Beranda blog Halaman 3

Batasan Kajian Living Qur’an: Renungan Buku The Walking Qur’an

0
1.90.3-TBCEN4KKHI2PP6YETW4T73HAOM.0.1-3

Sampai mana kajian Living Qur’an mencapai batasnya? Pertanyaan itu muncul dalam salah satu diskusi ilmiah. Dalam satu momen diskusi itu, Lukman, salah satu peserta diskusi yang juga merupakan Dosen Tafsir UIN Sunan Kalijaga, berujar bahwa ragam kajian tafsir pada akhirnya akan mencapai batasnya bila para pembaca rajin mengembangkan kajian tersebut.

Pendapat itu didasarkan atas argumen bahwa tulisan Jajang ini dari segi metodologi penelitian stuck pada kajian. Tak mengherankan bila tulisan ini, menurut hemat penulis, tidak mengalami perkembangan sejak pertamakali kajian model serupa diperkenalkan Gusmian 24 tahun lalu (baca: Khazanah Tafsir Indonesia).

Diskusi di atas tampaknya tidak jauh berbeda bila kita membicarakan salah satu genre kajian studi Alquran yakni Living Qur’an. Sejauh ini, penelitian ini banyak menggunakan pendekatan etnografi. Untuk mengukurnya, mari simak tulisan Rudloph T. Ware di bukunya yang berjudul The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa.

Baca Juga: William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

Sesuai dengan judulnya, buku ini menyoroti pendidikan Alquran tradisional di Afrika Barat. Asumsi dasar tulisan ini adalah bahwa perkembangan Islam di daerah ini tidak terlepas dari eksistensi lembaga pendidikan tradisional (madrasah, penulis) ini. Ia tidak hanya mengajarkan murid membaca Alquran, melainkan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ware menggunakan pendekatan multidisipliner dalam penelitiannya. Etnografi dan sejarah menjadi dua pilar besar sudut pandang penelitian ini diambil. Sejarah digunakan untuk memotret perkembangan Islam dan madrasah sejak abad 10 sampai pasca kolonial (baca: Daftar Isi).

Sekalipun Ware berujar bahwa ia bukanlah seorang etnograf (hal. 12), metode etnografi tetap digunakan dalam tulisannya di bab 1 untuk melihat bagaimana institusi (baca: madrasah) di Senegambia melakukan praktik pendidikan Alquran. Selain itu, hasil dari bahasan itu juga untuk menjelaskan makna filosofi pengajaran Alquran yang mana ia bukan hanya dibaca, melainkan dipraktikkan, internalisasi, dan ditransmisikan dalam konteks sosial-budaya setempat.

Pada bab selanjutnya (2 sampai 5) pembahasan lebih berfokus pada aspek kesejarahan perkembangan islam dan pendidikan Alquran. Ada banyak hal yang terjadi di Afrika Barat selama kurun waktu abad 10 sampai pasca kolonial, antara lain:

Bab 2 menjelaskan Aktor utama guru-guru madrasah selama kurun waktu tahun 1000-1770 dalam islamisasi di daerah itu. Pada bab ini juga mulai ditampilkan masa perbudakan Barat kepada warga Afrika Barat akibat dibukanya jalur pelayaran Atlantik (hal. 36). Bab 3 lebih spesifik menjelaskan perbudakan dan refolusi pada 1770-1890. Pada prinsipnya, sebagian dari budak adalah para ulama dan penghafal Alquran yang mana mereka dianggap sebagai Alquran yang berjalan, sehingga memicu gerakan perlawanan.

Baca Juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Bab 4 membahas tentang proses penghapusan perbudakan yang berlangsung sejak 1890-1945. Pada masa ini mulai muncul kelompok sufi dan pendidikan tradisional. Perancis menjajah Senegal dalam kebijakan “Islam Noir” mendiversifikasi kelompok muslim sufi Afrika yang dianggap tidak berbahaya dengan muslim Arab yang dianggap lebih berbahaya (hal 37-38). Sementara bab 5 mengulas perkembangan pendidikan Islam di Senegal pasca Perang Dunia 2. Sekalipun ada dualitas sistem pendidikan Islam (modern dan tradisional), pendidikan tradisional tetap tidak tergantikan.

Sejauh Mana Kajian Living Qur’an Mencapai Batasnya?

Kembali kepada bahasan sebelumnya, tulisan Ware, meski ia tidak menyebut buku ini sebagai kajian Living, menempatkan Alquran sebagai objek kajian yang hidup di Afrika Barat. Dalam hal ini, kajian Alquran yang dimaksud bukanlah Alquran secara fisik, melainkan dalam sebagai objek yang hidup. Alquran dibaca, diajarkan, dan diwariskan sejak zaman Nabi Saw. sampai ke Afrika. Dalam dinamika sejarah ia tetap terpreservasi sekalipun mengalami badai yang terjal.

Pendekatan sejarah yang Ware gunakan berhasil memotret perkembangan Alquran sebagai teks yang dipelajari, dihafal, dan diamalkan oleh umat muslim sejak abad ke 4 Hijriyah sampai era kontemporer di Afrika Barat. Mulanya, ia dibawa oleh pendakwah melalui perantara lisan dan berhasil berkembang di sana. Pengajaran Alquran terus berkembang sampai muncul institusi pendidikan tradisional dan juga modern.

Mengutip pendapat Rafiq, Living Qur’an merupakan sebuah fenomena. Untuk itu ia dapat dibaca dalam bentuk apapun dan dengan kaca mata yang beragam. Tulisan Ware mencontohkan Alquran sebagai fenomena, sedangkan sejarah sebagai kacamata untuk membacanya.

Untuk itu, kajian Living masih memiliki potensi pengembangan yang sangat luas karena tiap daerah baik itu lokal maupun regional memiliki ragam fenomena Alquran yang berbeda. Hal itu dapat terjadi karena ada dua entitas yang saling berinteraksi, Alquran itu sendiri dan sosial-budaya lokal.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Sebaliknya, menurut hemat penulis, penjelasan fenomena itu justru menjadi batasan kajian Living, sedangkan kajian ini berhenti pada “memotret suatu kejadian yang memiliki unsur Alquran dan sosial budaya”.

Haji Lebih dari Sekali: Saat Ibadah Sunah Berhadapan Kepekaan Sosial

0
Ibadah haji
Ibadah haji

Ibadah haji termasuk rukun Islam dan wajib dilakukan apabila seseorang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Q.S. Ali Imran (3):97:

وَلِِلِه عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلا

“Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Tolak ukur kemampuan seseorang untuk beribadah haji terdiri dari kemampuan finansial dan kemampuan fisik atau disebut sebagai istita’ah. Meski termasuk dalam ibadah yang perlu banyak persiapan, hal itu lantas tidak menyurutkan semangat umat muslim. Antusias tersebut tidak jarang membuat mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji untuk berhaji berkali-kali meskipun dalam syariat Islam, kewajiban ibadah tersebut hanya sekali seumur hidup.

Baca juga: Larangan dan Anjuran ketika Berhaji

Mengingat fakta bahwa agama Islam merupakan agama dengan pemeluk terbanyak kedua di dunia, tentu tidak memungkinkan untuk datang ke Baitullah dalam satu waktu dengan jumlah yang sekian banyak. Oleh sebab itu, pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan terkait kuota jamaah haji untuk masing-masing negara (Fadhilla Ilham dkk., Kajian Hukum Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Pemberian Kuota Lebih Kepada Jemaah Haji, 711).

Penetapan kuota mempengaruhi persiapan pelaksanaan haji, termasuk adanya antrian keberangkatan jamaah. Keinginan untuk melakukan ibadah haji lebih dari sekali tentu akan menambah daftar antrian semakin panjang. Lantas, bagaimana sebaiknya bagi orang-orang yang ingin melaksanakan haji padahal kewajiban haji sudah pernah dijalani?

Motif Melaksanakan Ulang Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan kegiatan atau perjalanan spiritual. Kegiatan semacam ini tentunya memiliki pengaruh pada spiritualitas seseorang. Beberapa hal yang membuat umat muslim ingin melaksanakan ibadah haji berulang kali terdiri sebagai berikut (Claudia Seise, “Saya ingin pergi lagi dan lagi”: Emosi Spiritual Dan Perbaikan Diri Melalui Wisata Ziarah, 9-10):

  1. Emosi Spiritual

Emosi spiritual dapat dirasakan saat melakukan ibadah haji dikarenakan adanya manifestasi di luar ibadah yang dapat diamati orang lain. Manifestasi di luar ibadah di antaranya: iman dan ihsan yang mana adalah manifestasi batin, emosi yang timbul dari beribadah, serta hubungan individu dengan Tuhan. Adanya reformasi batin ini yang mendorong faktor keseimbangan spiritual. Karenanya perjalanan seperti haji yang mengarah pada pusat spiritualitas Islam secara geografis dan kolektif sangat besar kemungkinan mempengaruhi hati dan spiritualitas seseorang.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

2. Perasaan Khusyuk

Khusyuk merupakan perasaan kerendahan hati dalam salat, juga perasaan terhubung dengan Tuhan. Dari pengalaman jemaah haji, mereka merasa aman dan damai serta merasa dekat dengan Tuhan. Seolah Tuhan berbicara dengan kita melalui bacaan imam. Khusyuk merupakan salah satu unsur penting saat melaksanakan salat yang menghubungkan orang beriman dengan Tuhan. Sehingga, tidak heran apabila seseorang dapat merasakan khusyuk yang mendalam saat berada di Baitullah ingin merasakan momen itu lagi.

  1. Pengakuan sosial dan status

Selain alasan yang telah disebutkan, beberapa hal lain -yang juga turut memengaruhi minat untuk berhaji lagi- ialah pandangan masyarakat yang menghormati pelaku haji. Bahkan,  ada pula yang dilandasi oleh hedonisme belaka.

Pandangan Tokoh

Antrian jamaah haji, khususnya di negara dengan jumlah penduduk beragama Islam yang masif seperti Indonesia mencapai angka tinggi, sehingga mengakibatkan daftar tunggu yang lama. Kebijakan dari pemerintah belum mampu mengatasi masalah ini. Hanya saja, telah dibuat beberapa aturan terkait seperti pembatasan pendaftar haji. Orang yang sudah pernah berhaji maka dibatasi. Mereka dapat melaksanakan haji lagi setelah lima hingga sepuluh tahun dari ibadah haji sebelumnya (Achmad Muchaddam Fahham, Penyelenggaraan Ibadah Haji: Masalah dan Penanganannya, 204).

Sebenarnya, tidak mengapa apabila ingin haji berkali-kali. Namun, karena banyaknya antrian, hendaknya bagi yang pernah pergi haji bertoleransi dan tidak menutup mata dengan memberikan kesempatan pada mereka yang baru pertama kali akan berangkat haji.

Para ulama pun telah sepakat bahwa haji wajib satu kali seumur hidup. Dengan peningkatan antrian dan daftar tunggu yang lama, serta keacuhan dari jamaah yang pernah haji menimbulkan respons dari para cendekiawan atau tokoh. Salah satunya Ali Mustafa Yaqub. Pakar ilmu hadis tersebut mengungkapkan rasa heran terkait banyaknya jemaah yang ingin pergi haji namun lingkungan sekitar masih mengalami masalah krusial. Sebagai contoh, masih banyak anak yatim terlantar, tuna wisma, balita busung lapar, keadaan masjid yang tidak layak, dan sebagainya. Dihadapkan dengan realitas ini, tetap masih banyak masyarakat Indonesia yang memilih pergi haji lagi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial

Kebiasaan haji berkali-kali ini berpotensi menutup kepekaan sosial masyarakat-meski tidak dapat digeneralisir- yaitu dengan lebih memilih menggunakan harta untuk sesuatu yang sunah dibandingkan kewajiban membantu sesama (Muhammad dkk., Problematika Haji dan Umrah Berulang Kali Menurut Ali Mustafa Yaqub Dalam Perspektif Fikih Islam, 314). Argumen tersebut sebagaimana dalam kaidah fikih “ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.” (Al-Suyūṭī , Al-Asybāh Wa Al-Naẓāir, 144).

Dari permasalahan yang telah dibahas, dapat diambil benang merah bahwa haji adalah kewajiban sekali seumur hidup. Dengan demikian, haji untuk kali kedua dan seterusnya termasuk pada ibadah sunah. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, ungkapan itu sekiranya cocok sebagai pengingat. Selanjutnya kewajiban kiranya harus didahulukan daripada ibadah sunah.

Apabila telah melaksanakan kewajiban sebaik mungkin maka bisa untuk melakukan ibadah haji berulang kali. Namun mengingat lamanya antrian, ada baiknya kita berempati dan mempertimbangkan saudara muslim kita yang belum menjalankan ibadah haji. Apabila masih ingin untuk berangkat haji, maka sebaiknya dilakukan dengan tidak mengambil hak orang lain, seperti mengunjungi negara dengan minoritas penduduk muslim dan menggunakan kuota negara tersebut. Wallahu’alam.

Penjelasan Islah Gusmian tentang Tafsir Reformis

0
Islah Gusmian isi seminar Dialog Tafsir Nusantara
Islah Gusmian isi seminar Dialog Tafsir Nusantara

Senin, (19/05), Himpunan Mahasiswa program studi (himaprodi) Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, menyelenggarakan seminar bertajuk Dialog Tafsir Nusantara untuk membedah Tafsir Reformis dalam perspektif Islah Gusmian. Seminar tersebut fokus pada penafsiran para mufasir untuk memproduksi karya yang memiliki relevansi dalam penyelesaian masalah yang dimiliki oleh masyarakat sosial saat ini.

Biografi Islah Gusmiah

Islah Gusmian merupakan Guru Besar bidang Ilmu Alquran dan Tafsir yang saat ini aktif sebagai dosen sekaligus menjadi dekan di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Beliau lahir di pati pada tanggal 22 Mei 1973, jenjang pendidikan awal masa kuliah strata 1 diselesaikan pada tahun 1997 jurusan tafsir hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kemudian beliau melanjutkan  magister Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana di kampus yang sama dan selesai pada tahun 2002. Islah melanjutkan program doktoral hingga tahun 2014 di kampus yang sama.

Baca juga: Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara

Latar belakang keilmuan yang concern di bidang manuskrip serta kajian Tafsir Nusantara membentuk perspektif yang berupaya untuk memformulasikan metodologi dalam memahami Alquran agar sesuai dengan konteks zaman. Beliau akademisi yang cukup prolifik, dengan buah karya khas kedaerahan seperti; Dinamika Tafsir Alquran Bahasa Jawa, Khazanah Tafsir Indonesia, Bencana Alam dalam perspektif Filologis dan Teologis (kajian Tematik Manuskrip keagamaan Wilayah Jawa Tengah, dan masih banyak lagi karya yang lainnya. Maka tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai salah satu inisiator metodologi Tafsir Nusantara.

Pengertian Reformasi di Indonesia Menurut Islah Gusmian

Dalam seminar yang beliau sampaikan saat pertemuan di UIN Sunan Ampel, Islah memaknai istilah reformis ke dalam tiga term sesuai masa kehidupan dinamika sosial di Indonesia. Jika ditinjau dari segi bahasa, kata reformasi berasal dari bahasa Latin reformatio, yang berarti “membentuk kembali” atau “menyusun ulang.”

Secara umum, reformasi dapat diartikan sebagai perubahan signifikan untuk memperbaiki suatu sistem, baik dalam bidang sosial, pendidikan, politik, ekonomi, maupun agama. Jika makna reformasi dipersempit dalam konteks politik, yakni upaya untuk mengatasi ketidakadilan, korupsi, atau sistem yang sudah tidak relevan dengan zaman.

Seorang reformer (pembaru) percaya bahwa perubahan harus dilakukan secara bertahap, berbeda dengan penganut paham revolusioner yang mengupayakan transformasi sistem secara cepat dan berskala besar. Dalam konteks keislaman di Indonesia, para tokoh Islam telah mengadopsi pendekatan reformasi yang bersifat inkremental, yakni menyesuaikan diri dengan sistem yang ada sembari memperbaiki kondisi masyarakat secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan yang berdampak nyata tanpa menimbulkan kekacauan.

Makna Reformasi dalam Tafsir Alquran       

Islah menjelaskan tiga makna term reformasi dalam tafsir Alquran. Pertama, yakni reformasi diartikan sebagai gerakan purifikasi. Penafsiran Alquran yang dilakukan oleh kalangan pertama di abad pertengahan khususnya di Indonesia, adalah gerakan yang melakukan upaya purifikasi Alquran dari praktik yang mengarah pada keyakinan takhayul, bidah, dan khurafat.

Hal itu dilakukan agar umat muslim di Indonesia dapat meneguhkan kembali tauhid dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah saw. seperti pada abad ke-20. Gerakan reformasi dilakukan oleh sejumlah organisasi modern seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam melalui penafsiran Alquran yang melarang praktik tersebut.

Baca juga: Memahami Istilah Bidah dalam Diskursus Para Ulama Tafsir Masa Lalu

Kedua, reformasi penafsiran Alquran dilakukan untuk mencoba menjadikan teks sebagai jawaban atas kehidupan realita saat ini. Gerakan ini mencoba untuk mengombinasikan tradisi dengan kemodernan barat sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini tumbuh karena reaksi atas keterpurukan Islam  dan kemajuan barat pada awal abad ke-18. Konsep ini memberikan kesempatan untuk membuka pintu ijtihad. Makna yang terkandung pada term yang kedua ini tidak hanya sebatas melakukan purifikasi terhadap tradisi takhayul, bidah, khurafat, melainkan juga mencoba mengintegrasikan ilmu pengetahuan, kemajuan pendidikan modern Islam, ikut politik, serta mendirikan lembaga yang berfokus pada kesejahteraan umat.

Ketiga, reformasi pemaknaan teks melalui pendekatan saintifik. Pendekatan ini dilakukan dengan membangun keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kondisi sosial-budaya. Dalam praktiknya, para mufasir kontemporer menjadikan sains sebagai salah satu perangkat dalam menafsirkan ayat Alquran. Tokoh seperti Mahmud Yunus dan Hamka menjadi pelopor untuk mengintegrasikan kerangka ilmiah sebagai basis argumentasi dalam penafsiran. Sebagai contoh, pemanfaatan teori sains modern untuk menjelaskan ayat kauniyah. Pendekatan ini mementingkan rasionalitas, relevansi sosial, serta dinamika penafsiran sesuai dengan perkembangan zaman.

 

Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

0
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

Berbicara tentang agama atau kehidupan, tidak terlepas dari “figur sentral” yang disebut dengan tuhan. Kata ini merupakan poros dan inti dari ajaran baru agama. Di dalam Alquran ada beberapa kata yang menunjukkan pada makna Tuhan. Di antaranya adalah kata “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun”( إِلٰهٌ).

Kata ilahun muncul dalam surah Al-Baqarah ayat 221. Kata rabbun muncul dalam Alquran surah Al-Fatihah ayat 2. Dalam terjemah standar mushaf Indonesia terbitan Kementerian Agama (Kemenag) RI, dua kata ini diartikan sebagai tuhan.

Maka dari itu terdapat kemenarikan untuk mengkaji pembahasan ini dengan mengambil perspektif salah satu ulama tafsir, yakni Ash-Shabuni. Artikel ini akan memaparkan pandangan Ash-Shabuni tentang kedua lafaz bermakna tuhan, yaitu “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun” ( إِلٰهٌ).

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Rabbun” (رَبٌّ)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. Al-Fatihah: 2).

Dalam kitab Safwat al-Tafasir, Ash-Shabuni menafsirkan kata rabbun yang diambil dari potongan Q.S. Al-Fatihah: 2 sebagai berikut.

“Ar-rabbu (الرَّبُّ) merupakan derivasi dari kata tarbiyah  (تَرْبِيَّةُ), yang memiliki arti memperbaiki perkara-perkara orang lain dan memelihara urusannya. Al-Harawi berkata, dikatakan terhadap orang yang melakukan upaya perbaikan sesuatu dan menyempurnakaannya dengan istilah qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), artinya orang tersebut telah memperbaikinya atau telah mebuat baik baginya. Dari kata Rabbun (رَبٌّ) muncul kata Rabbaniyu (رَّبَّنِيُّوْنَ), karena mereka melaksanakan perbuatan-perbuatan berdasarkan kitab.

Kata Ar-rabbu (الرَّبُّ) dimutlaqkan atas banyak makna, yaitu al-malik artinya pemilik, al-mushlih artinya orang yang membuat baik atau perbaikan, al-ma’bud yang disembah, dan sayyid al-mutha’ artinya tuan yang ditaati.”

Baca juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Keempat makna ini saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang keagungan nama “Ar-rabbu”. Ketika seorang muslim menyebut “Ya Rabb”, ia tidak hanya mengakui Allah sebagai pemilik, tetapi juga sebagai pengatur, pemelihara, yang berhak disembah, dan tuan yang wajib ditaati.

Jika kita tarik lebih dalam, pemaknaan kata rabbun yang didasarkan pada perkataan Al-Harawi qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), bahwa kata rabbun digunakan untuk menggambarkan tindakan memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu.

Ini sebagaimana contoh penggunaan rabbun dalam salah satu doa yang terdapat dalam Q.S. Ibrahim ayat 14 berikut.

رَبَّنَا ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ ٱلْحِسَابُ

Ya Tuhan kami, berilah ampunan kepadaku, kedua ibu bapaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).

Di sini, “rabbun”  digunakan dalam konteks permohonan kepada Allah sebagai Tuan yang memiliki kekuasaan untuk mengampuni.

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Ilahun” ( إِلٰهٌ).

وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Menurut As-Shabuni dalam kitab tafsir Safwat al-Tafasir:

“Al-Ilahu (الإله) adalah sesuatu yang disembah, baik benar atau batil. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163, ilahun ( إِلٰهٌ) di sini bermakna zat yang disembah dengan hak, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam.”

Menurut Ash-Shabuni, surah Al-Baqarah 163, bermakna “Tuhan kalian yang berhak untuk disembah adalah Tuhan Yang Esa. Tidak ada yang menyamainya dalam zat-Nya dan tidak ada pula yang menyamainya dalam sifat-sifat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatan-Nya.”

Baca juga: Sepuluh Perintah Tuhan dalam Alquran dan Al-Kitab: Membaca Argumen Sebastian Günter

Penjelasan Ash-Shabuni mengenai kata “ilahun” yang pada dasarnya berarti sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil, memberikan konteks penting mengapa penekanan dalam Islam adalah pada “ilahun” yang hak, yaitu Allah Swt. bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan.

Begitu pula dengan penafsiran kalimat “La ilaha illallah” yang tidak hanya sekadar peniadaan sesembahan selain Allah, tetapi juga penegasan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah, sumber segala nikmat dan kebaikan.

Kesimpulan Analisis Rabb dan Ilah Perspektif Ash-Shabuni

Menurut Ash-Shabuni, kata rabb (رَبٌّ) dan ilah ( إِلٰهٌ), meskipun keduanya diterjemahkan sebagai “Tuhan”, tetapi memiliki perbedaan konseptual yang signifikan. Rabb memiliki makna yang lebih luas, berakar dari kata tarbiyah yang mencakup kepemilikan, perbaikan, pengaturan, pemeliharaan, ketaatan, hingga penyembahan.

Ini mengimplikasikan peran aktif Tuhan dalam memelihara, membimbing, dan menyempurnakan seluruh alam semesta, baik secara spiritual maupun material. Fokus konseptual rabb terletak pada relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur dengan ciptaan-Nya, mengakui kekuasaan dan bimbingan Allah dalam segala aspek kehidupan.

Baca juga: Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan

Sebaliknya, kata ilah (إِلٰهٌ) secara fundamental merujuk pada sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil. Dalam konteks Islam, ilah yang hakiki adalah Allah Swt, dan penekanannya terletak pada aspek ketauhidan, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang berhak diibadahi.

Fokus konseptual ilah tertuju pada akidah dan ibadah, sebagaimana termanifestasi dalam kalimat la ilaha illallah, yang menegaskan keesaan Tuhan dalam peribadatan dan menolak segala bentuk penyekutuan. Dengan demikian, rabb menyoroti peran aktif Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta, sementara ilah menekankan keesaan dan hakikat Allah sebagai satu-satunya yang layak disembah.

Tanda Hari Kiamat dalam Q.S An-Naml Ayat 82: Dabbah

0

Kepercayaan terhadap hari kiamat merupakan bagian dari rukun iman, kiamat digambarkan sebagai peristiwa dahsyat yang akan mengakhiri seluruh kehidupan di alam dunia. Sebelum saat itu tiba, berbagai tanda telah disebutkan dalam Alquran dan hadis. Salah satu tanda besar yang disebut secara khusus dalam Alquran adalah kemunculan Dabbah.

Dabbah digambarkan sebagai makhluk dari bumi yang akan berbicara kepada manusia dan menandai kondisi keimanan mereka. Oleh sebab itu, Dabbah menjadi sebuah peringatan tertutupnya pintu taubat. Kehadiran Dabbah tidak hanya menjadi bukti kekuasaan Allah Swt, tetapi Dabbah juga merupakan simbol bahwa batas antara kehidupan dan akhir zaman semakin dekat.

Baca Juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran

Telaah Tafsir Q.S An-Naml Ayat 82

Beberapa tanda hari kiamat secara terang-terangan telah disinggung Allah Swt dalam firman-Nya sebagai peringatan bagi seluruh umat manusia, bahwa akan datang masa akhir kehidupan di dunia. Salah satu tanda besar yang disebutkan dalam Alquran adalah kemunculan Dabbah, yaitu pada surah an-Naml ayat 82, berbunyi:

وَإِذَا وَقَعَ ٱلْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَآبَّةً مِّنَ ٱلْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ ٱلنَّاسَ كَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا لَا يُوقِنُونَ

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya (Jilid 6, hlm. 190), “Binatang tersebut akan keluar saat akhir zaman ketika kerusakan melanda manusia dan sudah berani meninggalkan perintah-perintah Allah Swt serta mengubah agama yang haq. Allah Swt mengeluarkan binatang tersebut dari bumi (sebagian mengatakan di Makkah) dan dapat berbicara dengan manusia.”

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Sufyan dari Furat dari Abi Thufail dari Hudzifah bin Usai dal-Ghifari berkata, “Rasulullah Saw mengawasi kami dari saat mendialogkan tentang hari kiamat, beliau bersabda: ‘Hari kiamat tidak akan terjadi hingga terlihat 10 tanda; Terbitnya matahari dari barat, kepulan asap, binatang (Dabbah), keluarnya Ya’jud dan Ma’jud, keluarnya ‘Isa bin Maryam dan keluarnya Dajjal serta tiga kelongsoran (barat, timur dan Jazirah Arab), api yang keluar di bawah bumi ‘Adn yang menggiring manusia bermalam untuk tidur’.”

Mengutip riwayat dari Muhammad bin Amru al-Muqaddasi dari Asy’ats bin Abdullah as-Sijistani dari Syu’bah dari Athiyah dalam Tafsir Ath-Thabari (Jilid 20, hlm.19-20), “Firman Allah Swt ‘وَإِذَا وَقَعَ ٱلْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَآبَّةً مِّنَ ٱلْأَرْضِ’, maksudnya adalah, apabila mereka tidak melakukan perbuatan baik dan tidak mengingkari kemungkaran.” Diriwayatkan pula dari Abu Kuraib dari al-Asyja’i dari Fudhail bin Marzuq dari Athiyah dari Ibnu Umar “Binatang itu keluar dari retakan yang terdapat di bukit Shafa, seperti larinya kuda, selama tiga hari, yang keluar sepertiganya.”

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Adapun riwayat Ibnu Humaid dari al-Hakam bin Busyair dari Amru bin Qais dari al-Furat  al-Qazzaz dari Amir bin Watsilah Abu Thufail dari Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari, “Ketika binatang itu keluar, sebagian orang melihatnya, lalu mereka berkata, ‘Demi Allah, kami melihat binatang’. Berita itu sampai pada raja, namun raja tidak mampu bertindak.

Binatang itu keluar lagi, mereka mengadu pada raja, namun sang raja tidak melihatnya. Saat binatang itu keluar lagi dan banyak orang menyaksikannya, mereka berbondong masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan salat. Binatang itu datang seraya berkata, ‘Sekarang kalian baru melaksanakan salat?,’ binatang itu pun menumpas orang-orang kafir dan mengusap kening orang-orang mukmin.”

Baca Juga: Tiga Kondisi Kaget Manusia pada Hari Kiamat

Penutup

Dari berbagai riwayat dan penafsiran yang telah dikemukakan, jelas bahwa kemunculan Dabbah merupakan salah satu tanda besar hari kiamat yang memiliki makna mendalam, baik secara teologis maupun eskatologis. Surah an-Naml ayat 82 memberi gambaran bahwa Dabbah muncul sebagai peringatan Allah Swt, khususnya bagi manusia yang telah mengabaikan kebenaran wahyu-Nya.

Keberadaan Dabbah juga sebagai manifestasi kekuasaan Allah Swt yang menunjukkan bahwa setiap janji-Nya pasti terjadi. Pemahaman terhadap ayat ini menuntut refleksi serius atas kondisi keimanan dan ketaatan, agar manusia tidak termasuk golongan yang lalai hingga pintu taubat benar-benar tertutup.

Iqra’: Titik Awal Revolusi Pendidikan dalam Islam

0

Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga merupakan ibadah, pembebasan, dan pembangunan karakter. Menariknya, revolusi besar dalam Islam dimulai bukan dengan perang atau kekuasaan, melainkan dengan satu kata, yaitu iqra’ ; bacalah.

Perintah untuk membaca menjadi perintah pertama dalam Alquran kepada Rasulullah Saw. dalam Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang menjadi ayat pertama yang diturunkan, Alah Swt. berfirman:

{قْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1 – 5]

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)

Baca Juga: Perintah Iqra’: Dari Gua Hira hingga Layar Gawai

Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca secara literal, tetapi merupakan panggilan intelektual dan spiritual untuk menggali ilmu dalam bingkai tauhid. Menurut Syaikh Izzat Darwazah, ayat-ayat ini menekankan akan pentingnya kegiatan-kegiatan intelektual sepetti membaca menulis dan menuntut ilmu. Sebab ilmu pengetahuan, berikut perantara untuk memperolehnya, merupakan nikmat terbesar yang diterima oleh umat manusia. [Al-Tafsir al-Hadis, Juz 1, 317]

Dalam hal ini, Alquran sebagai sumber utama syariat Islam memberikan landasan teologis yang paling otoritatif terkait pentingnya kedudukan ilmu pengertahuan. Ia menjadi penggerak geliat keilmuan umat manusia, khususnya umat Islam yang pada akhirnya melahirkan peradaban yang maju. Karena tidak ada peradaban maju di dunia ini kecuali dilandasi dasar intelektual yang kuat.

Dalam Tafsir al-Munir, Syaikh Wabah al-Zuhaili bahwa membaca dan menulis merupakan dua instrumen keilmuan yang memicu perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Proses transmisi ilmu termasuk wahyu Alquran juga tidak akan lepas dari kegiatan membaca dan menulis. Dengan ilmu pengetahuan, kemajuan dalam bidang ilmu, sains, karakter dan tata negara akan diraih sehingga muncul peradaban baru yang maju. [Tafsir al-Munir, Juz 30, 319]

Jika dilihat pada konteks sejarah, masyarakat Arab sebelum Islam berada dalam kondisi jahiliyah minim literasi, tidak memiliki tradisi keilmuan yang kuat, serta dipenuhi dengan takhayul dan ketidakadilan. Namun hanya dalam waktu beberapa dekade setelah turunnya wahyu, umat Islam berubah menjadi peradaban ilmu yang gemilang. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Semua itu berawal dari perintah iqra’ yang menggugah kesadaran umat

Baca Juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Sayangnya, semangat iqra’ yang revolusioner ini mulai meredup dalam sistem pendidikan modern yang seringkali terlepas dari nilai spiritual. Ilmu dipandang sebagai alat semata untuk mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Banyak lembaga pendidikan yang lebih menekankan capaian akademik dibanding pembentukan karakter dan akhlak.

