Beranda blog Halaman 3

Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

0
Nuansa Sunni dalam pemikiran al-Syaukani
Nuansa Sunni dalam pemikiran al-Syaukani

Manusia pada dasarnya bersifat dinamis, hal ini bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan keluarga, budaya, bahkan perjalanan intelektual. Tidak terkecuali ulama ternama yang hidup pada abad ke-12, yakni al-Syaukani pengarang kitab Fathul Qadir yang berada pada lingkungan masyarakat yang bermadzhab Syiah.  Meski demikian, pemikiran al-Syaukani bernuansa Sunni. Tranformasi ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan dilatarbelakangi oleh proses intelektual dan pengalaman hidup yang mendalam.

Baca juga: Analisis Akidah asy-Syaukani  dalam Karya Tafsirnya

Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat al-Syaukani yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan Syiah Zaidiyyah justru membantah doktrin Syiah melalui karyanya yang berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang menuai kritik dari sebagian ulama dan masyarakat di Yaman. Perjalanan intelektual menjadi bukti tentang keberhasilan manusia untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 211)

Biografi al-Syaukani

al-Syaukani termasuk dari golongan Syiah Zaidiyyah. Beliau lahir di kota Sana’a Yaman Utara pada hari Senin, 28 Zulkaidah 1173 H.  al-Syaukani tergolong sebagai anak yang haus akan ilmu, bahkan di usia 10 tahun, dia sudah  mulai menghafal Alquran dan mempelajarinya.

Tidak hanya berkutat pada Alquran, Imam al-Syaukani juga memiliki daya ingat yang cukup kuat. Hal itu diperlihatkan dari beberapa hafalan mukhtashar (kitab ringkasan) dari beberapa bidang keilmuan dengan cepat dan dapat memahami beberapa disiplin keilmuan. Tidak heran saat menginjak dewasa, beliau dapat menguasai berbagai macam ilmu (polymath) seperti hadis, tafsir, sejarah, fikih, ilmu logika, dan lain sebagainya. (Miftahudin, Imam al-Syaukani, sosok Syiah yang Sunni)

Selama proses belajar, al-Syaukani tidak diizinkan oleh ayahnya untuk mencari ilmu di luar kota Sana’a.  Ayahnya beranggapan bahwa kota tersebut sudah representatif sebagai tempat belajar ilmu agama.  Harapan dari sang ayah tak ialah memberi angin segar bagi al-Syaukani untuk menimba ilmu. Sehingga, beliau dikirim ke berbagai ulama Zaidiyyah di kota tersebut.

Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

al-Syaukani melarang seorang muslim untuk taklid buta dalam mengambil suatu keputusan. Hal itu diungkapkan oleh beliau karena latar belakang beliau yang memiliki pemikiran bebas terhadap segala sesuatu. Lingkungan Zaidiyyah juga berandil penting dalam membentuk kebebasan berpikir bagi Imam al-Syaukani. Di samping itu, ayah al-Syaukani memberikan fasilitas buku bacaan yang berlatar belakang pemahaman di luar Syiah serta ilmu pengetahuan alam menjadikannya sebagai seseorang yang sangat terbuka.

Syiah Zaidiyyah terkenal dengan mazhab yang begitu terbuka kepada keilmuan lain. Mazhab ini Tidak pernah menutup pintu ijtihad selama bukan ijtihad yang sudah disepakati oleh jumhur ulama. Syiah Zaidiyyah beranggapan bahwa pintu ijtihad terbuka lebar. Hal inilah yang membuat mazhab Zaidiyyah mengeluarkan cabang mazhab baru yakni Mazhab Qasimiyah, Mazhab Hadawiyah, dan Mazhab Nasiriyah.

Dalam mazhab fikih, Syiah Zaidiyyah lebih dekat dengan Mazhab Hanafiyyah dan dari segi teologis lebih dekat dengan Mu’tazilah. Al-Syaukani tidak menutup cakrawala keilmuwan dengan hanya mempelajari seputar kajian Zaidiyyah. Beliau meluaskan cakupan keilmuwan dengan membaca kitab-kitab yang kebanyakan dari ulama Sunni yakni Imam al-Syafi’i. Seperti kitab Syarh Jam’ul Jawami  karya al Din al Mahali, Fath al Bari, dan kitab yang lainnya. (Tubagus Surur, Dimensi Liberal Dalam pemikiran hukum Imam al-Syaukani, 4)

Baca juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni

Dalam perjalananan intelektualnya, al-Syaukani tidak belajar kepada satu ulama saja, melainkan aktif menimba ilmu dari berbagai pakar di zamannya yang menguasai ilmu beragam seperti ilmu fikih, linguistik, rasional, matematika, serta astronomi. Untuk memperdalam pemahamannya, sepulang dari belajar, beliau selalu membandingkan pendapat ulama terdahulu dengan penjelasan guru-gurunya. (al-Syaukani, Fath al-Qadīr al-Jāmi‟ Bayna Fann al-Riwāyah wa alDirāyah min Ilm al-Tafsīr, jilid, 1, 13)

Sikap terbuka inilah yang menjadikan al-Syaukani dapat menentukan arah pemikiran dengan tidak terdogma oleh keyakinan yang dianut keluarganya sebagai Syiah Zaidiyyah. Dalam bidang teologi, Syiah Zaidiyyah lebih cenderung kepada Mu’tazilah. al-Syaukani tidak sepemahaman dengan Mu’tazilah. Dia mengambil keyakinan teologi yang cenderung berpahaman salaf atau lebih dikenal dengan ahlu sunnah wal jama’ah.

Baca juga: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 67-68

Hal ini dibuktikan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat bernuansa pemimpin yang sejalan dengan metode ulama salaf (mengembalikan kepada Alquran dan sunah) tanpa melakukan penambahan atau perubahan sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Syiah. Contoh dalam surah al-Maidah ayat 67, kalangan Syiah mengklaim bahwa ada pengubahan atau penghapusan (tahrif ) dalam mushaf Utsmani. Secara lebih spesifik, terdapat kata yang dihilangkan dalam ayat tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya terdapat tambahan kata ‘Ali’ dalam surat al-Maidah ayat 67. Menurut sebagian ulama Syiah, bunyi ayat yang benar (menurut klaim mereka) adalah:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ فِي عَلِيٍّ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu mengenai Ali.”

Padahal, ayat yang benar dalam mushaf Utsmani yang disepakati umat Islam adalah:

يٰاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.”

Tidak berhenti sampai di sana, beliau juga sangat gigih untuk mendakwahi umat Islam kepada aqidah Sunni yakni dengan cara mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana datang dalam Alquran dan hadis tanpa takwil maupun penyimpangan yang dilakukan dengan ra’yunya. Dari penjelasan tersebut, tampak keseriusan beliau untuk menentukan pemikirannya dengan pemahaman Sunni. Seperti saat dihadapkan dengan ayat Mutasyabih (samar), beliau akan membiarkan sesuai makna zahirnya dan menyerahkan hakikat arti kepada Allah Swt. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 212)

Penafsiran Surah al-Nisa ayat 59 Sebagai Penguat Nuansa Sunni

            اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. al-Nisa 59)

Secara umum, surah al-Nisa ayat 59 menjelaskan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin, dimana ayat tersebut dijadikan ajang untuk menyebarkan pemahaman teologis oleh berbagai ulama yang ingin meletakkan pemahaman manhaj-nya. Tidak terkecuali Imam Syiah yang dikenal moderat yakni Imam al-Thabarsi dalam kitabnya Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juga memberikan doktrin tentang Imamah yang ditujukan kepada Ahlu Bait (keluarga Nabi Muhammad saw.). Bahkan, dalam tafsirnya beliau mempromosikan persepktif imam Syiah dan kemaksuman Imamiyah serta ketaatan mutlak kepadanya. (al-Thabrasi, Majma’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, jilid 3, 96)

Baca juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

Sangat berbeda dari apa yang ditawarkan oleh Imam al-Syaukani sebagai ulama yang berhaluan Syiah Zaidiyyah. Beliau menafsirkan surat al-Nisa ayat 59 dengan motif yang lebih inklusif untuk semua manusia. Ulilamri yang dimaksud dalam Surah al-Nisa ayat 59 adalah seseorang yang dapat melaksanakan perintah Allah dan Rasul serta menjauhi larangan yang telah ditetapkan. Baginya, seorang ulilamri boleh tidak ditaati jika melanggar perintah Allah dan Rasul serta mengikuti thaghut. Hal ini menjadi salah satu penguat pemahaman al-Syaukani yang lebih terdominasi oleh ulama salaf yang berhaluan Sunni. (al-Syaukani, Fathul Qadir, Jilid 2, Hal 903-904)

Ujian Nabi Ibrahim; Antara Ketaatan kepada Allah dan Kasih Sayang terhadap Keluarga

0
Kisah Ujian Nabi Ibrahim dalam Alquran
Kisah Ujian Nabi Ibrahim dalam Alquran

Dalam sejarah para nabi, kisah Nabi Ibrahim as. menonjol karena intensitas ujian-ujian yang beliau hadapi, terutama yang berkaitan dengan keluarga. Ujian Nabi Ibrahim menggambarkan dengan jelas tentang seorang hamba Allah yang tulus harus bisa menyeimbangkan ketaatan mutlak kepada Sang Pencipta dan kasih sayang terhadap keluarga yang dicintainya.

Di era modern, ketika banyak orang mengalami dilema antara melaksanakan kewajiban agama dan tanggung jawab terhadap keluarga, kisah Nabi Ibrahim as. bisa menjadi panduan yang sangat relevan. Beliau membuktikan bahwa seseorang dapat menjadi hamba Allah yang taat sekaligus anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan bertanggung jawab.

Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

Ujian Penyembelihan

Ujian Nabi Ibrahim paling dramatis dalam kehidupan Nabi Ibrahim as. adalah perintah Allah untuk menyembelih putranya. Allah swt. mengabadikan peristiwa ini dalam Alquran, surah as-Shaffat ayat 102.

al-Maraghi (23/73) selain menyiratkan tentang kegelisahan dan kegundahan Nabi Ibrahim tentang mimpi tersebut, al-Maraghi juga menafsiri ayat tersebut dengan menjelaskan respons dari Nabi Ismail ketika diberitahu oleh sang ayah mengenai mimpinya. Nabi Ismail menjawab dengan ketaatan dan kepatuhan total dengan berkata, “Wahai ayahku, engkau telah memanggil orang yang mendengar, dan meminta kepada orang yang menjawab, dan menuju kepada orang yang rela dengan ujian Allah dan takdir-Nya. Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan bagiku hanyalah tunduk dan menjalankan perintah, dan Allah-lah yang memberi pahala dan Dia adalah sebaik-baik penolong.”

Nabi Ismail menguatkan ketaatannya dengan perkataan: “Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Al-Maraghi menyebutkan bahwa Nabi Ismail benar-benar menepati janjinya, bersabar menghadapi takdir tersebut tanpa mengeluh atau resah dengan apa yang telah ditakdirkan. Oleh karena itu, Allah memujinya dalam Al-Quran sebagai “orang yang benar janjinya” (QS. Maryam [9]: 54).

Sikap Nabi Ibrahim dan Ismail dalam menghadapi ujian ini menunjukkan puncak ketaatan kepada Allah. Mereka meletakkan perintah Allah di atas segala-galanya, termasuk di atas ikatan kasih sayang antara ayah dan anak yang sangat kuat.

Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

Ujian Kepercayaan

Ujian Nabi Ibrahim yang tidak kalah beratnya adalah ketika Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di lembah Makkah yang kala itu gersang dan tidak berpenghuni.

Peristiwa ini diisyaratkan dalam doa Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Alquran, surah Ibrahim ayat 37.

Ibnu Katsir (4/441) menjelaskan bahwa doa ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah setelah menempatkan Hajar dan putranya Ismail di lembah Makkah yang tandus. Ibnu Katsir menerangkan bahwa ini adalah doa kedua Nabi Ibrahim, setelah doa pertama yang beliau mohonkan ketika pertama kali meninggalkan Hajar dan Ismail. Doa pertama dilakukan sebelum Kabah dibangun, sedangkan doa kedua ini dilakukan setelah Kabah berdiri, sehingga beliau menyebutkan “di dekat rumah Engkau yang dihormati.”

Ibnu Katsir juga menukil pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa frasa “agar mereka mendirikan salat” berkaitan dengan “rumah Engkau yang dihormati,” artinya Allah menjadikan Kabah sebagai tempat yang dihormati agar penduduknya dapat melaksanakan salat di sana. Ini menunjukkan tujuan spiritual yang tinggi di balik perintah Allah yang secara lahiriah tampak sangat berat.

Doa Nabi Ibrahim ini menunjukkan kepercayaannya yang mutlak kepada Allah. Meskipun secara logika manusia, meninggalkan istri dan anak bayi di lembah tandus tampak sebagai tindakan yang kejam, Nabi Ibrahim memahami bahwa perintah Allah selalu mengandung hikmah dan kebaikan. Beliau percaya sepenuhnya bahwa Allah akan menjaga keluarganya.

Kepercayaan ini terbukti benar ketika Allah memunculkan mata air Zamzam untuk Hajar dan Ismail, yang kemudian menjadi sumber kehidupan di lembah tersebut dan menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di sekitarnya. Lembah tandus itu akhirnya berkembang menjadi kota Makkah yang makmur dan menjadi pusat ibadah haji hingga saat ini.

Baca Juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta

Bentuk Kasih Sayang Seorang Ayah

Meskipun harus meninggalkan keluarganya demi ketaatan kepada Allah, Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Beliau terus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan keluarganya, sebagaimana diabadikan dalam Alquran, surah al-Baqarah ayat 128,

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 128).

ar-Razi dalam tafsirnya (4/52) memberikan perspektif teologis yang mendalam terkait doa ini. Beliau menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas adalah murni anugerah dan karunia dari-Nya, bukan kewajiban yang harus dipenuhi-Nya.

ar-Razi mengajukan argumen menarik, yaitu jika pemberian pahala adalah kewajiban bagi Allah, maka doa dan permohonan Nabi Ibrahim ini tidak akan ada gunanya, mirip seperti seseorang yang berdoa “Ya Allah, jadikanlah api panas dan es dingin.” Doa semacam itu tidak bermakna karena api yang panas dan es yang dingin adalah keniscayaan alami. Namun, ketika Nabi Ibrahim tetap berdoa memohon taufik dan petunjuk, ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi Allah untuk memberikan apa pun kepada hamba-Nya; semua pemberian-Nya adalah murni karunia dan rahmat.

Doa ini mencerminkan perhatian Nabi Ibrahim yang mendalam terhadap kehidupan spiritual keluarganya. Beliau tidak hanya mendoakan keselamatan fisik, tetapi juga keselamatan agama dan ketundukan kepada Allah. Hal ini mencerminkan pemahaman Nabi Ibrahim bahwa bentuk kasih sayang tertinggi seorang ayah kepada anaknya adalah mendoakan dan mengupayakan agar anaknya menjadi hamba Allah yang taat.

Penutup

Kisah Nabi Ibrahim as. khususnya di bagian ujian Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa keseimbangan antara ketaatan kepada Allah dan kasih sayang terhadap keluarga bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang menjalankan keduanya dengan cara yang harmonis. Ketaatan sejati kepada Allah mencakup juga pemenuhan tanggung jawab terhadap keluarga dengan penuh kasih sayang.

Nabi Ibrahim membuktikan bahwa ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara perintah Allah dan kecintaan terhadap keluarga, prioritas utama seorang mukmin sejati adalah ketaatan kepada Allah. Namun, ketaatan ini tidak menafikan kasih sayang dan tanggung jawab terhadap keluarga. Bahkan, ketaatan kepada Allah justru menjadi bentuk tertinggi dari kasih sayang terhadap keluarga, karena membimbing mereka menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Alhasil, ketaatan Nabi Ibrahim tidak didasarkan pada ketakutan atau paksaan, melainkan pada kerelaan dan cinta yang mendalam kepada Allah. Begitu pula, kasih sayangnya kepada keluarga tidak didasarkan pada kelekatan emosional semata, melainkan pada kesadaran bahwa kebaikan tertinggi bagi keluarga adalah menuntun mereka kepada ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.

“Artificial Intelligence” dan Tantangan atas Eksistensi Manusia sebagai Khalifah

0
artificial intelligence dan tantangan manusia sebagai khalifah
artificial intelligence dan tantangan manusia sebagai khalifah

Kemajuan di bidang teknologi dan digital yang begitu pesat telah melahirkan era baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Kecerdasan buatan atau yang biasa disebut artificial intelligence (AI) tumbuh begitu cepat dengan segudang potensi dan kegunaan yang ditawarkan. Ia mampu mempermudah pekerjaan manusia bahkan bisa menggantikan peran manusia dalam dunia kerja.

Hal inilah yang menyebabkan sebagian orang berspekulasi bahwa AI dapat menjadi bumerang yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi. Pasalnya, ada banyak sekali pekerjaan manusia yang bahkan mampu dilakukan dengan lebih baik oleh mesin AI. Akibatnya, banyak sektor pekerjaan yang memilih memanfaatkan mesin AI ketimbang menggunakan jasa manusia.

Menurut laporan dari World Economic Forum, pada tahun 2025 ini, AI dan otomatisasi diprediksi akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan. Namun di sisi lain, ia juga akan membuka 97 juta lebih lapangan kerja baru yang relevan dengan era digital.

Baca Juga: Work-Life Balance di Era Digital: Pelajaran dari Surah Al-‘Asr

Potensi dan Peran Manusia sebagai Kilafah

Jika dilihat dari aspek tersebut, sepintas kita akan menilai bahwa teknologi AI akan menjadi ancaman bagi umat manusia. Namun, sebagai khalifah Allah dimuka bumi, manusia diberi privilege berupa ketundukan alam semesta pada potensi yang dimiliki manusia.

Dalam Alquran, Allah swt. berfirman,

{وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}

Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 13

Pada ayat di atas, Allah swt, menegaskan nikmat yang telah Dia berikan kepada manusia berupa ketundukan alam semesta pada manusia. Langit dan bumi beserta isinya berjalan secara harmoni dan teratur guna menyediakan kehidupan yang layak bagi manusia. Potensi dan daya guna yang dimiliki alam semesta ini diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia, sebagaimana keterangan dari Imam al-Wahidy dalam Tafsir Al-Basith:

معنى تسخيره لنا: هو أنه هيأها لانتفاعنا بها، فهو مسخر لنا من حيث إننا ننتفع به على الوجه الذي نريد

Allah menundukkan alam untuk kita mengandung arti bahwa allah swt telah menyediakan alam semesta agar bisa dimanfaatkan oleh kita, manusia. allah menundukkan (alam) untuk kita agar kita bisa memanfaatkannya sesuai dengan keinginan kita. [Tafsir al-Basith, juz 20, hal. 137]

Ketundukan alam semesta untuk kebutuhan manusia merupakan bentuk timbal balik dari tanggung jawab sebagai khalifah yang dibebankan kepada manusia. Dalam Kitab AlBi’ah wal Hifadh Alaiha fi Mandhuril Islami, Syaikh Ali Jum’ah menyebutkan bahwa salah satu relasi manusia dengan alam adalah علاقة التسخير. Relasi ini meniscayakan peran manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab memakmurkan bumi. Kemudian sebagai timbal balik, alam menyediakan segalanya guna dimanfaatkan oleh manusia.

Dalam kaidah kebahasaan, kata ما dalam ayat di atas bermakna umum. Artinya apapun yang ada di langit dan bumi semuanya ditundukkan oleh Allah sebagai fasilitas kehidupan bagi manusia. Termasuk diantaranya adalah mesin-mesin yang diprogram dengan AI. Ia memiliki potensi untuk memudahkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk dimanfaatkan dengan baik.

Baca Juga: Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi

Perhatikan firman Allah swt. dalam surah al-Hadid ayat 25

{وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِي }

Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan bermanfaat bagi manusiaagar allah mengetahui siapa yang menolong agama dabn rasul-rasulnya walaupun allah tidak dilihatny. Sesungguhnya allah maha kuat lagi maha perkasa. Q.S. Al-Hadid [57]: 25

Besi merupakan salah satu unsur yang bermanfaat bagi umat manusia. Ia merupakan bahan baku dari berbagai jenis perabotan rumah tangga, misalnya yang dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, besi juga berpotensi menimbulkan ketakutan, misalnya ketika digunakan sebagai senjata perang atau disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Ibnu Asyur dalam Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir  memaknai بأس sebagai ketakutan atau bahaya, yakni bahaya yang ditimbulkan oleh peperangan notabene menggunakan persenjataan yang terbuat dari besi. Dari aspek ini, besi dapat menimbulkan bahaya karena berpotensi disalahgunakan untuk menyakiti manusia.

Sama halnya dengan besi, kecerdasan buatan yang saat ini sedang berkembang pesat dapat menimbulkan kerugian. Namun di waktu yang sama, ia bisa mendatangkan manfaat apabila kita bisa mengoperasikannya sesuai persinya.

Maka dari itu, ini merupakan tantangan baru bagi manusia sebagai aktor utama yang menghuni bumi untuk meng-upgrade diri agar bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga secanggih apapun AI dan otomatisasi mesin ini, ia akan tetap survive dan menjadi pionir utama dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Wallah a’lam.

Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan

0
Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan
Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan

Indonesia merupakan negara yang dicitakan menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Hal ini didukung oleh predikat negara agraris yang disematkan pada Indonesia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), produksi padi Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sekitar 54,65 juta ton pada tahun 2020. Angka ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga penghasil beras terbanyak. Tidak hanya berkutat pada beras saja, tetapi Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Maka tidak heran ada sebuah peribahasa yang berbunyi “gemah ripah loh jinawi” untuk menggambarkan kekuatan ketahanan pangan Indonesia.

Baca juga: Surat Thaha Ayat 117-119: Terpenuhinya Pangan, Sandang & Papan Sebagai Manifestasi Kesejahteraan Sosial

Ketahanan pangan, sebagaimana didefinisikan oleh FAO, adalah kondisi ketika semua orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, untuk menunjang kehidupan yang lebih sehat, aktif, dan produktif. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan aspek yang esensial dalam menjaga kemajuan serta keutuhan suatu negara. Maka, terdapat 2 aspek utama yang perlu diperhatikan, yakni ketersediaan bahan pangan yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta pengelolaan logistik yang efektif, dalam hal ini pemerintah menjadi tanggung jawab untuk mendistribusi sesuai kebutuhan masyarakat.

Edukasi tata kelola lahan pertanian (Analisis Qs Yusuf 47-49)

قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْۢبُلِهٖٓ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْنَ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْن ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ

(Yusuf) berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwasanya mimpi Raja merupakan tanda akan datangnya masa panceklik. mimpi yang menggambarkan tujuh sapi gemuk menandakan datangnya masa kesuburan yang perlu dimanfaatkan oleh raja serta masyarakatnya untuk bercocok tanam, dan tujuh sapi kurus yang memakan tujuh sapi gemuk diartikan akan datang masa panceklik yang panjang dan perlu persiapan untuk menjaga ketahanan pangan di Mesir saat itu. perawatan yang dilakukan haruslah memperhatikan keadaan cuaca, tanaman yang akan ditanam, dan pengairan untuk menjaga stabilitas tanaman. Hal ini menandakan kesungguh-sungguhan untuk mempersiapkan menghadapi masa panceklik.

