Istilah pluralitas tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, di manapun dan kapanpun. Istilah ini akan terus melekat dan berbaur dalam ruang lingkup aktivitas manusia yang dinamis, beragam, dan berkembang. Pluralitas ataupun pluralisme berasal dari akar kata yang sama, yakni plural yang berarti jamak/beragam. Terkadang, pluralitas dan pluralisme dipahami sama, padahal keduanya berbeda. Pluralitas merupakan kenyataan realitas sosiologis, sedangkan pluralisme adalah sebuah kesadaran akan realitas tersebut.
Dalam konteks kehidupan beragama, pluralime adalah penggabungan antara persamaan nilai pada semua agama dan pemeliharaan identitas yang beragam, yaitu ide kesalingpahaman (ta’aruf) yang merupakan fondasi dari toleransi (Budi Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, 2010).
Al-Quran juga menyinggung topik toleransi beragama ini, di antaranya dalam QS. Al-Hujurat: 13, Al-Kafirun: 1-6, dan Al-Maidah: 48. Dalam ayat-ayat tersebut, al-Quran mengakui adanya pluralitas, baik dalam ranah teologis, etnis, dan sosial. Ini mengindikasikan bahwa Islam, melalui al-Quran, sangatlah toleran, terbuka dalam memandang perbedaan, senantiasa mengajak kepada keharmonisan, tanpa meniadakan keyakinan yang teguh terhadap agama Islam itu sendiri.
Adapun tulisan ini berfokus pada QS. Al-Hujurat: 13. Ayat ini memuat nilai pluralisme yang dirasa sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Baca juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8: Al-Quran Ketika Menyikapi Pluralitas Beragama
Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13
Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an menjelaskan bahwa kata khalaqnakum min zakarin wa untsa maksudnya adalah Allah menciptakan manusia melalui air yang keluar dari laki-laki dan perempuan, atau bahasa lainnya adalah keluar dari air yang terpancar, berasal dari tulang punggung (shulb) dan tulang dada (tara’ib) (QS. 86: 07), sehingga terciptalah manusia yang berkembang menjadi syu’ub dan qabail.
Adapun syu’ub merupakan bentuk jamak dari kata sya’bun, yakni al-Jumma’, sifanya menyeluruh. Sedangkan qaba’il, jamak dari kata Qabilah dimaknai sebagai suku/bani (klan), yang arenanya sedikit lebih sempit. Al-Thabari juga mengutip beberapa pendapat, bahwa baik syu’ub maupun qabail keduanya masih memiliki hubungan nasab, bedanya adalah syu’ub hubungan nasabnya lebih dekat daripada qaba’il yang jauh (al-Thabari: Jami’ al-Bayan, Juz 21).
Alasan Allah menciptakan manusia yang terdiri dari syu’ub dan qaba’il menurut Ibnu ‘Asyur adalah lita’arafu, saling mengenal satu sama lain –sekaligus wujud harmonisasi dalam kehidupan sosial– dan menyadari bahwa di antara golongan tersebut berasal dari satu wadah yang samaو yakni min zakarin wa untsa.
Ibnu ‘Asyur juga menilai tidak sedikit hikmah di balik saling mengenal; selain untuk memperkuat ikatan persaudaraan, saling menghargai, dan menciptakan hubungan harmonis antar sesama, ayat ini juga sebagai peringatan (warning) kepada manusia untuk tidak memantik perpecahan yang justru dapat memberikan dampak buruk dalam kehidupan sosial. Sedangkan sumbu perpecahan dalam masyarakat yang plural adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah yang sama ayat 11, yaitu; mengolok-olok, mencaci, mencemooh, dan sebagainya (Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 26).
Baca juga: Konsep Lita’arafu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman
Agama, Budaya, dan Pluralisme
Ayat di atas menurut Haidar Bagir adalah isyarat adanya hubungan intim antara “agama” dan “budaya”, serta mengindikasikan bahwa Islam sangat menghargai budaya sebagai sumber kearifan (wisdom). Ini terlihat melalui kata lita’arafu, yang berarti perintah untuk belajar kearifan dalam kehidupan yang plural.