Padahal dalam Islam, ilmu yang hakiki adalah ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’), yaitu ilmu yang mampu menumbuhkan keimanan, memperbaiki diri, dan memberi manfaat bagi masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda:

من ازداد علماً ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعداً

Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya maka ia hanya akan bertambah jauh dari Allah Swt. (HR. Al-Dailamiy)

Semangat iqra’ harus dihidupkan kembali, terutama dalam dunia pendidikan hari ini. Membaca bukan hanya tugas siswa di ruang kelas, tetapi menjadi panggilan seumur hidup bagi siapa pun yang ingin hidup dengan penuh makna. Belajar bukan semata untuk mengejar gelar, tetapi untuk menunaikan amanah sebagai khalifah di bumi.

Sebagai penutup, wahyu pertama ini bukan hanya awal dari turunnya Alquran, tetapi juga pondasi utama sistem pendidikan Islam. Pendidikan yang islami adalah pendidikan yang menumbuhkan ilmu, iman, dan akhlak secara seimbang. Maka dari itu, mari kita kembalikan ruh iqra’ ke dalam setiap ruang belajar, agar generasi saat ini tumbuh sebagai insan berilmu yang beriman dan bertanggung jawab.

Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan

0
Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan
Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan (sumber: Unsplash).

Kilauan mutiara yang memukau dan pesona warna-warni marjan telah lama memikat hati manusia, menjadi simbol keindahan dan kekayaan alam. Namun, tahukah Anda bahwa Alquran, telah menyingkap tabir di balik fenomena menakjubkan ini berabad-abad yang lalu?

Dalam surah Ar-Rahman ayat 19, Allah Swt. berfirman tentang “dua lautan” yang bertemu, dan ayat 22 menyebutkan bahwa dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Lantas, apa sebenarnya makna “dua lautan” ini, dan bagaimana karunia berupa mutiara dan marjan ini terwujud di alam semesta yang luas?

Agus S. Jamil, seorang pemikir yang mendalami khazanah Alquran dengan sentuhan ilmu pengetahuan modern, menawarkan perspektif yang menarik dan relevan. Pemikirannya mengajak kita semua untuk lebih memperluas makna suatu ayat yang telah diturunkan berabad-abad yang lalu dapat selaras dengan penemuan modern tentang kompleksitas lautan.

Interpretasi Ayat tentang Pertemuan Dua Lautan dalam Perspektif Kontemporer

Q.S. Ar-Rahman ayat 19-22 berbunyi sebagai berikut.

يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ. فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ. بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيَانِ. مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.

Diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, terkait firman Allah “keduanya kemudian bertemu” menurut Ibnu Zaid, Allah Swt. mencegah keduanya bertemu dengan menjadikan pemisah antara keduanya. Yang dimaksud dengan “dua lautan” adalah air asin dan air tawar. Air asin di sini diartikan sebagai laut sedangkan air tawar diartikan sebagai sungai-sungai.

Namun, menurut Agus S Djamil dalam bukunya, Al-Quran Menyelami Rahasia Lautan, apabila dua lautan tersebut dikatakan sebagai air laut dan air tawar, maka dua lokasi tersebut akan sulit ditemukan al-lu’lu’ wa al-marjan (Q.S. Ar-Rahman:22) yang ditafsirkan sebagai mutiara dan marjan/koral karang.

Baca juga: Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

Mutiara dan koral karang hanya dapat hidup pada kawasan laut yang jernih, dangkal, dan mendapatkan cahaya matahari yang cukup hangat. Sedangkan di muara sungai biasanya dipenuhi dengan lumpur, pasir, bebatuan serpih, dan batang kayu yang dibawa dari hasil erosi di daratan.

Kondisi ini mengakibatkan air sungai menjadi keruh yang mengandung berbagai endapan bahan organik seperti batang kayu. Hal ini menjadikan mutiara dan koral karang tidak dapat tumbuh di daerah tersebut. Karena pada umumnya, koral karang tumbuh pada perairan jernih dan hangat, tetapi kaya akan nutrisi yang menjadi bahan makanannya.

Oleh sebab itu, oleh Agus S Jamil, “dua lautan” dalam Q.S. Ar-Rahman: 19 diartikan sebagai laut dangkal dan laut dalam. Yang menjadi pembatas antara keduanya adalah batas paparan, self margin, di mana kondisi masih dangkal, jernih, hangat, tetapi terdapat suplai plankton cukup banyak yang didorong oleh aliran arus laut dari laut dalam yang dingin dan gelap.

Baca juga: Fenomena Api Di Dasar Laut dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 6

Hal ini mengingatkan kita terhadap kekuasaan Allah yang menunjukkan rezeki bagi manusia yang mata pencahariannya bergantung terhadap laut. Misalnya ketika terdapat aliran yang mengandung banyak plankton naik ke permukaan laut, maka dapat dipastikan pada kawasan tersebut terdapat banyak ikan.

Interpretasi ini memberikan dimensi baru dalam memahami bagaimana Alquran, meskipun diturunkan berabad-abad lalu, dapat selaras dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern tentang kompleksitas lautan. Interpretasi ini juga memperkuat pemahaman akan keajaiban ciptaan Allah yang menciptakan kondisi spesifik yang mendukung kehidupan dan menghasilkan keindahan.

Relevansi Konsep Pertemuan Lautan Skala Besar sebagai Manifestasi Karunia Ilahi

Lalu apakah pertemuan dua lautan dalam skala besar dapat dipahami dalam konteks karunia di ayat-ayat tersebut? Misalnya pertemuan antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia yaitu kawasan Indonesia terdapat karunia Allah yang bernilai bagaikan al-lu’lu’ wa al-marjan?

Agus S Jamil berpendapat bahwa apabila penafsiran al-lu’lu’ wa al-marjan hanya dibatasi kepada mutiara dan karang, jelas keduanya sulit atau bahkan tidak ditemui di muara sungai. Maka dari itu perlu adanya perluasan makna dari kata ini. Yaitu diartikan al-lu’lu’ wa al-marjan sebagai karunia yang amat bernilai dan berharga.

Ketika al-lu’lu’ wa al-marjan diartikan sebagai karunia maka pertemuan antara sungai dengan laut pun merupakan tempat yang memiliki banyak karunia. Karunia di sini bisa berupa cadangan sumber daya lain, seperti minyak bumi dan gas alam yang tidak kalah bernilai dan berharga dari mutiara dan karang.

Baca juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia

Interpretasi Agus S. Jamil yang memperluas makna “al-lu’lu’ wa al-marjan” sebagai karunia Allah yang amat bernilai dan mengaitkannya dengan pertemuan dua lautan skala besar seperti di Indonesia sangat relevan dan memberikan pemahaman yang lebih luas terhadap ayat-ayat dalam surah Ar-Rahman.

Kekayaan alam Indonesia, baik berupa keanekaragaman hayati laut, sumber daya perikanan, maupun potensi sumber daya alam lainnya di wilayah pertemuan laut, dapat dipandang sebagai manifestasi dari karunia Allah yang nilainya setara dengan keindahan dan kemewahan mutiara dan marjan. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk lebih mengapresiasi ayat-ayat Alquran dalam konteks kekayaan alam yang kita miliki.

Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur

0
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur (sumber: pixabay)

Setiap kali mendapat rezeki—gaji, hadiah, hasil jualan, atau sekadar uang jajan—banyak orang yang terbiasa mengucap “Alhamdulillah.” Namun, muncul pertanyaan penting: apakah ucapan syukur itu cukup? Dalam Islam, syukur bukan sekadar kata-kata. Ia adalah bentuk kesadaran yang dalam yang seharusnya tercermin dalam perbuatan. Salah satu bentuk paling nyata dari rasa syukur kepada Allah atas rezeki-Nya adalah dengan mempelajari literasi keuangan, yaitu memahami cara mengelola, membelanjakan, dan mengembangkan uang secara bijak dan bertanggung jawab.

Al-Qur’an menyampaikan pesan yang sangat jelas tentang pentingnya bersyukur. Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Ayat ini bukan hanya janji tentang bertambahnya rezeki, tapi juga peringatan bahwa mengabaikan amanah rezeki bisa membawa pada kerugian. Maka, mengelola uang secara bijak adalah bentuk nyata dari rasa terima kasih kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki. Namun, bagaimana sebetulnya bimbingan Al-Qur’an dalam mengelola keuangan?

Keseimbangan dalam Membelanjakan Harta

Pertama-tama, Al-Qur’an menanamkan prinsip keseimbangan dalam membelanjakan harta. Dalam surah Al-Furqan ayat 67, Allah menyebutkan bahwa hamba-hamba-Nya yang baik adalah mereka yang tidak boros, tidak pula kikir, melainkan berada di tengah-tengah.

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ۝٦٧

Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.

Buya Hamka saat menafsirkan ayat ini pada Tafsir Al-Azhar menulis bahwa “dua sikap itu, royal dan bakhil, terhadap harta benda adalah alamat jiwa yang tidak ‘stabil’.” Ia menegaskan bahwa sifat boros mencerminkan kurangnya pertimbangan dan ketidakmampuan memikirkan masa depan, sementara kebakhilan adalah penyakit yang membuat seseorang tidak memanfaatkan hartanya sebagaimana mestinya.

Harta, menurutnya, harus diperlakukan sebagai “pemagar maruah, penjaga kehormatan diri,” bukan untuk diperbudak. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pengelolaan keuangan secara bijak, proporsional, dan bertanggung jawab—bukan hanya demi kelangsungan hidup pribadi, tetapi juga demi menjaga keseimbangan sosial dan kehormatan diri.

Memberikan Hak Orang Lain

Salah satu indikator bahwa seseorang memahami literasi keuangan dengan baik adalah kemampuannya untuk tidak hanya mengelola uang untuk dirinya sendiri, tetapi juga memahami tanggung jawab sosialnya. Dalam Islam, harta bukan sepenuhnya milik pribadi. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 26-27 agar manusia memberikan hak kepada kerabatnya dan orang miskin serta menghindari pemborosan.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً ﴿٢٦﴾ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً ﴿٢٧﴾

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.

Baca juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Buya Hamka menafsirkan dua ayat ini dengan menekankan pentingnya berbagi kepada keluarga yang membutuhkan sebagai bentuk penguatan ikatan kekeluargaan. Ia menyebut bahwa rezeki tidak terbuka merata, “berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu.” Namun, di sisi lain, ia mengingatkan agar tidak terjebak dalam pemborosan.

Ia memilih kata “boros” sebagai padanan dari mubazzir, dan mengutip Imam Syafi’i bahwa mubazir adalah “membelanjakan harta tidak pada jalannya.” Sikap boros ini, menurut Hamka, bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kesesuaian tujuan dan cara, karena bahkan pengeluaran yang sedikit pun bisa jadi mubazir jika tidak pada tempatnya.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 261, Allah bahkan mengumpamakan infak di jalan-Nya seperti biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, dengan setiap tangkai menghasilkan seratus biji. Ini adalah gambaran betapa besar balasan bagi mereka yang bersedekah. Maka, mengelola keuangan dengan menyisihkan untuk kebaikan bukanlah kerugian, justru itu adalah investasi abadi.

Bekerja, Bersungguh-sungguh, dan Merasa Cukup

Meningkatkan literasi keuangan juga berarti memahami pentingnya usaha yang halal dan mengelola pendapatan. Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10, Allah mendorong umat Islam untuk mencari karunia-Nya setelah menunaikan salat Jumat.

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۝١٠

Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.

Ayat ini menjadi motivasi agar umat Islam tidak pasif, tetapi aktif mencari nafkah. Literasi keuangan yang sehat harus dimulai dari kesadaran akan pentingnya bekerja dan menghasilkan pendapatan secara jujur. Namun, semua itu perlu dibarengi dengan sikap merasa cukup—tidak berlebihan dalam konsumsi dan tidak selalu merasa kekurangan. Rasa cukup ini pula yang ditekankan dalam surah Al-Baqarah ayat 172:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ۝١٧٢

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.

Makan dari yang baik tidak hanya berarti halal dan sehat, tetapi juga dalam batas yang wajar dan penuh kesyukuran. Inilah nilai utama dalam literasi keuangan dalam Islam, yaitu mengelola uang bukan semata untuk memperkaya diri, tetapi agar bisa hidup layak, berbagi, dan tetap rendah hati.

Baca juga: Sejarah Legalitas Pungutan Pajak dalam Islam

Bayangkan dua orang. Yang pertama selalu mengucap “Alhamdulillah” saat menerima gaji, tetapi langsung menghabiskannya tanpa perencanaan, membeli barang tak penting, lupa sedekah, dan tak punya simpanan masa depan. Yang kedua, juga mengucap “Alhamdulillah,” namun ia membuat anggaran bulanan, menyisihkan untuk orang tuanya, rutin bersedekah, dan menabung.

Yang pertama mengandalkan syukur lisan, yang kedua mengamalkan syukur dengan literasi keuangan. Di situlah bedanya, syukur sejati tidak berhenti di mulut, tapi tercermin dalam kebiasaan mengelola harta yang bijak dan bertanggung jawab.

