BerandaTafsir Al QuranMengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Mengenal Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi

Pada pembahasan yang lalu telah dijelaskan biografi Hamiduddin al-Farahi, seorang mufasir kontemporer Al-Quran dari India. Ia mempunyai magnum opus di bidang tafsir Al-Quran yang berjudul Tafsir Nidzam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan. Tafsir ini merupakan karya terbesar al-Farahi sekalipun tidak penuh 30 juz Al-Quran. Berikut penjelasan mengenai tafsir ini.

Identitas Tafsir

Nama lengkap tafsir al-Farahi yaitu Tafsir Nidzam al-Quran wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan. Tafsir ini tidak lengkap 30 juz. Al-Farahi dalam tafsirnya hanya mencantumkan 13 penafsiran surat, itupun ditulis secara terpisah, yaitu Al-Fatihah, az-Zariyat, al-Tahrim, al-Qiyamah, al-Mursalat, Abasa, al-Syams, al-Tin, al-Ashr, al-Fil, al-Kautsar, al-Kafirun, dan al-Lahab.

Namun, dalam salah penelitian jurnal oleh Muhammad Yusuf al-Syurbaji dalam al-Imam Abd al-Hamid al-Farahi wa Manhajuhu fi Tafsirihi: Nizam al-Qur’an wa Ta’wil al-Furqan bil Furqan, menyebutkan ada 15 surat yang ditafsirkan oleh al-Farahi yaitu dengan menambahkan surat al-Baqarah dan al-Ikhlas. Tafsiran pada setiap surat tersebut diterbitkan dengan tahun yang berbeda, tapi ada pula yang bersamaan.

Berikut keterangan surat-surat tersebut,

  1. Tafsir surat al-Fatihah dan Basmalah beserta Fatihah Nizam, diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah, India, pada tahun 1357 H.
  2. Tafsir surat al-Baqarah, yang juga diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah, tahun 1320 H atau 2000 M.
  3. Tafsir surat adz-Dzariyat, tanpa disebutkan tahun dan penerbit.
  4. Tafsir surat at-Tahrim, ditterbitkan di Aligarh tahun 1326 H.
  5. Tafsir surat al-Qiyamah, diterbitkan di Aligarh tanpa tahun, dan untuk kedua kalinya diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah pada tahun 1403 H.
  6. Tafsir surat al-Mursalat, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  7. Tafsir surat Abasa, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  8. Tafsir surat asy-Syams, diterbitkan di Aligarh pada tahun 1326 H.
  9. Tafsir surat at-Tin, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  10. Tafsir surat al-‘Asr, diterbitkan di Aligarh pada tahun 1326 H.
  11. Tafsir surat al-Fil, diterbitkan pada tahun 1354 H.
  12. Tafsir surat al-Kautsar, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  13. Tafsir surat al-Kafirun, diterbitkan di Aligarh pada tahun1326 H.
  14. Tafsir surat al-Lahab, tanpa keterangan penerbit dan tahun.
  15. Tafsir surat al-Ikhlas, dalam bahasa Arab diterbitkan di al-Dairah al-Hamidiyah pada tahun 1378 H.

Baca juga: Mufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi, Pencetus Teori ‘Amud Al-Quran

Pada bagian awal kitab tafsirnya, al-Farahi juga menjelaskan mengenai nizam Alquran. Kemudian, pembukaan nizam Alquran dengan menampilkan 17 muqaddimah. Muqaddimah inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Exordium to Coherence in the Qur’an oleh Tariq Mahmood Hashmi. Dan disusul dengan penafsiran ke 13 surat seperti yang tersebut di atas

Metodologi, Sumber Penafsiran dan Polemik Penafsiran

Tidak seperti kebanyakan tafsir Al-Quran pada umumnya, tafsir al-Farahi ini sarat akan penggunaan metodologi nizam dan ‘amud Al-Quran dalam penafsirannya. Adapun sumber penafsiran yang digunakan al-Farahi adalah perpaduan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi karena al-Farahi menguasai beberapa keilmuan, antara lain bahasa Arab, Nahwu, Hadis, Ushul Fiqih, Filsafat, Mantiq dan keilmuan yang lain. Al-Farahi memiliki prinsip tersendiri disetiap keilmuan. Berbekal ilmu inilah al-Farahi kemudian menafsirkan Alquran.

Menurut al-Farahi dalam tafsirnya, kebanyakan mufassir hanya membahas pada aspek kebahasaan, maqasid Alquran, perdebatan mutakallimin serta fikih yang bisa menimbulkan fanatisme madzhab. Dan ada pula tafsir yang menurutnya hanya fokus pada bil riwayah dan juga israiliyat. Sedangkan al-Farahi menafsirkan Alquran dengan tujuan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Alquran adalah tujuan hidup dan juga untuk mengintegrasikan umat muslim yang waktu itu mulai terpecah.

Terdapat polemik di antara Ulama pada waktu itu, mengapa al-Farahi menafsirkan Alquran dengan bahasa Arab, padahal ia notabene berasal dari India. Al-Farahi pun menjawab segala perdebatan itu, bahwa ia menafsirkan Alquran untuk Ulama pada waktu itu yang pola pemikirannya sudah fanatisme terhadap golongan. Tanpa menyelamatkan para ulamanya, maka mustahil bisa menyelamatkan umat muslim secara keseluruhan.

Keunikan Tafsir Al-Farahi dan ‘Amud Al-Quran

Kekhasan dari al-Farahi, seperti yang telah dijelaskan di atas adalah konsep nizam nya dalam menghasilkan produk ‘amud atau tema sentral pada setiap surat. Menurutnya, nizam berbeda dengan munasabah. Lanjutnya,  nizam lebih komprehensif cakupannya dibandingkan munasabah.

Tafsir al-Farahi ini adalah tafsir berbasis surat, karena harus mengamati dengan saksama keteraturan setiap antar ayat untuk membangun sebuah tema. Sebagaimana pemaparan yang ditulis oleh Mir dalam salah satu karyanya, Coherence in the Qur’an,

According to al-Farahi, each Qur’anic surah has a distinct controlling theme called ‘amud . The ‘amud (literally, “pillar, column”) is the hub of surah, and all the verses in that surah revolve around it. In attemping to establish the unity of a surah, Farahi central concern is to determine the surah ‘amud.

Al-Farahi sendiri mendefinisikan ‘amud sebagai sesuatu yang menyatukan tema-tema wacana. Namun bukan berarti ‘amud yang mendorong pemersatu secara umum, melainkan ‘amud sebagai prinsip pemersatu yang spesifik dan pasti.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

‘Amud harus menjadi salah satu dari yang universal dan menjadi kunci untuk memahami surat serta memberi identitas pada surat. Ketika tema-tema wacana saling berkaitan dan diorientasikan pada ‘amud, kemudian wacana tersebut menjadi satu, maka wacana itu akan memiliki identitas yang berbeda.

‘Amud tampaknya memiliki lima karakteristik, yakni pertama sentralitas, tema yang berada pada semua surat bisa dikurangi, agar membentuk sentralitas tema. Yang kedua adalah konkret, harus berupa sesuatu yang konkret, bukan pada nada/karakter ataupun suasana hati (tone and mood). Yang ketiga adalah memiliki perbedaan, ‘amud pada satu surat harus memiliki perbedaan yang jelas dengan surat lainnya.

Yang keempat adalah universal, yang berarti bahwa hal-hal seperti perintah khusus tidak dapat berfungsi sebagai ‘amud, meskipun mungkin dapat diilustrasikan dari ‘amud. Dan yang kelima adalah memiliki nilai hermeneutik. Hal ini berarti, memberikan titik acuan dasar dalam surat dan semua tema serta gagasan dalam surat itu harus dijelaskan dengan sebuah rujukan (Abdul Hamid al-Farahi dalam Tafsir Nidzam al-Qur’an wa Ta’wil al Furqan bi al-Furqan).

Berpijak pada pernyataan di atas, menegaskan bahwa, al-Farahi mencoba untuk membuktikan bahwa pada setiap surat pasti terdapat ‘amud. Jika kembali pada penafsiran yang dilakukan oleh al-Farahi, yang hanya menafsirkan beberapa surat, ada di antara surat tersebut yang tidak dicantumkan atau dijelaskan ‘amud-nya. Jadi ringkasnya adalah ‘amud merupakan tema hermeneutik yang signifikan, ditandai dengan sentralitas, konkret, perbedaan dan universal.

Terlepas dari beberapa polemik penafsiran tafsir nidzam, keberadaan Tafsir Nidzam Al-Quran karya Hamiduddin Farahi semakin memperkaya khazanah munasabah terutama kajian nidzam dalam ulum Al-Quran. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU