Beranda blog

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31

0
Tafsir Surah Ibrahim
Tafsir Surah Ibrahim

Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 berbicara tentang perintah Allah kepada kaum Mukmin. Ada dua hal yang Allah perintahkan dalam ayat ini, yaitu; sholat dan berinfaq. Dimulai dengan penjelasan sholat, bahwa sholat merupakan kewajiban dan tiang agama, dengannya dapat membersihkan jasmani maupun rohani seorang hamba.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 27-30


Kemudian Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 dilanjutkan dengan pembahasan infaq. Infaq adalah sebuah ritual yang kompleks, selain menunaikan hak-hak spiritual, ia juga manifestasi dari gerakan sosial. Bagi Islam, berinfaq berarti pembersihan harta, artinya nilai keberkahan dari rezeki yang didapat akan semakin bertambah.

Selain itu, Tafsir Surah Ibrahim Ayat 31 juga menegaskan bahwa infaq merupakan bentuk rasa syukur seorang hamba, sekaligus membudayakan nilai-nilai kemanusiaan dengan berbagi kebahagiaan kepada sesama. Dengan demikian, tumbuh rasa peduli, perhatian, dan empati.

Ayat 31

Pada ayat ini Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, yang dapat membahagiakan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Perbuatan-perbuatan itu ialah :

  1. Melaksanakan salat.
  2. Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah swt.

Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin mendirikan salat, karena salat itu tiang agama, sebagaimana sabda Nabi saw:

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ (رواه البيهقي عن عمر بن الخطاب)

Salat itu adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya, maka sesungguhnya ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya, maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama. (Riwayat al-Baihaqi dari Umar bin al-Khathab)

Seseorang yang taat dan selalu melaksanakan salat sesuai dengan ajaran Al-Qur’an adalah orang yang suci jasmani dan rohaninya, karena salat itu mencegah orang yang mengerjakannya melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang terlarang, sebagaimana firman Allah swt:

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

… dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-‘Ankabut/29: 45).

Dan firman Allah swt:

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ   ١٤  وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ   ١٥

Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (al-A’la/87: 14-15).

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah di hari kiamat ialah salat. Jika baik salat seorang hamba, maka baiklah perbuatannya, sebaliknya jika buruk salatnya atau tidak mengerjakannya, maka buruk dan rusak pulalah seluruh pahala amalnya yang lain.

Rasulullah saw bersabda:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ. (رواه الطبراني عن أنس بن مالك)

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah pada hari kiamat ialah salat. Maka jika baik amalan salat itu, baik pulalah seluruh amalnya, dan jika rusak amalan salat itu, rusak pulalah seluruh amalnya. (Riwayat at-Thabrani dari Anas bin Malik).

Bahkan Allah swt menegaskan, bahwa orang yang selalu mengerjakan salat itu adalah orang yang menjadi pewaris surga Firdaus di akhirat, sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ ۘ  ٩  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوَارِثُوْنَ ۙ  ١٠  الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ   ١١

Serta orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (al-Mu’minµn/23: 9-11).

Melaksanakan salat berarti mengerjakan salat terus-menerus, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan agama, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, disertai dengan khusyuk dan ikhlas.

Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menginfakkan sebagian harta yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, sebelum datang hari kiamat, yaitu hari ketika semua pintu tobat telah ditutup, tidak satu dosa pun yang dapat ditebus, walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi.

Tidak ada lagi seorang teman karib yang dapat menolong dan tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan dan memberikan bantuan termasuk anak-anak dan cucu-cucu. Allah swt berfirman:

فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَّلَا مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۗ

Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. (al-Hadid/57: 15).

Dan firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا بَيْعٌ فِيْهِ وَلَا خُلَّةٌ وَّلَا شَفَاعَةٌ  ۗوَالْكٰفِرُوْنَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim. (al-Baqarah/2: 254).

Orang-orang yang terlepas dari azab hari kiamat itu hanyalah orang-orang yang selama hidup di dunia mengerjakan amal-amal saleh, senang bersedekah, sehingga hatinya suci dan bersih serta rela terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya nanti. Allah swt berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ    ٨٨  اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ   ٨٩

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy-Syu’ara/26: 88-89).

Senang menginfakkan harta merupakan pencerminan dari kepribadian muslim yang sesungguhnya, sebagai seorang yang telah menyerahkan diri, harta, dan kehidupannya kepada agama, semata-mata untuk mencari keridaan Allah swt.

Perbuatan itu juga merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Terhadap orang yang mensyukuri nikmat, Allah akan menambah nikmat lebih banyak dari nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya.


Baca Juga : Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an


Sebaliknya sifat tidak senang menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah adalah pencerminan pribadi orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya serta pencerminan dari rasa ingkar terhadap nikmat Allah.

Mereka merasa bahwa segala yang mereka peroleh itu semata-mata karena hasil jerih payahnya sendiri.

Dengan sikap yang demikian berarti mereka telah zalim terhadap dirinya sendiri. Akibat zalim terhadap dirinya sendiri ialah tidak lagi mendapat tambahan nikmat dari Allah, bahkan mereka akan ditimpa azab yang pedih di dunia dan di akhirat.

Zalim terhadap orang lain ialah ia tidak mau memberikan atau mengeluarkan hak orang lain yang ada dalam hartanya. Zalim kepada masyarakat yang ada di sekitarnya ialah mengganggu kepentingan dan hubungan baik yang telah dijalin dalam masyarakat.

Bahkan dari ayat ini dipahami bahwa orang yang kikir dan tidak mau membelanjakan sebagian hartanya itu adalah orang yang congkak dan sombong.

Karena merasa dirinya telah mampu mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapinya, termasuk kesulitan dan malapetaka yang akan menimpanya di hari kiamat nanti. Mereka merasa tidak lagi memerlukan tambahan nikmat dan pertolongan Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Menginfakkan harta dalam agama Islam ada beberapa bentuk:

  1. Membelanjakan harta untuk nafkah diri sendiri, anak-anak, kerabat, dan istri.
  2. Menginfakkan harta untuk menunaikan kewajiban, seperti zakat harta dan zakat fitrah.
  3. Menginfakkan harta untuk infak sunah.

Membelanjakan harta untuk nafkah istri, kerabat, dan untuk menunaikan nafkah wajib, merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan agama atas orang-orang yang beriman, dan ketentuan-ketentuannya tersebut di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi.

Sedang infak sunah yang diberikan untuk kepentingan umum dan untuk meninggikan kalimat Allah dikategorikan sebagai amal jariah, yaitu infak atau amal yang tidak akan putus pahalanya, walaupun orang yang memberi infak itu telah meninggal dunia, selama infak itu memberikan manfaat.

Pemberian infak wajib, infak sunah, dan nafkah itu haruslah diiringi dengan niat yang ikhlas, semata-mata dilakukan untuk mencari keridaan Allah, terjauh dari sifat ria, ingin dipuji dan disanjung oleh sesama manusia.

Karena itu Allah menyerahkan kepada manusia bagaimana cara sebaiknya memberi harta itu kepada orang yang berhak menerimanya, sehingga membuahkan pahala dari sisi Allah. Jika ia khawatir akan timbul rasa ria dalam hatinya, maka ia boleh memberikan harta itu secara sembunyi, tidak diketahui orang.

Bila ingin perbuatannya ditiru orang lain, maka ia boleh pula memberikan hartanya itu dengan terang-terangan.

Hendaklah kaum Muslimin ingat bahwa harta itu pada hakikatnya adalah milik Allah.

Dianugerahkan-Nya kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah selama mereka hidup di dunia.

Oleh karena itu, jika seseorang telah memperoleh harta dan telah melebihi keperluannya, hendaklah diinfakkan kepada yang berhak menerimanya.;

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ibrahim Ayat 32-33

Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

0
hasbunallah wa ni'mal wakil
hasbunallah wa ni'mal wakil

Kalimat hasbunallah atau biasa juga dilanjutkan dengan wa ni’mal wakil yang memiliki arti “cukuplah bagi kami Allah sebagai penolong. Dia adalah sebaik-baiknya pelindung”. Kalimat ini tercantum dalam beberapa ayat Al Quran dan hadis Nabi. Salah satunya tertuang dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 172-173. Ayat itu bercerita tentang kisah dzikir  hasbunallah wa ni’mal wakil yang dibaca 70 sahabat Nabi. Ayat tersebut berbunyi:

الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar”

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”. Maka perkataan itu menambah keimanan mereka. Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”


Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah


Kisah 70 Sahabat Nabi Membaca Dzikir Hasbunallah Wa Nikmal Wakil

Ungkapan ayat di atas menceritakan tentang peristiwa perang Uhud yang terjadi pada Bulan Syawal 3 H. Moenawar Chalil yang berjudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, menjelaskan terdapat 70 sahabat yang berpartisipasi dalam Perang Uhud. Salah satu diantaranya ialah paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Hamzah Ibn Abd Muthalib.

Hamzah telah gugur di peperangan ini. Nabi pun mengalami luka parah karena serangan lemparan potongan besi oleh Utbah Bin Abi Waqqash. Dalam sebuah riwayat dikatakan, salah satu gigi Nabi bagian depan pun patah.

Kemudian, Nabi dan para sahabat pulang ke Madinah. Hingga di suatu daerah bernama Hamra’al Asad, Nabi menerima kabar bahwa kaum musyrik Mekkah sedang bersiap diri untuk menyerang kaum muslim. Sementara waktu itu, kaum muslim sedang dirundung sedih dan letih akibat perang.

Kemudian, Nabi memerintahkan kembali semua anggota perang Uhud untuk kembali berperang. Saat itu, mereka mengucapkan kalimat yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 173. Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Baca juga: Islam Melarang Berperang di Bulan Haram


Beragam Makna Kalimat Hasbunallallah

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Kosakata Keagamaan, kalimat dzikir tersebut memang berpotensi untuk melawan rasa takut dan diberikan rasa kecukupan. Yang dimaksud ialah Allah akan memberi apa yang hambanya butuhkan. Selain itu, makna dari hasbunallah ini mengajak manusia untuk bersabar agar ia mampu mempersiapkannya dengan baik dan semoga diberikan kemuliaan yang hakiki.

Shihab meneruskan kembali dalam bukunya bahwa kata hasb ini ternyata menguasai banyak makna. Ada tiga makna diantaranya yaitu:

  1. Hitungan. Hal ini selaras dengan Surat ar-Rahman ayat 5, yang melahirkan makna “kemuliaan”. Shihab mengungkap bahwa kemuliaan seseorang itu diperhitungkan dari

kedudukan orangtuanya atau para leluhur.

  1. Kecukupan. Makna kedua ini selaras dengan kalimat hasbunallah wa ni’mal wakil dalam arti Allah akan memberi apa yang aku butuhkan atau yang terbaik atas setiap situasi yang dihadapi. Sekaligus akan bermakna dengan yang kami hadapi. Kami akan menerima dengan sabar dan akan menjadi bekal untuk kami siapkan untukmakemudian hari dan mengaharap agar kemuliaan selalu bersama kami.”

Keutamaan Membaca hasbunallah

Imam Abu Daud dalam kitabnya Syarh Sunan Ibn Daud menjelaskan tentang keutamaan membaca dzikir hasbunallah disaat kesulitan yang sulit dipatahkan. Hadis tersebut berbunyi:

قال أبو داود رحمه الله تعالى: حَدَّثَنَا عَبدُ الوَهَّابِ بنُ نَجدَةٍ، وموسى بن مروانَ الرَقِي قَالَا َثنَا بَقِيَّة بن الوَلِيدِ عن بَحِير بن سعدٍ عن خالدٍ بن مَعدانَ عن سيفٍ عن عوفٍ بن مالكٍ أنه حَدَثَهُم أَنّ النبي صلى الله عليه وسلم قَضَى بَينَ رَجُلَينِ فَقَالَ المقضي عليه لمِا أَدبَرَ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيلُ، فَقَالَ النبي صلى الله عليه وسلم: إنَّ الله يَلُومُ عَلى العَجْزِ، ولَكِن عَليكَ بِالكَيْسِ، فَإذا غَلَبَكَ أَمرٌ فَقُل: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيلُ

“Diriwayatkan dari ‘Auf Bin Malik bahwa Nabi Muhammad Saw telah menghakimi dua orang pihak, dan orang terdakwa pun mundur lalu mengucapkan Hasbiyallah Wa Ni’ma al-Wakil. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengecam seseorang yang lemah atau enggan dalam membela diri. Pandailah saat menghadapi situasi. Namun, jika engkau sudah tidak mampu, maka ucapkanlah hasbiyallah wa ni’mal wakil” (HR. Abu Daud)

Imam Abu Daud melanjutkan:

أَمَّا أَن يَقُولَ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيل مَعَ العَجزِ ومَعَ عَدَمِ الأَخذِ بِالأَسبَابِ، فَإنَّ الكَيسَ هُوَ خِلَافُ ذَلِكَ، وَالكَيسُ هُوَ أَنَّ الإنسَانَ يَأخُذُ بِالأَسبَابِ، وَإذَا فَاتَهُ الشَّيءُ الذِي أَرَادَهُ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: حَسبِيَ الله ونِعمَ الوَكِيل، وهَذا مِثلُ مَا جَاءَ فِي الحَدِيثِ الذِي رواه مُسلِمٌ فِي صَحيحِهِ عَن أَبِي هُرَيرَةَ أَنَّ النَّبِّي صلى الله عليه وسلم قال: (المُؤمِنُ القَوِيُّ خَيرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللِه مِنَ المُؤمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلِّ خَيرٍ، احرِصْ عَلى مَا يَنفَعُكَ، واستَعِنْ بِالله ولا َتَعجَزْ) يعني: استَعِنْ بِالله عز وجل مَعَ أَخذِكَ بِالأَسبَابِ، وَلَا تَقْصِرْ

“Kalimat hasbiyallah wa ni’mal wakil lebih baik dilantunkan saat kondisi sulit dan tidak ada upaya untuk mewujudkan yang ia inginkan. Sesungguhnya orang yang pandai itu sebaliknya, ia mampu mewujudkan apa yang ia inginkan. Maka, ketika ia kehilangan sesuatu yang diinginkannya ia berkata” hasbiyallah wa ni’mal wakil”. Hadis ini sama dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya yang mengutip dari Abu Hurairah:” Mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai oleh Allah daripada orang yang lemah. Lakukanlah apa yang bermanfaat bagimu. Memohonlah kepada Allah dan jangan lemah! Mintalah pertolongannya untuk mewujudkan apa yang kau inginkan. Jangan kau remehkan!.”

Dari dua hadis tersebut tampak bahwa membaca hasbiyallah (atau hasbunallah dalam bentuk jamak) wa ni’mal wakil lebih diutamakan ketika dalam kondisi sulit. ini menunjukkan, dzikir ini sebagai simbol berserah diri bagi seorang hamba kepada Allah, yang sedang berada pada titik nadir kehidupannya.


Baca juga: Tiga Keutamaan Membaca Surah Al-Waqiah


Wallahu A’lam

Tafsir Tarbawi: Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

0
story telling
story telling

Salah satu metode dalam pendidikan Islam yang banyak digunakan oleh guru-guru kita dahulu dan pendakwah Islam seperti Walisongo adalah story telling atau metode cerita. Strory telling terbukti efektif dalam memudahkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang disampaikan. Metode pendidikan yang ampuh inilah yang ternyata sudah lebih dulu Allah swt contohkan dalam Al Quran Surat Hud ayat 120:

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman (QS. Hud [11]: 120)


Baca jugaTafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Perumpamaan dalam Pendidikan Islam


Tafsir Surah Hud Ayat 120

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt telah menceritakan kisah rasul-rasul terdahulu bersama umatnya. Semisal peristiwa ingkarnya pengikut nabi, permusuhan di antara mereka, keluhan nabi atas ketidaktaataan dan ketidakpatuhan terhadap ajarannya, dan lain sebagainya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa segala cerita yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. seperti cerita para rasul terdahulu beserta umatnya, bagaimana peristiwa pedebatan Nabi dan umatnya, serta ketabahan dan keikhlasan para nabi. Semua itu tak lain bertujuan untuk memantapkan dan meneguhkan hati Nabi SAW. Pada konteks inilah, kisah rasul terdahulu menjadi suri tauladan bagi Nabi SAW.

Hal senada juga tertera dalam tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsiril Al Qur’an. Dalam tafsirnya itu, at-Thabari menuturkan semua yang diceritakan Allah SWT kepada Nabi bertujuan untuk memantapkan hatinya. Karena itu, Nabi tidak perlu gundah tatkala kaumnya mendustakan ajaran yang ia bawa. Jangan pula berkecil hati sehingga Nabi meninggalkan sebagian yang telah Allah turunkan kepadanya.

Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib merinci manfaat kisah tersebut di antaranya, pertama, memantapkan hati Nabi untuk sabar dan tak gentar menyampaikan risalah. Karena memang setiap penyemaian benih kebaikan, selalu diusik oleh semak belukar yang Selalu berusaha menggerogotinya.

Cerita itu pula seakan memperlihatkan bahwa Nabi SAW tidak sendirian merasakan kepedihan, sebab rasul terdahulu juga mengalami tantangan berat.

Kedua, dalam surah tersebut telah datang kepada Rasul SAW yaitu suatu kebenaran, mauidzah (nasihat). Selain itu, terdapat peringatan yang amat berharga bagi orang yang dapat mengambil pelajaran darinya

Semua cerita tersebut bertujuan untuk meneguhkan hati Rasulullah bahwa memang tidak mudah menjalankan dan mengemban risalah-Nya.

Di samping itu, kisah-kisah tersebut juga menanamkan nilai-nilai kebenaran. Di antara nilai itu ialah prinsip ketauhidan dan ketakwaan atau amar ma’ruf nahi munkar. Kesemuanya itu merupakan pengajaran dan peringatan yang bermanfaat bagi orang-orang yang mempercayai bahwa diazabnya umat terdahulu dikarenakan mereka telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dan berbuat kerusakan di muka bumi.


Baca juga: Inilah Alasan Kenapa Kisah Al Quran adalah Kisah Terbaik

Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

Story telling atau metode cerita yang ditegaskan dalam ayat di atas menunjukkan bahwa metode cerita sangat efektif bagi pengajaran peserta didik. Di mana saat itu Rasul SAW berposisi sebagai peserta didik yang diajar langsung oleh Allah SWT.

Dalam konteks pendidikan Islam, seorang pendidik dapat menggunakan metode cerita. Terkhusus, cerita masa lampau atau sejarah yang berkaitan dengan pelajaran dan tema yang sedang diajarkannya. Hal ini karena cerita itu akan mudah diterima oleh murid dan membekas di hati mereka. Sehingga, mereka semakin mudah memahami pelajaran.

Selain itu, Kita tahu bahwa seseorang mulai usia anak-anak hingga dewasa sangat suka sekali dengan cerita-cerita. Terutama jika cerita itu berasal dari pengalaman hidup sehari-hari dan sedang kita alami. Tentu akan sangat membekas dalam hati dan kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) dari cerita tersebut.


Baca juga: Meneladani Kisah Ashabul Kahfi dalam Al Quran


Pertanyaannya kemudian, mengapa harus metode cerita?

Sebagaimana penjelasan ayat tersebut, Allah ingin membumikan ajaran-Nya kepada makhluk-Nya. Salah satunya, melalui perantara metode cerita yang dapat dipahami oleh mereka. Karena pengetahuan ilahiyah tidak terlepas dari sesuatu yang menerima dan hal yang harus diterima. Artinya, jika hati harus siap untuk menerima pengetahuan ilahiyah, sehingga bisa memperoleh manfaat dengan mendengarkan cerita itu. Dan hal yang harus diterima ialah kebenaran, nasihat, dan peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.

Karena cerita itu penting, maka tak heran bila guru kita seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Kiai Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) juga sering menggunakan metode ini. Kedua tokoh ini dalam menyampaikan ceramahnya selalu sarat akan cerita-cerita yang bermakna, humoris dan konstruktif. Pendengarnya pun tidak merasa digurui. Malah mereka merasa rileks, tertawa bahagia sehingga menyebabkan mereka mampu meresapi dan merefleksikan makna cerita tersebut ke dalam dirinya sendiri. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah

0
ilustrasi musibah (sumber: kompasiana.com)

Setiap musibah yang datang kepada manusia adalah atas izin Allah SWT. Berangkat dari itu, maka musibah harus disikapi dengan bijaksana dan bersikap sesuai ketentuan Allah. Karena setiap musibah yang menimpa, pasti ada hikmah dari Allah SWT yang bermanfaat untuk semua manusia.

Syekh Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Tafsir Al-Qurtubi, bahwa musibah adalah segala sesuatu yang diderita atau dirasakan oleh mukmin. Dan kata musiibah ini adalah bentuk tunggal, sedangkan jamaknya al-mashaaib. Musibah ini biasanya diucapkan ketika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat baginya. Kata musibah juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk dan tidak dikehendaki.

Allah SWT dalam berkehendak juga tidaklah sia-sia, karena setiap kehendakNya mengandung hikmah yang perlu diteladani, dengan begitu akan menambah kedekatan denganNya. Berikut merupakan QS. al-Hadid [57]: 22-23 yang menjelaskan terkait hikmah dari musibah:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ23

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiaporang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).

Menurut Quraish Shihab pada kitab Tafsir al-Misbah, QS. al-Hahid [57]: 22 menganjurkan untuk tidak terpengaruh dengan gemerlap duniawi, karena sesungguhnya ayat tersebut mengingatkan manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan setan menyangkut dampak negatif berinfak dan berjuang. Sebab tiada suatu bencanapun yang menimpa kamu atau siapapun di bumi, seperti kekeringan, paceklik, longsor, gempa, banjir, dan tidak pula pada dirimu sendiri, seperti penyakit, kemiskinan, kematian, dan lain-lain, melainkan sudah tercatat dalam kitab yakni Lauh Mahfudh.

Maka Allah mengingatkan kepada makhluknya untuk tidak bersikap sombong hingga lupa daratan, begitu pula Allah juga tidak menyukai orang yang berputus asa akibat kegagalan. Karena sesungguhnya musibah itu bisa buruk dan bisa menyenangkan. Jadi QS. al-Hadid [57]: 22-23 ini, menjelaskan hakikat musibah yang bertujuan menempa manusia dan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh.

Dituliskan juga oleh Ibnu Hatim pada karyanya Tafsir al-Quran al- adzim Ibnu Abi Hatim, bahwa seorang Nabi juga pernah mengalami putus asa ketika berdakwah yakni peristiwa nabi Yunus. Kemudian Allah memberiya musibah beliau dengan ditelannya Nabi Yunus oleh ikan Paus yang besar. Selanjutnya Nabi Yunus memohon kepada Allah SWT,berikut doa Nabi Yunus:

اللَّهُمَّ، لَا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَك إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Ya Allah, tidak ada Tuhan melainkan Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang aniaya”

Pendapat lain dari Imam al-Baidhawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari datangnya musibah tidak lain adalah agar manusia tidak sedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki dari genggamannya. Serta tetap bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan padanya makluknya.

Hikmah dari musibah bisa dirasakan jika seorang hamba tetap berhusnudzan kepada Allah SWT, sabar serta tidak meninggalkan rasa syukur ketika memperoleh nikmat ataupun kesulitan hidup. Tetap optimis, yakin bahwa selalu ada hikmah disetiap musibah. Wallahu a’lam.

 
 

Mengingat Ayat Mutasyabihat dengan Nazam Hidayatush Shibyan

0
Mengingat Ayat Mutasyabihat dengan Nazhom Hidayatush Shibyan
Nazhom Hidayatush Shibyan

Kamis lalu, ada naskah master mushaf dengan konten suplemen ayat mutasyabihat (ayat-ayat mirip) yang sedang ditashih oleh teman-teman pentashih LPMQ. Hal ini menjadi diskusi menarik antara kami. Jadi, satu halaman naskah tersebut memiliki hamisy berupa informasi nama surah, nomor ayat, dan halaman mana yang berlafaz mirip dengan ayat tertentu di halaman tersebut. Kata saya, mushaf ini mirip seperti at-Tibyan al-Mufashshal yang disusun oleh Syekh Yasir Bayyumi, dosen Al-Azhar Mesir.

Lalu kemarin, ketika scroll Instagram. Saya menemukan faidah dzahabiyyah di postingan @huffadzkrapyak tentang al-‘inayah bil ayah al-wahiidah. Sebuah tips mengingat ayat mutasyabihat dengan berfokus pada lafaz/kalimat yang beda sendiri dari kalimat miripannya. Anomali, kalau kata tren sekarang.

Dua momen ini membuat saya bernostalgia saat beberapa tahun lalu sowan ke al-muqri’ah Ustadzah Ihsan, Lc. MA. asal Kota Banjarmasin. Putri Dr. KH. M. Saberan Afandi, MA. yang konon merupakan doktor hadits pertama di Asia Tenggara.

Baca juga: Hidayatus Shibyan, Kitab Tajwid Dasar yang Banyak Diajarkan di Pesantren

Ketika saya menanyai Ustadzah Ihsan tentang trik beliau untuk mengingat ayat mutasyabihat, beliau memberikan jawaban unik yang belum pernah saya temui: “Nazhomkan Hidayatush Shibyan”, ujar beliau.

Hidayatush Shibyan li Fahmi Musykilil Qur’an (bukan Hidayatush Shibyan fi Tajwidil Qur’an) merupakan nazam dengan 142 bait yang digubah oleh Syekh al-Mihiy. Jika anda pernah belajar Tuhfatul Athfal, pasti familiar dengan laqab beliau. ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-Mihiy nama panjangnya. Gelarnya “Nuruddin”. Tuhfatul Athfal merupakan output Sulaiman al-Jamzury setelah berguru dengan al-Mihiy.

سَمَّيْتُهُ بِتُحْفَةِ الْأَطْفَالِ * عَنْ شَيْخِنَا الْـمِيهِىِّ ذِي الْكَمَالِ

“Aku beri nama (nazam) ini Tuhfatul Athfal.”

*

“(Kuriwayatkan) Dari guru kami, al-Mihiy yang mempunyai kesempurnaan.”

Namun setelah dibaca-baca, saya jadi paham, mengapa nazam ini kurang masyhur di tradisi tahfizh Alquran kita. Ternyata nazam ini hanya mencakup hingga Surah adz-Dzariyat. Selain itu, perlu beberapa kali jeda berpikir untuk memahami bait-bait Hidayatush Shibyan ini. Itupun masih susah mendapat maksudnya.

Misalnya untaian bait ke-130 ini:

‎  ‎فَأَقْبَلَ ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ   *   ‎وَأَقْبَلَ ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ

Jika dibaca sekali-dua, sepertinya belum bisa dipahami maksud bait ini. Paling yang sekilas dapat ditangkap adalah bait ini menyangkut Surah al-Qalam dan ath-Thur.

Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir

Nazam ini rasanya tidak untuk kalangan pemula, seperti saya. Dan ini sempat membuat saya sepintas sinis. “Ah, ini tak perlu diketahui”. Namun pikiran itu langsung diusir oleh semangat ihya’ut turots.

Diperlukan kemampuan memahami dan mengoordinasikan untaian bait dengan hafalan Al-Qur’an yang dimiliki. Artinya, mensyaratkan kemampuan kebahasaan, nalar dhobith dan hafalan yang mutqin 30 juz.

Oleh karena itu, Ihsan menyarankan untuk nazhoman sambil membaca syarahnya dulu agar paham maksud Syekh al-Mihiy. Nanti seiring waktu, hafalan nazam akan diiringi pemahaman.

Syarahnya berjudul Mauriduzh Zham’an karya Dr. ‘Abdul Waliy Abu Bakar ‘Abdul Waliy, anggota Lajnah Muraja’ah/Tashih Mushaf Alquran Mesir. Syarah ini juga telah ditinjau ulang dan ditashih oleh Syekh Mahmud Amin Thonthowi, Kepala Lajnah Mesir periode 1998-2004.

Mauriduzh Zham’an sukses menerangkan dengan ringkas dan lugas nazam al-Mihiy. Begitu menukil bait nazam, ‘Abdul Waliy langsung menuliskan ayat-ayat yang dimaksud di bawahnya. Ia juga memberikan tanda baca tertentu pada bait, dan membuat kategorisasi berdasarkan surah. Sangat memudahkan pembaca.

Baca juga: ‘Mutasyabih Nadzm’: Corak Baru dalam Elaborasi ‘I’jaz Al-Qur’an’

Mari kita baca kembali bait 130 tadi, tapi melalui POV ‘Abdul Waliy:

)فَأَقْبَلَ( ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ   *   ‎)وَأَقْبَلَ( ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ

“Fa aqbala itu letaknya kedua (setelah wa aqbala) pada adz-Dzibh (ash-Shaffat) dan al-Qalam.”

*

“(Sedangkan) Wa aqbala ada pada ath-Thur dan lebih dahulu pada adz-Dzibh secara urutan.”

Tanda kurung seketika memberikan pemahaman, bahwa maksud bait ini adalah kemiripan  kata فَأَقْبَلَ (ayat 50) dan وَأَقْبَلَ (ayat 27). Yang terdapat pada Surah ash-Shaffat (diistilahi al-Mihiy dengan “adz-Dzibh” karena surah itu menceritakan penyembelihan Nabi Isma’il a.s.). Dan juga pada al-Qalam (ayat 30) dan ath-Thur (ayat 25).

Pada akhirnya, nazam ini takkan berdampak apa-apa pada hafalan, jika tiada tanggungjawab untuk muraja’ah. Hidayatush Shibyan hanyalah bantuan, bukan tujuan. Dr. Hj. Umi Husnul Khatimah, anggota tim pelaksana ahli pentashihan LPMQ pernah menasehati penulis, “Baca saja, muraja’ah. Tugasmu cuma itu, sisanya Allah yang memudahkan.”

Wallahu waliyyut taufiq.

Qur’anic Green Ethics: Tafsir Ekologis dalam Menjawab Krisis Iklim Global

0

Krisis iklim kini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup manusia dan alam. Banjir, deforestasi, polusi udara, kekeringan ekstrem, hingga kepunahan spesies semakin banyak terjadi yang disebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan melewati batas. Alquran, sebagai kitab samawi yang diturunkan untuk menjadi pedoman sepanjang zaman, ternyata mengandung prinsip-prinsip yang bisa dijadikan fondasi untuk membangun kesadaran ekologis.

Penafsiran terhadap ayat-ayat yang bersangkutan dengan alam ini dikenal sebagai tafsir ekologis (green tafsir), yaitu pendekatan yang menitikberatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari nilai etis keislaman.

Baca Juga: Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Kerusakan Alam dalam Perspektif Alquran

Alquran secara eksplisit menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan ulah langsung dari tangan manusia, sebagaimana dalam firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rūm [30]: 41).

Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa degradasi ekologis bukanlah takdir, melainkan hasil dari tindakan manusia yang tak bertanggung jawab dalam menjaga amanah kekhalifahan di bumi.

Dalam Maḥāsin At-Ta’wīl, Al-Qāsimiy menegaskan bahwa kerusakan yang dimaksud ayat tersebut adalah mencakup maksiat dan dosa-dosa yang diperbuat serta seluruh tindakan yang merusak seperti perusakan hutan, eksploitasi laut, hingga pencemaran sungai, yang semuanya terjadi karena bersumber dari keserakahan manusia.

Baca Juga: Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan

Manusia sebagai Khalifah Ekologis

Konsep manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ merupakan fondasi etis dalam membangun teologi lingkungan yang Islami. Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ…الْأَيَة

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,.. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Ibnu ‘Āsyūr dalam Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menafsirkan kata “khalifah” tidak sekadar pemimpin, namun juga sebagai pengelola bumi yang harus tetap menjaga keseimbangan dan ketertibannya. Artinya, manusia bertanggung jawab penuh, bukan hanya dengan sesama, tetapi juga dengan makhluk hidup lain dan sistem ekologis secara keseluruhan.

Prinsip Keseimbangan dan Tidak Berlebihan

Prinsip keseimbangan (mizān) menjadi inti ajaran Islam dalam menjaga alam. Allah SWT berfirman:

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ . اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ

Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu.” (QS. Ar-Rahmān [55]: 7–8).

Dalam tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa mizān bukan hanya tentang keadilan atau kesimbangan sosial, melainkan mencakup segala aktivitas dalam kehidupan manusia termasuk dalam keseimbangan ekologis, contohnya pengambilan hasil hutan, energi, air, dan lainnya. Hal Ini selaras dengan prinsip dasar Islam tentang tidak berlebihan dalam menggunakan sumber daya alam (Q.S. Al-A’rāf [7]: 31).

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Tafsir Ekologis dalam Jurnal dan Literatur Kontemporer

Dalam artikel “Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya”, Widiastuty dan Anwar (2025) mengembangkan konsep green religion berbasis Alquran, dengan menekankan bahwa keberlanjutan alam adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah. Islam, menurut mereka, harus hadir tidak hanya dalam ruang masjid, tetapi juga dalam kebijakan konservasi dan perilaku ekologis umat.

Artikel lain yang ditulis oleh Mutma’inah dan Abidin (2024) membahas bagaimana green-deen dari tafsir lokal al-Ibrīz karya KH Bisri Musthofa. Mereka menunjukkan bahwa nilai-nilai pelestarian lingkungan dapat dijumpai secara eksplisit dalam ayat-ayat alam, seperti Q.S. Al-A’rāf [7]: 56, yang berbunyi:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. (QS. Al-A’rāf [7]: 56).

Tafsir ini menekankan bahwa tindakan menjaga lingkungan bukan hanya anjuran etis, tapi sudah mencapai level kewajiban spiritual yang tinggi.

Hadis dan Tradisi Nabi tentang Ekologi

Rasulullah Saw. juga memberikan teladan dalam sikap ekologis, seperti tercermin dalam larangan menebang pohon secara sembarangan dan anjuran untuk menanam pohon:

حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ

Jika hari kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat benih kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, tanamlah. (HR. Ahmad No. 12981).

Hadis ini tidak hanya menggambarkan nilai optimisme, tetapi juga komitmen Nabi Saw. dalam melestarikan lingkungan meskipun dalam kondisi genting.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

Kesimpulan

Dengan demikian, pembacaan tentang tafsir ekologis merupakan jembatan antara teks wahyu dengan realitas lingkungan hidup. Dengan menggali nilai-nilai Qur’ani seperti tawāzun (keseimbangan), mas’ūliyyah (tanggung jawab), dan rahmah (kasih sayang terhadap semua makhluk), umat Islam dapat berperan aktif dalam menyelamatkan lingkungan. Alquran tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga mengajarkan ekoteologi yang relevan di era krisis global.

Oleh karena itu, krisis iklim bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Jawaban atasnya dapat dimulai dari pemahaman ulang terhadap wahyu ilahi dan pengamalan tafsir ekologis dalam kehidupan sehari-hari.

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (3-Selesai)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Q.S. Al-A’râf [7]: 123-124, Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49 merupakan serangkaian narasi Alquran yang membicarakan terkait penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Firaun dan rezimnya. Kita bisa sepakati, keempat ayat tersebut memiliki kemiripan dan keselarasan kandungan makna.

Dari pada itu, keempat ayat tersebut berlatar belakang ayat-ayat sebelumnya yang mengisahkan tentang perintah Firaun terhadap para penyihirnya untuk melawan Musa dan Harun. Namun apa yang terjadi? Justru para penyihir Firaun tertunduk, tersungkur sujud di depan seluruh orang yang menyaksikan peristiwa tersebut sembari menyatakan iman mereka kepada Tuhan semesta alam di hadapan Musa dan Harun. (Tafsir Al-Azhar, jilid 16, 4452 dan Tafsîr asy-Sya’râwî, jilid 03, 4301)

Pasca para penyihir tersebut bersujud dan menyatakan keimanan mereka kepada Allah, serta pengakuan kekalahan mereka kepada menghadapi Musa, lantas Firaun mengecam dan menolak apa yang mereka lakukan sembari berkata, “Apakah kalian beriman kepadanya (Musa) sebelum aku izinkan kalian? Sungguh kalian telah melakukan suatu makar di dalam kota ini agar kalian bisa keluar bersama para penduduk dari sini!” (Tafsir Al-Mishbah, jilid 05, 208)

Sungguh…”, pernyataan Firaun dalam Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49, “ memang dia (Musa) pemimpin besar kalian yang mengajarkan kalian sihir!” Perkataan Firaun tersebut merupakan suatu pernyataan jebakan (syubhah) kepada para penduduknya agar tidak terpengaruh dari apa yang dilakukan oleh Musa dan terjadi kepada para penyihirnya. (al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, jilid 08, 599)

Melihat apa yang terjadi terhadap para penyihirnya dan menyadari dampak keimanan mereka kepada Allah serta mengakui kekalahan melawan Musa, Firaun naik pitam. Dia mengancam akan menghukum mereka dengan berkata, “… kalian akan menerima akibatnya! Akan kupotong tangan dan kaki kalian semua secara bersilang dan aku pasti akan menyalib kalian semua!

Baca juga: The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

Quraish Shihab, menukil dari pendapat Ibnu ‘Asyûr, mengatakan tatkala Firaun melihat para penyihirnya beriman, ia sangat marah sehingga bermaksud menyiksa mereka. Akan tetapi ia sadar bahwa menyiksa mereka sebab keimanan mereka kepada Musa merupakan suatu yang tidak wajar menurut etika dan prinsip pertandingan.

Karenanya, Firaun membuat-buat alasan untuk melampiaskan kemarahannya itu dengan berkata bahwa mereka beriman sebelum mendapat izinnya. Hal tersebut merupakan kecerobohan dan penghinaan yang menyebabkan sanksi. Ia menggambarkan bahwa seandainya mereka meminta izin, maka ia akan mengizinkannya. Akan tetapi, mereka lancang, maka para penyihir tersebut harus mendapat siksa. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 08, 332-333)

Ulama lainnya, lanjut Quraish Shihab, memahami ucapan Firaun tersebut (memang dia (Musa) pemimpin besar kalian yang mengajarkan kalian sihir) sebagai tuduhan adanya kerja sama antara tiga pihak. Yaitu tokoh yang mengajar para penyihir pilihan itu bersepakat bersama untuk menokohkan Musa dengan cara mengaku Nabi kemudian menampakkan sihirnya dihadapan Firaun, agar para pembesar Mesir itu mengundang penyihir unggulan.

Akan tetapi, karena sang guru, bersama para penyihir pilihan Firaun dan Musa—ketiganya—telah sepakat melakukan makar. Maka para penyihir itu mengalah dan pura-pura percaya guna meraih tujuan mereka mengusir Firaun dari Mesir dan merebut kekuasaan. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 08, 333 dan Tafsîr asy-Sya’râwî, jilid 03, 4302)

Kompleksitas Firaun: Penindasan dan Ketidakadilan, hingga Sikap Narsisme

Tanggapan anarkis Firaun terhadap segala bentuk perbedaan pandangan digambarkan dengan jelas dalam keempat ayat tersebut. Firaun mengancam hukuman berat, termasuk mutilasi dan penyaliban, bagi mereka yang mengimani Musa tanpa seizinnya. Perlakuan tanpa ampun ini ia lakukan untuk meredam ketergantungannya pada rasa takut dan kekerasan untuk mempertahankan kendali kekuasaannya.

Penindasan terhadap perbedaan pandangan melalui sikap anarkis dapat dipahami melalui konsep terorisme negara, di mana pemerintah menggunakan kekerasan untuk menanamkan rasa takut dan melenyapkan oposisi politik. Hal ini sejalan dengan perilaku Firaun, karena ia menggunakan teror untuk mencegah adanya tantangan terhadap otoritasnya. (“Re Defining Terrorism”, Australian Journal of Law and Society, vol. 4, 1987, 630)

Selain itu, penggunaan kekerasan dan ancaman oleh Firaun untuk membungkam para penentangnya menyoroti ketergantungan para autokrat pada rasa takut sebagai alat kontrol. Hal ini sejalan dengan konsep teori pembelajaran sosial, di mana rasa takut akan hukuman dapat menekan perbedaan pendapat. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa orang belajar dari mengamati perilaku, sikap, dan hasil dari perilaku orang lain.

Dalam konteks ini, menyaksikan hukuman keras yang dijatuhkan kepada para penentang berfungsi sebagai pencegah yang kuat bagi orang lain yang mungkin mempertimbangkan kembali sebelum menentang pemerintahan Firaun.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Demikian, penindasan yang dilakukan Firaun terhadap perbedaan pandangan tidak hanya mengonfirmasi penggunaan rasa takut dan kekerasan sebagai alat pemerintahan, tetapi juga mencerminkan konsep yang lebih luas tentang terorisme negara dan teori psikologis tentang dampak rasa takut terhadap perilaku.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, apa yang dilakukan Firaun merupakan efek dari narcissistic personality disorder (NPD), yaitu suatu kondisi psikologis kompleks yang muncul dengan pola kemegahan yang meluas, kebutuhan akan kekaguman, dan kurangnya empati. NPD, atau jika penulis sederhanakan adalah “sikap narsisme”, dapat menyebabkan gangguan sosial dan pekerjaan yang signifikan dan sering kali disertai komplikasi gangguan kejiwaan dan penyalahgunaan zat.

Individu yang mengalami narsisme sering kali menunjukkan rasa “optimis” diri yang berlebihan, kebutuhan akan kekaguman yang berlebihan, dan kurangnya empati. Adapun Firaun yang melakukan perilaku anarkisme dan terorisme merupakan suatu bentuk sikap nasrsisme yang mana dirinya ingin diakui sebagai Tuhan atau seorang dewa. Imbasnya, ketika para penyihirnya mengimani Musa dan Harun, Firaun marah dan mulai melakukan hal keji kepada mereka.

Respons Firaun terhadap tanda-tanda ilahi merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor psikologis yang dialaminya; the pharaoh complex. Pada akhirnya, sikap congkak dan sombong Firaun memiliki hikmah sebagai kisah peringatan, yang menyoroti bahaya kekuasaan yang tidak terkendali dan pentingnya tetap terbuka terhadap pandangan lain.

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Kejadian dan peristiwa antara Musa dan Firaun merupakan kisah yang paling banyak termaktub dalam Alquran. Tentunya, banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran serta peringatan terhadap para qâri`-nya. Kisah Firaun yang menjadi objek pembahasan di dalam artikel ini tidak hanya ingin menunjukkan “seperti inilah perilaku Firaun di masa lalu”. Akan tetapi, ada hal menarik yang dapat dipelajari dengan sudut pandang berbeda; yaitu psikologi.

Kisah umat terdahulu—termasuk Musa dan Firaun—yang termaktub dalam Alquran bukan hanya sekadar reka ulang terhadap sejarah aktor yang berperan di dalam lingkup sejarahnya. Alquran secara tegas mengatakan bahwa kisah-kisah pra-Islam juga berperan dalam membentuk suatu pola pemahaman yang menjadi dasar keimanan seorang muslim. “Laqad kâna fî qashasihim ‘ibratun li ulî al-albâb”, demikian Alquran menyatakannya. Wallâhu a’lam.

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (2)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Pada bagian pertama telah dipaparkan tentang karakter negatif Firaun yang termaktub pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141, yaitu tiadanya rasa empati kepada orang lain yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Tiadanya rasa empati tersebut disebabkan gangguan sistem saraf sehingga mengakibatkan adanya praktik kekerasan dan dehumanisasi yang dapat membuat para pemimpin tidak peka.

Kompleksitas Firaun: Penolakan akan Tanda-tanda Ilahi dan Eksploitasi Kekuasaan

Bagian kedua dalam artikel ini akan mengulas tentang Kompleksitas Firaun (The Pharaoh Complex) yang berupa rasa congkak, sombong, penolakan Firaun akan tanda-tanda Ilahi, dan eksploitasi kekuasaan. Karakter ini disinggung dalam Q.S. Al- A’râf [7]: 103, yang berbunyi:

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْۢ بَعْدِهِمْ مُّوْسٰى بِاٰيٰتِنَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ وَمَلَا۟ىِٕهٖ فَظَلَمُوْا بِهَاۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ

Kemudian, Kami utus Musa setelah mereka dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Lalu, mereka mengingkarinya. Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.

 dan Q.S. Yûnus [10]: 88 yaitu:

وَقَالَ مُوْسٰى رَبَّنَآ اِنَّكَ اٰتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَاَهٗ زِيْنَةً وَّاَمْوَالًا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ رَبَّنَا لِيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلِكَۚ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلٰٓى اَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْا حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ

Musa berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepada Fir‘aun dan para pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan (yang banyak) dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, (akibat pemberian itu) mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat azab yang sangat pedih.”

Diceritakan dalam Q.S. Al-A’râf [7]: 103, Firaun dan rezimnya secara keliru menolak tanda-tanda ilahi, menunjukkan kecongkaan dan kesombongan yang mendalam dan penolakan untuk mengakui otoritas yang lebih tinggi. Hal ini lebih lanjut ditekankan dalam Q.S. Yûnus [10]: 88 di mana Musa menyoroti bagaimana Firaun dan para rezimnya menyalahgunakan kemegahan dan kekayaan mereka untuk menyesatkan orang-orang.

Penolakan akan Tanda-tanda Ketuhanan

Abû Hayyân al-Andalûsi memaklumkan bahwa Musa—demikian pula saudaranya, Harun—diutus oleh Allah kepada Bani Israil dengan dibekali tanda-tanda ilahiah (mu’jizât) yang luar biasa. Bahkan, Abû Hayyân menilai bahwa mu’jizât Musa adalah yang paling besar yang belum pernah dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya. Disebut demikian karena Musa diutus kepada umat manusia yang paling banyak melakukan praktik manipulasi, kriminal, protes, dan kebodohan; yaitu Yahudi. (al-Bahru al-Muhîth, jilid 10, 223)

Demikian selaras dengan keterangan Ahmad Mushthafâ al-Marâghî dalam tafsirnya, Tafsîr al-Marâghî, bahwa Musa diutus dengan membawa mukjizat kepada Firaun yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar dari para pengikut (atbâ’) dan rezimnya (mala’). Imbasnya adalah perilaku sombong, kufur, dan ingkar dari mereka, sampai berani menentang tanda-tanda kebesaran Allah serta berpaling dari keimanan. Karenanya, salah satu misi Musa adalah melenyapkan sihir dan para pelakunya dengan mukjizat. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 09, 22-23)

Lebih lanjut, Buya Hamka menjelaskan bahwa Musa datang dengan membawa ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah, mukjizat yang akan “melawan” kekuatan dan kekuasaan rezim Firaun. Tetapi apa yang terjadi? Penggalan ayat fadhalamû bihâ memperlihatkan akan penentangan dan penolakan rezim Firaun terhadap tanda-tanda kekuasaan tersebut. Mereka tidak ingin tunduk dan tetap bersikeras pada kekuasaan mereka. (Tafsir al-Azhar, jilid 04, 2465)

Baca juga: The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

Kesombongan ini, terang V.A. Mohamad Ashrof, dapat dikaitkan dengan fenomena psikologis yang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, di mana individu dengan pengetahuan atau kompetensi terbatas melebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Persepsi diri Firaun sebagai otoritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi menyebabkan disonansi kognitif (cognitive dissonance) ketika dihadapkan dengan tanda-tanda ilahi, yang menyebabkannya menggandakan perilaku opresinya. (Unskilled and Unaware of it: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77 (6), 1132)

Pengabaian Firaun terhadap Musa dan tanda-tanda ilahi merupakan contoh klasik dari kesombongan otoriter. Penyangkalan terhadap otoritas eksternal (di luar kekuasaannya) dan kepercayaan pada kesempurnaan dirinya sendiri.

Eksploitasi Kekuasaan

Q.S. Yûnus [10]: 88 menyoroti permohonan Musa kepada Allah untuk menghentikan tirani yang dilakukan oleh Firaun dan para pengikutnya. Secara khusus, ia menunjukkan bagaimana mereka menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan mereka—yang seharusnya menjadi amanah—untuk menindas rakyatnya, serta membelokkan mereka dari ajaran Allah.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Dalam hal ini, al-Marâghî kian menegaskan bahwa permohonan Musa kepada Allah merupakan sebentuk “sikap amarahnya” atas kelakuan Firaun serta pengikut-pengikutnya. Mereka bersikap demikian sebab mereka telah melampaui batas, dengan tidak mempergunakan harta kekayaan untuk rakyat. Karenanya, Musa lebih memilih membawa keluar Bani Israil yang tertindas dari Mesir, dan mengajak mereka yang ingin ikut akan mengimani satu Tuhan, Tuhan Musa dan Harun, yaitu Allah. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 11, 147-148)

Demikian, terang Al-Marâghî, sikap sombong, congkak, angkuh, dan melampaui batas merupakan sunnatullah yang disebabkan oleh bergelimangnya harta. Imbasnya, meminjam istilah Karl Max, adalah kaum borjuis (arbâb) mempergunakan kaum proletar (riqâb al-nâs) sebagai budak dan tawanan mereka. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 11, 147-148)

Dari pada hal tersebut, ditegaskan dalam Q.S. Al-Qashash [20]: 4 yang mendeskripsikan bagaimana Allah menyoroti sikap Firaun yang melampaui batas. Dalam firmannya, Allah menyebut bahwa “Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah. Dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil). Dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuannya. Sesungguhnya dia (Firʻaun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Dalam Q.S. Al-Qashash [20]: 4, Firaun digambarkan sebagai seseorang yang meninggikan dirinya di bumi dan membagi rakyatnya menjadi beberapa kelas dan menindas beberapa golongan tertentu dari Bani Israil. Strategi ini merupakan ciri khas autokrasi yang bertujuan untuk melemahkan perlawanan kolektif dan memastikan dominasi absolut. Demikian, Firaun berupaya memanipulasi agama untuk melayani tujuannya sendiri, menuduh Musa menggunakan sihir untuk melemahkan dewa-dewa yang telah ada

Oleh karenanya, kemuliaan dan kekayaan yang Firaun dan rezimnya miliki digunakan sebagai sarana untuk memperkuat dominasi politik dan ideologis mereka, menciptakan rasa kebenaran yang salah mengenai kekuasaan mereka. Musa menyadari bahwa ini bukan sekadar bentuk ketidakadilan sosial, tetapi juga bentuk penindasan religius yang terstimulasi secara spiritual yang merusak iman rakyat, dan dengan demikian ia berdoa agar Allah sepenuhnya menghilangkan pengaruh merugikan mereka.

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Narasi Alquran tentang Firaun menawarkan pandangan yang mengerikan tentang jiwa seorang autokrat. Melalui tindakan dan pernyataannya, kita dapat melihat ciri-ciri kepribadian yang autokrat; haus akan kekuasaan absolut, meremehkan orang-orang yang ada di bawah pemerintahannya, dan penolakan yang mendalam terhadap setiap tantangan terhadap otoritasnya.

Firaun memang dikenal dengan sikap diktatornya. Alquran menggambarkan sosok Firaun dengan pemimpin yang mengaku dirinya sendiri—dan harus diakui pula oleh para rakyat, tidak terkecuali keluarganya sendiri—sebagai Tuhan atau dewa. Dalam hal ini, Firaun yang digambarkan di dalam Alquran memiliki kepribadian histrionik, yaitu suatu gangguan kejiwaan yang melibatkan emosi yang berlebihan dan kebutuhan yang sangat kuat untuk menjadi pusat perhatian. (Novel Naga Hong Kong Karya Naning Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra the Histrionic Personality Disorders of the Main Characters in Naga Hong Kong Novel Written By Naning Pranoto : a Review of Literature Psychology. E-Journal Student: Sastra Indonesia, Vol. 8 No. 1 Desember 2019, 73)

Pernyataan di atas secara sederhana ingin mengatakan bahwa Firaun di samping memiliki karakter kepemimpinan yang didaktor dan haus akan kekuasaan, di sisi lain, jika ditelaah dari pespektif psikologi, Firaun juga memiliki gangguan psikis. Gangguan psikis ini berupa terus menerus mencari kegairahan (excitement) dan penghargaan (appreciation) dari orang lain, serta kurangnya rasa empati karena berkurangnya aktivitas di wilayah otak yang terkait dengan kasih sayang.

Kompleksitas Firaun dalam Alquran

Dr. John Ng, seorang spesialis neurologi di Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, mengenalkan istilah The Pharaoh Complex (Kompleksitas Firaun). The Pharaoh Complex yang dikemukakan oleh Dr. John Ng “terilhami” dari peristiwa dan kisah-kisah di dalam Kitab Keluaran (Book of Exodus) yang terjadi antara Musa dan Harun dengan Firaun, terlebih sikap Firaun yang menjadikan orang Israel sebagai budak.

Dari pembacaannya atas Kitab Keluaran tentang Firaun, Dr. John Ng memetakan tujuh hal utama yang menandakan seorang pemimpin menderita The Pharaoh Complex atau Kompleksitas Firaun, yaitu: Pertama, berpikir dan berperilaku seperti dewa. Kedua, akan melakukan apa saja untuk mencegah hilangnya kekuasaan. Ketiga, menggunakan penipuan untuk membuat citra dan melindungi statusnya.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Keempat, membuat kompromi untuk tetap berkuasa. Kelima, berbicara secara lembut/manis, membujuk, dan menipu untuk melanggengkan kekuasaannya. Keenam, memanjakan dan membagi hasil rampasannya dengan rekan konspiratornya. Ketujuh, menggunakan ancaman, intimidasi, dan genosida untuk menghancurkan lawan mereka.

Demikian, beberapa ayat Alquran seperti Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141 yang mengabarkan akan ketiadaan empati Firaun; Q.S. Al- A’râf [7]: 103 dan Q.S. Yûnus [10]: 88 tentang kesombongan serta penolakan Firaun akan tanda-tanda ilahi, dan eksploitasi kekuasaan; Q.S. Al-A’râf [7]: 123-124, Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49 terkait penindasan dan ketidakadilan yang dilakukannya, serta ayat-ayat lainnya mengonfirmasi akan The Pharaoh Complex yang termaktub dalam Alquran.

Kompleksitas Firaun: Tiadanya Rasa Empati

Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 yang berbunyi:

وَاِذْ نَجَّيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Pada yang demikian terdapat cobaan yang sangat besar dari Tuhanmu.

dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141 yang berbunyi:

وَاِذْ اَنْجَيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِۚ يُقَتِّلُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌࣖ

(Ingatlah wahai Bani Israil) ketika Kami menyelamatkan kamu dari para pengikut Fir‘aun yang menyiksa kamu dengan siksaan yang paling buruk. Mereka membunuh anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Pada yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Tuhanmu.

memiliki redaksi yang sama persis, kecuali pada kata yudzabbihûna dan yuqattilûna. Secara eksplisit-tekstual, kedua ayat ini menerangkan tentang bagaimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman pengikut atau rezim Firaun yang dengan entengnya menyembelih serta membunuh anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan.

At-Thabarî mencoba menjelaskan akan perintah Firaun kepada pengikutnya untuk menyiksa dan membunuh anak laki-laki Bani Israil. Meskipun Firaun tidak melakukan praktik kekejaman tersebut secara langsung. Akan tetapi, Firaun sebagai orang yang memerintah dan penguasa, juga dianggap sebagai “pelaku utama” yang memiliki andil cukup besar (Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, jilid 01, 203-204).

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Selaras dengan At-Thabari, Quraish Shihab menukil pendapat Al-Biqâ’î bahwa kata âl pada awalnya bermakna fatamorgana. Ia menampakkan suatu yang tidak ada, dalam arti jika fatamorgana itu tidak ada, maka sesuatu tersebut juga tidak akan nampak. Dengan demikian, di kala ayat tersebut menyatakan âl-fir’aun, maka ini mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga, pengikut, dan rezim Firaun itu menampakkan kepribadian Firaun.

Di saat Bani Israil mendapatkan perlakuan yang kejam oleh para pengikut Firaun, maka di saat itu pula yang nampak di pelupuk mata mereka adalah Firaun dengan segala keadaan dan keburukannya. Sehingga, walaupun ketika itu ia tidak ada atau tidak ikut serta dalam penyiksaan, tetapi ia seakan nampak terlihat oleh mereka yang disiksa. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 01, 190)

Lebih lanjut, Buya Hamka menerangkan bahwa salah satu dari bentuk kekejaman yang dilakukan oleh Firaun adalah memusnahkan anak laki-laki. Sehingga Firaun memerintahkan para bidan untuk segera membunuh anak laki-laki yang baru lahir dengan tujuan agar Bani Israil musnah. (Tafsir al-Azhar, jilid 01, 188)

Quraish Shihab menambahkan, konon, Firaun selama setahun memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh seluruh anak laki-laki yang lahir pada tahun itu, dan membiarkan hidup yang lahir pada tahun berikutnya, demikian seterusnya silih berganti. Nabi Harun lahir pada tahun penyelamatan, sedangkan Nabi Musa lahir pada tahun pembunuhan anak laki-laki. (Tafsir al-Mishbah, jilid 01, 190)

Baca juga: Kisah Perjuangan Ibu Nabi Musa a.s.

Menurut Wahbah Zuhaili, di balik pembunuhan serta penyiksaan anak laki-laki oleh Firaun, ada suatu kekhawatiran dan rasa takut yang membayangi pikirannya. Suatu waktu ia bermimpi ada kobaran api mengerikan yang membuatnya ketakutan. Kobaran api tersebut keluar dari Bayt al-Muqaddas (Yerussalem) masuk menuju rumah-rumah suku Qibti di Mesir, kecuali rumah-rumah Bani Israil yang tidak dimasukinya. Dari mimpi tersebut, muncul dugaan dari tafsir mimpi itu bahwa kekuasaan Firaun akan runtuh di tangan seorang lelaki dari Bani Israil. (al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, jilid 01, 174-175)

Narasi Alquran tersebut menggambarkan tentang kebrutalan Firaun di Mesir yang sering digunakan oleh para autokrat untuk mempertahankan kendali. Dalam cerita dua surah di atas, Firaun memberikan siksaan berat kepada Bani Israel; membunuh anak laki-laki dan membiarkan perempuan mereka hidup. V.A. Mohamad Ashrof mencoba membandingkan tindakan genosida dan penindasan berbasis gender ini dengan karya Ervin Staub tentang psikologi kekerasan.

Penelitiannya menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan dan dehumanisasi dapat membuat para pemimpin tidak peka, sehingga tindakan kekejaman lebih mudah dibenarkan. Dari perspektif neurologis (diagnosis dan penanganan gangguan pada sistem saraf), hal ini dapat dijelaskan oleh berkurangnya empati karena berkurangnya aktivitas di wilayah otak yang terkait dengan kasih sayang. (Cultural-societal roots of violence: The examples of genocidal violence and of contemporary youth violence in the United States. American Psychologist, 51 (2), 117–132)

Tafsir al-Ibrīz sebagai Tafsir Fenomenologis Kejawaan

0
Bisri Mustofa
Tafsir Al-Ibriz Karya Kiai Bisri Mustofa

Sebagai salah satu karya monumental tafsir berbahasa lokal, Tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz karya K.H. Bisri Musthofa menjadi gambaran kuat relasi antara teks Al-Qur’an dan kultur Jawa. Akan tetapi, alih-alih hanya dipandang sebagai terjemahan dengan model Jawa Pegon, tafsir ini layak dipandang sebagai tafsir fenomenologis, yakni sebuah cara memahami makna teks suci melalui pengalaman hidup dan realitas budaya masyarakat Jawa.

Tafsir Lokal: Bukan Sekadar Terjemahan

Sebagian pembaca memandang al-Ibrīz hanya sebagai tafsir berbahasa lokal. Padahal, ia bukan sekadar terjemahan literal ayat, melainkan juga penafsiran yang merefleksikan cara orang Jawa merespons nilai-nilai Qur’ani. Nilai-nilai sufistik, harmoni sosial, dan penghormatan terhadap leluhur secara halus muncul dalam tafsir ini, meskipun tidak secara langsung menyebutkan doktrin khas kejawen.

Dalam QS. al-Furqān [25]: 63, misalnya, “Wa ‘ibādur-raḥmāni alladzīna yamsyūna ‘ala al-arḍi haunā”, Kiai Bisri menafsirkan haunā sebagai “alon-alon”, bukan sekadar rendah hati, tapi mencerminkan falsafah “ngeli tanpa keli yang artinya hidup mengikuti alur tanpa menolak keras atau menelan seluruhnya. Hal ini tidak  sekadar terjemahan semantis, tapi juga menunjukkan tafsir spiritual-kultural.

Ritual dan Ritme: Tafsir atas Slametan dan Nyadran

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syukur dan rezeki, seperti QS. al-Kawtsar [108]: 1–2, al-Ibrīz tak hanya memberi makna literal, melainkan mengaitkan dengan praktik kenduri dan sedekah. Ini menunjukkan bagaimana Kiai Bisri menjadikan praktik slametan sebagai perpanjangan dari syukur Qur’ani, bukan budaya sekuler.

Demikian pula, QS. Yāsīn [36]: 12 yang berbicara tentang pencatatan amal, diulas dengan analogi kuat pada ziarah kubur dan tahlilan, dua tradisi yang dianggap sangat “Jawa”. Namun, dalam tafsir ini, dua tradisi tersebut diresapi dengan nilai eskatologis Qur’ani: “suwarga neraka iku nyata, oleh disekseni…”.

Nilai Asosiatif: Kematangan Spiritualitas Lokal

Ciri paling kuat dari Tafsir al-Ibrīz adalah kemampuannya mengasosiasikan pesan Qur’an dengan bahasa rasa dan pengalaman batin lokal. Misalnya dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 2, “lā raiba fīhi” ditafsiri sebagai “ora ono kang kleru sithik wae,” sebuah penegasan epistemik dengan gaya naratif Jawa yang tegas, tetapi tetap bersahaja.

Baca juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz

Pendekatan ini selaras dengan metode fenomenologi hermeneutik, yakni memahami makna tidak hanya dari struktur bahasa teks, tapi dari pengalaman manusia dalam menghidupi teks (Gadamer, Truth and Method).

Tafsir Emosional, Bukan Abstrak

Kiai Bisri tidak menafsirkan secara legalistik atau teologis abstrak. Tafsirnya mengedepankan emosi religius, di mana rasa takut, harap, sedih, dan cinta, melekat dalam kehidupan santri dan masyarakat pedesaan. Ia tidak membahas perbedaan ulama tafsir klasik secara panjang, melainkan langsung pada makna eksistensial ayat bagi orang yang mendengarnya.

Sebagai contoh, QS. al-Mulk [67]: 2 yang berbunyi “Alladzī khalaqal-mauta wal-ḥayāta…” ditafsirkan dengan penekanan pada “urip iku mung mampir ngombe”, penghayatan khas Jawa atas kefanaan hidup. Tafsir ini sederhana, tapi menyentuh sisi eksistensial pembaca.

Tafsir al-Ibrīz dan Living Qur’an

Dalam studi kontemporer, muncul konsep living Qur’an: cara umat muslim menghidupi Al-Qur’an dalam praktik budaya mereka. Al-Ibrīz adalah contoh nyata living Qur’an yang terdokumentasi dalam bentuk tafsir. Ia tidak mereduksi budaya, tapi meresapi nilai-nilai Qur’an ke dalamnya.

Baca juga: Pelestarian Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran

Tafsir ini juga menjadi perlawanan lembut terhadap tafsir normatif Arab-sentris. Ia memperlihatkan bahwa lokalitas bukan ancaman bagi otentisitas, melainkan pintu masuk pemaknaan yang lebih luas dan mendalam.

Penutup: Tafsir sebagai Kearifan, Bukan Dogma

Tafsir al-Ibrīz harus dibaca ulang bukan sebagai produk lokal semata, tapi sebagai model tafsir fenomenologis yang mengutamakan pengalaman religius dan bahasa jiwa masyarakat. Alih-alih menolak tradisi lokal, ia memurnikannya secara halus lewat semangat Qur’ani. Inilah yang membuatnya tetap hidup, dibaca, dan diamalkan hingga kini di banyak pesantren dan masyarakat akar rumput. Ia merupakan warisan penting yang menggambarkan tafsir yang tidak hanya menerjemahkan pesan teks suci, tapi juga menyuarakan rasa masyarakat yang menghidupi wahyu itu.

Memperoleh Hidayah, Apakah Diberi atau Dicari ?

0

Alquran turun sebagai hudan lin-nas (petunjuk bagi manusia) sebagaimana disebutkan dalam surah Albaqarah ayat 185. Lafaz an-naas atau manusia di sini tidak terbatas pada mereka yang telah memeluk Islam, melainkan mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Namun, sebuah paradoks menarik sering terjadi dalam pemahaman tentang hidayah: ketika seseorang masuk Islam, masyarakat sering berkata “dia mendapat hidayah,” seakan-akan petunjuk itu diturunkan kepadanya tanpa usaha. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, orang tersebut biasanya telah melalui proses panjang mencari-cari apa itu Islam, apa itu iman, dan belajar hingga akhirnya menjemput petunjuk tersebut.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar yang mengarah pada dilema spiritual: apakah hidayah itu dicari atau diberi? Apakah manusia berperan aktif ataukah pasif dalam memperoleh petunjuk Ilahi? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan penggalian mendalam terhadap makna linguistik dan konseptual hidayah dalam Alquran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Dua Sisi Petunjuk: Yang Diberi dan Yang Dicari

Menelusuri jejak makna hidayah dalam Alquran, ternyata ada kedalaman linguistik yang mengagumkan. Al-Râghib al-Ashfahânî,, seorang ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk memahami kosakata Alquran, memberikan pencerahan yang luar biasa tentang hal ini.

Menurut Al-Ashfahânî, meskipun secara bahasa al-huda dan al-hidayah memiliki makna yang sama, namun Allah telah mengkhususkan lafaz al-huda untuk petunjuk yang ditangani dan diberikan-Nya, sementara istilah lain digunakan untuk yang diserahkan kepada manusia.

Perbedaan halus ini ternyata membawa implikasi teologis yang mendalam, menunjukkan bahwa Alquran membedakan secara tegas antara petunjuk yang bersifat pemberian dan petunjuk yang memerlukan pencarian aktif (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431 H, 838).

Ketika merenungkan penggunaan al-huda (الهُدَى) dalam Alquran, akan ditemukan bahwa istilah ini secara khusus merujuk pada petunjuk yang Allah berikan dan kuasai sepenuhnya. Penggunaan istilah ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat seperti “hudan lil-muttaqin”, “ula’ika ‘ala hudan min rabbihim”, dan “qul inna huda Allah huwal huda”. Konsistensi penggunaan ini menunjukkan bahwa ada dimensi hidayah yang sepenuhnya merupakan prerogatif Allah, tanpa campur tangan manusia.

Berbeda halnya dengan al-ihtida (الاهْتِدَاءُ), yang secara khusus berhubungan dengan apa yang dicari manusia melalui jalan pilihan, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Keindahan konsep ini terlihat dalam firman Allah: “wa huwal ladzi ja’ala lakumun nujuma li tahtadu biha”, yang dengan jelas menunjukkan peran aktif manusia dalam menggunakan sarana yang telah disediakan untuk memperoleh petunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab dan peran aktif dalam proses memperoleh petunjuk, bukan hanya menunggu secara pasif.

Yang lebih menarik lagi, al-ihtida mencakup spektrum usaha yang luas: pencarian petunjuk (talab al-hidayah), mengikuti orang yang berilmu, dan berusaha mencari dengan sungguh-sungguh (taharri). Kedalaman makna ini tergambar indah dalam QS. Taha: 82, dimana frasa thumma ihtada bermakna “kemudian ia terus-menerus mencari petunjuk, tidak berhenti dari usahanya, dan tidak kembali kepada kemaksiatan” (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431 H, 839). Makna yang berkelanjutan ini menunjukkan bahwa hidayah bukanlah pencapaian sekali jadi yang bisa dianggap selesai, melainkan proses berkelanjutan yang memerlukan komitmen jangka panjang dan ketekunan yang tidak mengenal lelah.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Tingkatan Hidayah: dari Umum hingga Khusus

Setelah memahami perbedaan mendasar antara al-huda dan al-ihtida, muncul pertanyaan yang lebih kompleks tentang aplikasi konsep ini dalam realitas. Imam Ar-Razi, dengan kecerdasan analitisnya yang tajam, mengangkat pertanyaan yang menggelitik: mengapa Al-Qur’an disebutkan sebagai hudan lil-muttaqin di satu tempat, namun di tempat lain disebutkan sebagai hudan lin-nas? (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254).

Pertanyaan sederhana ini ternyata membuka pintu pemahaman yang luas tentang hierarki hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa ada struktur berlapis dalam konsep hidayah yang perlu dipahami secara komprehensif, bukan sekadar dipandang sebagai konsep tunggal yang homogen.

Menjawab kegelisahan intelektual ini, Ar-Razi menjelaskan bahwa hidayah terbagi dalam beberapa tingkatan yang saling terkait namun berbeda kualitasnya. Allah menyebut Al-Qur’an sebagai hidayah secara umum, kemudian hidayah itu sendiri terbagi dua: terkadang menjadi petunjuk yang jelas dan terang bagi manusia, terkadang memerlukan usaha lebih untuk memahaminya (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254). Stratifikasi ini menunjukkan bahwa tidak semua aspek hidayah dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, melainkan memerlukan kesiapan spiritual dan intelektual yang berbeda-beda.

Dimensi historis juga menambah kekayaan pemahaman ini. Al-Qur’an, selain menjadi hidayah dalam dirinya sendiri, juga mengandung bayyinat min al-huda wal-furqan, penjelasan penjelasan dari hidayah dan furqan yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254). Kesinambungan ini menunjukkan kontinuitas dan universalitas pesan ilahi yang melampaui batas-batas temporal dan kultural, menegaskan bahwa kebenaran memiliki benang merah yang menghubungkan seluruh peradaban dan zaman.

Aspek sosiologis juga tidak kalah menarik untuk dicermati. Al-Ashfahânî dengan jeli mencatat bahwa lafaz an-nas dalam Al-Qur’an terkadang dimaksudkan untuk orang-orang utama, bukan semua yang disebut manusia secara umum. Spesifikasi ini terjadi ketika dipertimbangkan makna kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu adanya akal yang berfungsi, ingatan yang aktif, dan akhlak-akhlak terpuji serta makna-makna khusus yang menjadi ciri khas manusia (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431, hlm. 829). Selektivitas ini menunjukkan bahwa responsivitas terhadap hidayah sangat bergantung pada kualitas kemanusiaan seseorang, bukan sekadar status biologis sebagai homo sapiens.

Melengkapi gambaran yang kompleks ini, Ar-Razi menjelaskan fenomena psikologis yang sering dialami manusia: dorongan kuat yang tiba-tiba muncul dalam hati tanpa sebab yang jelas, yang kemudian terbukti membawa kebaikan atau justru sebaliknya. Dorongan yang membawa kebaikan berasal dari malaikat yang memberi petunjuk, sementara yang membawa kerusakan berasal dari setan yang menyesatkan (Mafâtîẖ Ghayb 19/18–19). Kompleksitas dinamika internal ini menunjukkan bahwa proses pencarian hidayah melibatkan pertarungan spiritual yang tidak kasat mata, memerlukan kemampuan membedakan antara bisikan positif dan negatif yang silih berganti dalam sanubari manusia.

Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

Hukum Perubahan: Usaha Manusia Mendahului Pertolongan Allah

Dari pemahaman tentang kompleksitas hidayah, perjalanan pencarian makna sampai pada prinsip universal yang dinyatakan dalam QS. Ar-Ra`d: 11. Ayat ini bagaikan kunci emas yang membuka rahasia hubungan antara usaha manusia dan respons Ilahi.

Al-Maraghi, dengan gaya tafsir yang aplikatif, menjelaskan bahwa Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesejahteraan sehingga menghilangkannya dari mereka, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka dengan saling berbuat zalim, saling menyerang, dan melakukan keburukan-keburukan yang merusak tatanan masyarakat (Tafsir Al-Marâghî, 13/78–79). Prinsip kausalitas ini menunjukkan bahwa perubahan kondisi eksternal, baik positif maupun negatif, selalu dimulai dari transformasi kondisi internal, menciptakan pola hubungan sebab-akibat yang dapat diprediksi dan dipahami.

Memperkuat pemahaman ini, Ar-Razi dengan tegas menegaskan bahwa seluruh mufasir bersepakat bahwa Allah tidak mengubah apa yang dimiliki suatu kaum berupa nikmat-nikmat dengan menurunkan hukuman, kecuali setelah ada kemaksiatan dan kerusakan dari mereka (Mafâtîẖ Ghayb, 19/20). Konsensus ulama ini menunjukkan bahwa hukuman ilahi bukanlah tindakan sewenang-wenang atau takdir buta, melainkan konsekuensi logis dan adil dari pilihan moral yang dibuat manusia secara sadar.

Transisi dari prinsip sosial ke dimensi individual terlihat jelas dalam penjelasan Ibnu Ashur. Ketika seseorang berjuang sungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Allah (jaahadu fiina), Allah memberikan jaminan akan menunjukkan jalan-jalan-Nya kepada mereka (lanahdiyannahum subulana).

Hidayah dalam konteks ini mencakup bimbingan spiritual dan kemudahan praktis dari Allah melalui penyiapan hati dan petunjuk syariat (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 21/ 36–37). Jaminan ilahi ini menunjukkan bahwa ada kepastian matematis dalam hubungan antara usaha spiritual dan respons Allah, meskipun bentuk dan waktu respons tersebut tidak selalu dapat diprediksi oleh manusia.

Aspek psikologis dari prinsip ini dijelaskan Ar-Razi dengan sangat menarik. Mengetahui bahwa malaikat mencatat setiap amal perbuatan memiliki efek transformatif: ketika seseorang yang beriman hendak melakukan kemaksiatan dan ia meyakini bahwa malaikat menyaksikannya, rasa malu kepada mereka akan menghalanginya dari melakukan kemaksiatan tersebut (Mafâtîẖ Ghayb 19/18–19).

Mekanisme psikologis ini menunjukkan bahwa kesadaran spiritual dapat menjadi sistem kontrol diri yang sangat efektif, mengubah perilaku dari dalam tanpa paksaan eksternal, menciptakan transformasi yang autentik dan berkelanjutan.

Keharmonisan Ikhtiar dan Taufiq

Setelah menelusuri berbagai aspek hidayah dari dimensi linguistik, teologis, hingga psikologis, sampailah pada sintesis yang mengubah paradigma pemahaman. Hidayah ternyata bukanlah konsep dikotomi yang mempertentangkan “mencari” versus “diberi,” melainkan simfoni harmonis antara usaha manusia dan pertolongan Allah yang saling melengkapi dan memperkuat.

Transformasi pemahaman ini membawa implikasi praktis yang revolusioner. Pemahaman baru ini mengembalikan dignitas dan peran aktif manusia dalam proses spiritual, mengubah mentalitas dari penerima pasif menjadi pencari aktif, tanpa mengabaikan aspek fundamental ketergantungan kepada Allah. Manusia bukan robot yang menunggu program dari langit, tetapi juga bukan makhluk yang bisa meraih segalanya dengan kekuatan sendiri.

Dalam konteks dakwah, revolusi pemahaman ini mengubah paradigma dari “memberi hidayah” menjadi “memfasilitasi pencarian hidayah.” Perubahan sudut pandang ini sangat signifikan karena menyadarkan bahwa seorang pendakwah bukanlah pemberi hidayah -karena itu hak prerogatif Allah semata- melainkan fasilitator yang bertugas menyediakan akses informasi dan menciptakan kondisi yang mendukung pencarian kebenaran. Pendekatan ini menghilangkan arogansi spiritual yang sering muncul dan mengembalikan kerendahan hati dalam berdakwah.

Bagi mereka yang merasa “belum mendapat hidayah,” konsep ini memberikan harapan yang sangat konkret. Kondisi tersebut bukan karena Allah tidak mau memberi atau ada diskriminasi ilahi, tetapi karena proses pencarian yang mungkin belum optimal atau belum menemukan metode yang tepat. Setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kapasitas inheren untuk menjemput petunjuk melalui usaha yang sungguh-sungguh, doa yang khusyuk, dan pembersihan jiwa yang konsisten.

Dalam konteks masyarakat yang semakin plural dan multikultural, pemahaman ini juga menghilangkan rasa superioritas agama yang seringkali merusak harmoni sosial. Setiap orang, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau budayanya, memiliki akses yang sama terhadap petunjuk universal Alquran. Yang membedakan hanyalah intensitas pencarian, metode yang digunakan, dan kesiapan menerima, bukan faktor-faktor eksternal yang tidak dapat diubah.

Alquran sebagai hudan lin-nas telah tersedia seperti mata air yang jernih, tinggal bagaimana setiap individu menjemputnya dengan sungguh-sungguh melalui keseimbangan yang indah antara ikhtiar dan taufiq, antara usaha maksimal dan penyerahan total kepada Allah. Wallahu a’lam.

Membingkai Kembali Nafs al-Muthma’innah di Era Distraksi Digital

0
Membingkai Kembali Nafs al-Muthma'innah di Era Distraksi Digital
Surah Al-Fajr ayat 27.

Dunia digital menghadapkan setiap individu pada sebuah kenyataan pahit. Sebuah studi yang dipaparkan oleh Dr. Gloria Mark, seorang pakar rentang perhatian, mengungkap bahwa alih-alih membantu, perangkat digital justru sering dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dan produktivitas yang menurun (Mark, 2025, hlm. 190). Dalam kacamata Islam, fenomena ini bukanlah hal baru. Ia adalah cerminan modern dari tabiat asli hati manusia yang oleh Imam al-Ghazali (3/36) gambarkan memang mudah bergejolak (taqallub), laksana sehelai bulu di tengah gurun yang diombang-ambingkan angin.

Kondisi ini bahkan terbukti berdampak pada kesehatan fisik. Studi Dr. Mark menemukan adanya korelasi antara aktivitas digital yang sarat interupsi dengan tingginya tekanan darah. Partisipan studi yang pekerjaannya sering diganggu juga menunjukkan ekspresi wajah marah yang terdeteksi oleh perangkat lunak, berbeda dengan kelompok yang bekerja tanpa gangguan (Mark, 2025, hlm. 191). Jika hati secara alami sudah mudah goyah, lantas bagaimana ajaran Islam membingkai ulang konsep ketenangan jiwa agar tetap relevan di tengah badai distraksi ini?

Solusi Al-Qur’an untuk Jiwa yang Gundah

Al-Qur’an menawarkan satu solusi inti yang tak lekang oleh waktu dalam surah Ar-Ra’d ayat 28: “…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”

Ayat ini bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan sebuah kaidah psikologis-spiritual yang fundamental.

Menurut Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya (13/137), kata “tenteram” atau thuma’ninah di sini adalah kondisi tenang yang lahir dari keyakinan, menjadi lawan dari idhthirab atau kegoncangan batin akibat keraguan. Kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari’) pada frasa tathma’innu menandakan sebuah ketenteraman yang bersifat terus-menerus dan berkelanjutan.

Baca juga: Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Makna dzikrullah (mengingat Allah) pun sangatlah dalam. Bagi Syekh Abdurrahman as-Sa’di, saat jiwa memahami kebenaran-kebenaran dalam Al-Qur’an, yakni sebagai bentuk dzikrullah, ia akan menemukan kepastian yang menyingkirkan segala cemas dan ragu (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418). Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur (13/138), dzikrullah juga mencakup kesadaran akan pengawasan-Nya serta zikir lisan yang berfungsi mengingatkan hati.

Dari sini, dapat ditarik sebuah benang merah. Dzikrullah bukan sekadar aktivitas, melainkan sebuah proses sadar untuk mengalihkan fokus hati dari kebisingan dunia menuju satu-satunya sumber kepastian. Proses inilah yang menjadi fondasi untuk meraih kondisi jiwa yang lebih tinggi.

Puncak Ketenangan: An-Nafs al-Muthma’innah

Kondisi puncak inilah yang disebut sebagai an-nafs al-muthma’innah. Ia adalah sebuah tingkatan mulia yang diganjar dengan panggilan langsung dari Sang Pencipta dalam surah Al-Fajr ayat 27-30: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya…”

Jiwa yang mencapai derajat ini adalah jiwa yang oleh Ibnu ‘Asyur sebut keyakinan seseorang pada Al-Qur’an sudah kokoh dan hatinya merasa aman dari segala bentuk ketakutan di masa depan. Frasa “rida dan diridai-Nya” menunjukkan sebuah hubungan timbal balik yang indah. Jiwa tersebut rida dan lapang dada menerima segala ketetapan takdir dari Allah, dan sebagai balasannya, Allah pun rida atas segala amal dan pengabdiannya (30/341).

Baca juga: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 28: Zikir dalam Perpsektif Buya Hamka

Inilah kondisi jiwa yang, dalam bahasa Imam al-Ghazali (3/37), telah bersih dan dimakmurkan oleh takwa, sehingga menjadi singgasana bagi ilham kebaikan, bukan lagi sarang bagi bisikan keburukan.

Analisis atas konsep ini menunjukkan sebuah relevansi yang luar biasa. Nafs al-Muthma’innah bukan lagi sekadar tujuan ukhrawi yang abstrak, tetapi menjadi sebuah kebutuhan mendesak di dunia yang secara aktif memerangi ketidaktenangan batin setiap insan.

Kearifan Klasik di Tengah Arus Digital

Di sinilah letak inti dari “pembingkaian kembali” itu. Apa yang digambarkan dalam studi Dr. Mark sebagai “perang atensi” di era digital, sesungguhnya adalah arena modern dari pertarungan abadi dalam hati yang digambarkan Imam al-Ghazali berabad-abad lalu.

Maka, ajakan Dr. Mark untuk beralih dari “tindakan otomatis” (seperti refleks membuka gawai) menuju “tindakan terkontrol” yang penuh kesadaran atau meta-awareness (Mark, 2025, hlm. 192), adalah gema modern dari seruan Al-Qur’an untuk memilih dzikrullah secara sadar. Memilih untuk merenungi satu ayat Al-Qur’an adalah sebuah “tindakan terkontrol” paling ampuh untuk melawan arus distraksi otomatis yang dirancang untuk membuat manusia lupa.

Beberapa Pelajaran untuk Diamalkan

  • Pelajaran pertama adalah pentingnya intervensi yang sadar. Alih-alih merespons dorongan gelisah secara otomatis dengan distraksi, seseorang bisa belajar untuk menjeda dan menyadari dorongan tersebut. Momen jeda inilah yang menjadi kesempatan untuk secara sadar memilih zikir sebagai penenang, sebuah latihan praktis untuk mengendalikan gejolak hati.
  • Pelajaran kedua adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai jangkar keyakinan. Di tengah lautan informasi yang seringkali nisbi dan membingungkan, kembali kepada satu ayat Al-Qur’an setiap hari dapat menjadi sumber kepastian. Ketenangan sejati, sebagaimana diisyaratkan dalam oleh Syekh as-Sa’di, lahir dari sebuah kebenaran yang pasti, bukan dari opini yang terus berubah (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418).
  • Pelajaran ketiga adalah menginternalisasi hakikat kekayaan jiwa. Budaya membandingkan diri yang marak di era modern dapat dilawan dengan pemahaman mendalam atas sabda Rasulullah saw: “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan jiwa” (H.R. Tirmidzi, no. 2373). Rasa syukur yang aktif menjadi cara praktis untuk menumbuhkan kekayaan jiwa tersebut dan membangun sifat ridha.

Penutup

Perjalanan dari cemas digital menuju jiwa yang tenang adalah sebuah hijrah batin yang memerlukan kesadaran dan usaha. Ia bukanlah tentang meninggalkan dunia modern, melainkan tentang menaklukkan gejolak hati dengan senjata yang telah Allah sediakan. Dengan menjadikan zikir sebagai napas, Al-Qur’an sebagai kompas, dan rasa syukur sebagai perisai, seorang hamba dapat meraih ketenangan sejati di tengah zaman yang penuh tantangan ini. Wallahu a’lam.

Ayat-Ayat Alquran di Balik Hijrah Nabi Muhammad saw.

0
ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad
ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad

Hijrah Nabi Muhammad saw. dan umat Islam dari Makkah ke Madinah menandai mulainya era baru dakwah Islam. Di Madinah, umat Islam seakan menemukan ‘rumah’, dan di ‘rumah’ tersebut peradaban Islam mengalami perkembangan pesat. Oleh karena itu, peristiwa yang sangat ikonik ini menjadi pertimbangan khalifah Umar bin Khattab dalam menentukan awal kalender hijriyah.

Di balik kesuksesan hijrah Nabi Muhammad saw. tersebut, terdapat lika-liku perjuangan beliau dan para sahabatnya. Perjuangan ini didokumentasikan dalam beberapa ayat Alquran. Sebagian dari ayat-ayat tersebut, ada yang menyinggung langsung peristiwa hijrah di redaksinya, namun ada pula yang tidak.

Berdasar catatan M. Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadsi Sahih, didapati setidaknya tiga ayat Alquran yang berkaitan erat dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Surah Yasin [36]: 9

وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ

“Kami memasang penghalang di hadapan mereka dan di belakang mereka, sehingga Kami menutupi (pandangan) mereka. Mereka pun tidak dapat melihat.”

Dijelaskan oleh M. Quraish Shihab bahwa ketika kaum musyrik Quraisy berencana membunuh Nabi Muhammad saw. sebelum berangkat hijrah dengan memata-matai tempat pembaringan Nabi, tanpa mereka sadari, ternyata Nabi Muhammad saw. berhasil keluar dengan selamat. Beliau melemparkan segenggam tanah ke kepala masing-masing kaum Quraisy yang mengintai dengan membaca firman Allah, surah Yasin ayat 9 tersebut.

Keterangan yang berbeda disampaikan oleh at-Tabari dalam tafsirnya. Menurut beliau, ayat ini turun berkaitan dengan Abi Jahal bin Hisyam yang hendak membunuh Nabi dengan melemparkan batu besar ke kepala Nabi saat beliau sujud, namun tiba-tiba penglihatannya tertutup, dan dia tidak bisa melihat Nabi. Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid memberi penafsiran yang sama dengan at-Tabari, namun sedikit lebih detail.

Sementara itu, Ibn Katsir dan al-Qurtubi dalam masing-masing penafsirannya, mencantumkan dua versi penjelasan terkait ayat 9 surah Yasin tersebut. Riwayat pertama sama dengan penjelasan at-Tabari dan Nawawi al-Bantani. Riwayat yang kedua, yaitu masih tentang Abu Jahal dan kawan-kawan musyriknya yang sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik terhadap Nabi Muhammad saw. lalu Nabi keluar melewati mereka dengan menggenggam pasir kemudian melemparkannya ke sekitar kepala dan mata mereka sembari membaca ayat tersebut (sebagian riwayat menyatakan Nabi membaca mulai dari awal surah Yasin hingga ayat 9). Abi Jahal dan teman-temannya tidak menyadari bahwa Nabi Muhammad saw. keluar melewati mereka.

Terlepas dari ragam peristiwa di balik ayat tersebut, satu hal yang diketahui dengan jelas yaitu, melalui wasilah ayat tersebut, Nabi Muhammad saw. bisa mengelabui kaum musyrik Quraisy yang berniat mencelakai beliau, dan beliau berhasil melanjutkan dakwahnya.

Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Surah al-Anfal [8]: 30

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ اَوْ يَقْتُلُوْكَ اَوْ يُخْرِجُوْكَۗ وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ

“(Ingatlah) ketika orang-orang yang kufur merencanakan tipu daya terhadapmu (Nabi Muhammad) untuk menahan, membunuh, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.”

Dalam konteks hijrah Nabi Muhammad saw., M. Quraish Shihab melanjutkan penjelasan tentang riwayat kekagetan kaum musyrik Quraisy yang mendapati Ali bin Abi Thalib yang tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw., sementara itu Nabi sudah berhasil keluar dari rumah. Menurut mufasir asal Indonesia itu, kejadian tersebut diabadikan dalam ayat 30 surah al-Anfal.

Meski ada perbedaan riwayat tafsir terkait konteks turun ayat ini, beberapa mufasir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurtubi memperjelas bahwa konteks yang mendekati tepat adalah berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu ketika kaum musyrik Quraisy berembuk merencanakan pembunuhan Nabi Muhammad saw. yang kemudian Allah balas dengan rencanaNya yang paling baik, yakni dengan menyelamatkan Nabi.

Di saat-saat hendak hijrah, Nabi Muhammad saw. memang diberitahu oleh Allah terkait rencana busuk Abu Jahal dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, peristiwa segenting itu, Nabi saw. bisa hadapi dengan tenang, sesuai perintah dan rencana Allah.

Ketenangan Nabi Muhammad saw. ini berlanjut hingga persembunyian beliau dan Abu Bakar di Gua Tsur ketika dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Bagian ini yang kemudian disinggung oleh Alquran dalam surah at-Taubah [9] ayat 40.

Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 40: Kisah Hijrah Abu Bakar

Surah at-Taubah [9]: 40

اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Pada lanjutan cerita tentang hijrah Nabi Muhammad saw. M. Quraish Shihab menarasikan bahwa Abu Bakar cemas, kawatir persembunyiannya bersama Nabi Muhammad saw. di Gua Tsur diketahui oleh Abu Jahal dan gerombolannya. Nabi kemudian menenangkannya. Keadaan ini direkam oleh Alquran dalam ayat ke-40 surah at-Taubah. Mufasir-mufasir yang lain sepertinya juga sepakat dengan riwayat tersebut.

Berdasar pada redaksi ayat, Nabi Muhammad saw. berusaha menenangkan sahabatnya, Abu Bakar, dengan mengingatkan bahwa Allah bersama mereka. Sementara itu, kekawatiran Abu Bakar bukan tanpa sebab, beliau tahu bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin umat, dan betapa besar bahaya bagi masa depan umat Islam jika Nabi Muhammad saw. sampai celaka.

Ekspresi kekawatiran itu ditulis dalam Tafsir Marah Labid,

وكان الصِّدِّيقُ قَدْ حَزَنَ عَلَى رَسُولِ الله صلّى الله عليه وسلّم لَا عَلَى نَفْسِهِ فقال لَهُ: يَا رسول الله إذَا مِتُّ أَنَا فَأنَا رَجُلٌ وَاحِدٌ وَإذا مِتَّ أَنْتَ هَلَكْتَ الْأُمَّةَ وَالدِّيْنَ.

‘Abu Bakar R.A. mengkhawatirkan Rasulullah saw., bukan mengkhawatirkan dirinya. Sahabat Rasul itu berkata, ‘Wahai Rasul, jika saya mati, maka yang mati adalah saya seorang diri, namun jika Anda yang mati, maka yang mati adalah Anda, umat dan juga agama.’

Pada akhirnya, Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar berhasil sampai di Madinah dengan selamat.

Sebenarnya masih banyak ayat lain yang juga mendokumentasikan perjuangan para sahabat dalam berhijrah. Setidaknya tiga ayat yang telah dibahas di awal adalah ayat-ayat yang fokus merekam lika-liku perjuangan Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar ketika berhijrah.

Jika umat Islam tahu tentang keberhasilan dan kesuksesan peristiwa hijrah ke Madinah, maka juga jangan lupa tentang perjuangan di balik kesuksesan tersebut. Oleh karena itu, memperingati hijrah, berarti juga meneladan perjuangannya. Wallah a’lam.

Selamat Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1447 H!

Kategorisasi Orang-orang yang Mendapatkan Rizq Karim dalam Alquran

0

Rezeki (rizq) dalam Alquran merupakan konsep yang sangat luas, mencakup segala bentuk pemberian Allah, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, material maupun spiritual, duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bentuk rezeki yang disebut secara khusus adalah rizq karîm (rezeki yang mulia).

Menurut M. Quraish Shihab, kata karîm dalam Alquran bukan memiliki makna mulia, akan tetapi sesuatu yang terbaik menurut objeknya. Sehingga, ini menjadi salah satu alasan dan dorongan penulis untuk mengetahui makna kata tersebut secara mendalam.

Baca Juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Kata rizq karîm dalam Alquran

Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh Al-Qur`ân al-Karîm (h.321) menyebutkan, bahwa kata rizq karîm dalam Alquran dengan kata kunci razaqa (رزق) terdapat ada 6 lafaz dalam 2 bentuk harakat yang berbeda.

Yang pertama, terdapat dengan 5 lafaz rizqun karîmun (رِزۡقٞ كَرِيمٞ) yang berbaris dhammatain yang disebutkan pada surah al-Anfal [8]: 4 dan 74, al-Hajj [22]: 50, al-Nur [24]: 26, dan Saba [34]: 4. Sedangkan yang kedua, terdapat dengan 1 lafaz rizqan karîman (رِزۡقٗا كَرِيمٗا) yang berbaris fathatain yang disebutkan dalam surah al-Ahzab [34]: 31.

Makna rizq karim dalam pandangan mufassir

Kata rizq merupakan isim mashdar dari kata razaqa yang berarti ‘atha (pemberian), baik pemberian dalam dunia maupun akhirat, sedangkan kata karîm merupakan isim mashdar yang diambil dari kata karuma yang berarti suatu sifat mulia yang ditampakkan dari akhlak dan perbuatannya. (al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`an, 1:257 dan 2: 553)

Makna rizq karîm memiliki makna yang sangat beragam. Beberapa mufassir dan ulama klasik memberikan pendapatnya bahwa makna rizq karîm adalah rezeki akhirat yaitu surga. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Qatadah, al-Thabarî, Ibnu ‘Âsyûr, al-Thabâthabâ`î, dan Ibnu ‘Athiyyah.

Al-Alûsî dan al-Thabrisî memberikan makna yang berbeda, bahwa rizq karîm adalah sesuatu yang agung derajatnya, tinggi kedudukannya, dan menyenangkan bagi penerimanya. Dan dikatakan juga bahwa rizq karîm adalah rezeki yang selamat dari segala bentuk kerusakan dan gangguan. (Al-Mu’jam fî Fiqh Lughat al-Qur`an wa Sirr Balâghatih, Juz 24.)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa makna kata karim digunakan untuk mensifati segala sesuatu yang sempurna, terpuji, istimewa, dan memuaskan sesuai objeknya. Sedangkan makna rizq mencakup berbagai makna rezeki, baik berbentuk material dan spiritual ataupun rezeki dunia dan akhirat.

Hal ini menunjukkan bahwa makna kata ini tidak hanya terbatas untuk rezeki di surga, tetapi mencakup berbagai bentuk rezeki yang beraneka ragam dan memuaskan penerimanya, baik rezeki material dan spiritual maupun dunia dan akhirat. (Tafsir Al-Mishbah, 4: 461 dan 621, 8: 514, dan 10: 567)

Kategorisasi orang-orang yang menerima rizq karīm dalam Alquran

Dari analisis terhadap ayat-ayat tersebut, dapat dikategorikan beberapa kelompok orang yang menurut Alquran akan memperoleh rizq karîm, yaitu: orang-orang yang beriman, mengerjakan perbuatan kebaikan, melaksanakan salat, bersedekah dan berinfak, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, memberikan pertolongan sesama muslim, dan yang menjaga dirinya dari hal-hal yang haram.

Kesimpulan

Dalam Alquran, istilah rizq karîm menggambarkan sebuah bentuk rezeki yang tidak sekadar pemberian biasa, melainkan rezeki yang memiliki kualitas istimewa, mulia, dan terbaik sesuai dengan kebutuhan serta keadaan penerimanya. Rezeki ini tidak hanya terbatas pada aspek material semata, tetapi juga mencakup dimensi spiritual, bahkan mencakup karunia yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d Ayat 26: Rezeki adalah karunia Allah swt yang Harus Diusahakan

Para mufassir klasik dan kontemporer memahami rizq karîm sebagai anugerah yang luhur, seperti surga, kenikmatan abadi, serta segala bentuk kebaikan yang bersih dari cela dan gangguan. Lebih lanjut, Alquran secara eksplisit memberikan isyarat bahwa tidak semua orang akan menerima rizq karîm. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang dipandang layak dan pantas menerimanya.

Di antara mereka adalah orang-orang yang beriman sepenuh hati, yang senantiasa menjalankan salat, bersedekah, berhijrah, berjihad di jalan Allah, serta menjaga diri dari perbuatan keji seperti zina. Selain itu, mereka yang memberikan pertolongan kepada sesama juga termasuk dalam kategori penerima anugerah mulia ini.

Dengan demikian, rizq karîm tidak semata-mata soal keberuntungan atau kebetulan, melainkan sebuah karunia agung yang merupakan hasil dari kesalehan pribadi dan sosial seseorang. Rezeki yang mulia ini menjadi bentuk penghargaan atas kesetiaan hamba kepada Tuhannya dan bukti bahwa setiap amal baik tidak pernah luput dari perhatian dan balasan Allah SWT.