Baca juga: Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Lebih jauh lagi, Nabi Yusuf diberi pengetahuan setelah masa panceklik dapat dilalui, Allah akan menurunkan hujan setelahnya. Masyarakatnya akan diberi kehidupan yang sejahtera ditandai dengan tumbuhnya buah yang dapat diperas untuk dijadikan minuman serta hewan ternak yang dapat diambil manfaatnya.(Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 6 Hal 472)

Fakhrudin al-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib memberikan penjelasan secara gamblang untuk konsisten dalam bercocok tanam dan menyimpan sebagian makanan untuk hari-hari panceklik di masa yang akan datang. Kata دَأَباً  diartikan sebagai konsistensi untuk melakukan sesuatu dalam suatu keadaan. Dilanjutkan dengan pemaparan tata cara penyimpanan biji yang baik, yakni tetap tersimpan dalam bulirnya (sunbul) agar terlindungi dari udara dan serangga. Hal itulah yang dapat menjaga kesegarannya lebih lama.(Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18 halaman 465)

Tidak hanya berkutat pada proses penyimpanan saja, tetapi ayat tersebut memberikan terobosan untuk menghemat bahan pangan sesuai kebutuhan. Distribusi proporsional memberikan ketahanan pangan pada masa panceklik kedepannya. Perencanaan jangka panjang yang dipersiapkan oleh Nabi Yusuf juga mengajarkan masyarakat modern untuk mempersiapkan diri dari perubahan iklim yang tidak menentu.

Peran Pemerintah dalam alokasi bahan pangan (Analisis QS.al-Nahl 112)

                  وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنعُو

Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya berlimpah ruah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan422) karena apa yang selalu mereka perbuat.

Fakrudin al-Razi dalam kitabnya menjelaskan berbagai pandangan para ulama tentang keumuman lafaz tersebut sebagai peringatan bagi seluruh negeri. Terdapat indikasi bahwa sebuah negeri akan memperoleh keberkahan jika mengikuti petunjuk Allah dan menjauhi segala bentuk kedurhakaan terhadap-Nya. Dengan demikian, negeri itu akan mendapatkan beberapa kenikmatan yaitu:

  1. Negeri yang aman (Keamanan)

Negeri yang memberikan keamanan dan tidak ada gangguan bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.

  1. Memberikan ketentraman (Tentram)

Al-Wahidi berkata negeri yang tentram adalah negeri yang memberikan kenyamanan bagi warganya sehingga kehidupan negeri berjalan stabil dan tenang, sehingga masyarakat yang hidup di dalamnya tidak perlu berpindah karena ketakutan atau kesempitan dalam hidup.

Baca juga: Pesan Cinta Syekh Adnan al-Afyouni: Pertahankan Kesejahteraan Indonesia !

  1. Kelimpahan Rezeki

Rezeki yang datang melimpah  bisa diartikann sebagai kecukupan ekonomi dalam negeri tersebut. Bisa berupa bahan pokok serta kesehatan yang merata. Terdapat sebuah syair hikmah yang berbunyi “ Tiga hal yang tidak ada batasnya yakni keamanan, kesehatan,  dan kecukupan. (ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 20, Hal 279)

Lebih dalam lagi Quraish Shihab dalam kitabnya al-Misbah memberikan permisalan terhadap kota Makkah yang sudah diberikan kenikmatan melimpah tetapi malah mengkufurinya. Hal itu tampak saat mereka melawan Rasulullah dengan cara membangkang dari perintah Allah Swt, sehingga kota tersebut diberi azab berupa krisis ekonomi (masa panceklik yang berkepanjangan) dan gangguang keamanan. (Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 7, hal 370)

Perlu kita ketahui bahwa ayat tersebut tidak hanya merujuk kepada kota Makkah semata, tetapi negara secara umum. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama tafsir, bahwasanya peristiwa krisis ketahanan pangan bisa saja terjadi kepada negara kita, yakni Indonesia. Penyebab utamanya dikarenakan kinerja pemerintah yang kurang optimal. Tercermin dari maraknya kasus korupsi, keamanan yang rapuh, serta ketidakmampuan dalam melakukan tugas yang telah diberikan. Akibatnya negeri ini berpotensi kehilangan stabilitas keamanan, ketentraman hidup masyarakat, serta berkurangnya kelimpahan rezeki.

Penutup

Alquran sebenarnya telah memberikan solusi untuk mengurangi berbagai masalah dunia, termasuk ketahanan pangan selama masa panceklik yang berkepanjangan. Bahkan, Alquran juga memuat sistem mitigasi untuk menjaga stabilitas negara jika diimplementasikan dengan benar. Persoalannya kini terletak pada kesanggupan manusia untuk mempelajari kisah terdahulu dengan mengambil hikmah di dalamnya dan mengaplikasikan petunjuk yang telah tertulis dalam Alquran.

Menilik Ikigai dari Perspektif Alquran

0
Menilik Ikigai dalam Perspektif Alquran
Menilik Ikigai dalam Perspektif Alquran

Ikigai berarti nilai hidup atau alasan untuk tetap hidup yang dianut oleh masyarakat Jepang. Menurut kamus terkemuka di Jepang, makna Ikigai dideskripsikan sebagai “kegembiraan dan rasa sejahtera karena hidup” juga “menyadari nilai kehidupan” (Toshimasa Sone, Naoki Nakaya et al, Sense of Life Worth Living (Ikigai) and Mortality in Japan: Ohsaki Study, 709). Ikigai dapat dideskripsikan seperti saat adanya tantangan dalam kehidupan, kita mencoba menggali makna yang lebih dalam. Selain itu, hal-hal kecil dalam hidup yang membuat kehidupan terasa bermakna, itulah yang dimaksud dengan ikigai.

Baca juga: Tafsir Maqashidi: Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati

Dengan adanya alasan atau tujuan hidup, seseorang akan merasa lebih mudah menjalani hari dan lebih minim merasakan tekanan karena mengetahui apa yang diinginkan dan mencintai apa yang dilakukan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ikigai dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dari segi mental maupun fisik (Patrick E. McKnight & Todd B. Kashdan, Purpose in Life as a System That Creates and Sustains Health and Well-Being: An Integrative, Testable Theory, 249).

Cara ikigai membuat orang merasakan perubahan positif terdengar cukup familiar dengan prinsip yang ditawarkan Alquran. Petunjuk, pedoman, dan penyembuh adalah klaim tentang Alquran, sebagaimana terdapat pada ayat berikut:

Surah al-Baqarah: 2

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Surah Fussilat: 44

قُلۡ هُوَ لِلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا هُدًى وَشِفَآءٌ​ 

“Alquran adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.”         

Dalam proses seseorang mencari Ikigai, diperlukan identifikasi terhadap beberapa hal. Sedangkan bagi seorang mukmin agar mampu memaknai tujuan penciptaannya juga diperlukan pendekatan kepada Allah Swt. serta renungan terhadap ayat-ayat Alquran yang mengingatkan diri akan tujuan hidup. Berikut pertanyaan substantif sebagai upaya untuk identifikasi dalam menemukan Ikigai serta ayat Alquran yang dapat kita renungkan:

Apa yang kamu cintai?

Surah al-Baqarah: 165

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّتَّخِذُ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ اَنۡدَادًا يُّحِبُّوۡنَهُمۡ كَحُبِّ اللّٰهِؕ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”

Dengan mencintai Allah, kita akan memiliki tujuan yang sesuai dengan perintah di dalam Alquran. Konteks surat al-Baqarah: 165 ini adalah perbedaan di antara orang kafir dengan orang mukmin dalam mencintai Tuhannya. Keberadaan rasa iman dan tauhid dalam seorang mukmin terhadap Allah Swt membuat rasa cinta terhadap hal selain Allah didasarkan pada rasa cintanya pada Allah Swt. Apabila dihadapkan kesulitan, maka dia akan tetap kembali atau setia terhadap Allah Swt. Sebaliknya, orang kafir akan berbalik dari sesuatu yang dia cintai (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1, 371-372.)

Dengan cinta maka kegiatan yang dilakukan akan terasa ringan. Dengan mencintai Allah kita dapat lebih jernih melihat sekitar sehingga memudahkan rencana dan tindakan selanjutnya.

Apa yang bisa memberimu penghasilan (profesi)?

Surah an-Najm: 39

وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ‏

“dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Seseorang akan mendapatkan hasil sesuatu dari apa yang diusahakan. Dengan melakukan amal baik maka akan mendapatkan balasan kebaikan (pahala) pula. Begitupun sebaliknya, apabila melakukan hal mudarat maka kita akan mendapatkan dosa dan balasan kelak. Dalam penafsiran Buya Hamka, dijelaskan bahwa kita mendapatkan hasil pekerjaan sekadar usaha yang telah kita lakukan. Apabila melakukannya dengan malas, maka wajar jika kita mendapat sedikit ataupun sama sekali tidak ada hasil dan dari hal tersebut, kita tentu tidak bisa menyalahkan orang lain (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, 7012.)

Segala usaha yang kita lakukan baik ataupun buruk akan diperlihatkan kelak dan diberi ganjaran yang cukup. Sebab itu perlu bagi kita untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan berusaha menghindari perbuatan tercela (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, 7015.) Karena itulah memilih profesi yang baik dan halal harus dilakukan agar ikigai sejalan dengan maksud ayat tersebut.

Apa yang kamu kuasai?

Surah Yusuf: 55

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Sangat penting bagi kita untuk menyadari dan percaya diri dengan keahlian yang kita miliki, sebagaimana sikap Nabi Yusuf dalam ayat tersebut. Quraish Shihab menyatakan bahwa seseorang boleh mengajukan suatu kedudukan selama motivasinya adalah untuk kepentingan masyarakat, juga selama seseorang memiliki kemampuan untuk posisi kedudukan tersebut (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 6, 485).

Baca juga: Tafsir Surah Annur Ayat 45: Setiap Orang Memiliki Keahlian Masing-Masing

Di sisi lain, Shihab juga menyebutkan bahwa permintaan jabatan dalam keadaan dan sifat yang dialami oleh Nabi Yusuf menunjukkan kepercayaan diri dan keberanian moral. Kemampuan untuk mengetahui kapabilitas diri dan percaya akan hal tersebut sangat berpengaruh dalam memutuskan suatu pilihan (Quentin Cavalan, Beyond Overconfidence: Exploring the Role of Confidence Sensitivity and Meta-Confidence in Career Choices, 24-25) Karenanya, kesadaran dan kepercayaan diri terhadap apa yang dikuasai akan mempermudah kita menentukan Ikigai atau tujuan dalam hidup.

Apa yang dunia butuhkan?

Surah al-Baqarah: 261

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Dari ayat tersebut, kita diberi isyarat untuk bermanfaat bagi orang lain. Jika kita memiliki kemampuan untuk membantu, jangan merasa berat. Karena sesungguhnya Allah akan melipat gandakan balasan atas bantuan yang kita berikan terhadap sesama. Ayat ini juga mengingatkan kita untuk memiliki rasa ingin hidup. Dalam penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat ini, hidup bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas. Melainkan hidup adalah gerak, rasa, tahu, kehendak, dan pilihan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 1, 567).

Dari pertanyaan untuk mengidentifikasi Ikigai, serta ayat-ayat dalam Alquran, maka kita dapat mengambil bagian yang sejalan dengan itu semua. Menjadikan visi misi dalam hidup. Sehingga diri lebih terarah dan mampu memberikan kontribusi pada lingkungan. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu a’lam.

Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

0

Alquran sebagai pedoman hidup telah mengidentifikasi dengan jelas berbagai karakter orang-orang yang lalai (ghâfilin). Kelalaian bukanlah sekadar kondisi abai biasa, melainkan keadaan spiritual yang berbahaya yang menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya. Melalui berbagai ayat, Alquran menggambarkan ciri-ciri orang lalai sebagai peringatan dan pembelajaran. Pengenalan terhadap karakter-karakter ini menjadi penting sebagai upaya preventif dalam menjalani kehidupan modern yang semakin kompleks.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Tidak Menggunakan Akal dan Hati

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf [7]: 179).

Ibnu Asyur (9/84) menjelaskan bahwa kelalaian adalah ketidaksadaran terhadap apa yang seharusnya disadari. Orang-orang lalai diumpamakan seperti binatang ternak karena tidak memanfaatkan potensi akal untuk memahami dan mengambil pelajaran.

Dalam kehidupan modern, fenomena ini tampak pada masyarakat informasi yang justru semakin tumpul daya kritisnya. Di tengah banjir informasi, banyak orang menjadi pasif secara intelektual. Mereka menelan berita tanpa filter kritis dan gagal menggunakan kemampuan berpikir untuk menggali makna dari berbagai peristiwa.

Bukankah ironis bahwa di era kemajuan ilmu pengetahuan, banyak orang justru semakin malas berpikir? Apa gunanya memiliki teknologi canggih jika manusia kehilangan kemampuan refleksi dan kontemplasi yang melahirkan ambisi menguasai?

Baca Juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan

Terikat pada Dunia dan Kesenangan Sementara

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.Yunus [10]: 7-8).

Al-Maraghi (11/80) menerangkan bahwa ayat ini menggambarkan orang-orang yang mengingkari akhirat dan merasa cukup dengan kehidupan dunia. Mereka menghabiskan seluruh energi untuk mengejar kepentingan duniawi dan merasa tenang dengan kenikmatan sementara, tanpa memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.

Era konsumerisme global telah memperkuat karakter lalai ini melalui industri yang tanpa henti menawarkan kepuasan instan. Media sosial dengan konten hedonistik, iklan yang menstimulasi hasrat konsumtif, dan ukuran kesuksesan material telah menjebak banyak orang dalam pengejaran dunia tanpa akhir.

Fatamorgana kebahagiaan duniawi terus menggoda manusia modern. Validasi eksternal dan akumulasi materi menjadi candu yang sulit dilepaskan. Ketika nafas terakhir berhembus, barulah kesadaran itu datang, ironis terlambat menyadari bahwa betapa singkat kehidupan dunia dibanding keabadian yang menanti.

Enggan Mendengar atau Menerima Kebenaran

Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main. (QS. Al-Anbiya [21]: 1-2).

Ibnu Asyur (17/11) menerangkan bahwa ayat ini mengandung peringatan keras tentang kedekatan hari perhitungan, sementara manusia tetap dalam kelalaian. Ketika peringatan datang, mereka mendengarkan sambil bermain-main, tanpa keseriusan dan penghayatan.

Keengganan menerima kebenaran ini termanifestasi dalam fenomena post-truth, di mana fakta objektif sering dikesampingkan demi narasi yang lebih menarik. Polarisasi pendapat yang diperparah algoritma media sosial membuat banyak orang terjebak dalam ruang gema yang hanya meneguhkan pandangan mereka sendiri.

Manusia modern semakin pandai membangun benteng ego yang sulit ditembus kebenaran. Algoritma digital yang dirancang untuk kenyamanan malah menjadi penjara tak kasat mata, mengurung penggunanya dalam isolasi intelektual yang nyaman namun mematikan. Kebenaran pun menjadi relatif, bergantung pada preferensi pribadi alih-alih realitas objektif.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati

Berpaling dari Zikir dan Peringatan Allah

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Menurut Al-Maraghi (15/143) ayat ini melarang untuk menaati orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah karena buruknya kesiapan mereka. Mereka terjebak dalam pengejaran nafsu berlebihan hingga hati mereka tertutup oleh kefasikan dan kemaksiatan.

Dalam kehidupan serba cepat dan penuh distraksi, zikir menjadi tantangan spiritual utama. Notifikasi yang terus berbunyi, jadwal padat, dan hiburan melimpah telah menggerus waktu untuk refleksi spiritual. Banyak yang lebih sering memeriksa ponsel daripada merenung tentang makna hidup.

Kehampaan spiritual menjadi epidemi tersembunyi di balik gemerlap modernitas. Kesibukan tanpa henti menjadi pelarian sempurna dari kesunyian yang justru dibutuhkan jiwa. Mungkin inilah yang menjelaskan paradoks zaman, semakin maju teknologi komunikasi, semakin dalam rasa kesepian yang dirasakan manusia.

Penutup

Analisis terhadap karakter orang-orang lalai dalam Alquran memberikan cermin refleksi bagi masyarakat modern. Keempat karakter tersebut: tidak menggunakan akal dan hati, terikat pada dunia, enggan menerima kebenaran, dan berpaling dari zikir. ternyata semakin menguat di era kontemporer. Tantangan besar manusia modern adalah mengatasi berbagai bentuk kelalaian ini di tengah kompleksitas hidup yang semakin memudahkan untuk lalai. Kesadaran akan bahaya kelalaian dan upaya sungguh-sungguh untuk menghindarinya menjadi kunci utama dalam membangun kehidupan yang bermakna dan seimbang di tengah arus modernitas yang “seringkali” menyesatkan.

Wallahu ‘alam

Perdebatan tentang Burung Ababil dalam Surah Al-Fil

0
Ilustrasi Burung Ababil
Ilustrasi Burung Ababil

Kisah burung Ababil merupakan salah satu dari sekian banyak kisah yang tercatat dalam Alquran. Burung-burung ini digambarkan datang dari langit membawa batu-batu kecil untuk menghancurkan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abraha yang hendak menyerang Ka’bah. Namun, dibalik kisah itu para peneliti mulai mempertanyakan tentang kebenaran burung Ababil yang menyerang pasukan Abraha. Karena tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa Abraha dan pasukannya mati karena serangan batu yang dibawa oleh burung Ababil.

Sebuah penelitian medis dan sejarah dalam jurnal The Year of the Elephant mengungkap bahwa mungkin saja yang memukul mundur pasukan Abraha itu bukan burung Ababil, melainkan wabah penyakit mematikan, Dalam artikel ini, penulis akan mengulas beberapa pandangan mufassir mengenai kisah burung Ababil dalam surah Al-Fil ayat tiga, dan pandangan peneliti barat yang ditulis oleh John S Marr, Elias Hubbard, dan John T Cathey dalam jurnal yang berjudul The Year of the Elephant.

Baca Juga: Kisah Nabi Yusuf: Kisah yang Tidak Diulang

QS Al-Fil (105): 3

وَاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَ.

“dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.”

Ibnu Katsir menggambarkan burung ababil seperti burung alap-alap, yang masing-masing dari burung itu membawa tiga batu. Satu batu di paruhnya dan dua batu lainnya dikedua kakinya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30, hal. 545) Sedangkan dalam tafsir At Tahrir Wat Tanwir, Ibnu Asyur mengambil dari beberapa riwayat, salah satunya yakni riwayat dari Aisyah ra. yang menyebutkan bahwa burung ababil itu paling mirip dengan burung wallet, dan ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa burung ababil mirip dengan kelelawar. Selain itu Ibnu Asyur juga menukil pendapat para ulama seperti Ibnu Abbas dan Ikrimah, yang menyatakan bahwa luka akibat batu yang dibawa oleh burung ababil mirip dengan penyakit cacar. Bahkan disebutkan bahwa sebelum peristiwa itu, masyarakat Mekkah belum mengenal penyakit cacar. (At Tahrir Wat Tanwir, Juz 30, hal. 549-551)

Sementara itu, dalam Jurnal yang berjudul The Year of the Elephant, Jhon S Marr dkk menggambarkan burung ababil sebagai burung layang-layang lumbung (Hirundo rustica). Burung ini memiliki ciri-ciri paruh kecil, berbulu gelap dengan tenggorokan berwarna jingga gelap, serta memiliki sayap panjang dan runcing. Burung layang-layang lumbung biasa bermigrasi dengan kelompok yang besar, bahkan bisa mencapai lebih dari 100.000 ekor, dan sering terlihat di sekitar grombolan hewan ternak (kambing, domba, sapi, unta) karena tertarik pada lalat yang berkerumun di sekitar kotoran ternak. Burung-burung ini juga memiliki kebiasaan mengumpulkan tanah liat dengan paruh mereka untuk membuat sarang, dan kebiasaan itulah yang dianggap selaras dengan kisah burung ababil dalam surah Al-Fil tentang burung-burung yang “menjatuhkan batu dari tanah liat keras” ke arah pasukan Abraha. Secara geografis, burung ini juga biasa bermigrasi melewati Jazirah Arab, sehingga kehadirannya di sekitar Mekkah pada saat itu dianggap masuk akal.

Baca Juga: Hawariyun: Para Pengikut Setia Nabi Isa

Meskipun Jhon S Marr dkk menyebutkan ciri-ciri burung ababil dengan cukup jelas, mereka berpendapat bahwa kekalahan pasukan Abraha bukan disebabkan oleh serangan burung Ababil melainkan karena penyakit cacar atau campak. Ia menganalisis deskripsi historis mengenai pasukan yang tiba-tiba jatuh sakit dan mengalami luka-luka yang mirip dengan gejala cacar atau campak, seperti munculnya bintil-bintil di kulit, tubuh yang membusuk, kulit bernanah dan kematian masal secara mendadak dikarenakan cepatnya penyebaran wabah cacar atau campak pada saat itu. Ia juga beranggapan bahwa arti dari “batu-batu kecil” dalam surah Al-Fil merupakan kiasan untuk lesi (benjolan) campak atau cacar. Pendapat ini juga selaras dengan pendapat Ibnu Abbas dan Ikrimah dalam tafsir Ibnu Asyur yang mengatakan bahwa pasukan Abraha meninggal disebabkan oleh penyakit cacar.

Namun, perbedaan dalam penafsiran dan penelitian tersebut ialah cacar yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dan Ikrimah disebabkan oleh batu yang dibawa oleh burung ababil, sedangkan cacar yang dimaksud oleh Jhon S Marr dkk disebabkan oleh penyebaran virus cacar unta (camel pox). Terlepas dari perbedaan penafsiran para Ulama dan Ilmuan diatas, kisah ini tetap menjadi pengigat bahwa kekuasaan Allah bisa datang dengan cara yang tak terduga. Wallahu a’lam

Mengungkap Manfaat Rasm Utsmani dalam Pelestarian Alquran

0

Rasm utsmani merupakan salah satu pembahasan dalam kajian ilmu Alquran. Selain definisi, hukum rasm utsmani antara tauqifi dan ijtihadi, dan sejarahnya, ada pembahasan tentang manfaat yang perlu diketahui dari mempelajari rasm utsmani yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Beberapa ulama membahas tentang ilmu ini dalam kitab-kitab mereka, di antara ulama yang membahasnya adalah ‘Abd al-‘Adzīm al-Zurqānī dalam kitab Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Muhammad Fārūq al-Nabhān dalam kitab al-Madkhal ilā ‘Ulūm al-Qur’ān, ‘Abd al-Wahhāb Ghuzlān dalam kitab al-Bayān fi Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān dan Abu Syahbah dalam kitab al-Madkhal li Dirāsah ‘Ulūm al-Qur’ān.

Baca Juga: Kritik Sumber Ilmu Rasm Utsmaniy

Rasm Utsmani memiliki banyak manfaat, di antaranya:

Pertama, sambungan sanad dengan Alquran, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membaca atau meriwayatkannya kecuali dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Maka, seseorang yang hanya mengetahui kaidah bahasa Arab, tetapi tidak belajar Alquran dari orang lain yang memiliki sanad, tidak akan mengetahui cara membacanya dengan benar.

Hal itu karena sebagian kata dalam Alquran ditulis tidak sesuai dengan cara pengucapannya. Misalnya, beberapa awal surah ditulis dengan huruf-huruf yang tidak menunjukkan pengucapannya secara langsung. Maka, katakanlah -demi Allah- bagaimana seorang pembaca bisa tahu cara membaca “حم عسق”, “طسم”, “المص” dan yang lainnya? Orang yang hanya mengetahui bahasa Arab dan cara mengeja huruf, namun tidak belajar cara membaca dan melafalkan dari guru atau qari’, bisa jadi akan membacanya dengan tidak benar.

Sebab, pengucapan yang benar sangat tergantung pada talaqqi (belajar langsung) dan sima’ (mendengarkan) dari para qari’ dan huffaz (penghafal Alquran) yang telah mendalaminya. Sambungan sanad ini adalah salah satu kekhususan Alquran dibandingkan dengan kitab-kitab samawi lainnya. Dengan itulah Alquran tetap terjaga, sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ ۝٩

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-Hijr: 09)

Tidak diragukan lagi bahwa rasm khusus (yaitu Rasm Utsmani) memiliki pengaruh besar dalam menjaga sanad. Sebab, jika seluruh kata dalam Alquran ditulis sepenuhnya sesuai dengan pengucapannya, maka banyak orang akan berani membacanya tanpa sanad dan tanpa riwayat dari guru. Dengan demikian, mereka akan kehilangan ilmu mengenai berbagai cara membaca seperti madtakhfifimalahizhharidghamikhfa’, dan lainnya yang berkaitan dengan cara-cara membaca (talaqqi dan qira’at).

Kedua, petunjuk terhadap asal-usul gerakan harakat, seperti penulisan kasrah dengan huruf ya’, dan dhammah dengan huruf waw, sebagaimana dalam contoh: “وآت ذا القربى” dan “سأوريكم” Atau sebagai petunjuk terhadap asal-usul huruf, seperti penulisan kata shalat (الصلاة), zakat (الزكاة), hayat (الحياة), dan riba (الربا) dengan huruf waw sebagai ganti dari huruf alif.

Ketiga, petunjuk terhadap sebagian bahasa Arab yang fasih, seperti penulisan ha’ ta’nits (هـ) menjadi ta’ (ت) dalam bahasa suku Thayyi’, dan seperti penghilangan akhir fi’il mudhari’ yang mu’tal (berhuruf akhir huruf illat) tanpa adanya huruf jazm, seperti dalam ucapan:يوم يأتِ  – dalam bahasa suku Hudzail.

Baca Juga: Rasm ‘Utsmaniy antara Harus Dipertahankan atau Disesuaikan

Keempat, petunjuk terhadap makna yang tersembunyi dan halus, seperti penambahan huruf ya’ dalam firman Allah: “والسماء بنيناها بأييد” – dengan dua ya’ -sebagai isyarat terhadap kekuasaan Allah Swt., yang dengan kekuatan-Nya membangun langit, dan bahwa kekuatan itu tidak bisa disamai oleh kekuatan apa pun. Hal ini sesuai dengan kaidah terkenal:

زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى

Penambahan bentuk menunjukkan penambahan makna.

Begitu pula penambahan huruf alif dalam: “وجاىء بالنبيين” (Az-Zumar) dan “وجايء يومئذ بجهنم” (Al-Fajr) Penambahan ini berfungsi untuk memberikan efek kehebatan, pengagungan, ancaman, dan peringatan yang menggetarkan.

Kelima, memberikan makna yang berbeda-beda dengan cara yang tidak tersembunyi, seperti dalam memotong kata ‘أم’ pada firman Allah:

اَمْ مَّنْ يَّكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلًا ۝١٠٩

Atau, siapakah yang menjadi pelindung mereka (dari azab Allah)? (QS. An-Nisa: 80), dan menyambungkannya dalam firman Allah:

اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ۝٢٢

Ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (al-Mulk: 22)

Pemotongan ‘أم’ yang pertama dalam penulisan menunjukkan bahwa itu adalah ‘أم’ yang terputus (منقطعة) yang berarti “bahkan”. Sedangkan penyambungan ‘أم’ yang kedua menunjukkan bahwa ia bukanlah ‘أم’ yang terputus, melainkan ‘أم’ yang bersambung (متصلة). (Abu Syabhah, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, 358.)

Baca Juga: Problematika Kesalahan Penyalinan dalam Rasm ‘Utsmaniy

Keenam, mencakupnya (rasm) dalam beberapa tempat untuk lebih dari satu qira’ah, contohnya adalah penulisan kata فكهين  dari firman Allah SWT:

وَاِذَا انْقَلَبُوْٓا اِلٰٓى اَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَۖ ۝٣١

Dan apabila mereka kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira, dengan penghapusan huruf alif. Maka qira’ah yang menggunakan alif dianggap bahwa huruf tersebut dihapus dalam penulisan (rasm) karena ia termasuk jamak tashih (bentuk jamak yang benar). Maka penulisan kata ini tanpa alif menjadikannya sesuai dengan dua qira’ah sekaligus. (‘Abd al-Wahhāb al-Ghuzlān, al-Bayān fī Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān, 261.)

Alhasil, ilmu ini sangat penting untuk dipelajari, melihat banyak manfaat yang dapat diambil dan berpengaruh pada beberapa aspek dalam kajian ilmu Alquran, seperti penulisan dengan satu rasm yang bisa dibaca dengan dua qira’ah, penambahan dan pengurangan huruf yang mempengaruhi terhadap makna ayat yang membuat ayat-ayat tersebut indah dan terkesan dalam hati.

Masih ada banyak manfaat lainnya yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu Alquran secara umum dan dalam kitab rasm Utsmani secara khusus. karena setiap orang yang meneliti rasm Utsmani berusaha untuk mengungkap satu sisi dari sisi-sisi manfaat yang terkandung di dalamnya. Allahu a’lam.

Tabir Kontroversi: Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran

0
Tabir Kontroversi: Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran
Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran (sumber: Unsplash).

Alunan nada dan irama telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia. Dari lantunan pengantar tidur hingga dentuman pesta ria, musik hadir mewarnai berbagai aspek kehidupan. Namun, ketika kita menelisik pandangan Islam, khususnya yang bersumber dari kitab suci Alquran, tentang seni suara ini, sebuah diskusi panjang dan terkadang penuh perbedaan pendapat mencuat.

Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana sebenarnya Alquran memandang musik? Apakah ada ayat-ayat yang secara eksplisit melarang atau membolehkannya? Artikel ini mengajak Anda untuk menyingkap tabir kontroversi seputar hukum musik dalam bingkai tafsir Alquran.

Kita akan menyelami berbagai pandangan yang berkembang di kalangan ulama, menelusuri ayat-ayat yang seringkali menjadi landasan argumentasi, dan mencoba memahami secara lebih mendalam bagaimana seni yang universal ini diposisikan dalam ajaran Islam.

Menelusuri Jejak Ayat: Landasan Interpretasi Larangan Musik dalam Alquran

Ketika mencari jawaban atas pertanyaan tentang status musik dalam Islam melalui Alquran, kita akan mendapati bahwa tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit dan tegas mengharamkan atau menghalalkannya dengan menyebut kata “musik” secara langsung. Justru, perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama bertumpu pada interpretasi (tafsir) terhadap beberapa ayat yang dianggap memiliki korelasi dengan topik ini.

Berikut merupakan ayat yang sering menjadi sorotan.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (Q.S. Luqman: 6).

Baca juga: Pandangan Imam al-Ghazali Mengenai Musik dan Nyanyian

Lafadz lahwul hadith (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) inilah yang menjadi perbedaan pendapat dalam pemaknaannya dan meyebabkan banyaknya terjadi perdebatan. Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lahwul hadith (perkataan tidak berguna) adalah nyanyian.

Mereka berpendapat bahwa hal-hal tersebut dapat melalaikan seseorang dari mengingat Allah dan cenderung mengarah pada perbuatan yang sia-sia, bahkan dosa. Penafsiran ini kemudian menjadi salah satu landasan utama bagi pandangan yang mengharamkan sebagian atau seluruh jenis musik.

Terdapat juga penafsiran lain dari lafadz “lahwul hadith” ini di kalangan ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dimaksud bukanlah semata-mata nyanyian, melainkan segala bentuk perkataan yang batil, dusta, dan tidak bermanfaat.

Memahami Dalil-dalil yang Mendasari Pandangan Permisif Terhadap Musik

Ayat Alquran yang dijadikan landasan dalil oleh orang-orang yang memperbolehkan musik dan lagu adalah dalam Q.S. Al-A’raf: 157 berikut.

وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ…

… Dan (Nabi) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…

Ulama menafsirkan kata “ṭayyibat” sebagai segala sesuatu yang baik, menyenangkan, dan tidak mengandung unsur keburukan atau kemudaratan. Jika musik dan lagu tidak mengandung lirik yang buruk, tidak melalaikan dari kewajiban agama, dan tidak mendorong pada perbuatan maksiat, maka ia termasuk dalam kategori “ṭayyibat”.

Penggunaan Q.S. Al-A’raf: 157 ini menunjukkan adanya upaya dari sebagian ulama untuk mencari landasan pembolehan musik dalam prinsip-prinsip umum Alquran yang menghalalkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat.

Baca juga: Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

Terdapat juga hadis sahih yang menerangkan bahwa bolehnya mendengar dan menyanyikan lagu. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang nyanyian di rumah Aisyah r.a., dan Rasulullah saw. berada di situ.

Berikut kisahnya. Suatu hari Abu Bakar r.a. masuk ke rumah Rasul. Di sana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah terhalang oleh tirainya. Abu Bakar melarang keduanya, sehingga rasulullah membuka tirai sambil bersabda:

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ

“Wahai Abu Bakar, biarkanlah mereka (bernyanyi), karena hari ini adalah hari Id (hari raya).

Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah ini menjadi salah satu pilar penting bagi pandangan yang membolehkan musik dan nyanyian dengan batasan-batasan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Ia menunjukkan adanya fleksibilitas dalam Islam terkait hiburan yang sehat dan tidak melanggar nilai-nilai agama.

Kesimpulan

Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha pada hari raya menjadi dalil kuat bagi pandangan yang membolehkan, menunjukkan bahwa dalam konteks yang tepat dan dengan batasan tertentu, mendengarkan dan menyanyikan lagu diperbolehkan. Namun, para ulama yang membolehkan tetap memberikan syarat-syarat yang ketat, seperti lirik yang baik, tidak melalaikan kewajiban, tidak bercampur dengan kemaksiatan, dan niat yang baik.

Dengan demikian, isu hukum musik adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Kedua pandangan memiliki argumentasi dan dalil masing-masing. Umat Islam dianjurkan untuk menghormati perbedaan ini, memahami dasar dari setiap pandangan, dan memilih pendapat yang diyakini kebenarannya berdasarkan ilmu dan pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil syariat.

Al-Dakhil dalam Penafsiran Aliran Babiyah

0

Munculnya aliran Babiyah dalam perkembangan ajaran Islam menjadi sebuah sejarah yang cukup fenomenal. Aliran tersebut berkembang di Persia pada pertengahan abad ke-19, yang ditandai dengan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan. Pendiri aliran ini adalah Sayyid Ali Muhammad Syirazi atau dikenal dengan al-Bab.

Sekte Babiyah merupakan pecahan dari sekte Syiah Itsna Asy’ariyah, yang kemudian berkembang menjadi sekte Bahaiyah dengan mewarisi ajaran dan keyakinan yang dipopulerkan sebelumnya oleh sekte Babiyah. Pokok ajaran aliran Babiyah sangatlah menyimpang dari ajaran Islam, salah satunya adalah dalam konsep ketuhanan, yang mana al-Syirazi mengklaim bahwa dirinya adalah inkarnasi Tuhan.  (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 30-31)

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Potret Kitab Tafsir Aliran Babiyah

Salah satu kitab milik mereka yang terkenal adalah Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, jika ditelaah kitab ini memiliki sistematika dan struktur yang unik dalam penyusunannya. Setiap bab atau surah dalam kitab ini diatur dengan rapi dan dijelaskan secara mendalam dengan gaya penyampaian yang mirip dengan Alquran.

Kitab ini secara khusus menafsirkan surah Yusuf yang terdiri dari 111 ayat (dalam kitab disebutkan surah), maksud surah di sini adalah nama dari setiap ayat pada surah Yusuf yang berjumlah 111, dan setiap ayat memiliki nama masing-masing dengan menggunakan diksi surah, seperti ayat pertama dinamakan surah ulama ayat kedua dinamakan surah al-Iman dan seterusnya. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.1)

Dalam penulisan dan penjelasan ayat, kitab ini mengikuti gaya bahasa dan struktur seperti Alquran, termasuk pemilihan kata yang tinggi nilai sastranya dan pemanfaatan ungkapan-ungkapan yang penuh makna. Kitab ini menggunakan bahasa Arab yang tinggi dan mengikuti pola penyusunan ayat yang terinspirasi dari bahasa wahyu, yang bertujuan agar pesan-pesan yang disampaikan dapat meresap mendalam pada pembaca atau pendengarnya. Setiap ayat ditulis dengan pendekatan yang berfungsi baik sebagai pesan spiritual maupun sebagai simbol-simbol tertentu dalam mistisisme Islam.

Baca Juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

Contoh Penafsiran Ayat dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf

Penafsiran Q.S. Yusuf ayat 4 dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, sebagai berikut:

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”.

Ayat ini membahas tentang mimpi Nabi Yusuf yang melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang bersujud kepadanya. Menurut aliran Babiyah, mimpi ini dihubungkan dengan peristiwa besar, yaitu kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad. Dalam pandangannya, Yusuf yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Husain, matahari diibaratkan sebagai Fatimah, bulan sebagai Nabi Muhammad, dan bintang-bintang sebagai para imam yang merupakan keturunan Nabi. Mereka semua bersujud kepada Husain sebagai simbol kepatuhan dan kebenaran. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.16-17)

Al-Dakhil Dalam Penafsiran Q.S Yusuf ayat 4

Ad-dakhil merupakan istilah dalam ilmu tafsir yang merujuk pada segala bentuk unsur asing atau hal-hal yang disusupkan ke dalam tafsir Alquran, baik berupa ideologi, keyakinan, maupun pemikiran yang tidak bersumber dari metode penafsiran yang sahih. Unsur ini biasanya muncul ketika penafsiran dipaksakan agar sesuai dengan kepentingan tertentu, baik bersifat politik, sektarian, ataupun ajaran kelompok tertentu.

Baca Juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Dalam konteks penafsiran Qayyum al-Asma’, terlihat jelas bagaimana ayat-ayat Alquran ditakwilkan secara bathiniyah, sehingga penafsirannya sesuai dengan ajaran mereka. (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 32), seperti memaknai Nabi Yusuf sebagai Husain bin Ali, matahari sebagai Fatimah, dan bulan sebagai Nabi Muhammad.

Penakwilan semacam ini tidak hanya keluar dari makna lahiriah teks, namun juga bertujuan untuk memperkuat doktrin internal mereka. Penafsiran seperti ini termasuk dalam kategori ad-dakhil fi al-tafsir, karena menyisipkan makna yang tidak berasal dari dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dengan demikian, keberadaan unsur ad-dakhil dalam penafsiran aliran Babiyah menjadi pelajaran penting agar penafsiran Alquran senantiasa dilakukan dengan kehati-hatian dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini demi menjaga kemurnian makna Alquran dari penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dapat menyesatkan umat.