BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaMengenal Tradisi Aswaja dalam Tafsir Surah Yasin Karya Kiai Abdul Basith

Mengenal Tradisi Aswaja dalam Tafsir Surah Yasin Karya Kiai Abdul Basith

Bagi kita yang belum membaca Tafsir Surah Yasin milik Kiai Abdul Basith mungkin tak pernah terbayangkan kalau dalam karya yang satu ini begitu kental dengan nuansa ke-NU-an. Dalam tafsirnya itu, seolah Kiai Basith mencoba mensosialisasikan pesan dan nilai yang dibawa Al-Quran dengan bercirikhas ala NU. Di antara yang paling kentara adalah seperti tradisi membaca surah Yasin (Yasinan/Tahlilan) dan wiridan bil al-jahr selepas salat. Di sisi lain, ini menjadi bukti layaknya tafsir pada umumnya, kehadiran Tafsir Surah Yasin tidak bisa dilepaskan dari sosok penulisnya sendiri sebagai tokoh penting di lingkungan NU dan seorang kiai pesantren.

Tradisi ‘Yasinan’

Dalam kehidupan warga Nahdliyyin, surah Yasin adalah salah satu surah yang paling favorit dan sering dibaca setiap hari. Terlebih lagi kalau malam jum’at tiba, masyarakat NU antusias berbondong-bondong untuk mengikuti pembacaan Yasin dan tahlil bersama. Dalam pengantar tafsirnya, tidak hanya mengapresiasi, Kiai Abdul Basith bahkan memberikan pijakan normatif betapa pentingnya tradisi Yasinan yang sudah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat NU itu. Ia menandaskan:

“Dalam pandangan penulis, warga Nahdliyyin mestinya patut berbahagia jika selama ini memiliki tradisi untuk selalu membaca surah Yasin dan mengamalkannya dalam kehidupan, meskipun belum mengerti hadis yang menjelaskan keperluannya. Sadarilah bahwa ajaran Islam itu terdiri dari dua hal: hablum minallah dan hablum minannas sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah dalam surah Ali Imran ayat 112.” (lihat Basith, Tafsir Surah Yasin)

Baca Juga: Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem, Semarang

Bagi Kiai Abdul Basith, kita warga NU sudah sepatutnya berbahagia dengan tradisi membaca surah Yasin dan menghidupkannya dalam kehidupan. Pembacaan surah Yasin secara bersama-sama taruhlah seperti pada acara tahlilan malam jum’at atau pada acara hajatan yang lain, merupakan suatu tradisi yang memiliki banyak manfaat. Tradisi yang sudah lama turun temurun ini tidak sekadar melestarikan hablum minallah, tetapi lebih dari itu juga menjaga keberlangsungan hablum minannas seperti yang termaktub dalam QS. Ali Imran [3]: 112.

Mempererat silaturahmi, solidaritas, meraih berkah dan masih banyak lagi manfaat yang bisa kita dapatkan. Lebih dari itu, surah Yasin juga sudah menjadi kebiasaan masyarakat dibaca ketika salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surah ini dibaca dengan harapan andai bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga segera diambil oleh-Nya dengan tenang.

Di saat itu, adakalanya surah Yasin dibaca oleh pihak keluarga sendiri, ada juga yang dibaca bersama-sama dengan para tetangga. Tetapi yang jelas, orang yang sakit itu sudah tidak memiliki harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akhir kehidupannya telah benar-benar tampak. Singkat kata, pembacaan surah Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah (lihat Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, 307-310)

Wiridan ‘bi al-Jahr’ Selepas Salat

Sewaktu menafsiri ayat 33-35, ada yang menarik dari penjelasan Kiai Basith.

وَءَايَةٞ لَّهُمُ ٱلۡأَرۡضُ ٱلۡمَيۡتَةُ أَحۡيَيۡنَٰهَا وَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهَا حَبّٗا فَمِنۡهُ يَأۡكُلُونَ  ٣٣ وَجَعَلۡنَا فِيهَا جَنَّٰتٖ مِّن نَّخِيلٖ وَأَعۡنَٰبٖ وَفَجَّرۡنَا فِيهَا مِنَ ٱلۡعُيُونِ  ٣٤ لِيَأۡكُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦ وَمَا عَمِلَتۡهُ أَيۡدِيهِمۡۚ أَفَلَا يَشۡكُرُونَ  ٣٥

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengakapakan mereka tidak bersyukur?”

Kiai Abdul Basith mengawali penafsirannya dengan menyampaikan:

“Dalam ayat 33 Allah. menyatakan bahwa salah satu kebesaran-Nya yang terletak pada penciptaan Bumi, penciptaan hujan dan dari huja itulah semua makhluk hidup yang ada di bumi bisa makan dan tumbuh. Dalam ayat 34-35 Allah juga menyatakan penciptaan kebun-kebun dan sumber mata air untuk makanan manusia supaya mereka bersyukur.” (lihat Basith, Tafsir Surah Yasin)

Dari cuplikan penafsiran di atas, Kiai Basith memulai penafsirannya dengan menguraikan tentang ke-Esaan Tuhan. Salah satu tanda ke-Esaan Tuhan adalah keberadaan bumi dan menurunkan hujan sehingga semua makhluk yang ada di bumi dapat bertahan hidup. Hal ini dikarenakan kehidupan semua makhluk bumi selalu berhubungan dengan makanan.

Menariknya, setelah menjelaskan ke-Esaan Tuhan dengan mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 152, Kiai Basith melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan bahwa sepantasnya manusia bersyukur karena telah diberi karunia yang begitu melimpah. Menurut Kiai Basith, salah satu cara mengekspresikan rasa syukur kita kepada Allah adalah dengan membaca wiridan setiap kali selesai salat yaitu dengan membaca subhanallah sebanyak 33 kali, alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali (lihat Basith, Tafsir Surah Yasin).

Baca Juga: Tujuan Al-Quran Diturunkan: Merubah Tradisi Buruk Masyarakat Jahiliyyah

Tatacara menyampaikan rasa syukur dengan membaca wiridan yang ditawarkan oleh Kiai Abdul Basith mencerminkan sosok dirinya sebagai tokoh NU sekaligus kiai di pesantren. Sejarah memang sudah membuktikan bagaimana pesantren-pesantren sukses menjadi sentra pelestarian tradisi wiridan. Sederhananya, wiridan adalah kegiatan dzikir dan doa yang dilakukan setelah salat baik sendiri atau berjama’ah dengan dibaca bersuara (bi al-jahr).

Wiridan selepas salat semacam ini sudah menjadi rutinitas kaum muslimin terutama warga NU. Wiridan sangat dianjurkan oleh agama karena di antara waktu yang mustajabah adalah ketika selesai menunaikan salat. Satu di antara beberapa dalil yang menganjurkan agar kita selalu wiridan selepas salat adalah QS. Al Nisa’ [4]: 103 (lihat Hartono dan Lutfauziyah, NU dan Aswaja: Menelusuri Tradisi Keagamaan Masyarakat Nahdliyyin di Indonesia, 100-101). Wallahu a’lam []

Fawaidur Ramdhani
Fawaidur Ramdhani
Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan Dosen Ma’had Ali UIN Sunan Ampel Surabaya. Minat pada kajian tafsir Al-Quran Nusantara, manuskrip keagamaan kuno Nusantara, dan kajian keislaman Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...