Tidak ada makna yang inheren dalam Al-Qur’an, kata Sukidi dalam Suara Muhammadiyah, No. 10 Tahun 2021. Menurutnya, proses pembentukan makna hanya terjadi ketika Al-Qur’an berinteraksi secara historis dengan penafsirnya melalui mekanisme penafsiran. Artinya, lokus makna terletak pada otoritas penafsir. Oleh karena itu, memaksakan satu produk penafsiran, apalagi secara literal dan tanpa melihat konteks, adalah sikap otoritarianisme. Khaled Abou El Fadl dalam Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2001) secara khusus membahas problem penyelewengan otoritas keagamaan dan pentingnya menegosiasikan antara teks, pengarang, dan pembaca dalam pemikiran hukum Islam.
Hukum Islam merupakan produk realitas historis dan produk paradigma keilmuan yang dapat ditinjau ulang untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Setelah wafatnya Nabi, polemik awal umat Islam adalah terkait dengan persoalan legitimasi dan otoritas. Polemik yang berkaitan dengan krisis otoritas ini sering memunculkan kemelut dan bahkan pertumpahan darah. Para ahli agama kemudian menjadi sumber legitimasi tekstual, yang didasari oleh kemampuan membaca, memahami, dan menafsirkan Kehendak Tuhan yang terekam dan tersembunyi di dalam teks.
Persoalannya, kata El Fadl, muncul qadi, mufti atau lembaga keagamaan yang berani mengatasnamakan dirinya atau lembaganya sebagai wakil Tuhan. Mereka mengambilalih otoritas Ketuhanan untuk membenarkan kewenangannya sebagai reader yang absolut atas nash keagamaan. Pelaku otoritarian ini mengaku mengetahui secara pasti apa yang dimaksud oleh pengarang, dan menganggap bahwa pemahamannya bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat, seolah merasa diberi mandat dan kuasa penuh untuk mewakili pengarang dan teks.
Baca Juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya
Dalam Islam, syari’ah dimaksudkan sebagai proses pencarian jalan Tuhan, bahwa kehidupan yang baik dan kehidupan yang bermoral dijalani dengan mengikuti petunjuk-Nya. Peran sebuah dalil adalah untuk menunjukkan jalan menuju kehendak Tuhan yang bertumpu pada teks, dan teks bersandar pada bahasa sebagai perantara. Bahasa hidup dalam sejarah. Teks sebagai media manusiawi yang tidak sempurna merupakan wadah yang menampung petunjuk menuju jalan Tuhan.
Teks punya kompleksitasnya sendiri dan bukan penampung makna yang pasif. Mengutip Jorge Gracia, teks adalah sekelompok entitas yang digunakan sebagai tanda yang dipilih, disusun, dan dimaksudkan oleh pengarang dalam konteks tertentu untuk mengantarkan makna tertentu kepada pembaca. Di dalamnya ada huruf, kata, dan angka, yang bisa menjadi sebuah tanda jika tersusun dari entitas yang mengandung makna. Sebuah teks dapat memiliki beragam pengarang: pengarang historis yang menciptakan teks, pengarang produksi yang mengolah dan mencetak teks, pengarang revisi yang menyunting atau mengedit teks, dan pengarang interpretasi.
Al-Qur’an, diyakini sebagai teks dari Tuhan yang disusun dengan sempurna. QS Al-Hijr ayat 9 memberi jaminan bahwa Allah yang menurunkan dan memelihara Al-Qur’an. Meskipun demikian, kita harus membedakan antara suara pengarang dan suara komunitas interpretasi yang mengelilingi suara pengarang. Al-Qur’an dan Sunnah tidak bersuara, namun yang bersuara adalah manusia yang hidup dalam suatu komunitas interpretasi. Sebuah komunitas interpretasi bisa terbentuk dari ketumpangtindihan berbagai subkomunitas. Komunitas interpretasi membentuk sebuah tradisi interpretasi tertentu. Teks tidak bersifat pasif dan pembaca tidak mendekati teks dengan kepala kosong, tetapi dengan asumsi yang mereka bawa.
Sebagai contoh, pemahaman tentang makna “kalalah” dalam QS An-Nisa ayat 174. Umar bin Khattab menyebut bahwa lafaz ini belum sempat dijelaskan dan belum ada kasusnya di masa Nabi. Umar kemudian memaknai dengan makna baru. Abu Bakar sebagai khalifah saat itu juga memiliki makna tersendiri tentang makna kalalah. Abu Bakar merujuk pada makna yang dipakai masyarakat Arab sebelum Islam. Kita tahu bahwa dalam masalah warisan, Al-Qur’an membawa spirit baru: memberi bagian pada perempuan, yang di masa sebelumnya justru menjadi barang warisan (Lihat: Al Yasa Abubakar, Suara Muhammadiyah No. 13 Tahun 2013).
Diskursus tentang Sunnah memiliki kompleksitas tersendiri. Doktrin Islam tidak menegaskan jaminan bahwa literatur hadis akan bebas dari campur tangan manusia dan dijamin autentisitasnya. Setiap hadis, kata El Fadl, merupakan hasil dari proses kepengarangan yang panjang. Dalam proses transmisi, berbagai suara pengarang (dari Nabi, sahabat, dan seterusnya) membentuk ulang suara pengarang historis yang diperankan oleh Nabi. Dalam kajian hadis, sahabat dimaknai sebagai orang yang pernah bertemu Nabi dalam keadaan Islam, meskipun hanya sekali. Maka jumlah sahabat sangat banyak dengan beragam karakter dan tingkat kesalehan. Dalam haji wada’, terdapat sekitar 100.000 jamaah, dan menurut pengertian ini, mereka semua adalah sahabat Nabi.
Penyelidikan hadis selama ini berfokus pada tingkat integritas dan aspek kepribadian individu periwayat hadis, meliputi kajian kritik sanad dan matan. Penyelidikan yang menghasilkan status hadis shahih atau maudhu itu penting, namun tidak dapat menggambarkan persoalan atau realitas yang lebih luas. Dalam Sunnah, ada serangkaian proses subjektivitas, seperti pengujian autentisitas, penilaian para rawi (jarh wa ta’dil), dan penyampaian riwayat yang disandarkan kepada Nabi dan Sahabat. Hadis diriwayatkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu konteks tertentu dan tak jarang para perawi dan kritikus hadis saling berkontestasi. Dari suatu konteks ke konteks berikutnya, terjadi proses seleksi dan konstruksi. Para penghimpun hadis seperti Bukhari dan Muslim, pada akhirnya kembali memilih dari sekian banyak hadis.
Sebagai contoh, hadis riwayat Bukhari tentang ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin yang melibatkan rawi Abu Bakrah al-Tsaqafi (Nufay ibn al-Harits) dan punya pengaruh besar dalam tradisi hukum Islam sampai hari ini. Abu Bakrah masuk Islam di saat-saat terakhir hidup Nabi. Di kemudian hari, Umar bin Khattab menolak kesaksian Abu Bakrah karena pernah punya cacat moral menuduh Al-Mughirah berzina tetapi tidak dapat mendatangkan empat saksi (qazaf), bahkan ada saksi yang menarik kesaksiannya. Sisi lain, ada kontradiksi pada diri Abu Bakrah yang dipandang sangat membenci politik tetapi anaknya menerima jabatan politik.
Ada riwayat bahwa ketika menyatakan hadis itu, Nabi bersama Aisyah, lalu mengapa hanya Abu Bakrah yang meriwayatkan dan Aisyah tidak meriwayatkan hadis tersebut. Bagaimana konteks dan latar belakang perawi hadis yang menyampaikan riwayat Abu Bakrah tersebut? Dalam komunitas interpretasi mana, riwayat Abu Bakrah menjadi populer? Apakah pesan patriarkhal dalam hadis ini berperan penting dalam penyebaran hadis tersebut? Apakah standar pembuktian telah dilunakkan oleh para ahli hukum karena riwayat Abu Bakrah tampak masuk akal dalam konteks praktik komunitas mereka? Kecenderungan atau ketertarikan atau preferensi pribadi para mufassir atau fuqaha akan memengaruhi proses pemaknaan atau penafsiran.
Guna menghindari kesewenang-wenangan, El Fadl mengusulkan lima persyaratan bagi para pelaku di bidang hukum Islam: pertama, honesty. Para ahli tidak boleh berpura-pura memahami atas sesuatu yang tidak dia ketahui dan harus berterus terang tentang sejauh mana ilmu pengetahuannya. Kedua, diligence, mengerahkan usaha maksimal dan penuh totalitas untuk menyelidiki, mengkaji, dan menganalisis persoalan. Kewajiban bersungguh-sungguh menjadi lebih besar ketika sebuah keputusan hukum bersentuhan langsung dengan hak orang lain. Ketiga, comprehensiveness, mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh, dari berbagai perspektif. Keempat, reasonableness, rasional atau masuk akal. Kelima, self restraint, kemampuan mengendalikan diri, supaya tidak berlaku sewenang-wenang atas teks dan tidak mengambil alih peran pengarang.
Para sarjana muslim sepanjang masa telah menelurkan berbagai karya tentang ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu pemahaman hadis. Karya tersebut berusaha meletakkan kaidah-kaidah untuk memecahkan makna ayat dan hadis dengan penekanan pada maksud pengarang di balik teks. Kaidah-kaidah itu dipahami sebagai perangkat metodologis yang dimaksudkan untuk mengontrol dan membatasi subjektivitas interpretasi sekaligus wujud pengendalian diri.
Ada tiga kemungkinan konsep penentuan makna. Pertama, makna ditentukan oleh pengarang. Ketika membentuk sebuah teks, pengarang telah berusaha memformulasikan maksudnya, dan pembaca diharap mampu memahami maksud pengarang secara utuh. Pada kenyataannya, pembaca kerap memiliki makna tersendiri. Kedua, makna ditentukan oleh teks. Teks memiliki realitas dan integritas tersendiri yang berhak dipatuhi, dan diklaim memiliki kewenangan untuk menentukan makna. Ketiga, makna ditentukan oleh pembaca. Konteks dan realitas historis pembaca akan menentukan subjektivitas makna.
Baca Juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah
Ketika pembaca bergelut dengan teks untuk menetapkan suatu hukum, pembaca beresiko menyatu dengan teks, dan bahkan melampaui kewenangannya. Para fuqaha bertugas mencari petunjuk tekstual, tetapi tidak dibenarkan untuk berasumsi bahwa perintah tekstual itu sepenuhnya mewakili maksud Tuhan, atau sebaliknya, mengabaikan perintah tekstual dengan alasan bahwa perintah tersebut tidak mewakili. Penetapan hukum adalah hak otoritas Tuhan, dan teks adalah perangkat otoritatif, tanpa menafikan petunjuk lainnya.
Pemahaman teks semestinya melalui proses interaksi yang hidup, dinamis, dan dialektis antara pengarang, teks, dan pembaca. Semua faktor mesti dipertimbangkan sungguh-sungguh. Upaya manusia memahami maksud Tuhan atau syari’ah yang bentuknya abstrak, tidaklah sempurna, meskipun telah mengerahkan segenap upaya penalaran. Tuhan sangat mengapresiasi proses pencarian, sehingga setiap mujtahid diberi ganjaran. Term ijtihad dalam khazanah Islam meniscayakan bahwa teks adalah wilayah yang terbuka pada ragam pemahaman, dan itu menuntut keterlibatan aktif para fuqaha atau mufasir dalam memproduksi dan mereproduksi makna. Wallahu A’lam.