Istilah Tafsir Maqashidi berasal dari gabungan dua kata yaitu tafsir dan maqashidi. Tafsir sebagaimana para ulama memaknainya secara etimologis dengan al-bayan wa al-idhah (menjelaskan) atau kasyf al-mugaththa (menyingkap sesuatu yang tertutup). Adapun kata maqashid dalam susunan frasa tersebut berposisi sebagai nisbat kepada pendekatan Maqashid Syariah. Maka kemudian frasa tafsir maqashidi dimaknai sebagai aktivitas penafsiran yang menggunakan pendekatan Maqashid Syariah.
Maqashid Syariah sendiri lahir sebagai sebuah keilmuan yang independen (ilm mustaqil) sejak secara epistemik diorbitkan oleh Imam al-Syatibi. Magnum opusnya, al-Muwafaqat menjadi tonggak kehadiran Maqashid Syariah, meskipun sebelumnya banyak ulama yang telah menyinggungnya namun secara spesifik dan mendalam baru dilakukan oleh al-Syatibi.
Meskipun begitu, Ahmad al-Raisuni—seorang tokoh maqashid asal Maroko—menyatakan bahwa sejatinya al-Syatibi mengembangkan beberapa gagasan para pendahulunya. Semisal melalui al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa-nya, al-Syatibi mengadopsi pembagian tingkat kemashlahatan ke dalam tiga tingkatan yaitu dharuriyah (primer), hajiyah (sekunder), tahsiniyah (tersier).
Begitu juga dengan lima hal pokok tujuan syari’at yang utama (dharuriyah): hifz al-din, hifz al-nafs, hifz al-‘aql, hifz al-nasl dan hifz al-mal, al-Syatibi mengadopsinya dari Imam al-Juwaini dalam kitabnya al-Burhan. Beberapa terminologi yang telah diadopsi dan diadaptasi oleh al-Syatibi ini, menurut al-Raisuni, telah berhasil dikembang sedemikian rupa oleh al-Syatibi sehingga layak ia digelari sebagai Bapaknya Maqashid Syariah atau founding fathers kajian ini.
Selama perkembangannya hingga saat ini, Maqashid Syariah selain menjadi keilmuan yang independen juga diaplikasikan sebagai pendekatan dalam aktivitas penafsiran. Demi menekankan pentingnya keilmuan ini dalam aktivitas penafsiran, Thahir ibn ‘Asyur—seorang ulama asal Tunisia dan dijuluki al-Syatibi junior—bahkan mengemukakan dengan tegas bahwa mengabaikan aspek maqashid dapat menjadi penyebab stagnasi, bukan saja pada pemikiran ahli fikih namun juga pada kalangan mufassir.
Baca Juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur
Apa yang disampaikan oleh ibn ‘Asyur dapat dikatakan tepat, sebab mengabaikan maqashid sama artinya dengan mengabaikan tujuan di balik makna teks dan implikasinya terkesan “mematikan” teks itu sendiri. Istilah “mematikan” di sini maksudnya adalah menghilangkan dimensi shalil li kulli zaman wa makan yang di miliki teks (teks yang dimaksud di sini adalah teks syari’at yaitu al-Qur’an dan Hadis). Maka mufassir yang menerapkan metodologi penafsiran ini tidak akan terperosok dalam jurang tekstualisme dan justru mampu menjadikan teks lebih hidup dan dinamis.
Dalam penerapannya tafsir maqashidi mempertimbangkan tiga hal pokok yaitu teks, konteks (khitab) dan maqshad atau maqashid. Asumsi teoritis dari pendekatan ini ialah bahwa teks selalu terbentuk dalam ruang-ruang sosial dan diskursus/ wacana (khitab) yang kompleks, sehingga makna teks selalu memiliki pesan yang melampaui apa yang dikatakan teks dan inilah yang disebut maqashid. Temuan akan maqashid inilah yang dapat dikontekstualisasikan atau didialogkan dengan zaman sang mufassir.
Tafsir maqashidi juga mempertimbangkan mashlahat sebagai tujuan dari syari’at itu sendiri. Dalam kaitannya dengan maslahat, tafsir maqashidi dapat masuk dalam ranah diskusi dan pengembangan mengenai upaya menjaga dan melestarikan maslahat yang diinginkan dari teks syari’at. Sebab ada dua hal yang dipertimbangkan oleh tafsir maqashidi mengenai hal wacana tersebut yaitu min haitsu al-wujud (developmental) dan min haitsu al-‘adam (protektif).
Sebagai contoh dalam menjelaskan Q.S. al-Maidah [5]: 91:
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?
Ayat ini merupakan ayat yang secara susunan mushafi berada setelah ayat pengharaman khamr. Jika dilihat dari sisi khitab-nya, ayat ini hadir sebagai penegas sikap Islam terhadap budaya konsumsi khamr di kalangan bangsa Arab waktu itu. Maka jika ditilik pengharaman khamr dalam ayat sebelumnya, ayat ini seakan memberikan gambaran fungsi atas pengharaman tersebut.
Fungsi pengharaman itu berkaitan erat dengan maslahah yang ingin dicapai. Pertama, lafaz (اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ) menunjukkan bahwa khamr dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia dan ini merupakan keinginan setan. Perkelahian dan permusuhan memang sudah menjadi suatu hal yang lazim dalam bangsa Arab yang memang secara tradisi begitu gemar meminum khamr. Dan sampai di masa saat ini pun, khamr juga tidak jarang menjadi penyebab terjadinya perkelahian, tawuran bahkan pembunuhan.
Dalam dunia kedokteran, khamr diidentifikasi dapat menjadi penyebab rusaknya kemampuan manusia untuk berpikir secara jernih. Oleh karena dari sini terlihat bahwa pelarangan khamr dari penggalan ayat ini merupakan bentuk protektif syari’at terhadap jiwa manusia dari akibat yang ditimbulkan oleh kebencian dan permusuhan (hifz al-nas), dan juga bentuk protektif dari hilangnya akal sehal (hifz al-‘aql) serta bentuk penjagaan terhadap keyakinan (hifz al-din) dari khamr yang merupakan wasilah setan untuk menggelincirkan manusia.
Maka dari poin pertama ini didapati bahwa syari’at menginginkan agar manusia selalu menjunjung perdamaian dan mencegah dirinya dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya dalam permusuhan. Syari’at juga menginginkan manusia untuk senantiasa menjaga akal sehatnya dan menghindari diri dari hal-hal yang dapat membuat akal tidak mampu berpikir maksimal. Syariat juga menginginkan manusia agar menjaga diri dari hal-hal yang merupakan tipu daya setan yang akan menggugurkan akidah.
Kedua, lafaz (وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ) mengisyaratkan bahwa syari’at ingin dengan adanya pengharaman khamr, umat Islam mampu menjalankan ibadahnya dengan baik sebagai bentuk dari eksistensi hifz al-din dari sisi min haitsu al-wujud. Kemudian, kalimat istifham pada akhir ayat bukan bermakna pertanyaan melainkan perintah, jadi maksudnya syari’at menginginkan umat Islam meninggalkan budaya jahiliyahnya dan memulai budaya baik sebagaimana yang dikehendaki syari’at.
Dari poin kedua ini didapati bahwa Islam datang dengan pelarangan bagi manusia bukan hanya dalam tujuan yang sifatnya vertikal, melainkan demi kemaslahatan manusia sendiri. Hal ini dibuktikan bahwa dari sekian banyak hal yang didapat dari khamr, keburukannya begitu banyak dan justru membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Maka di sini terlihat betapa Islam adalah agama yang begitu menyayangi pemeluknya. Wallahu a’lam.