Badiuzzaman Said Nursi lahir di desa Nurs, Anatolia Timur tahun 1293 H/1876 M tepat diakhir masa ke khalifahan Ustmani (Sultan Abdul Hamid II), dan wafat pada tahun 1960 M. Badiuzzaman Said Nursi merupakan seorang yang alim, tawaduk, zuhud, genius serta banyak menguasai berbagai macam disiplin keilmuan. Kehausan akan ilmu pengetahuan sudah muncul semenjak Said Nursi di usia belia. Ia tumbuh sebagai anak yang kritis. Ia sering mengajukan pertanyaan kritis kepada ayah dan ibunya. Dalam rangka belajar dan mencari guru yang handal dan profesional, ia sering berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lain, dari satu madrasah ke madrasah yang lain. (Siratu al-Dhatiyah, 2008)
Kegeniusan Nursi mulai terlihat ketika ia mampu menyelesaikan dan memahami pelajaran dalam jangka waktu tiga bulan saja, padahal untuk orang lain, normalnya diperlukan waktu dua puluh tahun. (Biografi Said Nursi, 29). Julukan “Badiuzzaman” yang berarti “keajaiban zaman” di depan namanya sebagai sebagai bentuk pengakuan ulama dan para ilmuwan terhadap kecerdasannya, pengetahuan serta wawasannya yang luas. (al-Lama’at, vi)
Di balik kecerdasan Said Nursi tersebut, ada andil didikan kedua orangtuanya, Mirza dan Nuriye. Keduanya dikenal sebagai tokoh sufi pada masanya. Dikatakan bahwa keduanya tidak pernah meninggalkan shalat tahajud, Mirza (ayah Nursi) selalu berdzikir setiap tarikan nafasnya dan selalu menjaga dari keharaman baik dari makanan yang masuk ke keluarganya maupun hewan peliharannya, bahkan selalu mengikat mulut lembunya sampai di lapangan yang halal rumputnya. (Api Tauhid, 129) Demikian pula Nuriye (Ibu Nursi). Ia selalu menjaga dirinya dari hal yang syubhat, selalu menjaga wudu kecuali ada uzur, dan tidak menyusui anak-anaknya kecuali dalam keadaan suci. (Siratu al-Dhatiyah, 56).
Baca Juga: Konsep Masyarakat Ideal Menurut Said Nursi
Seputar Rasail Nur
Rasail Nur merupakan nama dari kumpulan kitab tafsir karangan Said Nursi. Karya tafsir ini terdiri dari sepuluh jilid yaitu al-Lama’at, al-Maktubat, al-Lama’at, al-Syua’at, Isyarat al-I’jaz fi Mazann al-I’Jaz, al-Masnawi al-‘Arabi al-Nuri, al-Malahiq fi Fiqh Da’wah al-Nur, Saiqal al-Islam, Sirah al-Zatiyah, dan al-Faharis. (Mursyid Ahl al-Qur’an…, 81)
Ada cerita menarik di balik penulisan tafsir Rasail Nur. Ketika Nursi berumur lima belas tahun, ia bermimpi bertemu dengan para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi tersebut, Said Nursi mencium tangan nabi Muhammad serta meminta agar di ajarkan ilmu. Nabi Muhammad lantas berkata “Kelak kamu akan dianugerahi ilmu Alquran, kamu tidak bertanya kepada siapapun.” (Siratu al-Dhatiyah, 67)
Setelah perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW. dalam mimpi tersebut, Said Nursi menjadi lebih bersemangat untuk terus menuntut ilmu dan menyelami Alquran, sehingga menghasilkan karya besar yang berjumlah seratus tiga puluh risalah (al-Maktubat, x-xi). Karya-karya tersebut bahkan telah diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa dengan judul Rasail Nur. (Biografi Badiuzzaman Said Nursi, 974)
Selain itu, dijelaskan juga bahwa latar belakang penulisan Rasail Nur adalah untuk menguatkan keimana umat Islam di tengah kecamuk perang dan kondisi politik di bawah rezim sekuler yang melanda Turki pada saat itu. (Said Nursi dan Sufi Besar Abad 20, 130)
Baca Juga: Muhammad Rasyid Ridha: Mufasir Penerus Gagasan Pembaharuan Islam
Sekilas tentang sumber, metode dan kecenderunga tafsir
Dilihat dari sumbernya, Said Nursi dalam menafsirkan sebuah ayat Alquran tidak hanya berdasarkan pada riwayah (man’qul) saja, namun juga berdasarkan pada ra’yu (ma’qul) atau biasa disebut dengan Iqtirani. Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Ghofur Mustafa Ja’far, bahwa dalam menafsirkan Alquran, Said Nursi menggunakan langkah-langkah yang sama sebagaimana yang disepakati oleh para ulama, yaitu menafsirkan Alquran dengan Alquran. (al-Tafsir wa al-Mufassirun,747) Hal tersebut dapat dibuktikan dari salah satu karyanya yang berjudul Isyarat al-I’jaz fi Mazann al-I’Jaz yang mencoba menafsirkan surah Albaqarah ayat ke-7 dengan surah Annisa ayat ke-69. (Isyarat al-I’jaz, 32)
Sedang dilihat dari penjelasannya, Said Nursi menafsirkan Alquran secara deskriptif, meski dalam pengakuannya ia menulis karyanya secara ringkas, tetapi dapat dilihat secara umum cara penyajian tafsirnya lebih kepada deskriptif, karena menjelaskannya dari banyak sisi. Mula-mula Nursi menafsirkan Alquran dengan Alquran, dilanjutkan dengan penjelasan dari segi balaghiah (gaya bahasanya) dan makna atau maksud yang terkandung dalam ayat Alquran. (Maqasid al-Qur’an Perspektif Said Nursi, 74).
Sementara itu, jika dilihat dari segi sasaran dan tertib ayatnya, Said Nursi menggunakan dua metode sekaligus yaitu tahlili dan juga mawdui, metode tahlili digunakan hanya di satu karyanya saja yaitu dalam Isyarat al-I’jaz fi Mazann al-I’Jaz, (Maqasid al-Qur’an Persfektif Said Nursi, 78) sedangkan dalam karyanya yang lain menggunakan metode mawdui. (Mengenal Risalah Nur Karya Said Nursi, 110).
Adapun untuk kecenderungan tafsirnya, Said Nursi dalam Rasail Nur nya memiliki banyak ketertarikan, mulai dari bahasa, tasawuf, teologi, sosial kemasyarakatan maupun ilmi (sains). (Mengenal Risalah Nur Karya Said Nursi, Maghza, 120). Namun kecenderungan yang paling besar dalam karya tafsirnya adalah lughawi atau adabi (Bahasa dan sosial kemasyarakatan). (Maqasid al-Qur’an Persfektif Said Nursi, 80).