Beranda blog Halaman 560

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 7

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Setelah Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk memohon agar selalu dibimbing-Nya menuju jalan yang lurus dan benar, pada ayat ini Allah menerangkan apa jalan yang lurus itu. Sebelum Alquran diturunkan, Allah telah menurunkan kitab-kitab suci-Nya yang lain, dan sebelum Nabi Muhammad diutus, Allah telah mengutus rasul-rasul, karena sebelum umat yang sekarang ini telah banyak umat terdahulu.

Di antara umat-umat yang terdahulu itu terdapat nabi-nabi, siddiqin yang membenarkan rasul-rasul dengan jujur dan patuh, syuhada′ yang telah mengorbankan jiwa dan harta untuk kemuliaan agama Allah, dan orang-orang saleh yang telah membuat kebajikan dan menjauhi larangan Allah.

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, dan kita diajari agar memohon kepada-Nya, agar diberi-Nya taufik dan bimbingan sebagaimana Dia telah memberi taufik dan membimbing mereka. Artinya sebagaimana mereka telah berbahagia dalam aqa′id, dalam menjalankan hukum-hukum dan peraturan-peraturan agama, serta telah mempunyai akhlak dan budi pekerti yang mulia, maka demikian pula kita hendaknya. Dengan perkataan lain, Allah menyuruh kita agar mengambil contoh dan teladan kepada mereka yang terdahulu.

Timbul pertanyaan: mengapa Allah menyuruh kita mengikuti jalan mereka yang terdahulu itu, padahal dalam agama kita ada pelajaran-pelajaran, hukum dan petunjuk-petunjuk yang tak ada pada mereka. Jawabnya: sebetulnya agama Allah itu adalah satu. Kendatipun ada perbedaannya, tetapi perbedaan itu pada bagian-bagiannya, sedang pokok-pokoknya serupa, sebagaimana telah disebutkan.

Sebagaimana halnya dalam umat-umat yang terdahulu itu terdapat orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, juga terdapat di antara mereka orang yang dimurkai Allah dan orang yang sesat. Orang yang dimurkai Allah itu mereka yang tak mau menerima seruan Allah yang disampaikan oleh rasul-rasul, karena berlainan dengan kebiasaan mereka, atau karena tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, kendatipun telah jelas bahwa yang dibawa oleh rasul-rasul itu adalah benar.

Termasuk juga ke dalam golongan ini, mereka yang mulanya telah menerima apa yang disampaikan oleh rasul-rasul, tetapi kemudian karena suatu sebab mereka membelok, dan membelakangi pelajaran yang dibawa oleh rasul-rasul itu.

Di dalam sejarah banyak ditemukan orang yang dimurkai Allah, sejak di dunia mereka telah diazab Allah, sebagai balasan yang setimpal bagi keingkaran dan sifat angkara murka mereka. Umpamanya kaum ‘²d dan ¤amud yang telah dibinasakan oleh Allah. Sampai sekarang masih ada bekas-bekas peninggalan mereka di Jazirah (semenanjung) Arab. Begitu juga Fir’aun dan kaumnya yang telah dibinasakan Allah di Laut Merah. Mumi Fir’aun sampai sekarang masih tersimpan di museum di Mesir.

Orang-orang yang sesat ialah mereka yang tidak betul kepercayaannya, atau tidak betul pekerjaan dan amal ibadahnya serta rusak budi pekertinya. Bila akidah seseorang tidak betul, atau pekerjaan dan amal ibadahnya salah, dan akhlaknya telah rusak, akan celakalah dia, dan kalau suatu bangsa berada pada situasi seperti itu akan jatuhlah bangsa itu.

Maka dengan ayat ini Allah mengajari hamba-Nya untuk memohon kepada-Nya agar terjauh dari kemurkaan-Nya, dan terhindar dari kesesatan. Di dalamnya juga tersimpul perintah Allah agar manusia mengambil pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa yang terdahulu. Alangkah banyaknya dalam sejarah kejadian-kejadian yang dapat dijadikan iktibar dan pelajaran.

Di dalam Alquran banyak ayat yang berkenaan dengan kisah umat dan bangsa-bangsa yang dahulu. Memang tak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya kepada jiwa manusia daripada contoh-contoh orang dan perbandingan-perbandingan yang terdapat dalam kisah-kisah dan sejarah.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 6

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti “hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik.;Macam-macam Hidayah (Petunjuk)

Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga dibahas dalam Tafsir Al-Fatihah oleh Muhammad Abduh.

  1. Hidayah Naluri (Garizah)

Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut Garizah Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa lapar dia menangis.

Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan hidupnya.

Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya rasa “ingin tahu”, “ingin mempunyai”, “ingin berlomba-lomba”, “ingin bermain”, “ingin meniru”, “takut”, dan lain-lain.

Sifat-sifat Naluri

Naluri (garizah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.

Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri”, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri “ingin memelihara diri” itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena naluri “ingin tahu” orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi.

Sebaliknya karena naluri “ingin tahu” itu pula orang suka mencari-cari ‘aib dan rahasia’ sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri yang lain.

Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri, karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan mati.

Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.

Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.

  1. Hidayah Pancaindra

Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:

اْلحَوَاسُّ أَبْوَابُ اْلمَعْرِفَةِ

(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan)

Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma’qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).

Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahhsusat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “ilusi optik” (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khida’ an-nazar. Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”.

  1. Hidayah Akal (pikiran)

a. Akal dan kadar kesanggupannya

Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma’qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.

Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.

Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimus-salstu was-salsm.

b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia

Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (al-adyan al-wad’iyyah) terlihat bahwa pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya.

Maka, ketika ia memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.

Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.

Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.

Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.

Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan “kepercayaan menyembah kekuatan alam”, seperti yang terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.

Bila manusia mau memikirkan: “Dari mana datangnya alam ini”, akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.

Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja Namruz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruz itu. Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.

Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan wa£ani (penyembah berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwa¥¥id³n, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:

“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”

“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”

“Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh makhluk”;Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.

c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)

Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Kalau ditanyakan, “Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?” Mereka menjawab, “Tidak!” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:

مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ

“Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar/39: 3)

d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal

Manakala manusia memikirkan “kemanakah kembalinya alam ini?” akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, “Tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.”

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.

Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.

Maka untuk menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimus-salatu was-salam.

  1. Hidayah Agama

a. Pokok-pokok agama ketuhanan

Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan Allah).

Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namruz, Nabi Musa dengan Fir’aun, dan seruan-seruan Alquran kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar mereka mempergunakan akal.

Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.

Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-iman bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.

Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu‘ (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad saw adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.

b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan

Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?

Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-Nya ma’unah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu menurut semestinya.

Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.

Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma’unah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya). ) Maka ma’unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.

Dengan perkataan lain, Allah telah memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah “agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah terbentang itu.”

Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinas-siraaal-mustaqim ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi:

;وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ

… Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syara/42: 52).

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qaaas/28: 56).

Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.

الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).

Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa aqa′id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Maka aqa′id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Allah, “Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat.”

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 256: Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

0
kebebasan beragama
kebebasan beragama

Islam menjunjung tinggi kebebasan beragama seseorang untuk memilih keyakinannya. Tiada paksaan dalam beragama Islam. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Sebab paksaan menyebabkan jiwa tidak tentram, menimbulkan pertengkaran dan ketidakrelaan. Pesan tiada paksaan dalam beragama ini Allah swt lukiskan dalam firmanNya Q.S. al-Baqarah [2]: 256,

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 256)

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 256

Dalam hal kebebasan adalah kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing. Maka Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah perihal seorang laki-laki dari kaum Anshar keturunan Bani Salim bin ‘Auf, bernama Husain. Suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah saw tentang haruskah dua orang anaknya yang beragama Nasrani pindah agama? Dikarenakan ia (Husain) sendiri beragama Islam. Kemudian turunlah ayat ini bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Sedangkan al-Sya’rawi dalam tafsirnya mengemukakan bahwa lafadz ikraha, yakni mendorong orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kebaikan menurut akal sehat. Oleh karenanya Allah swt berfirman laa ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam beragama) maksud ayat ini adalah Allah swt tidak memaksa maklukNya untuk memeluk agama Islam (meskipun ia selaku pencipta berkuasa untuk memaksa, akan tetapi tidak dilakukannya). Baca juga: Manusia itu Hamba yang Merdeka, Begini Penjelasannya dalam Al Quran

Meskipun demikian jika ia telah memeluk agama Islam secara sadar lantas kemudian tidak melaksanakan segala kewajiban ajaran agama dengan dalih kebebasan, bukan seperti itu, melainkan tatkala ia sudah menetapkan untuk memeluk agama Islam, konsekuensinya ia harus menjalankan semua tuntutan ajaran agama Islam.

Karenanya kewajiban kita hanyalah berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Allah swt mengajarkan kepada kita dengan cara berdakwah yang santun dan mendamaikan, tidak dengan paksaan dan ujaran kebencian (hate speech). Kalaupun harus berdebat, berdebat secara argumentatif sehingga menghasilkan pemahaman yang kuat dan logis (bisa diterima akal sehat atau rasional) serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak.

Islam Menjunjung Tinggi Kebebasan Beragama

Sebenarnya Islam tidak hanya mengedepankan kebebasan beragama saja, tetapi kebebasan dalam segala hal seperti kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan pilihan, dan kebebasan lainnya selama dalam koridor agama dan tidak merusak kemanusiaan. Sebab sabda Nabi saw, “agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang berorientasi pada spirit mencari kebenaan dengan cara toleran dan lapang.” Dapat ditarik kesimpulan bahwa umat Islam harus menjadi pionir untuk bersikap toleran dalam menghadapi keyakinan yang berbeda, bukan sebaliknya. Wallahu A’lam.

Ragam Corak Tafsir Al-Quran

0
Teks Alquran
Teks Alquran

Penafsiran Al-Quran tiada henti hingga era kekinian. Kata “tafsir” sendiri merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufassir ketika ia menjelaskan pengertian dan makna ayat Al-Quran sesuai dengan kapasitasnya keilmuannya. Dari sini kemudian, muncul ragam corak tafsir Al-Quran.

Kata corak berasal dari bahasa Arab alwan, bentuk jamak dari launun yang berarti warna. Jadi corak tafsir secara umum diartikan sebagai kekhususan suatu tafsir yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan maksud ayat-ayat Alquran. Karena kita tidak bisa memungkiri dalam satu tafsir memiliki corak atau kecenderungan tersendiri.

Corak Tafsir Fiqhi (Hukum)

Tafsir fiqhi merupakan corak tafsir yang kecenderungannya menjelaskan hukum-hukum fikih dalam ayat-ayat Alquran baik secara tersurat maupun tersirat. Tafsir fiqhi lebih populer disebut tafsir ayat al-ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Alquran. Dari sinilah kemudian muncul para Imam Mazhab seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Di antara karya mufassir yang memiliki kecenderungan corak tafsir fiqhi adalah Ahkam Alquran karya al-Jashash, ahli fiqh mazhab Hanafi (917-980 M), Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi yang memiliki corak mazhab Syafi’i, al-Jami’ li Ahkam Alquran karya al-Qurtubi yang memiliki corak mazhab Maliki, Kanzu al-‘Irfan fi Fiqh Alquran karya Miqdad al-Saiwari yang memiliki corak mazhab Imamiyah, Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al-Maraghi, dan sebagainya.

Corak Tafsir ‘Ilmi (Ilmiah)

Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran Alquran yang menggunakan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan Alquran berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Tafsir ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat. Alasan yang melatari penafsiran ini ialah karena seruan Alquran pada dasarnya seruan ilmiah, yang banyak mengajak umat manusia untuk berpikir seperti afala ta’qilun, afala tatafakkarun, dan lain-lain.

Beberapa mufassir yang mengkhususkan pembahasan tafsir ‘ilmi adalah Jawahir al-Tafsir Alquran karya Thantawi al-Jauhari, Tafsir Alquran al-‘Adzim karya Ibn Katsir, Tafsir  wa al-Mufassirun karya al-Dzahabi, Tafsir Jalalain karya Jalauddin al-Mahalli dan al-Suyuthi, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, dan sebagainya. Di antara sekian banyak karya mufassir di atas, Tafsir Thantawi lah yang merupakan tafsir ‘ilmi yang terlengkap dan terluas.

Corak Tafsir Tarbawi (Pendidikan)

Tafsir tarbawi lebih berorientasi pada ayat-ayat tentang pendidikan. Berbeda dengan corak tafsir lainnya, kitab tafsir tarbawi lebih sedikit. Di antara karya mufassir yang dapat digolongan tafsir tarbawi ialah Namadzij Tarbawiyah min Alquran al-Karim karya Ahmad Zaki Tafahah (1980 M), Nadzariyah al-Tarbiyah fi Alquran wa Tatbhiqatuha fi Ahd al-Rasul karya Dr. Aminah Ahmad Hasan (1985 M) dan Manhaj Alquran fi al-Tarbiyah karya Muhammad Syadid (1991 M). Sesungguhnya ketiga buku tersebut memberi sumbangsih yang sangat berharga bagi perumusan model tafsir tarbawi dan pengembangannya.

Corak Tafsir Falsafi

Secara definisi, tafsir falsafi ialah upaya penafsiran Alquran dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat, atau bisa diartikan juga penafsiran dengan menggunakan teori-teori filsafat. Sedangkan menurut al-Dzahabi, tafsir falsafi adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan pemikirann atau pandangan falsafi seperti tafsir bi al-ra’yi. Dalam hal ini ayat Alquran lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat Alquran. Di antara karya mufassir yang tergolong tafsir falsafi adalah Rasail Ikhwan al-shafa, Fusus al-Hikam dan Rasail Ibn Sina.

Corak Tafsir Akhlaqi

Tafsir Akhlaqi merupakan penafsiran yang lebih berorientasi pada ayat-ayat tentang akhlak dan menggunakan pendekatan ilmu akhlak. Karena itu, penfsiran ayat-ayat akhlak banyak dijumpai di beberapa kitab tafsir terutama aliran tafsir bi al-ma’tsur dan kitab tafsir tahlili. Namun, tidak berarti bahwa tidak ada kitab tafsir yang secara khusus menggarap ayat-ayat tentang akhlak. Salah satu di antaranya adalah Tafsir al-Nasafi karya Imam Ali al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasaf.

Corak Tafsir I’tiqadi (Teologis)

Tafsir teologis merupakan salah satu bentuk penafsiran Alquran yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh ia merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang sebuah aliran teologis. Tafsir model ini lebih banyak membicarakan dan memperbincangkan tema-tema teologis daripada mengedepankan pesan pokok Alquran. Seperti layaknya diskusi yang dikembangkan dalam ilmu kalam, tafsir ini sarat muatan sektarian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham teologis yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya.

Corak Tafsir Sufi

Perkembangan sufisme di dunia Islam kian marak yang ditandai oleh praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam sejak munculnya konflik sepeninggal Nabi Muhammad saw. Bahkan sampai diteorikan dan dicarikan dasar mistiknya melalui Alquran. Hal inilah yang kemudian muncul teori sufisme seperti mahabbah, maqamat, khauf, ma’rifat dan sebagainya.

Tafsir sufi dibagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi nadzari dan ishari. Tafsir sufi nadzari adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan tafsir ishari lebih kepada penafsiran ayat-ayat Alquran secara tersirat atau isyarat tersembunyi yang nampak pada pelaku ritual sufistik dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut.

Hikmah Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Adanya beragam corak tafsir Al-Quran sebagaimana disebutkan di atas memberikan kemudahan bagi kita dalam menentukan mana tafsir yang akan kita pilih, tafsir yang memiliki corak tertentu juga memberikan pesan tersirat bagi kita untuk menggali lebih dalam nilai-nilai Alquran dari berbagai sudut pandang, termasuk mengetahui latar belakang mufassir menafsirkan ayat tersebut.

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah apakah kecenderungan tersebut menjadi senjata bagi penafsirnya untuk melegitimasi pendapatnya sehingga terjebak pada pengalihan makna Alquran sesuai dengan keinginannya. Maka penting bagi kita sebagai umat Islam harus selektif dan memiliki keilmuan yang luas serta bimbingan guru, ustadz atau kiai yang benar-benar membawa kita pada pemahaman Islam secara utuh, tidak terlalu ke kanan ataupun kiri (moderat).

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 5

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Di dalam ayat-ayat sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya haruslah mengikrarkan yang demikian itu.

Iyyaka (hanya kepada Engkau). Iyyaka adalah damir untuk orang kedua dalam kedudukan mansub karena menjadi maf’ul bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf’ul bih harus sesudah fi’il dan fa’il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam Balagah menunjukkan qa¡r, yaitu pembatasan yang bisa diartikan “hanya“. Jadi arti ayat ini “Hanya kepada Engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan“.

Iyyaka dalam ayat ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah.

Baik juga diketahui bahwa dengan memakai iyyaka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah, dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita berkata:

“Ya Allah, Zat yang wajibul wujud, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta pertolongan, karena hanya Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong kami”.

Dengan cara seperti itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah dengan sabdanya:

أَنْ تَعْبُدَ الله َكَأَنَّكَ تَرَاهُ

(رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب)

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khattab).

Karena surah al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.

Na’budu pada ayat ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta’inu, karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.

Melihat kata-kata na’budu dan nasta’inu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a’budu dan asta’inu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama.

Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya

Ibadah secara istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk mencari rida Allah. Arti “ibadah” sebagai disebutkan di atas ialah tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya.

Tegasnya, ibadah itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.

Perasaan inilah yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya.

Sebab itulah, setiap agama mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah, dan ibadah memupuk tauhid.

Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia

Tiap-tiap ibadah yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya, orang yang melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah, dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan demikian salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:

اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ

“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.“ (al-‘Ankabut/29: 45)

Begitu juga ibadah puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada kebesaran dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada Allah.

Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya seperti patung, bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia. Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak.;Berusaha, Berdoa dan Bertawakal

Isti’anah (memohon pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan.

Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa”. (al-Ma′idah/5: 2)

Adakah Pertentangan antara Dua Ayat itu?

Tercapainya suatu maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi potensi oleh Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan.

Tetapi, ada di antara syarat-syarat itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui.

Kendatipun menurut pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya, sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong menolong, agar timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai, menghargai, dan gotong-royong.

Dengan perkataan lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma‘µnah. Ini hendaknya dimohonkan khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah dia bertawakal kepada-Nya.

Ibadah itu sendiri pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma‘µnah dari Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya.

Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma‘µnah khusus kepada-Nya, adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.

(Tafsir Kemenag)

Multi Meaning dalam Kosakata al-Qur’an

0
Teks Alquran
Teks Alquran

Tafsiralquran.id- Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang Shalih li kulli zaman wa makan, kalam Tuhan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam yang hakiki.  Meskipun secara faktual al-Qur’an turun di Arab, namun dalam konteksnya al-Qur’an berlaku untuk semua umat manusia, tidak terbatas bagi orang-orang yang berada di teritorial  atau Jazirah Arab saja.  Sejak al-Qur’an diturunkan sampai saat ini kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah habis. Kajiannya beragam, mulai dari kajian kebahasaan, sintaksis, morfologi, sampai upaya kontekstualisasi terhadap ajarannya. Pendekatan yang digunakan pun juga beragam, dewasa ini pendekatan hermeneutika menjadi “trend” di kalangan akademisi muslim. Fazlurrahman misalnya, mengembangkan teori doble movement dalam upaya memahami ideal moral yang dikehendaki ayat.

Kajian kebahasaan agaknya merupakan konsentrasi awal dalam kajian al-Qur’an. Kasus Adi bin Abi Hatim yang salah dalam memahami bahasa ungkapan al-Qur’an merupakan bukti bahwa kajian kebahasaan secara embrio sudah ada sejak zaman Nabi.  Pada masa sahabat, ketidaktahuan Umar mengenai maksud dari kata abban dalam al-Qur’an juga bukti lain bahwa kajian tentang bahasa al-Qur’an sudah ada sejak generasi awal Islam. Al-Farra’ dengan kitab Ma’ani al-Qur’an-nya juga berdiskusi tentang kebahasaan, mulai sintaksis, morfologi dan kajian kebahasaan lainnya.

Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an seperti sintaksis, morfologi dan lain sebagainya, hampir menjadi pembahasan wajib dalam kitab tafsir era klasik sampai era pertengahan. Hal ini menjadi sasaran kritik bagi ulama modern, karena dianggap terlalu “berlama-lama” dalam membahas gramatikal dalam ayat al-Qur’an, sehingga kadang sampai melalaikan sisi hudan /petunjuk dalam ayat yang dibahas.  Namun kritik ini tidak bisa diterima begitu saja. Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an sama pentingnya dengan kajian tentang dalalah yang dikandung di dalam ayat.  Maksud dari ayat al-Qur’an tidak dapat dipahami dengan baik, jika makna kata atau susunan tarkib-nya tidak diketahui dengan baik pula. Sebab al-Qur’an adalah kitab yang unik, bisa saja ia menyebutkan satu kata yang sama, namun memiliki arti yang berbeda ketika kata tersebut diletakkan di lain tempat. Kajian ini dalam diskursus ilmu al-Qur’an disebut dengan al-Wujuuh wa al-Nazaair.

Adanya al-wujuuh wa al-nazaair dalam al-Qur’an dalam perspektif ulama merupakan bentuk kemu’jizatan al-Qur’an. Bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata memiliki beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wujuuh wa al-nazaair materi yang mutlak harus diketahui oleh cendikiawan yang hendak memahami isi kandungan al-Qur’an.  Sebuah riwayat dari Muqaatil bin Sulaymaan yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad menerangkan bahwa:

لا يكون الرجل فقيها كل الفقه  حتى يرى في القرأن وجوها كثيرة

Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an sampai ia mengetahui makna yang beragam di dalam al-Qur’an.

Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak memahami al-Qur’an harus mengusai materi al-wujuuh wa nazaa>ir. Sehingga pemahaman yang didapatkan menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna yang dikandung dalam al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk beradu argumen dengan golongan khawarij.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali melarang Ibn Abbas menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan golongan khawarij. Instruksi ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an dibanding dengan golongan khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu zu wujuuh, sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain. Menurut Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka, karena hadis tidak zu wujuuh sebagaimana al-Qur’an.

Di satu sisi aspek ini mungkin menjadi bahan perdebatan yang tidak ada akhirnya. Namun di sisi lain, aspek ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an benar-benar firman-Nya. Tidak ada ciptaan manusia yang bisa seperti ini, satu teks namun dipahami secara berbeda dan masing-masing memiliki argumen yang bisa saja sama-sama kuat. Atau bisa juga menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dari berbagai macam kepentingan individu maupun kelompoknya.

Pada awalnya kajian tentang wujuh wa al-nazair berkembang seiring dengan perkembangan tafsir al-qur’an. Namun  kemudian, para pakar bahasa dan tafsir menulis  diskursus al-wujuh wa nazaair dalam satu buku khusus yang terpisah dari buku tafsir. Hal seperti lumrah dalam dunia akademis, satu rumpun ilmu dapat terpecah-pecah menjadi berbagai macam ilmu yang memiliki konsentrasi beragam.  Dari ilmu tafsir misalnya, memunculkan  ilmu qira’at, ilmu munasabah, ilmu bahasa, ilmu asbab al-nuzul dan lain sebagainya.

Dalam diskursus tafsir al-Qur’an, wujuh wa nazair masuk dalam kategori tafsir al-Qur’an yang bercorak kebahasaan. Corak bahasa dalam tafsir al-Qur’an begitu kental di periode klasik dan pertengahan Islam. Hampir setiap karya tafsir tidak lepas dari pembahasan perihal ‘asal kata,  gharib  al-Qur’an, Mushkil al-Qur’an, mushabihah al-Qur’an dan I’rab al-Qur’an. Memang sejak awal perkembangannya, ilmu al-Qur’an selalu saling terkait dengan ilmu bahasa, seolah dua rumpun ini tidak dapat dipisahkan. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para ulama yang terkait dengan bahasa al-qur’an yang dituangkan dalam banyak karya tulis.

Hasil dari ulama yang konsen dalam bidang ini adalah temuan bahwa ada satu lafal dalam al-Qur’an yang memiliki satu makna saja, adapula yang satu lafal memiliki dua makna bahkan ada yang memiliki banyak makna (multi-meaning). Mereka menjelaskan makna yang kuat dan makna yang samar dalam lafal tersebut.  Namun terkadang terjadi perdebatan di kalangan ulama perihal mana makna yang kuat dan makna yang samar. Perdebatan mengenai makna hakiki dan majazi ini hal yang mainstream dalam periode Islam pertengahan, dimana sekte muktzilah vis a vis dengan sekte suni.

Dalam beberapa literatur yang membahas khusus mengenai al-wujuuh wa al-nazaair disebutkan bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair adalah kitab karya Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy (w. 150 H). Kitab tersebut diberi nama al-wujuuh wa nazaair fi’ al-Qur’an al-Kariim, ditulis pada abad ke dua Hijriah.  Namun bukan berarti sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy belum ada pembahasan mengenai al-wujuuh. Sangat mungkin sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy ini sudah ada ulama yang konsen membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair akan tetapi kitab-kitabnya tidak terkodifikasikan secara baik.  Sehinggga tidak sampai pada generasi Islam saat ini.

Asumsi ini berdasarkan keterangan Haatim Shalih pen-tahqiq kitab al-wujuuh wa nazaair fi al-Qur’an al-Kariim, bahwa kitab karya Muqaatil bin Sulaymaan ini adalah kitab tertua yang sampai pada zaman kita, dengan demikian sangat dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai pada zaman kita. Di antaranya kitab yang berbicara tentang al-wujuuh wa nazaair, namun tidak sampai ke generasi Islam saat ini adalah kitab Kashfa al-dhunu>n yang dinisbatkan kepada ‘Ikrimah maula Ibn ‘Abbas.

Tentu masih banyak lagi kitab-kitab yang mendiskusikan aspek kebahasaan dalam al-Qur’an yang belum kita ketahui. Namun setidaknya, dengan melihat beberapa karya ulama di atas, kita semakin terbuka terhadap perbedaan interpretasi ayat al-Qur’an. Tidak mudah tersulut emosi ketika melihat hasil penafsiran terhadap ayat al-Qur’an yang berbeda .  Mengutip ungkapan Abdullah Darraz dalam al-Naba’ al-Adhim, al-Qur’an itu seperti permata yang setiap sisinya  memancarkan cahaya berbeda-beda.  Sehingga apa yang kita tangkap dan yakini sebagai pesan teks, belum tentu sama dengan yang diterima oleh orang lain.

Semua umat Islam tentu sepakat bahwa al-Qur’an adalah teks suci yang pasti kebenarannya. Namun, pemahaman seseorang terhadap teks tentu tidak bisa disejajarkan dengan teks, pemahaman  manusia terhadap teks al-Qur’an tidak bisa dianggap suci dan pasti benar sebagaimana ayat al-Qur’an. Karena al-Qur’an dan pemahaman (tafsir) merupakan entitas yang berbeda.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 4

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu “menguasai hari pembalasan”. Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir.

Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan memanjangkan mim, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama, Malik artinya “Yang memiliki” (Yang empunya). Sedang menurut bacaan yang kedua, artinya “Raja”. Kedua bacaan itu benar.

Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua, dapat dipahami dari kata itu arti “berkuasa” dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan “Yang menguasai”. “Yaum” artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak.

Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2) ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang selaras di sini ialah dengan arti “pembalasan”. Jadi, Maliki yaumiddin maksudnya “Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan.”

Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi, yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib (menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan “hari pembalasan” itu lebih tepat.

Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat)

Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia pada masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini, bukan saja ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal.

Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi merasakan buah usahanya itu.

Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat, penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu, seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari kemudian?

Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak.

Sebab itu sejak dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan Aristoteles berpendapat, “Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani, yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu.”

Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang Hari Akhirat

Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai rasul.

Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka: “Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita dongeng, hai fulan.” Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  ٧  وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ  ٨

(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8)

Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur′an yang menjelaskan bahwa di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An’am/6: 29 ; al-Mu′minun/23: 37).

Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia masih akan hidup kembali (Hud/11: 7; al-Isra′/17: 49) dan banyak lagi ayat senada yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan yang demikian itu.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan dalam Al Quran

0

Kesuksesan kita sebagai seorang umat Islam akan dilihat dari bagaimana cara kita melakukan peribadatan dan kadar ketakwaan kita kepada Allah SWT. Tidak ditentukan dari seberapa sering kuantitas ibadah namun lebih pada kualitas Ibadah yang dikerjakan dan efek setelah melakukan ibadah tersebut. Islam memiliki pedoman yang menuntun umatnya agar selalu mengatur segala bentuk kegiatannya dengan baik, teratur dan disiplin. Entah itu kegiatan yang bersifat duniawi atau ukhrowi.

Beberapa pepatah dan peribahasa banyak sekali yang memberi pesan betapa pentingnya kepedulian kita kepada waktu dan kedisiplinan. Seperti, “waktu adalah uang”, “waktu yang hilang tidak akan ditemukan lagi” dan banyak lagi lainnya yang menjelaskan betapa pentingnya introspeksi, dan menghargai waktu yang diberikan Allah kepada kita dengan melakukan hal-hal baik dan bermanfaat.

Salah satu ayat yang sangat relevan utuk dijadikan pedoman kesuksesan dunia dan ukhrowi kita terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 18. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”

Dalam Tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna takwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan. Begitu pula penjelasan Al-Qurthubiy yang menyatakan bahwa perintah taqwa (pada ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan larangannya, dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajibanNya yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita, sebagai orang yang beriman, dan menjauhi larangan-larangan Allah, yang secara keseluruhan harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita”

Sebagai seorang yang beriman tentu kita harus memiliki komitmen untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Karena dalam rangkaian ayat ini perintah taqwa hanya diperuntukkan kepada orang yang telah beriman. Apabila dia tidak beriman maka dia harus beriman terlebih dahulu untuk terus kemudian bertaqwa.

Pada potongan ayat selanjutnya inilah yang memiliki makna dan motivasi mendalam tentang intropeksi diri dan pentingnya manajemen waktu yang baik sehingga menjadi penting unuk selalu menanam kebaikan untuk dipetik kelak di hari akhir. Allah berfirman:

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”

Menurut beberapa mufassir kata ghad memiliki banyak arti Al-Qurthubi menjelaskan yang dimaksud dengan kata tersebut adalah hari kiamat. Kata-kata ghad sendiri dalam bahasa Arab berarti besok. Beberapa ahli ta’wil menyatakan dalam beberapa riwayat: Allah senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga menjadikannya seakan terjadi besok, dan besok adalah hari kiamat. Ada juga yang mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal ini bisa diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu, yakni untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.

Dalam kitab Tafsir ibnu Katsir, ayat ini disamakan dengan perkataan “haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu” Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab (di hari akhir).

 Potongan ayat selanjutnya Allah kembali mengulang untuk kedua kalinya kalimat yang artinya sama bertaqwalah kepada Allah. Dalam kaidah Bahasa Arab apabila ada suatu kata yang diulang sebanyak dua kali dalam satu susunan kaimat maka kalimat tersebut mengandung unsur penekanan atau sungguh-sungguh. Al-Qurthubiy menjelaskan bahwa kalimat wattaqullah (dalam ayat ini) memberikan pengertian: kalimat (wattaqullah) pertama bisa dipahami sebagai perintah untuk bertaubat terhadap apa pun perbuatan dosa yang pernah kita lakukan, sedangkan pengulangan kalimat wattaqullah pada ayat ini (untuk yang kedua kalinya) memberikan pengertian agar kita berhati-hati terhadap kemungkinan perbuatan maksiat yang bisa terjadi di kemudian hari setelah kita bertaubat, karena setan tidak akan pernah berhenti menggoda diri kita.

InnaLaaha khabiirun bima ta’maluun Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Baik dan buruknya pekerjaan kita tidak lepas dari pengawasan Sang Khaliq.

Introspeksi, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan

Rangkaian ayat ini menjelaskan kepada kita betapa pentingnya seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya di masa lalu untuk kesuksesan dan kebahagiaan masa depan. Allah senantiasa memberi motivasi kepada kita untuk selalu menanam kebaikan dengan amal shaleh. Dengan waktu yang diberikan pada saat ini sudah seharusnya manusia selalu berfikir untuk mengerjakan segala hal yang berorientasi pada hal baik. Perlu diingat penciptaan manusia di muka bumi ini hanya untuk beribadah.

Dalam rumus kehidupan kita selalu dihadapkan dengan waktu yang terbagi menjadi 3, masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang. Dalam ayat tersebut Allah mewanti-wanti kepada kita untuk menghitung (intropeksi) perbuatan-perbuatan apa yang dilakukan pada masa lalu untuk kesuksesan hasil di masa depan (akhirat). Sedangkan saat ini adalah waktu yang hanya di berikan untuk kita. Memanfaatkan dan mengatur waktu sebaik-baiknya adalah hal paling utama bagi kita untuk mencapai kesuksesan yang akan kita raih. Dan hal ini berlaku pula pada diri kita di kehidupan dunia ini. Seandainya seseorang berkeinginan menjadi seorang alim, maka tergantung bagaimana jerih payah dan banyaknya waktu untuk belajar yang dihabiskan pada saat ini. Seorang pilot bisa menerbangkan pesawat terbang yang terbaru maka tergantung bagaimana pengalaman dari pelajaran-pelajaran dari pesawat yang telah diterbangkn pada masa lalu. Seorang pemuda yang ingin sukses dalam berbisnis maka saat ini adalah waktu yang terbaik untuk merasakan kerasnya dunia bisnis dan dengan sendirinya waktu yang akan menjawab segala bentuk jerih payah yang telah dikeluarkan untuk mencapi kesuksesaannya.

Tentu yang dimaksud Allah dalam ayat ini adalah timbulnya kebaikan yang mengarah kepada kesuksesan Akhirat yang abadi. Hari kiamat dikatakan seperti hari esok dan sangat dekat, tentu ibadah dan seluruh pekerjaan yang kita laksanakan pada hari ini haruslah dengan kualitas dan niat terbaik. Dan Allah menutup firmanNya dengan mengatakan bahwa Dia maha mengetahui apapun usaha yang dilakukan. Semoga kita tergolong orang-orang yang sukses di dunia maupun akhirat.

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 2-3

0
tafsir surat al fatihah
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 2-3 ini membahas mengenai dua hal. Pembahasan yang pertama mengenai pujian kepada Allah SWT atas segala anugerah nikmat. Sedangkan pembahasan yang kedua mengenai kekuasaan Allah SWT meliputi seluruh alam semesta.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Al Fatihah Ayat 1


Ayat 2

Pada ayat di atas, Allah memulai firman-Nya dengan menyebut “Basmalah” untuk mengajarkan kepada hamba-Nya agar memulai suatu perbuatan yang baik dengan menyebut basmalah, sebagai pernyataan bahwa dia mengerjakan perbuatan itu karena Allah dan kepada-Nyalah dia memohonkan pertolongan dan berkah. Maka, pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya agar selalu memuji-Nya.

Al-hamdu artinya pujian, karena kebaikan yang diberikan oleh yang dipuji, atau karena suatu sifat keutamaan yang dimilikinya. Semua nikmat yang telah dirasakan dan didapat di alam ini dari Allah, sebab Dialah yang menjadi sumber bagi semua nikmat. Hanya Allah yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu Allah sajalah yang berhak dipuji. Orang yang menyebut al-hamdu lillah bukan hanya mengakui bahwa puji itu untuk Allah semata, melainkan dengan ucapannya itu dia memuji Allah.

Rabb artinya pemilik, pengelola dan pemelihara. Di dalamnya terkandung arti mendidik, yaitu menyampaikan sesuatu kepada keadaan yang sempurna dengan berangsur-angsur.

’Alamin artinya seluruh alam, yakni semua jenis makhluk. Alam itu berjenis-jenis, yaitu alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam manusia, alam benda, alam makhluk halus, umpamanya malaikat, jin, dan alam yang lain. Ada mufasir mengkhususkan ‘alamin pada ayat ini kepada makhluk-makhluk Allah yang berakal yaitu manusia, malaikat dan jin. Tetapi ini mempersempit arti kata yang sebenarnya amat luas.

Dengan demikian, Allah itu Pendidik seluruh alam, tak ada sesuatu pun dari makhluk Allah yang terlepas dari didikan-Nya. Tuhan mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu, guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.

Siapa yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, menyelidiki kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang di laut dan di darat, mempelajari pertumbuhan manusia sejak dari rahim ibunya sampai ke masa kanak-kanak, lalu menjadi manusia yang sempurna, tahulah dia bahwa tidak ada sesuatu juga dari makhluk Allah yang terlepas dari penjagaan, pemeliharaan, asuhan dan inayah-Nya.


Baca juga: ‘Pepujian Jawi’ Surah Al-Fatihah


Ayat 3

Pada ayat dua di atas Allah swt menerangkan bahwa Dia adalah Tuhan seluruh alam. Maka untuk mengingatkan hamba kepada nikmat dan karunia yang berlipat-ganda, yang telah dilimpahkan-Nya, serta sifat dan cinta kasih sayang yang abadi pada diri-Nya, diulang-Nya sekali lagi menyebut ar-Rahman ar-Rahim. Yang demikian dimaksudkan agar gambaran keganasan dan kezaliman seperti raja-raja yang dipertuan dan bersifat sewenang-wenang lenyap dari pikiran hamba.

Allah mengingatkan dalam ayat ini bahwa sifat ketuhanan Allah terhadap hamba-Nya bukanlah sifat keganasan dan kezaliman, tetapi berdasarkan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian manusia akan mencintai Tuhannya, dan menyembah Allah dengan hati yang aman dan tenteram, bebas dari rasa takut dan gelisah. Malah dia akan mengambil pelajaran dari sifat-sifat Allah.

Dia akan mendasarkan pergaulan dan tingkah lakunya terhadap manusia sesamanya, atau terhadap orang yang di bawah pimpinannya, malah terhadap binatang yang tak pandai berbicara sekalipun, atas sifat cinta dan kasih sayang itu. Karena dengan jalan demikianlah manusia akan mendapat rahmat dan karunia dari Tuhannya.

Rasulullah bersabda:

اِنَّمَا يَرْحَمُ الله ُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

(رواه الطبراني)

Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih. (Riwayat at-Tabrani)

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء

(رواه احمد وابو داود والترمذي والحاكم)

Orang-orang yang penyayang, akan disayangi oleh Allah yang Rahman Tabaraka wa Ta’ala.(Oleh karena itu) sayangilah semua makhluk yang di bumi, niscaya semua makhluk yang di langit akan menyayangi kamu semua. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud at-Tirmizi dan al-Hakim)

Rasulullah bersabda:

مَنْ رَحِمَ وَلَوْذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

(رواه البخاري)

“Siapa yang kasih sayang meskipun kepada seekor burung (pipit) yang disembelih, akan disayangi Allah pada hari Kiamat. (Riwayat al-Bukhari)

Maksud hadis yang ketiga ialah menggunakan aturan dan tata cara pada waktu menyembelih burung, misalnya memakai pisau yang tajam. Dapat pula dipahami dari urutan kata ar-Rahman, ar-Rahim, bahwa penjagaan, pemeliharaan dan asuhan Allah terhadap seluruh alam, bukanlah karena mengharapkan sesuatu dari alam itu, tetapi semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Nya.

Boleh jadi ada yang terlintas dalam pikiran orang, mengapa Allah membuat peraturan dan hukum, dan menghukum orang-orang yang melanggar peraturan itu? Pikiran ini akan hilang bila diketahui bahwa peraturan dan hukum, begitu juga azab di akhirat atau di dunia yang dibuat Allah untuk hamba-Nya yang melanggar tidaklah berlawanan dengan sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena peraturan dan hukum itu rahmat dari Allah demi untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu pula azab dari Allah terhadap hamba-Nya yang melanggar peraturan dan hukum itu sesuai dengan keadilan-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

0
larangan memaki sesembahan
larangan memaki sesembahan non-muslim

Tulisan ini akan menguraikan soal toleransi dalam Al-Quran. Khususnya yang tertera dalam Surat Al-An’am ayat 108, yakni topik tentang larangan memaki sesembahan orang lain. Dan Surat Thaha ayat 44 yang berbicara soal cara dan sikap dakwah yang santun. Kita sendiri tahu bahwa Indonesia memiliki beragam suku, agama dan budaya. Hal ini mengaharuskan kita menjunjung tinggi rasa dan perilaku toleransi. Keberagaman yang dimiliki Indonesia di satu sisi bernilai positif karena ia merupakan kekayaan Indonesia. Di sisi lain, ia rawan menjadi “alat” pemicu konflik horizontal. Salah satu alat yang sering digunakan sebagai “bahan” justifikasi konflik adalah perbedaan agama.  Dalam beberapa tahun  belakangan konfik antar agama menjadi isu yang hangat baik secara Nasional maupun Internasional.

Meskipun bila ditelisik lebih dalam, biasanya akar kasus konflik antar agama adalah perseteruan yang terjadi antar individu/kelompok “beragama”, bukan antar agama.  Ingat, ketika individu/kelompok “beragama” melakukan sesuatu yang menyimpang, (radikalisme atau intoleransi misalnya) ia tidak bisa menjadi representasi agama yang dianut. Sehingga tidak bijak jika kemudian mengeneralisir bahwa agama yang dianut individu tersebut merupakan agama yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi.  Hal yang tidak tepat adalah perilaku dan pemahaman individu/kelompok terhadap ajaran agamanya, bukan agama yang dipeluknya.  Karena saya yakin, jika individu mempelajari agama secara baik dan benar, maka ia akan menebarkan perdamaian kepada sesama.  Jadi, jangan permasalahkan agamanya, tapi salahkan individunya. Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran Dalam Islam, sikap toleran terhadap penganut agama lain banyak diajarkan dan dianjurkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu ajaran toleransi dalam Al-Quran adalah larangan memaki sesembahan orang lain. Ini kita lihat dalam surat al-An’am ayat 108:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S Al-An’am Ayat 108) 

Ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memaki sesembahan orang lain adalah dilarang. Sebagai hamba yang tidak ingin Tuhannya dicela, maka larangan memaki sesembahan orang lain ini sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Beberapa tahun terakhir terdapat fenomena orang-orang non-Muslim masuk agama Islam. Tentu kita senang dan bersyukur, karena saudara Muslim semakin banyak dan Islam makin syiar.  Namun ada beberapa hal yang disayangkan, sebagian mereka kemudian diberikan mimbar berbicara di depan jamaah. Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Menurut saya mimbar adalah tempat umum, siapa saja boleh berada di sana.  Hal yang kurang tepat adalah ketika  sudah diberikan mimbar kemudian ia menghujat agama yang dianut sebelumnya. Ini yang menjadi problem, karena bisa saja hal ini menjadi penyebab konflik antar agama.

Padahal secara jelas dalam ayat di atas Allah melarang umat Islam memaki-maki sesembahan non-Muslim. Dalam Tafsir Bahr al-Muhid meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus tertentu ketika Nabi Muhammad masih hidup akan tetapi ia masih tetap berlaku sampai saat ini. Ajaran Islam secara  tetap dilarang menghina dan memaki-maki sesembahan non-Muslim.

Hal tersebut  karena ketika kita memaki sesembahan non-Muslim dengan dalih menyampaikan kebenaran agama, dikhawatirkan dampak yang ditimbulkan menjadi buruk, mereka malah memaki-maki Allah swt yang kita sembah dengan membabi-buta dan ini merupakan impact yang tidak baik. Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan Al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan “sesuatu yang meminbulkan dampak tidak baik, maka sejatinya ia pun buruk”. Toh, kebaikan dan perkara haq bisa disampaikan dengan baik dan lemah lembut tanpa memaki-maki.  Anda tentu tahu Fir’aun, penguasa Mesir yang luar biasa kejamnya. Namun ternyata ketika Allah mengutus Nabi Musa as dan Harun as untuk memperingatkan Fir’aun dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Allah swt berfirman :

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S Thaha Ayat 44)

Kepada Fir’aun yang sedemikian kejamnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa as dan Harun as untuk berlemah lembut. Terus masihkan kita akan menggunakan bahasa menghujat ketika menyampaikan kebenaran? Wallahu a’lam bi al-Shawab