BerandaTokoh TafsirMengenal Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

Mengenal Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan salah satu cendikiawan Islam di Indonesia yang mahir dalam ilmu fikih, hadis dan Al-Quran. Salah satu karyanya di bidang tafsir adalah Tafsir al-Qur’anul Majid atau bisa di kenal dengan Tafsir an-Nur.

Tafsir An-Nur adalah kitab tafsir yang penting diketahui dan dipelajari para pemula dalam membaca dan mendalami Al-Quran. Dengan adanya terjemah huruf Arab ke dalam huruf latin, dapat memudahkan mereka untuk mengetahui kandungan Al-Quran.

Tafsir An-Nur juga merupakan buku tafsir yang ringkas dan lengkap, serta menjelaskan apa yang terkandung dalam tiap-tiap ayat.

Spesifikasi Tafsir An-Nur

Menurut Nourouzzaman Shiddiqi, editor Tafsir An-Nur sekaligus putra dari Hasbi Ash-Shiddieqy, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1952 hingga selesai di tahun 1961. Penyelesaian tafsir ini bersamaan dengan kesibukan Hasbi mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota Konstituante dan kegiatan lainnya.

Hasbi secara langsung membacakan naskah tafsirnya kepada Nourouzzaman yang langsung menjadi naskah siap cetak. Ketika proses penulisannya itu, di atas meja kerja Hasbi banyak buku, catatan, dan lembaran kertas yang masih berserakan.

Tafsir An-Nur diterbitkan pertama kali oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1961 dengan jumlah 30 jilid. Setiap jilidnya berisi 1 juz al-Quran. Edisi ini berlangsung hingga tahun 1995.

Kemudian pada tahun 1995, edisi kedua penerbitan Tafsir An-Nur diterbitkan oleh PT. Pustaka Rizki Putra Semarang atas pemberian hak dari ahli waris Hasbi. Edisi ini mengalami perubahan dengan tidak diterbitkan per-juz, melainkan diubah menjadi sekelompok surah dan diterbitkan dalam 5 jilid. Akan tetapi edisi ini masih mengunakan pola yang sama seperti edisi pertama, yaitu penerjemahan dilakukan per qith’ah (yang terdiri dari beberapa ayat), kemudian ditafsirkan terhadap penggalan ayat.

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Karena Hasbi banyak mengonsumsi bacaan dengan sumber berbahasa arab, struktur dan istilah bahasa Arab ikut terbawa dalam karya tafsirnya. Hal ini bagi penulis sedikit banyak menyulitkan pembaca yang tidak memahami bahasa Arab. Karena alasan ini pada terbitan 1995 Nourouzzaman Shiddiqi dan Z. Fuad Hasbi, selaku editor, melakukan pengeditan ulang.

Metode yang digunakan oleh Hasbi ash-Shiddiqi dalam menafsirkan al-Quran adalah metode tahlili (analisis). Corak penafsirannya adalah adabi al-ijtima’i. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang penulisan Tafsir An-Nur. Pada waktu itu Hasbi mencoba menjawab permasalah-permasalahan social yang ada dalam bentuk Kitab Tafsir.

Contoh Penafsiran

Berikut ini adalah contoh Penafsiran surat al-Fatihah ayat-4:  Maaliki yaumid diin = yang memiliki hari pembalasan

Tuhan yang memiliki atau memerintah hari perhitungan (hisab) amal perbuatan manusia dan memberikan imbalan kepada mereka menurut kadar amalan mereka masing-masing.

Maaliki, yaitu dipanjangkan mim (م) nya, maaliki berarti: yang memiliki. Jika mim tidak dipanjangkan, maliki, berarti: yang memerintah. Sandaran kedua bacaan terdapat didalam dalam al-Quran sendiri.

Memerintah dan memiliki mengandung makna yang berbeda. Persaamaan makna antara keduanya mungkin dikarenakan tidak melihat pada filsafat bahasa. Sebagian ulama berpendapat sebaiknya maliki dibaca dengan memendekkan mim agar bermakna yang memerintah. Sebab, arti yang memerintah mengandung makna yang lebih dalam (balig) dan lebih agung.

Makna ini memberi kesan bahwa Allah sendirilah yang mengendalikan makhluk-Nya yang berakal dengan cara memerintah, melarang dan memberikan imbalan serta ganjaran. Kendatipun begitu ada pula sebahagian ulama yang berpendapat sebaiknya maliki dibaca dengan memanjangkan mim agar berarti yang memiliki. Sebab, bagi mereka arti yang memilikimengandung makna yang lebih dalam dan agung.

Baca Juga: Mengenal Muhammad Dawam Rahardjo dan Karyanya, Ensiklopedi Al-Quran

Ad-diin, artinya ialah perkiraan atau perhitungan; memberi  seimbang yang diterima; dan pembalasan. Makna yang terakhir yang sesuai untuk rangkaian ayat ini.

Tuhan berfirman yang memerintah hari pembalasan (penyelesaian segala perkara), bukan yang memerintah pembalasan, untuk menumbuhkan keyakinan pada diri setiap Muslim akan ada suatu hari yang pada hari itu setiap orang yang mematuhi agama menerima imbalan atas kepatuhannya.

Sebaliknya, manusia yang berbuat baik, seperti tidak memperoleh balasan apa-apa. Namun pada hakikatnya mereka tetap memperoleh balasan berupa kebahagiaan batiniyah, ketenteraman hidup, kejernihan pikiran, rasa senang, sejahtera fisik dan berakhlak mulia. Sementara itu harus diyakini, bahwa balasanbalasan di dunia itu bukan semua balasan yang seharusnya diterima. Balasan yang sempurna akan diperoleh pada hari pembalasan kelak. Pada hari itulah, setiap orang akan menerima balasan yang setimpal.

Pembalasan yang diperoleh sesuatu umat di dunia nyata sejelas-jelasnya. Ummat-ummat yang berpaling dari jalan yang lurus, tidak memperhatikan sunnah Allah, ditimpa bala-bencana yang memang berhak mereka menerimanya, yaitu kepapaan, kelemahan, kerendahan, walaupun dahulunya mereka itu kuat, disegani dan dihormati.

Tuhan menyebut Maaliki yaumid diin sesudah ar-Rahmaanir rahiim, untuk menunjukkan bahwa manusia, tidak hanya mengharap, tetapi juga harus takut. Dan untuk menyatakan bahwa Tuhan, tidak saja mendidik hamba-Nya dengan memberi, melimpahkan rahmat, tetapi juga mendidik hamba-Nya dengan menghukum, sebagai balasan terhadap perbuatan mereka.

Neny Muthi'atul Awwaliyah
Neny Muthi'atul Awwaliyah
Peneliti, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Salatiga.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...