Sebagai istilah yang pernah gencar di tengah masyarakat, pasti tidak asing jika mendengar dua kata ini, yaitu open minded. Open minded didefinisikan sebagai kesediaan seseorang untuk mengambil sudut pandang baru dengan berpikir secara terbuka dalam menyikapi segala informasi, gagasan, opini, ide, dan argumen. Sederhananya, dapat dipahami sebagai penerimaan berbagai gagasan baru. Kemampuan ini mampu memicu seseorang lebih rasional, kritis, dan menemukan solusi dengan mudah setiap kali dihadapkan dengan suatu masalah.
Seringkali ditemukan di kalangan muda saat ini, apabila mendapati orang yang menolak suatu pandangan, langsung ditunjuk sebagai close-minded, intoleran, dan tidak mampu mengimbangi perkembangan zaman. Apakah demikian dibenarkan? Dilansir dari jf.umm.ac.id yang ditulis oleh Reza Fadilah Ardhani, bahwa menurutnya, open minded merupakan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang, bukan turut menganggapnya benar.
Baca Juga: Inklusivitas Kebenaran dalam Islam
Open Minded Perspektif Al-Qur’an: Bertoleransi Tanpa Meninggalkan Prinsip
Open minded merupakan bagian dari toleransi. Menghargai pemikiran seseorang tanpa menjatuhkan, sebagaimana dalam Q.S. Albaqarah [2]: 111 berikut.
وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰىۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”
Dalam ayat ini, menanggapi perkataan orang Yahudi dan Nasrani, Nabi Saw tidak langsung membantah, melainkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memberikan argumen yang mereka anggap benar, dengan mengatakan qul hātū burhānakum in kuntum ṣādiqīn.
Kata burhān (bukti kebenaran) dalam Tafsīr Jalalain (hal. 23) dimaknai dengan ḥujjah, yaitu argumentasi yang kuat. Lebih jelas lagi, al-Qurthubi dalam Tafsīr al-Qurṭubī (Juz 2, 75) memaknai kata burhān sebagai landasan atau bukti yang mendatangkan keyakinan. Atau hemat penulis, mengupayakan diri agar lawan bicara mampu meyakini adalah cara memaksimalkan argumen, mengumpulkan bukti-bukti yang dianggap benar.
Apa yang diri sendiri anggap benar, tidak lantas menjatuhkan orang yang memiliki pandangan berbeda. Melainkan dengan menyediakan ruang kepada lawan bicara untuk berdialog dan berdiskusi secara terbuka. Hal itu akan mampu memunculkan pemikiran baru, meski tidak jarang pada akhirnya tetap pada keyakinan dan argumen masing-masing.
Selain itu, sikap terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open minded ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dalam Q.S. Alshaffāt [37]: 102 berikut.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim a.s. merupakan sosok seorang ayah yang demokratis. Beliau menjadikan dialog dan musyarawah sebagai cara utama mengomunikasikan suatu permasalahan, tidak bersikap otoriter. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Miṣbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (hal. 280), menjelaskan bahwa informasi yang disampaikan melalui mimpi tersebut bukan semata-mata bentuk paksaan bagi Nabi Ismail a.s, melainkan untuk Nabi Ibrahim a.s. agar berkehendak melakukan apa yang ia mimpikan dengan terlebih dahulu menanyakan kepada putranya, Ismail as.
Tindakan Nabi Ibrahin a.s. tersebut menggambarkan sikap keterbukaan antara dua belah pihak. Hal ini ditujukan supaya permasalahan mampu terpecahkan dan menggapai suatu kemaslahatan. Namun, sikap open minded tidak serta merta bebas tanpa batas. Agama memiliki batasan-batasan agar sikap keterbukaan tidak lantas menjadi kebablasan dan mengubah pola pikir kita yang mengarahkan kepada hal-hal yang melanggar syariat.
Disebutkan dalam Q.S. Alkafirun [109]: 6.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku
Ditafsirkan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsīr al-Munīr (Juz 30, 443), bahwasanya bagi kalian kesyirikan atau kekafiran, dan bagiku agamaku yaitu tauhid, ketetapan iman, atau Islam. Sementara agama mereka yaitu isyrāk, yaitu kemusyrikan.
Sehingga membangun batasan-batasan, bahwa orang-orang non-muslim bebas melaksanakan agama mereka tanpa melampaui batasan agama kita. Dan kita sebagai orang Islam melaksanakan perintah-Nya sebagaimana mestinya, tanpa melampaui batasan agama mereka.
Ini menjadi prinsip bagi setiap muslim untuk senantiasa menjaga iman dan Islam. Kehadiran perbedaan agama tidak lantas menjadikan seorang muslim untuk memaksanya se-iman. Masing-masing orang memiliki hak untuk memeluk agama sesuai kehendak hati nuraninya. Menghargai tanpa melepas batasan, membatasi tanpa bersikap rasis. Menjadi bertoleransi tanpa meninggalkan prinsip.
Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan
Batasan Open Minded
Agama hendaknya menjadi pijakan kuat bagi setiap pemeluknya. Menerima pandangan baru dalam sebuah komunikasi dua arah yang terbuka, seseorang perlu memegang kuat prinsip agama. Artinya, tindakan menerima pertukaran pandangan atau pemikiran baru, jika kontra terhadap prinsip, jadikan sebatas penambah wawasan. Prinsip yang dipegang hanya bertugas membenarkan atau tidak, yang mana cukup diketahui diri sendiri.
Perlu digarisbawahi, bahwa open minded ini bukan berarti menerima segala bentuk perubahan, apalagi melampaui arah melanggar norma dan batasan agama. Open minded lebih tepatnya diarahkan pada pengertian sikap seseorang untuk fokus menerima ‘pemahaman’ yang diberikan orang lain. Dalam artian, terbuka menerima setiap argumen atau pendapat orang lain dengan membatasi diri atas prinsip yang dipegang, yaitu menyetujui atau tidak.
Sekali lagi, prinsip, khususnya prinsip agama, menjadi alat seseorang untuk membatasi sikap open minded. Tidak serta merta pertukaran argumentasi menjadikan keyakinan semakin goyah. Ber-open minded-lah tanpa menjatuhkan, memperhatikan etika dan moral, serta memegang prinsip yang ditegakkan.
Kesimpulan
Sikap keterbukaan atau open minded hendaknya menjadi ruang bagi seseorang untuk bertukar dan menambah wawasan dengan tidak melepas prinsip agama sebagai pijakan. Pentingnya pijakan ini supaya tidak terjerumus pada pola pikir yang bertentangan dengan agama, lebih-lebih direfleksikan dengan tindakan.
Wallahu a’lam bish shawab.