Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem, Semarang

Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem
Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem

Pada tulisan berjudul Mengenal Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis Part 1 dan Part 2 penulis telah mengulas Mushaf Blawong koleksi masyarakat Gogodalem, Semarang: asal penamaan, nisbat kepemilikan serta deskripsi singkat mushafnya. Pada seri tulisan kali ini, akan diulas tentang bagaimana peran Mbah Jamaluddin dan mushaf-mushaf ini mampu memberikan warna tersendiri pada interaksi masyarakat terhadap Mushaf Blawong sebagai sebuah simbol keagamaan. Dengan begitu, proses interaksi Mbah Jamaluddin mampu melahirkan tradisi wirid yasin di Gogodalem.

Living Al-Qur’an

Profesor Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam The Living Al-Qur’an menjelaskan bahwa kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah umat manusia sejatinya mengalami berbagai perlakuan, seperti pemaknaan, pemberian arti dan resepsi (penerimaan). Perlakuan ini sangat mungkin terjadi karena manusia merupakan animal symbolicum yang memiliki kemampuan menggunakan, menciptakan dan mengembangkan simbol. Sementara Al-Qur’an sebagai sebuah teks agama merupakan kumpulan, jaringan dan susunan simbol-simbol.

Dalam frame penjelasan Ahimsa ini, Mbah Jamaluddin dan Mushaf Blawong Gogodalem tak lebih dari simbol-simbol keagamaan yang dapat dimaknai secara beragam oleh masyarakat. Masing-masing dari mereka boleh jadi mempunyai pemaknaan yang berbeda, satu dengan yang lainnya. Dan hal itu sah dilakukan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Haruskah Menyebut Allah Saat Menyembelih, Bagaimana Jika Lupa?

Dari penuturan Kiai Ahsin, ada setidaknya lima bentuk interaksi terhadap Mushaf Blawong: 1, khataman Mushaf Blawong; 2, peringatan haul awliya’ Gogodalem; 3, mujahadah malam Ahad Pahing; 4, wiridan Yasin; dan 5, khataman ‘serial’ mushaf Blawong. Namun karena keterbatasan data, dalam seri tulisan kali ini penulis hanya akan menyajikan dua bentuk interaksi yang disebutkan terakhir, wiridan Yasin dan khataman ‘serial’.

Tradisi Wirid Yasin

Ada yang berbeda dari masjid At-Taqwa Dukuh Kauman, Desa Gogodalem, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, jika kita mengunjunginya bertepatan dengan waktu salat Maghrib didirikan. Adalah wirid ba’da salat dengan membaca surat Yasin; Surat ke-36 dari Al-Qur’an.

Menurut Kiai Ahsin, wiridan surat Yasin ini telah ia jumpai sejak ia masih kecil. Hingga saat ini, setelah imam masjid mengalami pergantian sebanyak empat kali, pun tradisi wirid ini masih tetap dilanjutkan. Ia dan masyarakat sekitar percaya bahwa tradisi wirid ini telah dilakukan dan menjadi peninggalan sejak masa awliya’ Gogodalem masih hidup.

Umumnya musala atau masjid di wilayah lain selain Kauman ini hanya melakukan pembacaan surat Yasin setiap malam Jum’at, yang lantas diiringi dengan pembacaan tahlil dan doa. Beberapa diantaranya ada yang mendahuluinya dengan wirid harian yang biasa dibaca, sementara yang lain ada yang ikhtishar (meringkas) pada Yasin, tahlil dan doa.

Baca juga: Analisis Semantik Makna Kata Hubb dan Derivasinya dalam Al-Qur’an

Sedangkan dihari-hari biasa, selain malam Jum’at, wirid harian yang lazim dibaca umumnya berkisar pada bacaan istighfar sebanyak 3 kali, tahlil 3 kali, Allahumma Anta al-Salam, surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, tasbih-tahmid-takbir masing-masing 33 kali, dan tahlil penutup serta doa. Tetapi di Kauman, surat Yasin menjadi semacam ‘bacaan wajib’ setelah salat Maghrib. Itu lah mengapa disebut wiridan Yasin.

