BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranMushaf Kuno dan Ekonomi Kreatif

Mushaf Kuno dan Ekonomi Kreatif

Beberapa waktu yang lalu (25/05/22), saya berkesempatan mengikuti sebuah forum diskusi yang diselenggarakan oleh PR-MLTL-BRIN, singkatan dari Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan-Badan Riset dan Inovasi Nasional. Meski terlambat, setidaknya ada dua poin penting yang saya catat dari forum berjudul Membangun dan Memanfaatkan Infrastuktur Riset Manuskrip secara Inovatif dan Berkelanjutan tersebut, yakni pembentukan ekosistem naskah dan pemanfaatannya dalam industri kreatif di Nusantara.

Enam hari berselang (31/05/22), saya juga berkesempatan mengikuti seri diskusi lain, di tempat yang lain pula. Diskusi follow up yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI bekerja sama dengan MANASSA (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) dengan judul Motif Batik & Iluminasi Naskah: Peluang Ekonomi Kreatif Khas Budaya Nusantara (tonton selengkapnya dalam https://www.youtube.com/watch?v=kasjkx50fYc&t=2925s).

Bagi saya pribadi, seri-seri diskusi ini merupakan jawaban atas renungan yang pernah saya baca dari Pak Edwin P. Wieringa; “Apa Gunanya Studi Naskah Nusantara Pada Abad Ke-21?,” Beberapa Renungan dari Seorang Seberang akan ‘nasib’ naskah kuno berikut dengan pengkajinya di tengah-tengah era yang mendewakan MINT (mathematics, information sciences, natural sciences, technology).

Lebih dari itu, seri-seri diskusi ini juga saya anggap sebagai respon atas tantangan yang juga diberikan Pak Edwin, apakah studi ini merupakan “modal” yang (mampu) jadi jaminan mendapatkan pekerjaan?, tanpa melupakan nilai edukasi dari sebuah kajian pernaskahan. Bagaimana bisa? Ijinkan saya memberikan ulasannya dengan sedikit ‘bumbu’ perspektif pernaskahan yang saya miliki.

Baca juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa

Seperti yang disampaikan oleh Kang Mumu, panggilan akrab Munawar Holil, ketua MANASSA, diskusi mengenai naskah secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, kajian terhadap naskah atau fisik serta kajian teks atau isi. Dua kelompok ini pada dasarnya telah dilakukan dengan porsi yang sama besar. Hanya saja fokus pembicaraannya masih berada pada kerangka pemanfaatan akademis hingga praktis, tidak menjangkau seluruh kalangan. Nah, dua seri diskusi ini diselenggarakan dalam rangka perluasan pemanfaatan tersebut.

Bagi beberapa kalangan, naskah kuno sering kali diidentikkan dengan sesuatu yang lusuh, usang, dan ketinggalan zaman. Ia juga dianggap sebagai kumpulan ‘teks yang membosankan’, padahal, tidak sepenuhnya demikian. Ia memang lusuh dan usang, tapi tidak ketinggalan dan membosankan. Beberapa darinya bahkan berisi ‘gambar-gambar’ atraktif dan full colour. ‘Gambar-gambar’ ini lah yang akan jadi fokus pemanfaatan.

Dalam kajian pernaskahan, ‘gambar-gambar’ tersebut disebut dengan iluminasi. Iluminasi diartikan sebagai pencerahan atau pemertinggi halaman naskah melalui teknik penulisan, pewarnaan, hiasan dekoratif dan lain sebagainya. Iluminasi dapat berupa gambar ilustratif, bingkai halaman, rubrikasi atau teks dekoratif.

Saya sendiri, sebelum mengikuti seri diskusi ini, sudah mempunyai bayangan terhadap pemanfaatan naskah kuno dalam sektor ekomomi kreatif. Sesuai dengan bidang naskah yang saya geluti, kala itu saya tertarik untuk mengadopsi ragam iluminasi mushaf kuno dalam industri batik. Tetapi setelah mengikuti seri diskusi di atas, saya mendapat beberapa masukan terutama dalam proses adaptasinya.

Baca juga: Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (2): Background Keilmuan Mufassir

Ada setidaknya empat tahap yang harus dilakukan dalam proses adaptasi iluminasi mushaf kuno. Pertama, pemilihan naskah. Ali Akbar dalam tulisannya berjudul Kaligrafi dan Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur’an Nusantara menyebutkan bahwa ada seribu lebih mushaf kuno Nusantara. Dari seribu lebih naskah tersebut, ditentukan dulu naskah mana yang akan digunakan.

Sebagai informasi, banyak dari naskah tersebut yang kini telah didigitalisasi dan dapat diakses dengan mudah. Beberapa web yang menyediakan hasil digitalisasi mushaf kuno seperti Khasanah Pustaka Nusantara atau KHASTARA, DREAMSEA, British Library, dan Digital Collections milik Leiden University Libraries.

Kedua, pemilihan iluminasi. Tahap ini berkaitan dengan keberadaan ragam iluminasi yang dapat dijumpai di tiap naskah. Mushaf kuno sendiri setidaknya memiliki empat unsur; iluminasi utama halaman, penanda setiap juz, bingkai surah, dan pembagian tahzib atau taqsim. Masing-masing dari unsur ini dapat diadaptasi penggunaannya. Hanya saja, iluminasi halaman mungkin menjadi unsur yang paling dominan digunakan mengingat kejelasan motif dan warna di dalamnya.

Ketiga, identifikasi detail iluminasi. Pada bagian ini, setiap detail ornamen atau gambar dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tahap ini akan memberikan kemudahan pada tahap berikutnya ketika alih media. Selain itu, mengenali detail elemen juga membantu mengenali tema apa yang tengah digunakan oleh pembuat iluminasi: floral, geometris, atau tema-tema lain.

Langkah identifikasi ini sangat penting dalam rangka mengenali nilai filosofis dari setiap elemen yang ada. Bagi item yang nantinya diproduksi, nilai filosofis ini berguna pada saat pemberian nama brand, presentasi peruntukan dan kelayakan produk, hingga edukasi kepada masyarakat sebagai calon customer. Nilai filosofis ini juga menunjukkan kearifan lokal dari asal naskah tersebut berada. Untuk itu dalam paket branding-nya, juga disertakan biografi singkat naskah yang diadaptasi.

Baca juga: Tashih Mushaf Kuno dalam Tradisi Kritik Teks

Keempat, alih media. Setiap elemen yang telah diidentifikasi dan dipisahkan kemudian disaring melalui teknik drawing manual atau computing. Tahap ini nantinya menghasilkan master data setiap iluminasi pada suatu naskah. Dan master data ini yang akan melewati tahap finishing melalui layouting dan colouring, serta pencetakannya dalam kain-kain.

Selain batik (kain), ekonomi kreatif yang dapat menjadi sasaran adaptasi iluminasi ini, sebagaimana disampaikan Bu Saktimulya, sebenarnya cukup beragam. Wahana lain yang dapat digunakan adalah kaus, hoodie, mug, tumbler (botol minum) dan lain sebagainya, sesuai kreativitas desainernya. Namanya juga ekonomi kreatif.

Selain daya jual yang dimiliki, adaptasi iluminasi semacam ini juga memiliki potensi edukasi terhadap masyarakat secara luas melalui cara-cara kreatif yang out of the box. Selain itu, ekosistem pernaskahan di Indonesia juga sedikit demi sedikit terbentuk sehingga membuka peluang pemanfaatan naskah kuno, tidak hanya dalam sektor akademis semata, tetapi juga sektor lain yang juga membutuhkan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU