Beranda blog Halaman 3

Khinzir dan Simbolisme Kesucian dalam Islam Awal

0
Khinzir dan Simbolisme Kesucian dalam Islam Awal
Ilustrasi daging babi (khinzir) 

Tulisan ini bermula dari keresahan yang menghantui penulis beberapa hari terakhir. Pertanyaannya sederhana, tetapi menyimpan kompleksitas teologis: mengapa babi diharamkan dalam Al-Qur’an? Lebih jauh lagi, apakah benar kata khinzir yang termaktub di dalamnya benar-benar menunjuk pada makna “babi” sebagaimana kita pahami kini? Apakah bangsa Arab abad ke-6 M, yang hidup di lingkungan semi-gurun dan nyaris tanpa habitat babi, memahami hewan ini secara konseptual dan empiris?

Pertanyaan pertama muncul saat penulis berbelanja di sebuah supermarket di Freiburg, Jerman. Daging babi dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan sapi, kerbau, bahkan ayam. Sebagai seorang santri yang berpegang pada prinsip frugal living, tentu muncul godaan batin sederhana, Andai babi itu halal, betapa hemat pengeluaran saya.” Hehehe.

Namun keresahan itu berlanjut pada tataran linguistik dan teologis. Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab abad ke-6, yang senantiasa mengalami pergeseran makna (semantic shift). Sebagaimana kata sayyārah yang dalam Al-Qur’an bermakna “kafilah dagang” (Yūsuf: 19), tetapi kini berarti “mobil,” demikian pula kata khinzīr perlu diuji: apakah ia sudah bermakna “babi” di masa pewahyuan, ataukah makna itu hasil interpretasi pasca-Qur’anik yang terbentuk melalui tradisi tafsir?

Baca juga: Apakah Bulu Babi Juga Diharamkan? Begini Pendapat Ulama Tafsir

Pertanyaan berikutnya menyangkut kapasitas kognitif audiens pertama Al-Qur’an. Jika khinzīr memang merujuk pada babi, sejauh mana bangsa Arab pada masa itu mengenal hewan tersebut? Adakah relevansi sosial dari larangan itu bagi komunitas Hijaz yang bahkan tidak berinteraksi langsung dengan spesies ini?

Tulisan ini berangkat dari tiga pertanyaan itu—linguistik, historis, dan teologis—dengan upaya memahami khinzīr bukan sekadar sebagai “babi,” melainkan sebagai tanda (signifier) dalam jaringan makna yang lebih luas dalam wacana Qur’anik.

Keharaman khinzir dalam Al-Qur’an

Kata khinzīr muncul empat kali dalam Al-Qur’an, selalu dalam konteks keharaman (2:173, 5:3, 6:145, dan 16:115). Semua ayat ini berasosiasi dengan verba ḥarrama (mengharamkan) atau turunannya (ḥurrimat, muḥarraman), menegaskan satu posisi tegas Al-Qur’an terhadap hewan ini.

Menariknya, tiga dari empat ayat tersebut tidak memiliki sabab al-nuzūl spesifik, melainkan berupa prinsip umum penyucian makanan (ṭayyibāt) dan penegasan batas halal-haram. Hanya QS. al-An‘ām: 145 yang memiliki konteks polemis: ia turun untuk menegur kaum musyrikin Arab yang mengharamkan sebagian makanan tanpa dasar wahyu.

Baca juga: Pro Kontra Tentang Hukum Babi Laut Menurut Ulama Tafsir

Artinya, larangan khinzīr muncul dalam wacana penyucian moral dan identitas keagamaan, bukan dalam konteks reaksi terhadap praktik memakan babi yang nyata di masyarakat. Hal ini memberi indikasi kuat bahwa keharaman babi bukan respons sosial, melainkan penegasan teologis—suatu indikasi bahwa memang “tradisi” mengkonsumsi babi sangat minor dalam realitas bangsa Arab kala itu.

Dalam perkembangan hukum Islam, para ulama menegaskan larangan itu sebagai ‘azīmah (ketentuan pokok) dan qaṭ‘iyy al-dalālah. Hampir tidak ada suara alternatif. Di tataran kultural, “keharaman babi” bahkan menempati posisi paling tinggi dalam kesadaran umat Islam—tergambar dalam ungkapan satir populer, “semua halal kecuali babi.” Larangan ini hidup bukan sekadar sebagai norma fikih, tetapi sebagai simbol identitas kolektif umat Islam terhadap dunia nonmuslim.

“Membayangkan” khinzir di era pewahyuan

Pertanyaan berikutnya: apakah bangsa Arab mengenal babi?

Secara ekologis, hewan ini memang tidak hidup di jantung Hijaz atau Najd. Namun, babi liar (Sus scrofa) telah lama hidup di wilayah Syro-Palestina, Yordania, dan Levant—kawasan yang memiliki relasi dagang, budaya, dan religi yang intens dengan Hijaz. Sejarawan zoologi dan arkeozoologi mencatat bahwa babi liar merupakan satwa umum di Levant sejak milenium pertama SM.

Maka, kemungkinan besar pengetahuan tentang babi diimpor melalui kontak kultural antara Arab dan masyarakat Syam. Dengan demikian, khinzīr dalam Al-Qur’an bisa jadi merepresentasikan pengetahuan pinjaman (borrowed knowledge) yang sudah cukup dikenal secara konseptual, meski tidak berakar dalam pengalaman hidup masyarakat Hijaz.

Khinzīr sebagai penegasan teologis: “Syar‘u Man Qablanā”

Dari perspektif teologi wahyu, boleh jadi (asumsi penulis) larangan khinzir dalam Al-Qur’an bukan fenomena baru, melainkan kelanjutan dari hukum Abrahamik terdahulu (syar‘u man qablana).

Dalam Taurat, larangan itu bersifat eksplisit:

וְאֶת־הַחֲזִיר כִּי מַפְרִיס פַּרְסָה הוּא וְשֹׁסַע שֶׁסַע פַּרְסָה וְהוּא גֵרָה לֹא־יִגָּר טָמֵא הוּא לָכֶם
“Dan babi (ḥăzîr), karena berkuku belah dua tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu.”
(Imamat 11:7)

Begitu pula dalam Yesaya 65:4:

הָאֹכְלִים בְּשַׂר הַחֲזִיר וְהַמַּרְק פִּגּוּלִים כְּלֵיהֶם

“Mereka makan daging babi (bĕśar ha-ḥăzîr), dan kuah yang najis ada dalam bejana mereka.”

Baca juga: “Unta Masuk Lubang Jarum” dalam Tradisi Yudaisme dan Kristen

Kata ḥăzîr berakar dari akar Semitik ḥ–z–r yang berarti “mengendus/menggali tanah,” sesuai perilaku babi mencari makanan dengan moncong.

Kata Ibrani ḥăzîr (חזיר) berasal dari akar Semitik ḥ–z–r yang berarti “menggali atau mengendus tanah,” sesuai perilaku babi mencari makanan.
Dalam Aram (bahasa Yesus) disebut ḥazīrā, dan dalam Arab menjadi khinzīr—pergeseran fonetik dari  ke kh yang umum dalam evolusi bahasa Semitik Barat.

Korelasi etimologis ini menunjukkan bahwa larangan terhadap babi merupakan tradisi hukum lintas wahyu, bukan monopoli Islam. Maka, kehadiran kata khinzīr dalam Al-Qur’an bukan sekadar hukum makanan, tetapi pernyataan teologis bahwa Islam berdiri dalam kesinambungan dengan risalah-risalah sebelumnya.

Dimensi identitas dan simbolisme

Larangan khinzīr dapat dibaca sebagai tanda identitas dan diferensiasi (symbolic boundary marker) antara komunitas Muslim dan komunitas non-Muslim.
Sebagaimana disampaikan Fredrik Barth dalam teorinya tentang batas etnis, identitas kelompok dipelihara bukan oleh keseragaman internal, tetapi oleh garis batas yang membedakan “kita” dari “mereka.”

Dengan demikian, khinzīr dalam Al-Qur’an tidak semata larangan biologis, tetapi juga penegasan perbedaan epistemik—antara yang ṭayyib (bersih) dan khabīṯ (najis), antara umat wahyu baru dan warisan hukum lama yang disalahpahami.

Dari perspektif semiotika Qur’an, khinzīr berfungsi sebagai metasign—tanda yang menunjuk pada dunia simbolik kebersihan, ketaatan, dan loyalitas teologis terhadap sumber wahyu yang satu. Ia bukan sekadar hewan, tetapi sebuah konsep yang menandai kesucian moral dan keutuhan identitas iman.

Penutup

Berdasarkan telaah filologis, historis, dan teologis, khinzīr dalam Al-Qur’an hadir bukan sekadar sebagai nama hewan, melainkan sebagai tanda teologis dalam wacana wahyu. Meskipun babi tidak hidup di jantung Hijaz, istilah ini tidak asing bagi masyarakat Arab karena dikenali secara konseptual melalui interaksi budaya dengan wilayah Syam dan Levant.

Larangan terhadapnya tidak bersifat ekologis atau medis, tetapi merupakan penegasan kesinambungan risalah ilahi—kelanjutan hukum Abrahamik yang ditegaskan kembali oleh Al-Qur’an. Dengan demikian, khinzir menjadi simbol identitas yang membedakan yang suci dari yang profan, ṭayyib dari khabīṯ, serta menandai loyalitas teologis umat terhadap Tuhan. Ia adalah tanda linguistik yang menjembatani bahasa antarwahyu, simbol kesucian moral, dan representasi kontinuitas kenabian dalam sejarah tauhid.

 

Refleksi Marhamaisme dalam Surah Al-Balad

0

Ketika membaca kitab suci, yang ada dalam benak setiap insan adalah perkataan Tuhan yang bersifat sakral. Tentu isi daripada hal tersebut mengandung hikmah tersendiri bila dibaca serta dipahami secara mendalam. Sebuah surah dalam Alquran yang terdiri dari 20 ayat menjelaskan mengenai sumpah Allah dengan menyebut nama negeri atau al-Balad.

Baca Juga: Sayyid Qutb dan Hamka: Mirip tapi Tak Sama

Surah yang dibuka dengan kalimat sumpah Allah terhadap suatu negeri memiliki makna bahwasanya Allah Swt. bersumpah dengan menyebut al-Balad yang dalam hal ini adalah kota Mekah. Kemudian terkait dengan Nabi Muhammad saw. yang merupakan penduduk asli Mekah yang pernah terusir oleh kaumnya hingga kembali ke kota tersebut tatkala terjadi penaklukan Mekah. Kemudian Allah Swt. Menjelaskan bahwasanya manusia diciptakan-Nya dengan penuh kesulitan juga proses yang tidak mudah. Sehingga dari hal ini terdapat pesan agar manusia tidak menyombongkan diri (al-Kasysyaf/1203).

Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan perihal surat ini khususnya ketika berbicara mengenai beberapa ayat terakhir dari surat al-Balad khususnya ayat 17-20. jika pada pertengahan ayat khususnya ayat 11-16 terdapat seruan untuk melakukan kegiatan yang mana hal tersebut bagaikan melintasi jalan terjal seperti membebaskan perbudakan (ayat 13), memberi makan pada masa paceklik (ayat 14), menyantuni anak yatim terlebih jika masih terdapat hubungan famili (ayat 15), dan menolong orang miskin yang sengsara (ayat 16). Beberapa ayat ini merupakan anjuran agama yang tidak hanya berdimensi hubungan vertikal, tetapi juga horizontal (Tafsir Al-Azhar/10/8006-8009).

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Ulama asal Maninjau ini juga menjelaskan pada ayat 17 dan 18 bahwa jika dilihat korelasi dengan beberapa ayat sebelumnya, maka hal tersebut adalah aktualisasi dari Iman. Hal ini karena beberapa hal yang telah disebutkan pada ayat 11-16 dilakukan secara ikhlas tanpa mengharap pamrih. Maka pada ayat 18 dijelaskan mengenai golongan kanan atau ashab al-maymanah yakni kelompok yang beriman juga beramal soleh. Lalu pada ayat 19 dijelaskan mengenai golongan kiri atau ashab al-masy’amah yang mana merupakan lawan dari kelompok kanan. Sehingga kelompok tersebut mendapat balasan di akhirat yakni bertempat di nerakan sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 20 (Tafsir Al-Azhar/10/8009-8010).

Redaksi golongan kanan dan kiri mendapat perhatian khusus dari Hamka dengan mengaitkan hal tersebut pada konteks politik di Indonesia era 1950-an. Jika dalam bahasa politik secara umum golongan kiri diartikan sebagai komunis dan sosialis, maka golongan kanan sebagai kapitalis dan borjuis. Namun Hamka tetap menghimbau untuk berhati-hati dengan istilah tersebut agar umat Islam tidak terkecoh (Tafsir Al-Azhar/10/8010).

Terkait dengan penafsiran surah al-Balad, Hamka sempat menyinggung istilah Marhamaisme. Penafsir yang juga tokoh Persyarikatan Muhammadiyah ini mengisahkan bahwa pada 7 November 1947 di Bukittinggi, Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi sedang melaksanakan HUT ke 2 berdirinya partai tersebut. Acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden pertama Indonesia yakni Mohammad Hatta. Ketika Hatta menghadiri acara tersebut terdapat seseorang yang bernama Darwis Thaib yang merupakan murid dari Bapak Bangsa tersebut. Saat acara berlangsung sang murid menjelaskan mengenai gagasan Marhamaisme.

Baca Juga: Tafsir al-Azhar: Nabi Adam, Benarkah dari Surga Diturunkan di Sumatera (Pulau Swarna Dwipa)?

Sebagaimana yang diketahui bahwa sebelum perang dunia II, Thaib merupakan kader dari partai Pendidikan Nasional Indonesia dibawah pimpinan Mohammad Hatta. Syarat untuk bergabung dengan partai ini yaitu mengikuti kursus politik secara terartu. Bung Hatta merupakan tokoh yang menitikberatkan pada pendidikan bagi calon politisi. Thaib mempelajari sosialisme secara mendalam lewat PNI. Selain sebagai nasionalis, Thaib juga memiliki jiwa keislaman yang kuat. Pasca kemerdekaan, pria Minangkabau ini bergabung dengan partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Pemikiran Thaib ini berisi mengenai keadilan sosial berlandaskan wahyu khususnya surat al-Balad terutama pada beberapa hal seperti memberantas perbudakan terhadap manusia, memberikan bantuan terhadap orang yang membutuhkan seperti anak yatim, kaum fakir miskin serta program ini dilandaskan pada ajaran Islam yang diwujudkan oleh adanya komunitas yang solid. Bagi Thaib komunitas Muslim yan hidup saling tolong-menolong, saling mengingatkan untuk sabar juga berkasih sayang, inilah yang disebut dengan Marhamah. Untuk mengenalkan gagasan ini, Darwis Thaib membuat brosur kecil dengan judul Marhamaisme pada 1947.

Pemikiran Thaib ini menurut Hamka mencoba meneropong kandungan surah al-Balad kemudian diperkenalkan ke masyarakat agar Alquran dapat diamalkan. Akan tetapi, gagasan ini belum tersebar secara luas mengingat kondisi Indonesia ketika itu yang sedang berperang melawan penjajah Belanda. Sehingga gagasan Thaib hanya dikenal di wilayah Sumatera Barat (Tafsir Al-Azhar/10/8010-8012).

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Meski gagasan Darwis Thaib belum tersebar luas di Indonesia, namun alangkah baiknya menjadi refleksi bagi kaum Muslimin untuk tetap mengamalkan ajaran Alquran khususnya surah al-Balad sesuai dengan konteks zaman. Terlebih dalam surah al-Balad terdapat beberapa ayat yang mengajarkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Wallahu A’lam

Surah al-Ma’arij Ayat 19-30: Tabiat Buruk Manusia dan Obatnya

0
tafsir surah al-Ma'arij ayat 19-30
tafsir surah al-Ma'arij ayat 19-30

Manusia tidak selalu bertabiat baik, ada juga tabiat buruk dalam diri manusia yang dapat mendorong kepada hal-hal negatif, antara lain ialah tidak sabar, sering berkeluh kesah, kikir atau tidak mau berbagi harta, tidak bersyukur atas pemberian Allah, dan lain sebagainya.

Salah satu ayat Alquran yang menjelaskan sifat-sifat buruk manusia adalah surah al-Ma’arij ayat 19-21,

اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا (١٩) إذَا مَسَّهُ الشّرُّ جَزُوعًا (٢٠) وَ إذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (٢١) 

“Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat suka mengeluh. Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir.”

Allah memaparkan ayat di atas dengan menggunakan bahasa yang ringkas, namun memiliki makna begitu dalam. Dari ayat itu, manusia diajak untuk mengetahui dan mengintrospeksi diri akan sifat buruk yang sering muncul agar menjadi hamba yang bisa mengendalikan tabiat-tabiat buruk tersebut.

Baca Juga: Surah al-Alaq Ayat 6-8: Karakter Manusia yang Melampaui Batas

Penafsiran surah al-Ma’arij Ayat 19-21

Menurut Wahbah az-Zuhaili, manusia diciptakan oleh Allah dengan tabiat mudah cemas atau panik. Dengan sifat ini manusia cenderung tidak sabar, tamak, kikir dan tidak mau berbagi. Apabila ditimpa musibah seperti sakit atau kesusahan lainnya, ia akan berkeluh kesah dan bersedih. Namun jika ia memperoleh kenikmatan seperti kekayaan, jabatan dan kekuasaan, ia menjadi hamba yang sangat kikir dan tidak mau mendermakan sebagian hartanya kepada saudaranya yang membutuhkan. (Tafsir al-Munir, juz 15, hal. 124)

Dalam kitab Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi menerangkan bahwa sifat suka mengeluh dalam diri manusia itu merujuk pada dua keadaan. Pertama al-halah an-nafsaniyah, yaitu keadaan yang mendorong manusia untuk mengeluh dan gelisah. Ketika ditimpa musibah, manusia memang cenderung akan mengeluh, sifat seperti ini merupakan ciptaan Allah dan menjadi bagian dari fitrah manusia.

Kedua al-af’al al-dzahiriyah, yaitu tindakan atau ucapan keluh kesah dari manusia yang disebabkan adanya pendorong, seperti seseorang yang mengeluh lantaran ditimpa musibah. Berbeda dengan keadaan pertama, tindakan ini muncul dari diri manusia sendiri dan bisa dikendalikan. Sedangkan keadaan nafsaniyah adalah pemberian Allah dan melekat dalam diri manusia secara alami.

Lebih lanjut lagi, Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa seseorang yang tidak bisa mengendalikan tabiat buruk yang ada pada jiwanya, maka ia menjadi makhluk tercela di mata Allah. Sebab, seseorang yang suka mengeluh, tidak sabar dan kikir, ia senantiasa lebih mengurusi keadaan jasmani yang bersifat duniawi dan tidak memperhatikan keadaan ukhrawinya. Dengan demikian ia akan jauh dari Allah dan selalu mengejar dunia yang fana dan sementara. (Mafatih al-Ghaib, juz 15, hal. 118).

Baca Juga: Membingkai Kembali Nafs al-Muthma’innah di Era Distraksi Digital

Obat Penawar atas Sifat Buruk Manusia

Tidak ada pilihan lagi, manusia harus menerima sifat suka mengeluh dan kikir yang diciptakan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Meskipun demikian, dalam lanjutan dua ayat sebelumnya (surah al-Ma’arij ayat 19-21), tepatnya di ayat 22-30 Allah memberikan obat penawar alias cara untuk mengatasi tabiat-tabiat buruk tersebut.

اِلَّا الْمُصَلِّيْنَ (22) الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَ (23) وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ (24) لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ (25) وَالَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ (26) وَالَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ (27) اِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ (28) وَّالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ (29) اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ (30)

“Kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, mereka yang selalu setia mengerjakan salatnya. Dan mereka yang di dalam hartanya ada bagian tertentu, untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta. Kemudian orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan yang takut terhadap azab Tuhannya. Sesungguhnya tidak ada orang yang merasa aman dari azab Tuhan mereka. (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).” Q.S. al-Ma’arij [70]: 22-30

Ayat di atas bisa dipahami bahwa Allah memberikan obat atas sifat-sifat buruk manusia. Obat pertama berupa mengerjakan salat pada waktunya. Kedua, menyisihkan sebagian harta agar diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ketiga, percaya akan hari akhir dan hari pembalasan. Keempat, takut akan pedihnya azab Allah, dan kelima selalu menjaga kemaluannya dari hal-hal yang tidak diridai oleh Allah swt.

Dalam Tafsir Ta’wilat Ahl as-Sunnah, Imam al-Maturidi menjelaskan bahwa meskipun manusia diciptakan dengan memiliki tabiat-tabiat buruk, namun manusia tetap diberikan cara untuk melawan sifat buruk tersebut. Di antara caranya adalah dengan melakukan riyadhah, yaitu berusaha melatih diri untuk menghindari hal-hal buruk agar bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Bentuk riyadhah bisa berupa melaksanakan salat, zikir, sedekah, menahan hawa nafsu dari perkara yang haram dan lain semacamnya. (Ta’wilat Ahl as-Sunnah, juz 10, hal. 205)

Demikian Alquran menginformasikan tentang kebiasaan buruk manusia sekaligus cara-cara untuk mengatasinya. Pada akhirnya menjadi baik atau buruk adalah sebuah pilihan. Jadilah baik sejak di awal pilihan. Wallah a’lam

Refleksi Sumpah Pemuda: Menjadi Generasi Rabbani di Era Digital

0
Refleksi Sumpah Pemuda: Menjadi Generasi Rabbani di Era Digital
Refleksi Sumpah Pemuda: Menjadi Generasi Rabbani di Era Digital

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar suci Sumpah Pemuda. Sebuah komitmen monumental yang menyatukan ribuan pulau dan ratusan suku dalam satu identitas. Ikrar ini adalah antitesis dari ‘ashabiyyah (fanatisme kesukuan) jahiliah yang menjadi musuh utama persatuan.

Kini, hampir seabad berlalu, pemuda Indonesia dihadapkan pada tantangan yang berbeda. Semangat “Satu Bangsa” itu diuji oleh ‘ashabiyyah bentuk baru di era digital. Polarisasi politik, filter bubble media sosial, dan “perang suku” antar pendukung di dunia maya menjadi ancaman nyata bagi persatuan yang telah dirajut para pendahulu.

Refleksi Sumpah Pemuda hari ini menuntut kita untuk kembali pada nilai-nilai persatuan hakiki. Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup, telah memberikan panduan abadi tentang bagaimana pemuda seharusnya bersikap dalam mengelola perbedaan dan merawat persatuan. Al-Qur’an menawarkan kontekstualisasi yang relevan untuk semangat Sumpah Pemuda.

Tafsir “Satu Bangsa” dalam Bingkai Q.S. Al-Hujurat

Ikrar “Satu Bangsa, Indonesia” adalah sebuah lompatan kesadaran untuk melampaui identitas primordial. Para pemuda tahun 1928 sepakat bahwa identitas ke-Indonesiaan lebih utama daripada identitas kedaerahan. Visi ini sejatinya adalah implementasi dari firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13.

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (syu’ūban) dan bersuku-suku (qabā’ila) agar kamu saling mengenal (li ta’ārafū). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Ayat ini, sebagaimana dijelaskan dalam banyak kitab tafsir seperti Tafsīr al-Munīr karya Wahbah al-Zuhaili, adalah penegasan universal tentang kesetaraan manusia. Perbedaan suku dan bangsa (syu’ūb wa qabā’il) bukanlah diciptakan untuk saling mencela atau berbangga diri—sebuah praktik yang marak di era digital—melainkan untuk lita’ārafū (saling mengenal).

Baca juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara

Kata ta’āruf berasal dari akar yang sama dengan ‘urf (kebaikan, adat). Ini bukan sekadar kenal nama, tapi sebuah proses interaksi aktif untuk memahami keunikan satu sama lain yang melahirkan harmoni. Sumpah Pemuda adalah manifestasi ta’āruf skala nasional. Pemuda Jong Java “mengenal” pemuda Jong Ambon, bukan untuk mencari perbedaan, tapi untuk menemukan titik temu sebagai “Bangsa Indonesia”.

Tantangan pemuda kini adalah mengamalkan spirit lita’ārafū di media sosial. Ketika algoritma justru menjebak kita dalam echo chamber (ruang gema) yang seragam, pemuda harus proaktif “mengenal” kelompok yang berbeda. Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa kemuliaan hanya milik atqākum (yang paling bertakwa), bukan yang paling fanatik pada kelompoknya.

Tafsir “Satu Tanah Air” dan “Satu Bahasa” dalam Q.S. Ali ‘Imran

Ikrar “Satu Tanah Air” dan “Satu Bahasa” adalah wujud nyata dari upaya menjaga keutuhan kolektif. Tanpa bahasa persatuan, mustahil ta’āruf bisa terjadi. Tanpa komitmen pada tanah air yang satu, ukhuwwah (persaudaraan) akan rapuh. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada tali persatuan.

Perintah ini termaktub dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah (ḥablillāh) seraya berjamaah, dan janganlah kamu bercerai-berai (wa lā tafarraqū). Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara.”

Imam al-Qurthubi dalam al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān menjelaskan bahwa ḥablillāh (tali Allah) adalah Al-Qur’an, jamaah, atau ikatan tauhid. Dalam konteks kebangsaan, Sumpah Pemuda adalah “tali” pemersatu bangsa. Ia adalah mītsāq (kesepakatan luhur) yang mengikat kita, sama seperti Allah mengikat kaum Aus dan Khazraj yang bermusuhan menjadi ikhwānā (bersaudara).

Larangan wa lā tafarraqū (jangan bercerai-berai) adalah inti pesan ayat ini. Pemuda hari ini harus menjadi garda terdepan melawan tafarruq (perpecahan) digital. Bahasa Indonesia, sebagai ikrar ketiga, adalah alat untuk ta’līf al-qulūb (menyatukan hati), bukan alat untuk menyebar ujaran kebencian (hate speech) yang mencerai-beraikan.

Refleksi Pemuda: Menjadi Fityah di Zaman Now

Sumpah Pemuda adalah gerakan anak muda. Al-Qur’an mengabadikan peran pemuda revolusioner dalam sosok Ashabul Kahfi. Mereka bukanlah pemuda pasif, melainkan pemuda yang berani mengambil sikap di tengah kerusakan zaman.

Allah memuji mereka dalam Q.S. al-Kahf [18]: 13-14:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى. وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda (fityah) yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka (rabathnā ‘alā qulūbihim) di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: ‘Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi’…”

Baca juga: Ikrar Setia Kaum Hawariyyun: Refleksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Pemuda Sumpah Pemuda adalah fityah yang “berdiri” (qāmū), mendeklarasikan satu Tuhan, satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Mereka adalah pemuda yang hatinya diteguhkan Allah (rabathnā ‘alā qulūbihim) untuk melawan arus utama perpecahan saat itu.

Refleksi bagi pemuda zaman now adalah: jadilah Ashabul Kahfi di era digital. Jadilah pemuda yang “berdiri” melawan hoaks, menghentikan penyebaran fitnah, dan menolak menjadi bagian dari tribalisme buta. Gunakan spirit Q.S. al-Hujurat [49]: 13 untuk merangkul perbedaan dan spirit Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103 untuk merajut persatuan. Itulah makna kontekstual Sumpah Pemuda bagi generasi Rabbani hari ini.

I‘jāz al-Qur’ān: Makna Filosofis Angka 1 dan 0

0
I'jaz Al-Qur'an_makna Filosofis angka 1 dan 0
I'jaz Al-Qur'an_makna Filosofis angka 1 dan 0

Hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan menjadi perdebatan klasik. Al-Ghazali berpendapat bahwa semua ilmu bersumber dari Alquran, sedangkan asy-Syathibi menilai kitab suci ini tidak memuat seluruh cabang ilmu secara literal. Hakikatnya, Alquran bukan ensiklopedia sains, melainkan sumber inspirasi yang menuntun akal, iman, dan ilmu agar berjalan seimbang.

Dari sinilah, i‘jāz al-Qurān dapat dipahami bukan sekadar sebagai keindahan bahasa, tetapi juga sebagai dorongan intelektual yang relevan lintas zaman. Di era digital, semangat i‘jāz ini tercermin pada makna filosofis angka 1 dan 0: dua simbol sederhana yang menjadi dasar teknologi modern sekaligus menggambarkan prinsip ketunggalan dan kehampaan, eksistensi dan ketiadaan.

Alquran sebagai kalam Allah hadir bukan hanya sebagai pedoman spiritual, tetapi juga sumber pencerahan intelektual yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Refleksi ini menunjukkan bahwa kemajuan sains sejati berakar pada nilai ilahiah. Angka 1 dan 0 menjadi metafora dialog antara iman dan akal, menegaskan keesaan Allah dan keteraturan ciptaan-Nya.

Dalam pandangan tauhid, angka 1 melambangkan keesaan Allah, yakni Ahad yang menjadi sumber segala keberadaan. Sementara angka 0 merepresentasikan ketiadaan, kefanaan, dan ketergantungan makhluk kepada Sang Pencipta. Tanpa angka 1, angka 0 kehilangan makna; sebagaimana tanpa Allah, segala sesuatu menjadi tidak berarti.

Relasi antara 1 dan 0 mencerminkan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya, yaitu kesatuan yang sempurna antara wujud dan kehendak-Nya. Gagasan ini juga disinggung oleh Abah Salma Alif Sampayya dalam bukunya Keseimbangan Matematika dalam Al-Qur’an, yang menekankan adanya harmoni antara konsep biner dan prinsip tauhid. Menariknya, seluruh sistem komputer dan kecerdasan buatan yang mendukung peradaban modern bekerja hanya dengan kombinasi dua angka ini, 1 dan 0. Dari kombinasi sederhana itu lahirlah dunia digital yang kompleks, mulai dari gambar, suara, hingga teks, yang semuanya tersusun dalam keteraturan yang luar biasa.

Baca Juga: Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Konsep angka 1 dan 0 dalam perspektif tauhid juga dapat dilihat melalui penempatan kalimat Basmalah dalam Alquran. Basmalah di surah al-Fatihah sebagai ayat pembuka mewakili angka 1, bilangan tunggal yang menegaskan keesaan Allah. Sebaliknya, surah At-Taubah yang tidak memiliki Basmalah dapat dipahami sebagai kosong, atau sifat bilangan yang bebas dari nilai apa pun, sejalan dengan makna ayat pertamanya, Barāah, yang berarti bebas.

Selain itu, terdapat 112 surat yang memiliki Basmalah di awal tetapi tanpa nomor ayat. Kalimat Basmalah ini bisa dianggap sebagai “ayat 0”, berbeda dengan surah at-Taubah yang sama sekali tidak memilikinya. Dengan cara ini, Alquran seolah menampilkan struktur biner awal: 1 untuk al-Fatihah, 0 untuk at-Taubah, dan 0 untuk 112 surat lainnya. Struktur ini secara simbolik menggambarkan keteraturan, keseimbangan, dan harmoni—prinsip dasar baik dalam teologi maupun ilmu pengetahuan modern, termasuk sistem digital yang dibangun dari angka 1 dan 0.

Hal ini seolah merefleksikan firman Allah dalam Q.S. al-Mulk [67]: 3:

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ

“(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?

Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsir Mafātīḥ al-Ghayb menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kekuasaan dan ilmu Allah yang tak terbatas. Langit yang berlapis-lapis tersusun saling menyesuaikan dan tidak bertabrakan. Setiap lapisan memiliki ukuran, arah, dan kecepatan tertentu yang terukur dan pasti.

Baca Juga: Mengenal Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an

Keteraturan tersebut menjadi bukti bahwa seluruh ciptaan tunduk pada hukum yang tetap. Bagi al-Rāzī, keserasian ini adalah tanda bahwa Penciptanya memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang sempurna. Tidak ada satu pun bagian dari alam yang menyimpang dari ukuran yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Seperti halnya sistem digital yang seluruhnya dibangun dari dua unsur (1 dan 0) tetapi menghasilkan keteraturan yang luar biasa, ciptaan Allah pun dibangun atas prinsip keteraturan (ibāqan) dan keseimbangan (lā tafāwut). Itu sebabnya, pola biner bisa dilihat sebagai “refleksi kecil” dari keteraturan ilahi.

Melalui simbol 1 dan 0, manusia diajak merenungi hakikat ilmu: bahwa pengetahuan bukan sekadar hasil logika dan teknologi, tetapi juga bagian dari ayat-ayat kauniyah yang mengantarkan manusia untuk mengenal Sang Pencipta. Maka kemajuan sains dan teknologi seharusnya tidak menjauhkan manusia dari Tuhan, melainkan meneguhkan keyakinan bahwa semua keteraturan itu berakar pada keesaan-Nya. Inilah salah satu bentuk i‘jāz al-Qurān yang terus hidup dan relevan dalam peradaban modern. Wallahu a’lam.

Metode Disruptif Nabi Ibrahim dalam Membongkar Status Quo

0

Figur Ibrahim dalam sejarah para nabi menempati posisi unik sebagai seorang pembongkar ulung. Ia tidak hanya menentang sebuah sistem kepercayaan, tetapi juga mendemonstrasikan metode cerdas untuk meruntuhkan kemapanan dari dalam. Di hadapan status quo paganisme kaumnya, yakni tradisi saat itu yang telah membeku menjadi dogma, Nabi Ibrahim tidak memilih jalan konfrontasi langsung yang sia-sia.

Sebaliknya, ia memilih untuk membongkar sistem tersebut dengan menggunakan alat yang paling fundamental, logika. Dengan menciptakan sebuah krisis kognitif pada audiensnya, ia menunjukkan cara menantang keyakinan yang salah, bukan dengan paksaan, melainkan dengan memantik kesadaran kritis dari dalam diri mereka sendiri. Dua momen kunci dalam kisahnya menawarkan sebuah cetak biru abadi untuk melakukan disrupsi intelektual.

Baca Juga: Meluruskan Doktrin ‘Teror’ Millah Ibrahim (Bagian 1)

Demonstrasi yang Memprovokasi Nalar

Metode pertama Nabi Ibrahim bukanlah ceramah, melainkan sebuah pertunjukan strategis. Setelah menghancurkan berhala-berhala yang lebih kecil dan menyisakan yang terbesar dengan kapak di tangannya, ia menjawab tuduhan kaumnya bukan dengan pengakuan, melainkan dengan sebuah provokasi logis:

قَالَ بَلْ فَعَلَهٗ كَبِيْرُهُمْ هٰذَا فَسْـَٔلُوْهُمْ اِنْ كَانُوْا يَنْطِقُوْنَ

“…Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya: 63).

Tindakan ini, menurut analisis para mufasir, bukanlah sebuah kebohongan, melainkan sebuah siasat argumentatif (ta’riḍ) yang bertujuan untuk menyusun sebuah hujah yang meruntuhkan logika mereka dari dalam (Ar-Râzî, 2012, hlm. 155). Ibrahim menciptakan sebuah skenario fisik yang memaksa kaumnya untuk berhadapan langsung dengan absurditas keyakinan mereka sendiri (Ibn ‘Ashur, 1984, hlm. 100). Ia tidak perlu memberi tahu mereka bahwa berhala itu tidak berdaya; ia menciptakan kondisi di mana mereka harus menyimpulkannya sendiri.

Pertanyaan yang Meruntuhkan Fondasi

Jika metode pertama bersifat demonstratif, metode kedua Ibrahim jauh lebih sederhana namun tidak kalah kuat: sebuah pertanyaan fundamental yang langsung menusuk ke jantung masalah. Dalam dialognya yang lain, ia melucuti semua lapisan justifikasi budaya dan tradisi dengan satu pertanyaan logis yang telanjang:

قَالَ اَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ

“Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu menyembah apa yang kamu pahat (sendiri)?” (QS. As-Saffat: 95).

Pertanyaan ini adalah inti dari first-principles thinking. Ia membongkar sebuah masalah hingga ke asumsi dasarnya yang paling hakiki. Sebagaimana dijelaskan dalam analisis Ibnu Katsir, Ibrahim pada dasarnya sedang menegur dan mempermalukan logika mereka: “Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat dan buat dengan tangan kalian sendiri, padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu?” (Ibnu Katsîr, 1998, hlm. 21).

Dengan menyoroti hierarki yang terbalik, di mana sang pencipta (pemahat) justru bersujud kepada ciptaannya (pahatan), seolah Nabi Ibrahim memaksa kaumnya untuk menggunakan akal sehat mereka. Ini mengajarkan bahwa disrupsi sejati seringkali tidak datang dari solusi yang rumit, tetapi dari keberanian untuk mengajukan pertanyaan yang paling sederhana terhadap “cara lama” yang selama ini diterima begitu saja.

Baca Juga: Keteladanan Nabi Ibrahim Menyikapi Sensitivitas Orang Tua

Seni Komunikasi Strategis

Beberapa riwayat, termasuk hadis yang menyebutkan “tiga kebohongan Ibrahim”, seringkali disalahpahami. Namun, para ulama peneliti (muhaqqiqin) menegaskan bahwa tindakan-tindakan ini bukanlah kebohongan yang tercela, melainkan termasuk dalam kategori ma’aridh—ucapan yang memiliki makna tersirat yang digunakan untuk tujuan syar’i yang lebih tinggi (Ar-Râzî, 2012, hlm. 156). Misalnya, ucapan إِنِّي سَقِيمٌ (“Sesungguhnya aku sakit”) (QS. As-Saffat: 89), dapat diartikan sebagai sakit hati melihat kesyirikan kaumnya (Ibnu Katsîr, 1998, hlm. 21).

Demikian pula, ucapan بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا adalah sebuah kalimat bersyarat yang bertujuan retoris, bukan pernyataan faktual (Ibn ‘Ashur, 1984, hlm. 100). Memahami konsep ma’aridh ini penting untuk melihat bahwa metode Ibrahim bukanlah tipu muslihat, melainkan sebuah komunikasi strategis yang canggih untuk mencapai tujuan dakwah yang lebih besar, yaitu membangkitkan nalar.

Dampak pada Kesadaran Audiens

Tujuan akhir dari metode disruptif Nabi Ibrahim bukanlah untuk memenangkan debat, melainkan untuk memantik kesadaran internal. Alquran secara eksplisit merekam keberhasilan sesaat dari strategi ini:

فَرَجَعُوا إِلَىٰ أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنتُمُ الظَّالِمُونَ

“Maka mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamulah yang berbuat zalim.’” (QS. Al-Anbiya: 64)

Momen فَرَجَعُوا إِلَىٰ أَنْفُسِهِمْ (“kembali kepada kesadaran diri”) adalah puncak dari metode Ibrahim. Ia berhasil memaksa mereka untuk melakukan introspeksi dan mengakui kesalahan logika mereka (Ar-Râzî, 2012, hlm. 155). Meskipun setelah itu mereka kembali pada kekeraskepalaan mereka (ثُمَّ نُكِسُوا عَلَىٰ رُءُوسِهِمْ), momen singkat pencerahan itu menunjukkan bahwa disrupsi yang berbasis logika mampu menembus pertahanan dogma, setidaknya untuk sesaat.

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim

Penutup

Kisah Nabi Ibrahim ini lebih dari sekadar catatan sejarah tentang seorang nabi. Ia adalah penegasan tentang esensi Alquran itu sendiri. Inilah Alquran: ia bukan sekadar kumpulan hukum dan larangan, tetapi sebuah manual yang kaya akan metode berpikir, kerangka kerja strategis, dan studi kasus untuk memecahkan masalah-masalah paling fundamental dalam kehidupan manusia. Metode Ibrahim dengan demonstrasi strategis dan pertanyaan fundamental adalah warisan intelektual yang ditawarkan Alquran kepada setiap generasi.

Di zaman modern yang penuh dengan disinformasi, pemikiran kelompok, dan status quo yang seringkali tidak logis, relevansi metode ini menjadi sangat mendesak. Akhirnya, Kisah Ibrahim mengajarkan bahwa iman sejati tidak anti-kritik, justru ia dibangun di atas fondasi logika yang kokoh. Ia menunjukkan bahwa alat paling kuat untuk perubahan bukanlah agresi, melainkan keberanian untuk menggunakan akal sehat dan memantiknya pada orang lain. Inilah Alquran: sebuah petunjuk hidup yang tidak hanya menuntun hati, tetapi juga mengasah nalar. Wallahu ‘alam.

Menimbang Ulang Dikotomi Ma’tsūr dan Ra’yi: Dari Tipologi Genre Menuju Kerangka Epistemik

0

Dalam wacana ʿulūm al-Qur’ān, istilah tafsir bi al-ma’tsūr dan bi al- ra’yi sudah lama diposisikan sebagai dua kutub utama penafsiran. Tafsir bi al-ma’tsūr dipahami sebagai tafsir yang berakar pada riwayat—baik Alquran, hadis, maupun perkataan sahabat dan tabi‘in. Sebaliknya, tafsir bi al-ra’yi diidentifikasi sebagai tafsir yang bertumpu pada nalar penafsir dengan akal sebagai instrumen utamanya.

Baca Juga: Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (5): Metode dan Sumber Penafsiran

Sebuah kritik tipologi

Persoalan epistemologis muncul ketika klaim “murni riwayat” berusaha dipertahankan. Dalam kenyataannya, proses menyeleksi sanad, menimbang validitas riwayat, dan menentukan relevansinya terhadap suatu ayat, semuanya memerlukan kerja intelektual yang intensif. Dengan kata lain, tafsir bi al-ma’tsūr sekalipun tidak pernah steril dari keterlibatan akal. Karena itu, klaim tentang keterpisahan mutlak antara ma’tsūr dan ra’yi tampak problematis (Qadafy 2022). Sejumlah kajian mutakhir menilai dikotomi ini bersifat artifisial, bahkan kontraproduktif bagi perkembangan metodologi tafsir kontemporer.

Walid A. Saleh menempatkan peran penting Ibn Taymiyya dalam mempertegas batas-batas ortodoksi tafsir. Melalui apa yang ia sebut sebagai radical hermeneutics, Ibn Taymiyya merumuskan kerangka konseptual yang menegaskan karya tafsir mana yang sah sebagai representasi tafsir Sunni, dan mana yang jatuh di luar batas legitimasi (Saleh 2010). Dengan cara ini, dikotomi ma’tsūr dan ra’yi dipadatkan menjadi instrumen penentu ortodoksi, alih-alih sekadar klasifikasi metodologis (Saleh 2004).

Seiring perkembangan studi, para sarjana modern berusaha memberikan tipologi baru. Ignaz Goldziher membagi tafsir ke dalam corak gramatikal, doktrinal, mistis, sektarian, dan modern (Ignaz Goldziher 2006a; Ignaz Goldziher 2006b). John Wansbrough, dengan pendekatan filologis-kritisnya, membaginya menjadi lima model: haggadic (naratif), halakhic (hukum), masoretic (leksikal), retoris, dan alegoris (Wansbrough dan Rippin 2004). Meski berharga sebagai peta awal, tipologi ini—bagi penulis—lebih berfungsi untuk mengidentifikasi genre karya tafsir, bukan untuk menyingkap logika epistemik yang mendasari proses penafsiran.

Baca Juga: Walid Saleh: Tradisi Tafsir Bersifat Genealogis

Walid Saleh: Sebuah Tawaran

Di tengah keterbatasan tipologi lama, Saleh menawarkan kerangka baru dengan memetakan tafsir ke dalam tiga bentuk: ensiklopedik, madrasah, dan hāsyiyah (Saleh, 2010). Baginya, sifat dasar tafsir adalah integratif, sejalan dengan karakter Alquran yang menghadirkan dimensi hukum, kisah, dan retorika sastra sekaligus. Tafsir ensiklopedik bersifat luas, menghimpun berbagai informasi dan riwayat. Tafsir madrasah lebih ringkas, sementara hāsyiyah hadir sebagai catatan pinggir yang sangat singkat. Meskipun berguna dalam memahami format karya tafsir, kerangka ini tetap berfokus pada bentuk teks, bukan pada logika epistemologis yang lebih dalam: bagaimana sebenarnya penafsir menggunakan riwayat, mengoperasikan akal, dan menegosiasikan keduanya.

Badrus Zaman: Sebuah Tawaran yang lain

Dari titik ini, perdebatan klasik tentang ma’tsūr dan ra’yi perlu direposisi. Alih-alih mempertahankan oposisi biner, lebih produktif bila kerangka ini dipahami secara dialektis. Untuk itu, dua kategori baru diajukan: bi al-ra’yi al-ma’tsūrī dan bi al-ra’yi al-mutlaqān.

Tafsir bi al-ra’yi al-ma’tsūrī menegaskan bahwa akal selalu hadir dalam proses penafsiran, tetapi dalam kerangka menjaga kesetiaan terhadap riwayat normatif. Penafsir aktif menggunakan daya kritis untuk menyeleksi, memverifikasi, dan menafsirkan riwayat, namun tetap menempatkan tradisi sebagai horizon rujukan utama. Secara hermeneutik, model ini sejalan dengan pendekatan romantik, yang berusaha memahami horizon pengarang, bahkan merekonstruksi konteks sosial dan intelektual yang melatarbelakangi teks.

Sebaliknya, tafsir bi al-ra’yi al-mutlaqān menggambarkan metode yang tidak lagi menempatkan riwayat sebagai orientasi utama. Otoritas makna bergeser sepenuhnya kepada penafsir, sejalan dengan gagasan the death of the author dalam teori sastra modern. Model ini membuka ruang luas bagi kreativitas interpretatif dan relevansi kontekstual, meskipun konsekuensinya ialah potensi keterputusan dari kesinambungan tradisi normatif.

Baca Juga: Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Manfaat Kerangka Baru

Dua tipologi ini bukan sekadar permainan terminologi. Ia berfungsi sebagai perangkat analisis yang lebih realistis dalam membaca dinamika tafsir Alquran. Pertama, ia membantu peneliti memahami tafsir pada level pasase, bukan hanya pada level genre karya. Dalam satu kitab tafsir, penafsir bisa saja menggunakan modus ra’yi al-ma’tsūrī pada bagian tertentu, lalu bergeser ke ra’yi al-mutlaqān pada bagian lain. Kedua, ia menghadirkan transparansi metodologis: sejauh mana penafsiran masih berkomitmen pada tradisi, dan kapan ia mulai beroperasi secara kreatif dan otonom.

Reposisi Diskursus

Reposisi dikotomi ma’tsūr dan ra’yi ke dalam kerangka epistemologis—dengan membedakannya sebagai ra’yi al-ma’tsūrī dan ra’yi al-mutlaqān—menawarkan jalan keluar dari keterbatasan tipologi klasik. Dengan pendekatan ini, studi tafsir tidak lagi terjebak pada perangkap label genre yang cenderung membekukan karya-karya tafsir dalam kategori kaku. Sebaliknya, ia membuka ruang untuk membaca tafsir sebagai praktik penalaran, dengan derajat keterikatan yang berbeda-beda terhadap riwayat. Dalam satu kitab, penafsir dapat berpindah dari kecenderungan ma’tsūrī ke mutlaqān, tergantung pada isu dan strategi argumentatif yang digunakan.

Reposisi ini juga memberi peluang untuk menilai ulang peran radical hermeneutics Ibn Taymiyya. Apa yang selama ini dianggap sebagai batas “alamiah” antara tafsir yang sahih dan tafsir yang menyimpang, ternyata lebih tepat dipahami sebagai konstruksi historis—sebuah pagar ortodoksi yang diproduksi dalam konteks tertentu, bukan hukum universal yang tidak berubah. Dengan demikian, dikotomi ma’tsūr/ra’yi tidak lagi diperlakukan sebagai oposisi biner yang menutup kemungkinan dialog, melainkan sebagai spektrum dialektis yang memperlihatkan bagaimana kesetiaan pada warisan normatif selalu dinegosiasikan bersama dengan kreativitas akal.

Inilah yang menjadikan reposisi ini produktif: tafsir Alquran dapat dilihat bukan sebagai teks yang dibekukan dalam riwayat, tetapi sebagai wacana hidup yang terus bergerak di antara tradisi dan inovasi.

Tiga Fondasi Pengambilan Keputusan ala Al-Qur’an

0
Tiga Fondasi Pengambilan Keputusan ala Al-Qur’an: Ilmu, Musyawarah, dan Istikharah
Tiga Fondasi Pengambilan Keputusan ala Al-Qur’an: Ilmu, Musyawarah, dan Istikharah

Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan yang diwarnai oleh rangkaian pilihan. Bagi seorang muslim, menavigasi berbagai pilihan ini bukanlah sekadar latihan logika, melainkan sebuah proses spiritual yang menuntut bimbingan.

Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman (w. 1988), adalah sebuah “dokumen yang ditujukan secara langsung kepada manusia” dan menyebut dirinya sebagai “petunjuk bagi umat manusia” (hudan lil-nās) (Major Themes of The Qur’an, hlm. 1). Sebagai petunjuk, ia tidak menawarkan formula instan, tetapi meletakkan fondasi bagi sebuah kerangka berpikir yang utuh. Dari sana, tergali sebuah kurikulum yang menyeimbangkan antara rasionalitas, kearifan sosial, dan kepasrahan spiritual.

Fondasi Pertama: Berpijak pada Ilmu

Fondasi pertama yang ditekankan oleh Al-Qur’an adalah larangan keras untuk bertindak atas dasar kebodohan atau prasangka. Allah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 36:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Ibn Kathir (w. 774 H) menjelaskan bahwa ayat ini adalah larangan untuk berbicara dan bertindak tanpa ilmu, melainkan hanya berdasarkan prasangka (zhan) dan imajinasi (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim Vol. 5, hlm. 69). Ibn ‘Ashur (w. 1393 H) bahkan menyebut ayat ini sebagai sebuah “pelajaran etika yang agung” dan “reformasi intelektual yang mendalam”. Ia mengajarkan umat untuk mampu membedakan antara informasi yang valid, yang masih dugaan, dan yang sekadar angan-angan (al-Tahrir wa Al-Tanwir Vol. 15, hlm. 100).

Baca juga: Mempertimbangkan Akibat dari Suatu Keputusan Hukum dalam Memahami Alquran

Prinsip superioritas ilmu ini ditegaskan kembali dalam surah Az-Zumar ayat 9: “…Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Ibn ‘Ashur menguraikan bahwa “orang yang mengetahui” adalah mereka yang memahami hakikat sesuatu dan perbuatannya selaras dengan ilmunya. Beliau menegaskan bahwa iman adalah saudara kembar dari ilmu (al-Tahrir wa Al-Tanwir Vol. 23, hlm. 348).

Pada era ketika hoaks dan opini tanpa data menyebar dengan cepat, fondasi ‘ilmu’ ini menjadi sangat krusial. Ia mendidik seorang muslim untuk menjadi “skeptis yang bertanggung jawab”, yakni tidak mudah percaya pada judul berita, tidak gegabah mengambil keputusan investasi berdasarkan “kata orang”, dan selalu melakukan verifikasi. Sebagaimana ditekankan oleh Fazlur Rahman (w. 1988), pengetahuan dalam Al-Qur’an bukan sekadar data empiris yang ditangkap “mata dan telinga”, tetapi haruslah pengetahuan yang pada akhirnya “mengetuk hati” (strike the heart) dan menyalakan sebuah persepsi moral. Tanpa persepsi ini, seseorang bisa saja mengetahui “eksternalitas kehidupan duniawi”, tetapi tetap “lalai akan konsekuensi akhirnya” (Major Themes of The Qur’an, hlm. 23).

Fondasi Kedua: Berbagi Beban dengan Musyawarah

Setelah landasan ilmu individu terpenuhi, Islam mengangkat proses ini ke level sosial. Bahkan kepada Rasulullah saw, yang dibimbing oleh wahyu, Allah memerintahkan dalam surah Ali ‘Imran ayat 159: “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…”

Ibn Kathir menjelaskan bahwa perintah ini bertujuan untuk “menenangkan dan memenangkan hati para sahabat” agar mereka lebih bersemangat dalam menjalankan keputusan bersama. Beliau mencatat bahwa Rasulullah saw. senantiasa bermusyawarah dalam banyak urusan penting, seperti saat Perang Badar, Uhud, dan Khandaq  (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim vol 2, hlm. 130).

Lebih dari sekadar perintah, musyawarah dipuji sebagai ciri khas sebuah komunitas beriman yang sehat, sebagaimana disinggung dalam surah Asy-Syura ayat 38: “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…”. Fazlur Rahman menyoroti bahwa melalui ayat ini, Al-Qur’an mengkonfirmasi dan melembagakan syūrā, yakni institusi demokrasi Arab pra-Islam, sebagai sarana bagi umat untuk menjalankan urusan kolektif mereka, di mana kehendak umat dapat diekspresikan (Major Themes of The Qur’an, hlm. 29).

Baca juga: Pelajaran dari Perang Khandaq

Pandangan ini diperluas oleh Sayyid Qutb (w. 1966), yang menyatakan bahwa lingkup musyawarah mencakup semua aspek kehidupan manusia, tidak hanya dalam bidang pemerintahan. Menurutnya, ini termasuk masalah keduniaan dan bahkan masalah keagamaan yang belum memiliki ketentuan hukum yang pasti (Fi Zilal al-Qur’an Vol. 8, hlm. 48).

Prinsip musyawarah adalah antitesis dari budaya “hero” individualistis yang seringkali diagungkan di zaman modern. Ia mengajarkan sebuah kerendahan hati intelektual, bahwa secerdas apapun seseorang, ia pasti memiliki “titik buta”. Dengan bermusyawarah, seseorang tidak hanya mendapatkan perspektif baru, tetapi juga berbagi beban psikologis dari sebuah keputusan, sehingga apa pun hasilnya, ia tidak ditanggung sendirian.

Fondasi Ketiga: Menyerahkan Hasil pada Istikharah

Puncak dari kerangka ini adalah sebuah pengakuan akan keterbatasan absolut manusia di hadapan ilmu Allah. Setelah akal dan ikhtiar sosial dimaksimalkan, seorang hamba diajarkan untuk menyerahkan hasilnya kepada Sang Pencipta. Prinsip di balik penyerahan diri ini terangkum dalam surah Al-Baqarah ayat 216:

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ibn Kathir menegaskan bahwa ayat ini berlaku umum untuk semua urusan (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim vol. 1, hlm. 428). ‘Ashur menambahkan bahwa ayat ini berfungsi sebagai penenang jiwa. Allah seolah-olah berkata, “Kami wajibkan atasmu suatu perkara yang berat, dan Kami tahu itu tidak kamu sukai, tetapi Kami juga tahu bahwa di baliknya ada kebaikan yang lebih besar untukmu” (al-Tahrir wa Al-Tanwir Vol. 2, hlm. 319).

Baca juga: Keserasian Nilai-Nilai Pancasila dengan Alquran

Manifestasi praktis dari prinsip ini adalah salat istikharah. Istikharah adalah sebuah deklarasi bahwa “saya telah melakukan bagian saya, dan kini saya serahkan hasilnya kepada-Mu, ya Allah”, yang membebaskan jiwa dari beban kecemasan akan hasil akhir.

Istikharah adalah jawaban Islam untuk “kecemasan akan hasil akhir” (outcome anxiety) yang melanda banyak profesional modern. Setelah riset (‘ilmu) dan konsultasi (musyawarah) dilakukan, istikharah memberikan sebuah “strategi penutup” yang menenangkan. Ia adalah sebuah deklarasi spiritual seolah “Tugas saya sebagai manusia telah selesai, sisanya adalah urusan-Mu, ya Allah”. Ini membebaskan jiwa dari beban untuk harus mengontrol segala sesuatu yang pada dasarnya berada di luar kendalinya.

Penutup

Kerangka pengambilan keputusan dalam Islam bukanlah sebuah formula kaku. Ia adalah sebuah kurikulum yang dinamis, yang mengalir dari penguatan akal individu (Ilmu), menuju kearifan komunal (Musyawarah), dan bermuara pada kepasrahan spiritual (Istikharah). Dengan menapaki tiga fondasi ini, proses membuat keputusan tidak lagi menjadi sumber kecemasan, melainkan berubah menjadi sebuah bentuk ibadah yang mendatangkan ketenangan, apapun hasil akhirnya. Wallahu ‘alam.

Tafsir Rasulullah atas al-Qur’an: Kritik Faḍl Ḥasan ‘Abbās terhadap Penisbatan Pandangan Ibnu Taimiyyah oleh al-Suyūṭī dan al-Dhahabī

0

Dalam beberapa literatur ulum al-Qur’an, ulama menjelaskan tentang sebuah pertanyaan “Apakah Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an?”, kemudian mereka menjelaskan dengan dua pendapat yang berbeda. Pertama, Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an, yang dinisbatkan pada pendapat Ibnu Taimiyyah. Kedua, Rasulullah menafsirkan sebagian al-Qur’an yang dibutuhkan untuk ditafsirkan, pendapat ini dinisbatkan kepada Al-Khuwaybi dan al-Suyuti, Syamsuddin al-Khuwi dan yang lain. (Muḥammad ‘Umar al-Ḥājī, Mawsū’ah al-Tafsīr Qabla al-Tadwīn, 51.)

Permasalahan yang terdapat dalam penjelasan tersebut adalah klaim bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa Rasulullah SAW menafsirkan seluruh al-Qur’an. Apakah benar demikian? Mari kita bahas secara rinci.

Baca Juga: Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian III)

Tafsir Rasulullah atas al-Qur’an dalam kitab Muqaddimah karya Ibnu Taimiyyah

Redaksi yang terdapat dalam kitab muqaddimahnya berbunyi:

بَيَّنَ لأصحابه معاني القرآن كما بين لهم ألفاظه

“Beliau SAW menjelaskan kepada mereka makna-makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya.” (Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr, 35.)

Teks Ibnu Taimiyyah tersebut jika dipahami menurut ilmu sintaksis maka kata “ma’ani” berarti Jamak yang mengindikasikan “banyak makna”, sehingga jika kita pahami teks secara keseluruhan maka pemahamannya adalah “Rasulullah SAW menjelaskan kepada mereka makna-makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya.”

Klaim al-Suyūṭī dan al-Dhahabī terhadap Teks Ibnu Taimiyyah

Di sisi lain, pernyataan Ibnu Taimiyyah dipahami berbeda dengan makna teks aslinya. Hal ini disampaikan oleh ulama abad pertengahan yaitu Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī dan ulama abad modern yaitu Muḥammad Ḥusayn al-Dhahabī. Redaksi dari al-Suyūṭī :

وقد صرح ابن تيمية فيما تقدم وغيره بأن النبي صلى الله عليه وسلم بين لأصحابه تفسير جميع القرآن أو غالبه .

“Ibnu Taimiyyah secara tegas menyatakan bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat tafsir seluruh Al-Qur’an atau sebagian besarnya.” (al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, https://www.islamweb.net/ar/library/content/68/599/خاتمة, 2: 568)

Redaksi dari al-Dzahabi:

فمنهم مَن ذهب إلى القول بأن رسول الله ﷺ بيَّن لأصحابه كل معانى القرآن كما بيَّن لهم ألفاظه وعلى رأس هؤلاء ابن تيمية.

“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para sahabat seluruh makna Al-Qur’an sebagaimana beliau menjelaskan lafaz-lafaznya dan yang paling utama dalam pendapat ini adalah Ibn Taimiyah.” (Muḥammad Ḥusayn al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, 1: 39)

Dari dua teks tersebut terdapat kata “kullun” dan “jami’un” yang membuat pemahaman bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat “Nabi Muhammad SAW menjelaskan kepada mereka semua makna Al-Qur’an”.

Baca Juga: Defamiliarisasi Shahrour: Upaya Merebut Kembali Teks Alquran

Kritik Faḍl Ḥasan ‘Abbās terhadap Klaim aal-Suyūṭī dan al-Dhahabī

Melalui penelitian yang dipaparkan Fadl ‘Abbas dalam kitabnya al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī al-‘Aṣr al-Ḥadīth, 1: 134, dia meluruskan pendapat sebenarnya dari penjelasan Ibnu Taimiyyah. Berikut penjelasannya:

Menurut Fadl ‘Abbas, Ibn Taimiyah tidak pernah mengatakan bahwa Rasulullah menafsirkan seluruh al-Qur’an, dan dalam perkataannya yang telah dikutip sebelumnya juga tidak terdapat indikasi yang menunjukkan makna demikian.

Semua yang bisa dipahami dari ucapan ibnu Taimiyyah adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur’an telah benar-benar dipahami oleh para sahabat, baik secara langsung karena bahasa Al-Qur’an adalah bahasa mereka -dan ini yang lebih dominan -atau setelah mendapat penjelasan dari Nabi SAW, dan ini jumlahnya sedikit dan jarang.

Bukti terbesar bahwa inilah maksud sebenarnya dari ucapan Ibn Taimiyah adalah apa yang dia sampaikan di tempat lain dalam muqaddimahnya:

“Jika ada seseorang bertanya: ‘Apa metode terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an?’ Maka jawabannya: Sesungguhnya metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Karena apa yang masih global di satu tempat, maka telah dijelaskan pada tempat lain. Dan apa yang disingkat di satu tempat, telah dirinci di tempat yang lain. Bahkan Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata: ‘Segala hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang beliau pahami dari Al-Qur’an.’ Maka ketika itu, jika engkau tidak menemukan tafsir dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, kembalilah kepada perkataan para sahabat. Karena merekalah yang paling mengetahui (Al-Qur’an), sebab mereka menyaksikan langsung turunnya Al-Qur’an dan keadaan-keadaan yang hanya mereka alami, serta karena mereka memiliki pemahaman yang dalam dan ilmu yang benar -terlebih lagi para ulama dan tokoh-tokoh besar mereka seperti keempat khalifah yang mendapat petunjuk, dan seperti ‘Abdullah bin Mas‘ud.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Fatawā, 13:364)

Maka dari itu, perkataan Ibn Taimiyah sangat jelas bahwa apabila tafsir Al-Qur’an tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi SAW, maka rujukan berikutnya adalah perkataan para sahabat. Bahkan juga bisa merujuk kepada para tabi’in.

Bahkan, dalil-dalil yang bisa dijadikan sandaran bagi orang yang berpendapat bahwa Nabi SAW telah menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an -jika memang ada orang yang berpendapat demikian, meskipun kata Fadl ‘Abbas tidak mengira ada yang benar-benar berpendapat seperti itu -maka menurutnya dalil-dalil tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan klaim tersebut.

Misalnya, firman Allah Ta‘ala pada surah An-Nahl ayat 44::

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”

Makna yang dipahami dari ayat tersebut adalah bahwa Nabi SAW menjelaskan bagian-bagian dari Al-Qur’an yang memang membutuhkan penjelasan, bukan keseluruhan Al-Qur’an, karena para sahabat adalah orang Arab murni yang telah terpengaruh oleh keindahan Al-Qur’an bahkan sebelum mereka masuk Islam -bahkan orang-orang kafir pun turut terpengaruh olehnya.

Baca Juga: Membaca Aktivitas Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW

Ayat yang disebutkan di atas, diperjelas lagi oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ اِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُوْا فِيْهِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ۝٦٤

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) melainkan agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An-Nahl: 64)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa penjelasan Nabi SAW berkaitan dengan hal-hal yang diperselisihkan dan yang memang dibutuhkan oleh para sahabat. (Faḍl Ḥasan ‘Abbās, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn fī al-‘Aṣr al-Ḥadīth, 136.)

Alhasil, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah tidak berpendapat “Rasulullah SAW menafsirkan seluruh isi al-Qur’an” karena teks yang disampaikan menggunakan bentuk jama’ “ma’ani” karena teks ini masih ihtimal menurut persepsi penulis. Namun, setelah ada penjelasan lain sebagaimana yang dijelaskan oleh Faḍl Ḥasan ‘Abbās, maka keihtimalan tersebut menjadi jelas bahwa Ibnu Taimiyyah tidak berpendapat demikian. Allahu A’lam bi Muradihi.

Sunnah yang Terlupakan: Kapan Diam dan Bicara di Era Digital

0

Di era digital yang menuntut setiap orang untuk terus bersuara dan mengomentari, keheningan menjadi sebuah kemewahan yang langka. Di tengah hiruk pikuk informasi, sebuah sunnah yang sering terlupakan justru menawarkan kekuatan: keutamaan diam (الصمت, ash-shamt). Jauh dari anggapan sebagai sikap pasif, disiplin spiritual ini memiliki landasan kokoh dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ini bukanlah ajakan untuk membisu total, melainkan undangan untuk menemukan kembali kebijaksanaan dalam memilih kapan harus bicara dan kapan harus diam.

Baca Juga: Menjaga Lisan di Era Digital: Etika Komentar dan Kritik Menurut Alquran

Fondasi Iman dan Lisan

Landasan utama dari etika lisan dalam Islam tertuang dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Analisis Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) terhadap hadis ini menyoroti statusnya sebagai jawami’ al-kalim (kalimat ringkas namun padat makna). Logikanya sangat kuat: hadis ini memberikan dua pilihan utama bagi seorang mukmin. Pilihan pertama dan utama adalah “berkata baik” dan pilihan kedua, jika yang pertama tidak dapat dipenuhi, adalah “diam”. Tidak ada pilihan ketiga untuk perkataan yang sia-sia atau batil (Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī bi-Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hlm. 455).

Kaidah biner yang tajam ini—berkata baik atau diam—berfungsi sebagai sebuah filter spiritual yang sangat relevan. Jika diterapkan pada linimasa media sosial, berapa banyak ucapan, komentar, atau status yang akan lolos dari saringan ini? Prinsip ini secara tidak langsung mendefinisikan “kebisingan digital” sebagai segala sesuatu yang berada di luar dua pilihan tersebut: ucapan yang tidak mengandung kebaikan.

Baca Juga: Lahwul Hadits dan Krisis Standar Hidup di Era Digital

Perintah untuk ‘Berkata Baik’

Sebelum menyelami keutamaan diam, penting untuk menggarisbawahi pilihan pertama yang diperintahkan oleh hadis tersebut: “berkata baik”. Ibn Hajar menegaskan bahwa kategori “kebaikan” ini mencakup “setiap perkataan yang dituntut oleh syariat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah” (Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī bi-Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hlm. 447).

Ini adalah ranah di mana diam justru menjadi sebuah kesalahan. Termasuk dalam kategori “berkata baik” adalah menyuarakan kebenaran, memberikan kesaksian yang adil, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, serta menyuarakan kritik atau protes terhadap kezaliman secara beradab. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan hal ini dalam Surah An-Nisa’, ayat 135: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…”. Dengan demikian, sunnah diam tidak berlaku saat kebenaran perlu ditegakkan.

Rasionalitas Keutamaan Diam

Lantas, jika berkata baik begitu utama, mengapa diam seringkali disandingkan sebagai pilihan yang setara?

Al-Ghazali (w. 505 H) menawarkan sebuah rasionalitas yang mendalam. Beliau memaparkan betapa banyaknya “penyakit lisan” (afat al-lisan), yang mencakup kesalahan, kebohongan, ghibah, namimah (adu domba), riya, nifak, perkataan keji, perdebatan, dan berbicara dalam kebatilan. Semua ini, menurut Al-Ghazali, terasa ringan di lisan dan manis di hati (Abû Hâmid, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, hlm. 111).

Analisis Al-Ghazali ini seolah menjadi sebuah diagnosis dini bagi penyakit era digital, di mana “penyakit lisan” kini termutasi menjadi “penyakit jari” di papan ketik. Beliau lantas menyimpulkan dengan sebuah kaidah emas: “Maka dalam berbicara ada bahaya, dan dalam diam ada keselamatan.”

Baca Juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Menjauhi Laghw sebagai Kriteria Falah

Al-Qur’an secara spesifik memuji hamba-hamba-Nya yang berhasil menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna atau sia-sia (اللغو, al-laghw). Sifat ini bahkan disebutkan sebagai salah satu karakteristik utama orang beriman yang akan meraih falah (keberuntungan).

Allah berfirman dalam Surah Al-Mu’minun, ayat 1-3: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna…”

Ibn ‘Ashur (w. 1393 H) dalam analisisnya terhadap ayat ini, mendefinisikan laghw sebagai “perkataan yang batil” (al-kalam al-bathil). Beliau juga menyoroti hubungan indah antara khusyuk dalam salat dengan menjauhi laghw. Salat adalah bentuk perkataan terbaik (doa), maka orang yang terbiasa dengannya secara alami akan menjauhi perkataan yang batil (Ibnu ’Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hlm. 10). Dalam konteks hari ini, laghw dapat berupa perdebatan tak berujung di kolom komentar. Kemampuan untuk “berpaling” dari kebisingan digital ini, menurut Al-Qur’an, adalah sebuah pencapaian spiritual.

Akuntabilitas Ucapan dan Konsekuensi Ukhrawi

Mekanisme internal untuk mampu menahan lisan adalah kesadaran akan akuntabilitas total. Allah SWT menegaskan prinsip ini dalam Surah Qaf, ayat 18: “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”

Ibn ‘Ashur menjelaskan bahwa ayat ini mencakup setiap ucapan, sekecil apapun (Ibnu ’Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hlm. 303). Prinsip akuntabilitas ini—bahwa setiap ‘tweet’ dan ‘comment’ akan ditimbang—menjadi rem paling kuat bagi lisan dan jari. Kesadaran ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi ad-Dunya (w. 281 H), di mana Rasulullah saw. ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, beliau menjawab: “Dua rongga: mulut dan kemaluan.” (Ibn Abī ad-Dunyā, Kitāb aṣ-Ṣamt wa Ādāb al-Lisān, hlm. 44).

Ini ditutup dengan hadis panjang kepada Mu’adz bin Jabal, di mana Rasulullah saw bersabda: “…Bukankah manusia tersungkur ke dalam neraka di atas wajah mereka… tidak lain karena hasil (panen) lisan mereka?” (HR. Tirmidzi No. 2004).

Baca Juga: Penyakit Hati di Era Media Sosial: Hasad dan Terapinya

Penutup

Menghidupkan sunnah diam di era digital bukanlah sebuah ajakan untuk menjadi apatis atau membisu di hadapan kezaliman. Sebaliknya, ia adalah sebuah disiplin untuk menguasai lisan. Hadis fundamental “berkata baik atau diam” mengajarkan sebuah filter spiritual: jika sebuah ucapan tidak termasuk dalam kategori “kebaikan”—seperti menegakkan keadilan atau memberi nasihat—maka diam menjadi pilihan yang lebih bijaksana dan menyelamatkan. Ini adalah tentang mengalihkan energi dari kebisingan laghw yang tak berkesudahan, agar saat benar-benar perlu bicara, suara yang keluar adalah suara kebaikan yang bergema dan bermakna. Wallahu a’lam.