BerandaKisah Al QuranMenilik Hakikat Puasa Lewat Perang Badar

Menilik Hakikat Puasa Lewat Perang Badar

Pada awal perintah puasa disyariatkan, Allah Swt menguji kaum muslimin dengan sebuah peperangan, yakni Perang Badar yang terjadi pada bulan Ramadan pertama umat muslim diwajibkan puasa.

Perang Badar ini secara tersirat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin pada waktu itu bahwa puasa selain menahan makan dan minum juga menahan amarah, kebencian dan kedengkian terhadap kafir Mekah. Meskipun Rasulullah saw bersama sebagian para sahabat berbuka, akan tetapi secara bathiniyah mereka sedang berpuasa. Sebab mereka berperang dengan keadaan hati yang damai, pertempuran mereka benar-benar karena Allah, bukan dilandasi dengan kebencian.

Peristiwa Perang Badar

Mengenai hari atau tanggal peperangan badar para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa perang badar terjadi di hari ke Sembilan belas bulan Ramadan. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa Al-Muluk, Juz 2, hal.19). Riwayat lain mengatakan pearang badar terjadi di hari Jum’at pagi hari ketujuh belas dari bulan Ramadhan. (Imam Abu Umar Yusuf al-Qurtubi, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, Juz 1, hal. 137).

Dinamakan badar sebab pertempuran ini terjadi didekat lembah kepunyaan yang bernama badar yang lokasinya diantara Makkah dan Madinah. Perang badar ini merupakan insiden kemengan pertama kaum Muslimin dalam rangkaian peperangan yang mereka lakukan.

Baca Juga: Keunikan dan Rahasia Lailatulqadar

Banyak yang mengatakan bahwa perang badar adalah perang dengan campur tangan Allah didalamnya. Bagaimana tidak, pasukan kaum muslimin pada waktu itu hanya berjumlah 313 dibanding pasukan kafir Makkah yang 1000 pasukan.

Ada satu diksi yang perlu direnungi dalam perang ini. Yaitu doa Nabi Muhammad Saw. ketika hendak melakukan peperangan, “ Ya Allah bila kaum Muslimin ini kalah maka engakau tidak akan disembah dimuka bumi ini”.

Dari doa tersebut, Allah Swt. memberi kemenangan kaum Muslimin. Lantas Allah Swt. berfirman dalam Q.S Al-Anfal: 9.

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, sungguh, aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.

Kemenangan ini sangat penting, karena merupakan batu pijakan bagi kemenangan Nabi Saw pada peperangan berikutnya. Kemenangan ini dilakukan Nabi dan para sahabat dengan perjuangan diatas teriknya matahari pada bulan Ramadan.

Apakah Nabi Saw dan Para Sahabat Tetap Puasa?

Nabi Muhammad Saw dan sebagian para sahabat berbuka pada waktu itu. Lewat berbukanya Nabi dan para sahabat ini menjadi pijakan bahwa bolehnya berbuka bagi mereka yang dalam perjalanan. Berbuknya Nabi juga merupakan urgensi rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada hambanya.  Bahwa Allah Swt. tidak memberatkan hambanya.

Peristiwa ini bisa dilihat dari hadis dari Said bin Musayyab. Bahwa ia ditanya soal puasa diwaktu perjalanan, lalu ia menceritakan sebuah riwayat bahwa Umar bin Khattab berkata: “kami berperang bersama Rasulullah Saw. dibulan Ramadhan sebanyak dua kali, yakni perang badar dan pembebasan Makkah, dan kami berbuka (tidak berpuasa) dikedua peperangan tersebut. (HR. Muslim). (Ibu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Juz 2 Hal.52).

Riwayat lain dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah Saw. pada tanggal enam belas Ramadhan. Diantara kami ada yang berpuasa, ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (Ibnu Mulaqqin, Al-Badr Al-Munir Fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsar Al-Waqiah fi Al-Syarh Al-Kabir, Riyadh. Juz 5, Hal. 716).

Dari dua riwayat diatas dapat dipastikan bahwa Rasulullah Saw. dan sebagian para sahabat berbuka pada waktu perang badar. Berbukanya Nabi Saw. buka semata-mata karena tidak bisa menahan lapar maupun dahaka. Akan tetapi terdapat rukhsa (keringanan) dari Allah Swt.

Esensi Puasa Lewat Perang Badar

Dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمً لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلَّا الْجُوْع وَالْعَطَش

Artinya: Banyak dari orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa puasanya kecuali lapar dan dahaga. (HR. Baihaqi).

Hadis ini mengindikasikan bahwa puasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, akan tetapi lebih dari itu. Perang badar yang terjadi pada awal diwajibkanya puasa Ramadhan memberi makna yang sangat berarti bagi para sahabat pada waktu itu. Melakukan pertempuran dengan tanpa menyimpan dendam dalam hati, membunuh musuh tidak didasari dengan kebencian dan sabar atas perintah Rasulullah agar tidak keluar dari barisan perang.

Meskipun sekali lagi, pada waktu itu Rasulullah Saw. dan sebagian para sahabat berbuka tapi bathinya menyimpan esensi puasa.

Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Islam dalam Bulan Syakban: Peralihan Kiblat

Juga Nabi Muhammad Saw. bersabda:

لَيْسَ الصَّيَامُ مِنَ الْاَكْلِ وَالشُّرْبِ اِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَث “اَلْحَدِيْث”

Artinya: Tidak dinamakan puasa hanya dengan menahan dari makan dan minum, akan tetapi puasa adalah menjaga dari perkataan kosong (tidak ada manfaatnya) dan perkataan kotor.

Ketika para sahabat memilih untuk tidak berbuka dan ingin meneruskan puasanya, mereka tidak mencela sahabat lain yang memilih berbuka. Dalam Kitab al-Ashiyam  karya K.H Zainal Abidin Al-Munawwir bahwa orang yang berpuasa hendaknya menjaga pendangan mata dari melihat hal yang membuat fitnah dan memalingkan hati dari Allah. Juga menjaga lisan dari dusta, ghibah, adu domba dan perbuatan keji. Menjaga pendengaran, tangan, kaki, perut dari perkara yang menimbulkan dosa dan syubhat.

Itulah esensi puasa yang bisa kita dapatkan dari perang badar. Semoga kita bisa meniru para sahabat pada waktu itu, dengan memahami hakekat puasa dari sisi bathin, sehingga kita dibulan Ramadhan ini mendapatkan bantuan, kemuliaan dan kemenangan dari Allah Swt. Wallahu a’lam.

Abdullah Rafi
Abdullah Rafi
Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...