi Rafiuddin dan Naskah Tafsirnya
Salah satu penampakan naskah tafsir karya Kiai Suhaimi (Sumber: Komunitas Pegon)

Lima tahun lalu telah ditemukan naskah tafsir Alquran di Banyuwangi, Jawa Timur karya K.H. Suhaimi Rafiuddin. Kiai asal Madura yang berkiprah di Banyuwangi ini memberikan judul tafsirnya dengan nama تفسير القرآن الكريم بربهاسا إندونيسيا (Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia).

Ditemukannya naskah tafsir ini tentu semakin menambah warisan yang sangat berharga bagi Indonesia di bidang Tafsir Alquran. Oleh karena itu, sebagai pengantar, saya mencoba memperkenalkan naskah tafsir ini sekaligus penulisnya pada para pembaca. Dengan harapan menambahkan rasa cinta dan peduli kita untuk melestarikan khazanah turats ulama-ulama Nusantara.

Profil K.H. Suhaimi Rafiuddin

K.H. Suhaimi Rafiuddin lahir pada 29 Sya’ban 1337 H. atau bertepatan pada 30 Mei 1919 M. Beliau lahir di daerah Galis, Pamekasan, Madura. Di kawasan yang sempat dijuluki sebagai pulau Sejuta Langgar oleh Menpora Imam Nahrawi inilah Suhaimi membentuk karakternya sebagai insan terpelajar dan berbudi luhur.

20 tahun sudah Suhaimi menikmati hari-harinya dengan penuh makna di tanah kelahirannya. Tepat di tahun 1939, Suhaimi melakukan perjalanan jauh menuju Banyuwangi. Di kota paling ujung arah timur dari pulau Jawa inilah, dia belajar di pesantren Lateng yang didirikan oleh K.H. Saleh Syamsuddin (1278/1862 – 1371/1952).

Bersama kiai yang ditunjuk langsung oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Chasbullah sebagai anggota pendiri Nahdlatul Ulama itu, Suhaimi banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti nahwu, fikih, tafsir, dan yang lainnya.

Berguru kepada K.H. Saleh Syamsuddin adalah pilihan yang tepat bagi Suhaimi. Sebab, selain alim dan istikamah, ilmu dari kitab-kitab yang diajarkan oleh kiai yang turut andil dalam kemerdekaan Indonesia itu bersanad muttaṣil (bersambung) hingga sampai pada muallif (pengarang)-nya. Dengan demikian, jejak intelektual Suhaimi terekam jelas. Transmisi keilmuannya terhubung secara berkesinambungan hingga pada para ulama pengarang kitab.

Berproses dari pergulatan intelektual seserius itu, nalar Suhaimi tumbuh semakin tajam dan kritis. Tak sedikit masyarakat menilainya sebagai orang yang alim dan pantas dipanggil “Kiai”. Bahkan pada dekade 70-an, dia termasuk salah seorang ulama yang cukup dihormati oleh banyak masyarakat.

Jejak kealiman Kiai Suhaimi dapat dibuktikan dari beberapa manuskrip peninggalannya. Komunitas Pegon yang diketuai oleh Ayung Notonegoro berhasil mengidentifikasi karya-karya Kiai Suhaimi yang masih berupa tulisan tangan.

Di antaranya yang terlacak adalah A’māl al-Yaum min al-Aurād wa Aẓkār, al-Risālah al-Saniyyah li Qawā’id al-Naḥwiyyah, Bāb al-Zakāt, Bahjah al-Saniyyah li Syarḥ Safīnah, Mimbar Islām fī Radio Amatir Gema Buwana, Syaraḥ Arba’īn Nawawī Juz II, Manāqib Syekh Ṣāliḥ Syamsuddin Lateng, dan Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia (Kata Pengantar: Menghidupkan Kembali K.H. Suhaimi Rafiuddin dalam Tasīr Surat al-Fātiḥah).

Selain berkhidmah di bidang ilmu keagamaan, Kiai Suhaimi juga merupakan seorang aktivis ormas Islam Nahdlatul Ulama yang berkiprah untuk melayani umat demi kemaslahatan bersama.

Tercatat, pada tahun 1955, dia menjabat sebagai Ketua Ranting NU, Kampung Melayu. Di tahun 1968, dia kembali dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai Rais Tsani PCNU Banyuwangi. Di tahun 1975, dia masih tetap mendapat amanah menjadi bagian dari kepengurusan PCNU Banyuwangi sebagai Ketua di Bidang Dakwah (Kata Pengantar: Menghidupkan Kembali K.H. Suhaimi Rafiuddin dalam Tasīr Surat al-Fātiḥah).

Akhirnya, pada tahun 1982. Kiai Suhaimi menghembuskan napas terakhirnya dengan beragam kontribusi yang besar untuk Islam yang raḥmatan lil ‘ālamīn. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga yang jaraknya dekat dari kediamannya di Kampung Melayu, Banyuwangi. Lahul Fātiḥah.

Baca juga: Kiai Zaini Mun’im dan Naskah Tafsirnya

Naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia

Naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia pertama kali ditemukan dan diperkenalkan oleh Komunitas Pegon. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang riset, dokumentasi, publikasi pesantren, dan sejarah Nahdlatul Ulama di Banyuwangi. Naskah tafsir tersebut ditemukan di musala Nurul Hidayah, musala pribadi milik Kiai Suhaimi yang terletak di Kampung Melayu, Banyuwangi.

Ditinjau dari aspek judulnya, Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia, sebetulnya direncanakan oleh Kiai Suhaimi sebagai karya tafsir utuh yang memuat penafsiran Alquran dari Q.S. Alfātiḥah hingga Annās. Namun, pada faktanya tampak di dalam naskah ini penafsirannya terhenti di ayat ke-36 Q.S. Albaqarah. Terhentinya penulisan tafsir ini mutlak disebabkan oleh wafatnya Kiai Suhaimi.

Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia ditulis dengan menggunakan dwi bahasa, yakni bahasa Arab dan bahasa Indonesia, dan juga dwi aksara, yaitu aksara Arab asli dan aksara Arab Pegon. Dari judul yang diberikan sebetulnya mencerminkan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya tafsir ini adalah bahasa Indonesia. Akan tetapi, jika dicermati dengan saksama, penggunaan bahasa Arab justru lebih dominan ketimbang bahasa Indonesia.

Naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia ditulis tangan oleh Kiai Suhaimi dengan menggunakan tinta hitam, kecuali di halaman 54 terdapat tinta berwarna biru. Naskah tafsir ini ditulis dengan ketebalan 200 halaman. Ditulis dalam buku tulis berjenis kertas HVS bergaris ukuran 20.5 x 15.5 cm merk “Nasional” yang diproduksi oleh pabrik kertas Basuki Rachmat yang ada di Banyuwangi. Per lembarnya terdapat 28 garis.

Teks yang ditulis dalam naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia memiliki panjang yang sama dengan garis yang terdapat dalam buku tulis tersebut, yakni 14.5 cm. Buku tulis yang digunakan sebagai objek penulisan tafsir ini terdapat 11 kuras. Masing-masing kurasnya terdiri atas 26 lembar kertas.

Naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia diperkirakan ditulis pada rentang tahun 1978 hingga 1982. Asumsi ini didasarkan pada tahun berdirinya pabrik kertas Basuki Rachmat pada tahun 1978 dan wafatnya Kiai Suhaimi di tahun 1982. Sehingga, sangat mustahil naskah itu ditulis di luar tahun-tahun tersebut.

Keberadaan naskah Tafsir al-Qur’ān al-Karīm Berbahasa Indonesia sekarang disimpan di kantor Komunitas Pegon. Lokasinya di perumahan Villa Mutiara Hijau di kawasan Karangrejo-Banyuwangi.

Naskah tafsir ini oleh Jamaliyah, istri Kiai Suhaimi, telah diserahkan kepada Ayung Notonegoro untuk disimpan, dirawat, dan dilestarikan sebagai warisan intelektual yang dapat memberikan kontribusi khazanah tafsir Alquran di Indonesia (Penafsiran Kiai Banyuwangi terhadap Surah al-Fatihah, Qof: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir, vol. 5, no. 1, 2021).

Baca juga: Bahasa dan Aksara Yang Digunakan Dalam Tafsir Al-Quran di Nusantara