Dalam penelitian benda-benda bersejarah, tentu sangat wajar jika terjadi perevisian hasil temuan. Misalkan dahulu kala hasil temuan menyebutkan A, setelah ditelusuri bisa saja berubah menjadi B. Hal ini juga berlaku dalam khazanah mushaf Al-Qur’an Nusantara. Adalah manuskrip Mushaf Sultan Ternate yang pernah mengalami proses demikian. Semula mushaf ini didapuk sebagai mushaf tertua yang pernah ditemukan di wilayah Nusantara, namun tiga puluh tahun kemudian tesis ini pun dibantahkan.
Menariknya, perevisian hasil temuan ini bukan karena ada mushaf lain yang lebih tua dari mushaf Sultan Ternate itu, melainkan karena dalam mushaf ini terdapat dua kolofon yang berbeda. Kolofon pertama di depan, dan kedua di belakang. Dalam kasus ini, penyebutan mushaf tertua bersumber dari kolofon belakang, sementara kolofon depan semula masih ‘terabaikan’. Baru di peneltian berikutnya, kolofon depan dibaca dan kesimpulan pun berubah.
Baca juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam
Alkisah pada Februari 1979, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta melakukan penelitian di Ternate. Hasil penelitian itu menerbitkan makalah “Al-Qur’an Kuna di Ternate” yang dilaporkan oleh A. Cholid Sodrie. Penelitian ini menyebutkan bahwa mushaf Sultan Ternate ditulis oleh al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni dan selesai pada 7 Zulkaidah 1050 H (18 Februari 1641 M).
Hasil penelitian ini kemudian dikutip oleh beberapa peneliti yang lain, Ali Akbar peneliti Lajnah pentashihan Al-Qur’an mendokumentasikan rentetan dialektika ini. Ia pun menuliskan artikel “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara? Menelaah Ulang Kolofon”. Ia menyebut, laporan Sodrie dikutip oleh Hasan Muarif Ambary dan dimuat dalam Jurnal Aspects of Indonesian Archaeology pada tahun 1980 dan di majalah Archipel yang terbit di Paris pada tahun 1982. Lebih lanjut, Ambary menuliskan keterangan ini dalam bukunya “Menemukan Peradaban”.
Seiring berjalannya waktu, banyak penulis yang belum berkesempatan meneliti secara langsung pun mengutip hasil penelitian di atas. Bahkan dalam suatu surat dari Yayasan Festival Istiqlal kepada Sultan Ternate juga menyebutkan bahwa mushaf tersebut merupakan mushaf tertua di Indonesia. Hingga akhirnya ada penelitian lebih lanjut oleh Ali Akbar atas saran dari Annabel The Gallop, seorang ahli seni naskah Islam Nusantara dari British Library, London.
Baca juga: Potret Iluminasi Mushaf Al-Quran Nusantara Dulu dan Kini
Telaah Ali Akbar atas Mushaf Sultan Ternate
Ali Akbar mencatat rinci fisik Mushaf Sultan Ternate. Mushaf ini berukuran 31 x 20,5 x 10 cm dengan bidang teks 22 x 11 cm, dan jumlah barisnya 13 baris per halaman. Mushaf ini menggunakan kertas Eropa dan memiliki iluminasi yang indah. Tinta yang digunakan merupakan warna hitam dan merah. Hitam untuk ayat, dan merah untuk tanda bulat di akhir ayat, tanda juz, tanda tajwid, serta hadis-hadis keutamaan membaca surah tertentu di awal setiap surah.
Dalam mushaf ini sebgaimana disebutkan di awal bahwa ada dua kolofon, yakni di depan dan di belakang. Kolofon belakang terdapat dua bahasa yakni bahasa Melayu dan bahasa Arab. Sementara kolofon depan bertuliskan bahasa Arab. Dalam kolofon belakang ternyata ada dua keterangan tahun penanggalan. Teks Melayu bertuliskan tahun 1185 dengan penulisan angka, sementara teks Arab bertuliskan “sanat khamsīn ba’da alif min Hijratihi sallallāhu ‘alaihi wa sallama” yang artinya tahun 1050 Hijriyah.
Selain itu, di kolofon belakang pun ada dua penulis yang tercantum. Dalam teks Melayu tertulis Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid imam bi-kuta Ternate, sementara dalam teks Arab tertulis nama al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni. Inilah yang sebenarnya dipastikan kembali oleh Ali Akbar.
Kemudian ia pun membaca kolofon depan dalam bahasa Arab yang ternyata hampir mirip dengan redaksi bahasa Melayu di kolofon belakang. Dalam kolofon depan, tertera dengan jelas penulisan mushaf ini berakhir pada 9 Zulhijjah 1185 H (14 maret 1772) dan penulisnya Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid. Keterangan inilah yang kemudian digunakan untuk merevisi penyebutan mushaf tertua Nusantara pada tahun 2010.
Akhir kesimpulan, Ali Akbar menilai bahwa kolofon yang menyebut penulis al-Faqih as-Salih ‘Afifuddin Abdul Bakri bin Abdullah al-Adni dan tahun 1050 H merupakan penanggalan untuk penulisan teks-teks ilmu Al-Qur’an yang juga dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini.
Baca juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (5): Mushaf Ali ibn Abi Thalib
“Jadi, tarikh ini bukanlah tarikh penulisan mushaf Sultan Ternate, tetapi tarikh ketika ‘Afīf al-Dīn selesai menulis teks ilmu-ilmu Al-Qur’an yang dikutip oleh Haji Abdul Alim dalam mushaf ini,” tulisnya.
Pembahasan seperti ini tentu memberikan kesadaran bagi kita selaku seorang pembelajar. Bahwa terdapat kemungkinan suatu hasil temuan direvisi oleh pengkaji berikutnya. Tradisi seperti ini patut kita tiru sebagai penghargaan atas usaha orang terdahulu, namun juga tidak taqlid buta atas kesimpulan yang pernah ada. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam[]