Ia melanjutkan, hubungan agama dan budaya juga bisa disaksikan dalam QS. Yunus [10]: 47); “bagi tiap-tiap umat seorang rasul”. Ayat tersebut menujukkan bahwa budaya adalah warisan hikmah yang diturunkan Allah melalui nabi-nabi yang pernah diutus sepanjang sejarah manusia. Sedangkan nabi yang diutus menurut mayoritas ulama tidak kurang dari 124.000 nabi.
Karena itu, selama budaya bisa dibuktikan dan tidak dipertentangkan dalam agama, maka budaya itu bisa dianut dan sedikit banyak itu merupakan peninggalan para nabi. Kalau demikian, budaya bukan hanya bisa dianut, lebih jauh, ia memiliki tempat yang absah (legitimate), atau bahkan kesakralan pada tingkat tertentu (Haidar Bagir: Islam Tuhan Islam Manusia, 2019).
Dalam ilmu biologis disebutkan bahwa manusia berasal dari spesies yang sama, atau yang diistilahkan oleh Erikson (1985) dengan genetic-speciation. Di saat yang sama, manusia memilah diri menjadi ratusan ribu suku bangsa dengan keragaman bahasa, adat-istiadat, agama, dan ideologi. Karena perbedaan budaya tersebut, manusia kemudian menjadi terkotak-kotak dalam berbagai kelompok sosial, dan hanya menggunakan satu sudut pandang saja dari padangan sekitar yang luas. Inilah yang diistilahkan dengan pseudo-speciation.
Menyambung istilah ini, Yayah Khisbiyah menyoroti pengotakan budaya tersebut. Menurutnya, pemilahan itu memberi sense of identity yang membuat suatu golongan merasa superior dan berbeda dibanding kelompok lain. Masing-masing kelompok merasa lebih baik dan hadir dengan tujuan supranatural yang “paling” mulia daripada kelompok lain. Ini akhirnya beruntut pada asa untuk mendapatkan ruang dan momentum di tengah alam semesta, dengan “meng-ada” dan “men-jadi”. Hal ini semakin mengafirmasi superioritasnya di atas kelompok lain.
Sikap demikian yang belakangan ini dikenal dengan politik identitas. Sebuah promblem yang dinilai menggerogoti peran pluralitas sebagai fitrah manusia. Menurut Syafi’i Ma’arif, munculnya isu politik identitas diawali masalah minoritas; jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Kemudian merambah pada aspek keagamaan, ideologi, budaya, dan ikatatan kultural lain yang beragam, sehingga nilai superioritas (unggul) atas yang lain tidak bisa dihindarkan (Ma’arif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, 2010).
Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13
Meluruskan Salah Paham Makna Pluralisme
Bisa dikatakan, politik identitas adalah sebuah gerakan anti-pluralisme, yang diakibatkan kesalahan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Pluralisme dipahami sebagai sebuah paham yang berkeyakinan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Agaknya, paham demikian keliru, sebab pluralisme tidaklah meyakini akan kebenaran agama lain, akan tetapi lebih kepada paham menghargai keyakinan (kebenaran) yang dianut oleh agama lain.
Maka, pluralisme dalam agama harus dipahami sebagai pertalian dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan menurut Amir Hussain, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia (Hussain, Muslims, Pluralism and Interfaith Dialogue, 2004). Sebagaimana Islam yang membawa peran rahmatan lil ‘alamin, yang harus dirasakan oleh semua orang. Artinya Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga terhadap sesama ciptaan-Nya (Ma’arif: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009).
Walhasil, menurut hemat penulis, pluralisme adalah salah satu dari ajaran al-Qur’an untuk menumbuhkan nilai-nilai kesatuan, saling menghargai, dan menciptakan keharmonisan antara agama, budaya, etnis, dan keragaman lainnya. Sekaligus sebagai upaya preventif dari sikap yang kiranya dapat mengancam keutuhan sebuah bangsa dan negara, atau kedamaian sebagai sesama manusia. Wallahu a’lam.
Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik