Manusia pada dasarnya bersifat dinamis, hal ini bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan keluarga, budaya, bahkan perjalanan intelektual. Tidak terkecuali ulama ternama yang hidup pada abad ke-12, yakni al-Syaukani pengarang kitab Fathul Qadir yang berada pada lingkungan masyarakat yang bermadzhab Syiah. Meski demikian, pemikiran al-Syaukani bernuansa Sunni. Tranformasi ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan dilatarbelakangi oleh proses intelektual dan pengalaman hidup yang mendalam.
Baca juga: Analisis Akidah asy-Syaukani dalam Karya Tafsirnya
Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat al-Syaukani yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan Syiah Zaidiyyah justru membantah doktrin Syiah melalui karyanya yang berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang menuai kritik dari sebagian ulama dan masyarakat di Yaman. Perjalanan intelektual menjadi bukti tentang keberhasilan manusia untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 211)
Biografi al-Syaukani
al-Syaukani termasuk dari golongan Syiah Zaidiyyah. Beliau lahir di kota Sana’a Yaman Utara pada hari Senin, 28 Zulkaidah 1173 H. al-Syaukani tergolong sebagai anak yang haus akan ilmu, bahkan di usia 10 tahun, dia sudah mulai menghafal Alquran dan mempelajarinya.
Tidak hanya berkutat pada Alquran, Imam al-Syaukani juga memiliki daya ingat yang cukup kuat. Hal itu diperlihatkan dari beberapa hafalan mukhtashar (kitab ringkasan) dari beberapa bidang keilmuan dengan cepat dan dapat memahami beberapa disiplin keilmuan. Tidak heran saat menginjak dewasa, beliau dapat menguasai berbagai macam ilmu (polymath) seperti hadis, tafsir, sejarah, fikih, ilmu logika, dan lain sebagainya. (Miftahudin, Imam al-Syaukani, sosok Syiah yang Sunni)
Selama proses belajar, al-Syaukani tidak diizinkan oleh ayahnya untuk mencari ilmu di luar kota Sana’a. Ayahnya beranggapan bahwa kota tersebut sudah representatif sebagai tempat belajar ilmu agama. Harapan dari sang ayah tak ialah memberi angin segar bagi al-Syaukani untuk menimba ilmu. Sehingga, beliau dikirim ke berbagai ulama Zaidiyyah di kota tersebut.
Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani
al-Syaukani melarang seorang muslim untuk taklid buta dalam mengambil suatu keputusan. Hal itu diungkapkan oleh beliau karena latar belakang beliau yang memiliki pemikiran bebas terhadap segala sesuatu. Lingkungan Zaidiyyah juga berandil penting dalam membentuk kebebasan berpikir bagi Imam al-Syaukani. Di samping itu, ayah al-Syaukani memberikan fasilitas buku bacaan yang berlatar belakang pemahaman di luar Syiah serta ilmu pengetahuan alam menjadikannya sebagai seseorang yang sangat terbuka.
Syiah Zaidiyyah terkenal dengan mazhab yang begitu terbuka kepada keilmuan lain. Mazhab ini Tidak pernah menutup pintu ijtihad selama bukan ijtihad yang sudah disepakati oleh jumhur ulama. Syiah Zaidiyyah beranggapan bahwa pintu ijtihad terbuka lebar. Hal inilah yang membuat mazhab Zaidiyyah mengeluarkan cabang mazhab baru yakni Mazhab Qasimiyah, Mazhab Hadawiyah, dan Mazhab Nasiriyah.
Dalam mazhab fikih, Syiah Zaidiyyah lebih dekat dengan Mazhab Hanafiyyah dan dari segi teologis lebih dekat dengan Mu’tazilah. Al-Syaukani tidak menutup cakrawala keilmuwan dengan hanya mempelajari seputar kajian Zaidiyyah. Beliau meluaskan cakupan keilmuwan dengan membaca kitab-kitab yang kebanyakan dari ulama Sunni yakni Imam al-Syafi’i. Seperti kitab Syarh Jam’ul Jawami karya al Din al Mahali, Fath al Bari, dan kitab yang lainnya. (Tubagus Surur, Dimensi Liberal Dalam pemikiran hukum Imam al-Syaukani, 4)
Baca juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni
Dalam perjalananan intelektualnya, al-Syaukani tidak belajar kepada satu ulama saja, melainkan aktif menimba ilmu dari berbagai pakar di zamannya yang menguasai ilmu beragam seperti ilmu fikih, linguistik, rasional, matematika, serta astronomi. Untuk memperdalam pemahamannya, sepulang dari belajar, beliau selalu membandingkan pendapat ulama terdahulu dengan penjelasan guru-gurunya. (al-Syaukani, Fath al-Qadīr al-Jāmi‟ Bayna Fann al-Riwāyah wa alDirāyah min Ilm al-Tafsīr, jilid, 1, 13)
Sikap terbuka inilah yang menjadikan al-Syaukani dapat menentukan arah pemikiran dengan tidak terdogma oleh keyakinan yang dianut keluarganya sebagai Syiah Zaidiyyah. Dalam bidang teologi, Syiah Zaidiyyah lebih cenderung kepada Mu’tazilah. al-Syaukani tidak sepemahaman dengan Mu’tazilah. Dia mengambil keyakinan teologi yang cenderung berpahaman salaf atau lebih dikenal dengan ahlu sunnah wal jama’ah.
Baca juga: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 67-68
Hal ini dibuktikan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat bernuansa pemimpin yang sejalan dengan metode ulama salaf (mengembalikan kepada Alquran dan sunah) tanpa melakukan penambahan atau perubahan sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Syiah. Contoh dalam surah al-Maidah ayat 67, kalangan Syiah mengklaim bahwa ada pengubahan atau penghapusan (tahrif ) dalam mushaf Utsmani. Secara lebih spesifik, terdapat kata yang dihilangkan dalam ayat tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya terdapat tambahan kata ‘Ali’ dalam surat al-Maidah ayat 67. Menurut sebagian ulama Syiah, bunyi ayat yang benar (menurut klaim mereka) adalah:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ فِي عَلِيٍّ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu mengenai Ali.”
Padahal, ayat yang benar dalam mushaf Utsmani yang disepakati umat Islam adalah:
يٰاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.”
Tidak berhenti sampai di sana, beliau juga sangat gigih untuk mendakwahi umat Islam kepada aqidah Sunni yakni dengan cara mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana datang dalam Alquran dan hadis tanpa takwil maupun penyimpangan yang dilakukan dengan ra’yunya. Dari penjelasan tersebut, tampak keseriusan beliau untuk menentukan pemikirannya dengan pemahaman Sunni. Seperti saat dihadapkan dengan ayat Mutasyabih (samar), beliau akan membiarkan sesuai makna zahirnya dan menyerahkan hakikat arti kepada Allah Swt. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 212)
Penafsiran Surah al-Nisa ayat 59 Sebagai Penguat Nuansa Sunni
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. al-Nisa 59)
Secara umum, surah al-Nisa ayat 59 menjelaskan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin, dimana ayat tersebut dijadikan ajang untuk menyebarkan pemahaman teologis oleh berbagai ulama yang ingin meletakkan pemahaman manhaj-nya. Tidak terkecuali Imam Syiah yang dikenal moderat yakni Imam al-Thabarsi dalam kitabnya Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juga memberikan doktrin tentang Imamah yang ditujukan kepada Ahlu Bait (keluarga Nabi Muhammad saw.). Bahkan, dalam tafsirnya beliau mempromosikan persepktif imam Syiah dan kemaksuman Imamiyah serta ketaatan mutlak kepadanya. (al-Thabrasi, Majma’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, jilid 3, 96)
Baca juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri
Sangat berbeda dari apa yang ditawarkan oleh Imam al-Syaukani sebagai ulama yang berhaluan Syiah Zaidiyyah. Beliau menafsirkan surat al-Nisa ayat 59 dengan motif yang lebih inklusif untuk semua manusia. Ulilamri yang dimaksud dalam Surah al-Nisa ayat 59 adalah seseorang yang dapat melaksanakan perintah Allah dan Rasul serta menjauhi larangan yang telah ditetapkan. Baginya, seorang ulilamri boleh tidak ditaati jika melanggar perintah Allah dan Rasul serta mengikuti thaghut. Hal ini menjadi salah satu penguat pemahaman al-Syaukani yang lebih terdominasi oleh ulama salaf yang berhaluan Sunni. (al-Syaukani, Fathul Qadir, Jilid 2, Hal 903-904)