Menjeda Ayat-Ayat Perang

Pada prinsipnya, setiap agama mengajar-anjurkan kepada pemeluknya untuk menunaikan kebaikan. Dalam agama Islam sendiri, melalui Alquran dan suri teladan Kanjeng Nabi Muhammad saw., ayat-ayat perdamaian lebih mendapat perhatian mendalam ketimbang ayat-ayat perang.

Kendati demikian, ayat-ayat perang sampai hari ini oleh sebagian muslim masih dijadikan sebagai prinsip dalam menunaikan laku keseharian. Hal ini tidak salah, mengingat Alquran sendiri juga bisa diposisikan sebagai pedoman hidup. Satu hal yang menjadi persoalan adalah, ketika ayat-ayat perang itu digunakan tidak sesuai dengan porsi dan proporsinya yang pas.

Misalnya, surah Muhammad [47] ayat 4:

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ayat ini dirasa kurang relevan jika diterapkan di negeri kita dengan sekian fakta keragaman yang ada. Di samping memang, banyak mufasir yang memaknai kata ‘bertemu’ dalam ayat tersebut bukan bertemu dalam rangka hidup bersosial-budaya, tetapi ‘bertemu’ saat di medan perang. Maka bertemu lantas membunuh, hanya boleh dilakukan dalam konteks berperang. Selainnya, kita, umat Islam harus menghargai hak dan martabat mereka yang non-muslim sebagai manusia yang utuh.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2002) malah menggarisbawahi ayat tersebut bukan sebagai ayat perang, tetapi sebagai ayat yang memberi alternatif pilihan kepada penguasa kaitannya dengan tawanan; membebaskan dengan tebusan atau tanpa tebusan. Dari sini terlihat bahwa, Quraish Shihab sendiri memilih mengamini pendapat ulama yang melarang membunuh tawanan.

Satu ayat lagi yang kerap dijadikan dalil bernilai pahala ihwal perang ialah surah at-Taubah [9] ayat 5. Sederhananya, ayat tersebut membolehkan umat Islam untuk membunuh mereka yang menyekutukan Allah. Hanya saja jika mereka mau bertaubat dengan meng-Esakan-Nya, maka laku membunuh itu mesti diurungkan.

Lina Aniqoh dalam artikelnya, Reinterpretasi Ayat-Ayat “Kekerasan”: Upaya membangun Islam Moderat (2018) berpendapat bahwa, fokus ayat ini bukan membunuh, tetapi ada pada pemberian kebebasan. Artinya, para musyrikin di masa itu, diberi kesempatan untuk mendengarkan dakwah yang utuh dari Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau pun nanti mereka tidak mau menauhidkan diri sesuai ajaran Islam, maka mereka tetap peroleh keamanan jiwa dan bebas untuk memeluk keyakinannya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Lawan Arah Ayat-Ayat Perang: Membaca Realitas Historis

Pembacaan yang moderat terhadap ayat-ayat perang semacam ini, saya rasa tidak terlepas dari pertimbangan historis ajaran Islam, sejak usia belia sampai dewasa ini. Pengikut Islam melulu bersinggungan, bahkan juga berelasi secara positif dengan penganut agama lainnya. Sebut saja Piagam Madinah yang mengakomodasi tidak hanya kepentingan pengikut ajaran Islam pada masanya, tetapi juga penganut agama selain Islam.

Di masa selanjutnya, Dinasti Abasiyyah misalnya. Dinasti yang kerap disanjung dengan sekian kemajuan ternyata juga tidak lepas dari relasi positif dengan penganut agama lain: Kristen, Yahudi, dan Majusi. Mun’im Sirry dalam bukunya, Koeksistensi Islam-Kristen (2022), dengan mengutip pendapat dari Ibn Khalikan di kitabnya, Wafayat al-A’yan menjelaskan bahwa, ada beberapa nama penganut agama lain yang diberi posisi strategis di masa Dinasti Abasiyyah. Salah satunya Fadhl bin Marwan.

Fadhl sendiri merupakan seorang Kristen yang bergabung di pemerintahan Abasiyyah pada masa al-Ma’mun. Kemudian di masa al-Mu’tashim, Fadhl diangkat sebagai wazir. Semacam orang nomor dua di pemerintahan Abasiyyah setelah posisi khalifah. Saking terampil dan cerdasnya, semua hal ada di bawah kendali Fadhl, tetapi Fadhl malah dinilai memiliki kekuasaan melebihi khalifah. Akhirnya dia pun diberhentikan oleh al-Mu’tashim.

Kisah di atas hanya jadi contoh konkret bahwa, ayat-ayat perang tidak melulu jadi pertimbangan awal saat bersua dengan mereka yang bukan pemeluk Islam. Ayat-ayat itu tetap terbaca dan berpahala, hanya pengejawantahannya tidak boleh sembarangan. Terlebih kondisi aktual umat Islam hari ini yang sudah bersinggungan dengan banyak orang dengan segenap keyakinannya. Saya sendiri mufakat dengan pernyataan KH Abdurrahman Wahid, “Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah”. Wallah a’lam.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-agama, Konsentrasi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...