Artikel sederhana ini masih melanjutkan dua artikel sebelumnya, Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura dan Pemikiran Muhammad Irsyad tentang Integrasi Al-Quran dan Sains. Sebagai bagian dari warisan khazanah Tafsir Nusantara, keberadaan Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) layak diapresiasi. Kehadiran tafsir ilmi karangan budayawan multi talenta ini telah melengkapi sederet tafsir lokal, khususnya yang memberikan perhatian lebih pada penafsiran-penafsiran ilmiah.
Kalau melihat pemetaan Hasanah dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an di Madura: Periodisasi, Metodologi, dan Ideologi, Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) merupakan tafsir pertama di tatar Madura yang memiliki kecenderungan khusus pada penafsiran-penafsiran ilmiah. Dengan kata lain, tafsir ini adalah tafsir ilmi pertama yang pernah muncul dalam sejarah dan tradisi penafsiran di Madura.
Latar belakang penulisan
Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) mulai ditulis oleh Muhammad Irsyad sekitar tahun 1985-an dan rampung tahun 1988. Irsyad sendiri sempat merevisi tafsirnya usai mendengar kabar dari salah satu penerbit di daerah Jakarta yang bersedia menerbitkan. Sebelum akhirnya, tanpa diketahui alasan pastinya, pihak penerbit mengurungkan niatnya untuk menerbitkan tafsir berbahasa Madura ini. Hingga sekarang, tafsir produk budayawan tersebut belum juga diterbitkan.
Menurut salah seorang putra dari Irsyad, Adrian Pawitra, ada dua faktor yang menurutnya menjadi kendala mengapa tafsir ini tidak berhasil diterbitkan. Keberadaan tafsirnya yang dinilai tidak akan memiliki daya jual fantastis membuat pihak penerbit masih meragukan dan akhirnya urung untuk menerbitkanya. Keterbatasan finansial saat itu juga disinyalir sebagai salah satu penyebab karya ayahanda Pawitra ini tidak diterbitkan. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan tafsir ini. Mungkin hanya segelintir orang seperti keluarga dan teman-teman dekat Irsyad.
Baca juga: Pemikiran Muhammad Irsyad Tentang Integrasi Al-Quran dan Sains
Pada lembar pendahuluan, Irsyad memberikan pengantar perihal tujuan serta maksud penulisan dan penyusunan karyanya. Dijelaskan olehnya, bahwa penulisan kitab tafsir surah Yasin ini beserta makna dan penjelasannya dengan media bahasa Madura, tidak lain adalah sebuah keinginan yang begitu mendalam agar Al-Quran, sekurang-kurangnya surah Yasin, tidak hanya dijadikan sebagai bacaan saja melainkan juga dipahami maksud dan kandungannya.
Tujuan lain dari penulisan tafsir ini adalah upaya dari Muhammad Irsyad untuk memberikan stimulan kepada pembaca agar senantiasa merenungi keterbelakangan negara Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang sudah maju. Keterpurukan Indonesia dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Irsyad disebabkan oleh masyarakat yang abai terhadap Al-Quran. Padahal, segala ilmu pengetahuan sesungguhnya sudah termuat dalam Al-Quran.
Baca juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura
Karena merasa prihatin melihat keterpurukan Indonesia, lebih-lebih soal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang jauh bila dibandingkan negara-negara lain. Maka, dengan segala keterbatasannya, ia pun memberanikan diri untuk ikut menyumbangkan andil. Dengan harapan, gagasan dan pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan dalam tafsirnya mampu membangunkan kesadaran masyarakat perihal kondisi buruk yang sedang dialami bersama.
Bentuk fisik, sistematika dan metode tafsir
Bentuk fisik Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) tidak jauh berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Pada bagian sampul, tertulis nama kitab, Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura), nama pengarang dan ukiran kaligrafi bertuliskan Tafsir Surah Yasin bi al-Lughah al-Maduriyah Muhammad Irsyad. Di dalam tafsirnya, Irsyad menempuh sistematika penulisan materi penafsiran melalui tiga tahap.
Pertama, penulisan teks ayat dengan menggunakan tulisan tangan di sebelah kanan atas halaman dan disertai nomor ayat. Kedua, terjemahan ditulis dengan mesin ketik di sebelah kiri teks ayat dan disertai nomor terjemah. Teks ayat dan terjemahannya dipisah dengan menggunakan garis vertikal. Terjemahan disusun sejajar dan setentang dengan teks ayat, sehingga memudahkan untuk mengetahui nomor-nomor ayat beserta terjemahannya.
Ketiga, penjelasan dan penafsiran ditulis tepat di bawah teks ayat dan terjemahan serta dipisah dengan menggunakan garis horizontal. Tidak semua ayat diberikan penafsiran. Irsyad hanya menafsirkan ayat-ayat yang dirasa perlu untuk diberikan penjelasan. Ayat-ayat yang ditafsirkan ditandai dengan annotated translation. Pada beberapa kesempatan, Irsyad juga memberikan penjelasan tambahan dalam terjemahan ayat.
Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) dapat digolongkan ke dalam tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-ra’y ini bertolak belakang dengan tafsir bi al-ma’thur yang memiliki ketergantungan terhadap riwayat. Pada beberapa kesempatan—walau porsinya amat sedikit—terkadang Muhammad Irsyad juga mengutip suatu ayat atau hadis. Meskipun, dalam pengutipan itu lebih dimaksudkan untuk memperkuat penafsirannya.
Metode tafsir yang digunakan adalah metode maudu‘ī surah (tematik surah). Metode ini biasanya merapkan langkah; 1) menetapkan satu surah dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surah yang akan dibahas; 2) menerangkan keistimewaan surah; 3) membagi surah (khususnya surah-surah yang panjang) ke dalam bagian-bagian kecil atau tema-tema kecil; dan 4) menghubungkan kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.
Nuansa sosial kemasyarakatan
Ketika membaca Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura), kita akan menemukan banyak sekali penafsiran-penafsiran ilmiah. Pada beberapa bagian, mufasir bahkan sengaja memberikan gambar-gambar yang ia buat sendiri. Tujuannya tidak lain adalah agar pembaca bisa dengan mudah menyerap penjelasan-penjelasan yang diberikan. Walau kadang, kita yang awam di bidang kelilmuan astronomi akan dibuat pusing dengan angka-angka astronomis yang rigid.
Meski begitu, sebagai sebuah produk pemikiran, kehadiran Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan yang mengitari sang mufasir. Maka wajar saja kalau pada beberapa bagian tafsirnya, Irsyad terlihat membawa dimensi sosial yang ia alami sehingga penafsirannya pun bernuansa sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah ketika menafsirkan ayat 21.
Pada penafsiran ayat 21 ini, Irsyad mengaitkan pengertian ayat yang ditafsirkan ini dengan situasi dan kondisi masyarakat Madura. Dalam tradisi masyarakat Madura ‘upah’ di sini diistilahkan dengan lim-sallim (amplop berisi uang sebagai bisyarah). Sebagai tokoh dai yang terjun langsung di tengah-tengah masyarakat, Irsyad memang dikenal anti ‘amplop’, dan ia pun berharap para tokoh dai yang lain demikian jika ingin meneladani para rasul Allah Swt. Sebab, selama menjalankan misi risalah tauhid, jangankan menerima, terbesit dalam benak para nabi keinginan agar mendapatkan upah sedikitpun saja tidak pernah.
Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang
Nuansa ini juga dijumpai ketika Irsyad mengkritik pedas mistisme masyarakat Madura yang meyakini bulan sebagai makhluk hidup berkekuatan supranatural, terutama sekali pada momen gerhana. Masyarakat Madura punya tradisi kuno, ketika tiba waktunya gerhana bulan, para gadis keluar rumah dengan merias diri secantik mungkin; anak-anak kecil dijunjung dagunya biar bisa tumbuh tinggi semampai; dan mengibas daun-daun dengan tujuan membangunkannya. Mitos-mitos kuno semacam itu menurut Irsyad sama sekali tak sejalan dan tak berdasar pada Al-Qur’an, hadis ataupun ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lam[]