BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranMushaf Buleleng II, Bukti Peninggalan Islam Bugis dan Makassar

Mushaf Buleleng II, Bukti Peninggalan Islam Bugis dan Makassar

Anton Zaelani dan Enang Sudrajat dalam kajian mereka menyebutkan bahwa persebaran Islam di tanah Bali tak lepas dari adanya peran serta muslim Bugis dan Makassar. Keberadaan komunitas Islam keduanya di beberapa wilayah perkampungan di Bali menjadi bukti akan hal ini: Serangan, Suwung, Kajanan Buleleng, Kusamba, dan Loloan Jembrana. Di kampung-kampung ini pula diduga menyimpan peninggalan bersejarah Islam (selengkapnya baca Mushaf Al-Qur’an Kuno di Bali).

Dalam pembacaan mushaf berkode BLAS/Bul/Q/MAJS.3/2019 pada repositori Wanantara, penulis mendapati sebuah mushaf yang boleh jadi menguatkan pernyataan Zaelani dan Sudrajat di atas. Mushaf yang kini tersimpan di Masjid Agung Jami’ Singaraja yang terletak di Jl. Imam Bonjol, No. 65, Desa Kampung Kajanan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.

Mushaf ini, yang disebut dengan Mushaf Buleleng II merupakan salah satu dari dua koleksi mushaf kuno yang dimiliki Masjid Agung Jami’ Singaraja. Mushaf satunya telah penulis berikan ulasannya beberapa waktu yang lalu dalam tulisan berjudul Mengenal Mushaf Kuno Buleleng, mushaf yang konon ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie, putra raja Buleleng.

Adapun mushaf kedua ini memiliki ukuran naskah 24 cm x 16 cm dengan bidang teksnya 17 cm x 11 cm. Jumlah halamannya masih utuh 30 juz. Pada akhir mushaf, beberapa surah bahkan ditulis dua kali, yakni mulai surah An-Nashr [110] sampai surah An-Nas [114]. Mushaf tidak dilengkapi dengan nomor halaman, iluminasi dan ilustrasi, tetapi ditemukan kata alihan (catchword).

Teks utama di dalamnya ditulis menggunakan tinta hitam. Tinta merah digunakan pada bagian tertentu seperti kepala surah, catatan pias, dan aksen lafaz Jalalah pada bagian doa. Merujuk pada kajian Zaelani dan Sudrajat, kertas yang digunakan merupakan kertas Eropa Lumsden 1845. Namun demikian, penulis tidak mendapati kertas yang dimaksud dalam katalog kertas seperti milik Churchill.

Catatan kolofon dalam mushaf ini menunjukkan bahwa penyalinan mushaf ini selesai pada hari Senin, 12 Rabi‘ul Akhir 1243 H. di waktu asar. Selain itu juga ditemukan tulisan nama di akhir catatan tersebut yang menyebutkan Hairon ‘Isa dan angka 1687. Zaelani dan Sudrajat menduga bahwa angka tersebut menunjukkan tahun, tetapi tidak memberikan keterangan lebih lanjut tahun atas apa.

Satu hal yang cukup unik dari mushaf ini adalah doa khatam yang dituliskan cukup berbeda dibanding mushaf lain. Doa dalam mushaf ini secara khusus disebut sebagai doa pemenuhan hajat (fi hajah al-aqdliyat). Di bagian awal doa juga turut disertakan riwayat dan khasiat doa, serta hadlarah kepada Nabi Muhammad saw. sebelum membacanya.

Catatan dengan aksara Lontara pada mushaf Buleleng II
Catatan dengan aksara Lontara pada mushaf Buleleng II

Penjelasan yang penulis kemukakan di awal, bahwa mushaf ini merupakan penguat atas klaim Zaelani dan Sudrajat atas Islam Bali ada pada setidaknya dua hal dalam mushaf ini. Pertama, catatan qiraat yang diberikan di dalamnya. Merujuk pada kajian yang dilakukan Ali Akbar (baca selengkapnya di Manuskrip Al-Qur’an dari Sulawesi Barat), mushaf-mushaf dengan catatan qiraat serupa merupakan mushaf dari Sulawesi Selatan, utamanya tradisi Bugis dan Makassar.

Mushaf semacam ini berkembang di Sulawesi Selatan pada kisaran abad ke-19, abad yang sama dengan penulisan Mushaf Buleleng II ini. Hasil konversi yang penulis lakukan terhadap tahun penyalinan Mushaf Buleleng II (12 Rabi‘ul Akhir 1243 H.) mendapati hasil sekitar tahun 1827 M. Hasil konversi ini berbeda dengan angka yang tertera pada bagian akhir kolofon, 1687, yang diduga sebagai tahun konversi awal sehingga angka yang tertulis tersebut belum diketahui maksud dari penulisannya.

Kedua, temuan adanya tiga baris catatan menggunakan aksara Lontara. Catatan ini terletak menjelang akhir doa khatam. Catatan ditulis menggunakan tinta hitam di bawah catatan lain berbahasa Arab dengan tinta merah. Sayangnya, penulis tidak dapat mengakses catatan tersebut dikarenakan keterbatasan pengertian aksara dan tingkat kejelasan gambar yang didapat.

Hal yang membuat penulis bertanya-tanya adalah mengapa catatan ini tidak disinggung Zaelani dan Sudrajat di dalam kajiannya sehingga menimbulkan kecurigaan berikutnya, yaitu apakah catatan dengan aksara Lontara ini baru ditambahkan belakangan? Wallahu a‘lam. Setidaknya keberadaan catatan ini dapat menjadi bukti penguat atas adanya tradisi Bugis dan Makassar pada perkembangan Islam di tanah Bali. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...