Ritual wiridan Yasin ini dimulai begitu imam usai dari mengucapkan salam yang kedua. Hadlarah tiga kali masing-masing ditujukan kepada Kangjeng Nabi Saw., keluarga, sahabat dan tabi‘in; para wali dan ulama ahli thariqah; dan awliya’ Gogodalem serta ahli kubur umat Islam di seluruh dunia.

Setelah berkirim hadlarah, baru lah surat Yasin dibaca, dari awal sampai akhir. Pembacaan ini dipandu oleh bacaan imam yang membaca dengan suara lantang. Sementara jamaah mengikuti dengan jarak yang hampir bersamaan, sebagaimana lazim kita saksikan di berbagai acara serupa. Pembacaan dilakukan dengan metode bi al-ghaib alias hafalan. Mungkin karena telah menjadi wirid sehingga kebanyakan jamaah secara tidak sadar dan berangsur-angsur menjadi hafal di luar kepala.

Usai menyelesaikan bacaan surat Yasin, imam akan memberikan komando untuk bersama-sama membaca surat Al-Fatihah dan melanjutkannya dengan doa. Doa sendiri ditujukan kepada awliya’ Gogodalem dan ahli kubur jamaah serta umat Islam di seluruh dunia. Kemudian ritual ditutup dengan membaca Ya Qawiyyu Ya Matin beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar ditutup dengan bacaan Ikfi Syarr al-Dzalimin.

Baca juga: Surat Ali ‘Imran [3] Ayat 133: Bersegeralah Memohon Ampun Kepada Allah Swt

Memang tidak semua jamaah yang mengikuti salat Maghrib mengikuti wirid ini, baik secara jasadan atau ruhan. Jasadan artinya dari total keseluruhan jamaah yang berjumlah sekitar 50 sampai 70 orang, putra-putri, paling-paling hanya tersisa 20-25 orang. Sementara ruhan, dari 20-25 jamaah yang tersisa beberapa diantara tidak ikut membaca karena terlanjur khidmat dalam bacaan sehingga tertidur atau memilih diam karena ketidakmampuan melafazkan Yasin.

Mereka yang rutin mengikuti wirid ini adalah bapak-bapak dan ibu-ibu berusia paruh baya hingga lanjut usia. Tidak satu pun penulis jumpai anak-anak atau remaja yang mengikuti wirid ini sampai selesai. Maklum. Durasi waktu yang dibutuhkan memang lebih lama jika dibandingkan dengan wirid harian. Selain itu juga ketidakmungkinan melakukan ikhtishar pada wiridan Yasin ini.

Namun jika melihat lamanya perjalanan eksistensi wiridan Yasin hingga saat ini, ghirah (semangat) untuk ngurip-urip (menghidupkan) tradisi ini cukup kuat. Sampai disini penulis melihat ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Diantaranya adalah keberadaan Dukuh Kauman yang menjadi ‘rumah’ bagi awliya’ dan mushaf-mushaf Blawong.

Jika mendengar penjelasan Kiai Ahsin, Dukuh Kauman memang telah menjadi semacam ‘kiblat’ bagi dukuh-dukuh lain di Desa Gogodalem. Hal itu disebabkan kedekatannya dengan awliya’ yang menjadi leluhur serta wibawa yang dimiliki masyarakat Dukuh Kauman karena mengemban tanggung jawab penjagaan makam leluhur dan mushaf Blawong yang menjadi peninggalan.

Baca juga: Memahami Tafsir sebagai Produk dan Proses Perspektif Abdul Mustaqim

Selain faktor tersebut, darah yang mengalir dalam diri masyarakat Kauman adalah darah-darah awliya’ Gogodalem karena ketersambungan nasab atau jalur keturunan. Sehingga menghidupkan tradisi menjadi semacam tanggung jawab moral yang harus diemban oleh setiap individu masyarakat. Jika tidak kita, lantas siapa lagi?, kira-kira demikian.

Apa pun faktor yang mendasari langgengnya eksistensi wirid Yasin, yang jelas tradisi ini merupakan salah bentuk interaksi yang terjalin antara masyarakat Gogodalem dengan awliya’ dan mushaf-mushaf Blawong sebagai simbol-simbol keagamaan. Yang menjadikannya spesial karena berbeda dengan bentuk interaksi di wilayah-wilayah lain. Wallahu a‘lam bi ash-shawab.