Akhirnya, perlu kesadaran bahwa setiap keputusan keuangan—apakah akan membeli, memberi, atau menyimpan—adalah bagian dari bentuk ibadah dan rasa syukur. Literasi keuangan bukan sekadar keterampilan, tetapi juga cermin dari kedewasaan diri dalam memperlakukan rezeki yang Allah berikan.

Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran

0
Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran
Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran (sumber: pixabay).

Apa sih kaitannya neuroteologi dengan Alquran? Menurut Dr. Al-Qadhi, ternyata membaca dan menghayati Alquran itu bukan sekadar ibadah semata, tetapi juga membawa manfaat bagi ketenangan jiwa dan kesehatan mental. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa tilawah Alquran dapat merangsang bagian otak yang berhubungan dengan ketenangan dan keseimbangan emosional (Analisis Tingkat Intensitas Membaca Alquran Terhadap Kesehatan Mental Pada Mahasiswa/i UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, 2024).

Dengan menggabungkan neuroteologi dan studi Alquran, kita bisa melihat bagaimana wahyu Allah berperan dalam kehidupan manusia, baik secara spiritual maupun ilmiah. Pendekatan ini membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan mental dan emosional. Mari kita simak di pembahasan berikut.

Definisi Neuroteologi

Neuroteologi merupakan bidang ilmu yang istimewa karena mengkaji keterkaitan antara fungsi otak dan aspek-aspek keagamaan, atau lebih luasnya, antara kesadaran batin dan pengalaman spiritual. Dengan kemajuan dalam riset neurosains, disiplin ini mulai menarik perhatian lebih luas di kalangan ilmuan dan pemikir agama (Mencari Tuhan di dalam Otak? Mengurai Prinsip-prinsip Dasar Neuroteologi, 2023).

Beragam buku dan artikel ilmiah berkualitas telah diterbitkan untuk mengeksplorasi tema ini. Kajian tersebut lahir dari dialog yang terbuka, rasional, dan kritis antara ilmu pengetahuan modern, teologi, dan agama. Sebagaimana lazimnya dalam pertemuan dua dunia yang berbeda, muncul pula berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mempertanyakan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang jernih secara filosofis dan ilmiah agar diskusi ini tetap berada pada jalur yang konstruktif.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

Walaupun demikian, gagasan mengenai hubungan antara pikiran dan spiritualitas sebenarnya bukan hal baru. Sejak dahulu kala, para filsuf dan pemikir telah mencoba memahami bagaimana pengalaman religius berakar dari dimensi terdalam kesadaran manusia. Kini, dengan bantuan teknologi mutakhir seperti neuroimaging, pertanyaan-pertanyaan klasik tersebut dapat ditinjau kembali melalui lensa sains modern yang berbasis data empiris.

Neuroteologi dan Alquran

Q.S. Al-Isra: 70 berbunyi sebagai berikut.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa Allah Swt. menganugerahkan keistimewaan kepada manusia berupa akal, sebuah kemampuan unik yang menjadikannya makhluk yang mampu menyelami hakikat segala sesuatu. Dengan akal yang dalam pemahaman ilmiah modern terletak pada otak, manusia diberi kecerdasan untuk memahami isi wahyu, seperti Alquran, serta menalar dan mengambil pelajaran darinya.

Baca juga: Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran

Potensi ini juga membuat manusia mampu mengembangkan berbagai aspek kehidupan: mulai dari cara memproduksi makanan, bertani, berdagang, hingga menciptakan dan memahami bahasa. Semua itu tak lepas dari kapasitas otaknya dalam mengelola informasi, menganalisis pola, dan membangun sistem yang teratur.

Otak manusia juga menjadi alat penting dalam membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, baik dalam urusan dunia maupun dalam menjaga nilai-nilai agama. Kemampuan menilai dan membuat keputusan moral ini menunjukkan bahwa akal bukan sekadar sarana berpikir rasional, tetapi juga pusat kesadaran spiritual yang memungkinkan manusia memahami petunjuk Allah dengan lebih dalam.

Penutup

Neuroteologi membawa kita pada pemahaman baru bahwa proses spiritual bukanlah sesuatu yang terpisah dari sistem biologis manusia, melainkan sangat terkait erat dengan fungsi otak. Dalam Alquran, ajakan untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal menunjukkan bahwa wahyu ditujukan kepada manusia yang sadar, cerdas, dan aktif secara mental.

Otak sebagai pusat kesadaran dan nalar menjadi sarana utama untuk menangkap kedalaman makna Alquran. Dengan demikian, semakin dalam seseorang mengaktifkan potensi akalnya dalam membaca dan mentadabburi ayat-ayat suci, semakin besar pula kemungkinan munculnya kesadaran spiritual yang utuh.

William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

0

Living Qur’an sebagai kajian yang tenar digandrungi sarjanawan bukanlah menjadi kajian yang hanya spesifik dikaji di Indonesia. Sesuai dengan namanya, ide gagasan penelitian ini adalah bahwa adanya kajian atas Alquran yang bukan hanya berkutat pada teks saja.

Secara garis besar, kajian ini mencakup dua dimensi: oral dan teks. Banyak istilah yang digunakan untuk memotret fenomena ini, misalnya, Natalia K. Suit menyebutnya Quranic Matters (Materialitas Alquran) (Qur’anic Matters: Material Mediations and Religious Practice in Egypt [Bloomsbury Studies in Material Religion).  Sementara itu, meskipun Farid Essack belum secara spesifik menamai fenomena ini, ia telah menyadarinya dan menorehkannya pada buku yang berjudul The Qur an: A User’s Guide pada bab 1.

Pada prinsipnya, apa yang disebut materialitas Alquran ini merupakan sebuah fenomena yang ada bahkan sejak zaman Nabi Saw., dan tidak selalu linier atau termaktub dalam teks Alquran, namun eksistensinya ada dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Tulisan ini hendak melihat tulisan William Graham dan Kermani yang berjudul “Recitation and Ashtetic Reception” dalam The Cambridge Companion To The Qur’an.

Baca Juga: Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik

Pertama-tama, tulisan ini secara garis besar mencakup dua pembahasan besar: pertama, objek material, yakni ragam temuan Graham terhadap fenomena pembacaan Alquran dalam berbagai kondisi dan aspek. Kedua, analisis. Pada bagian ini ia melihat makna yang terselubung atas adanya fenomena pada pembahasan pertama.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dua dimensi yang ada pada Alquran: oral dan teks. Pada bagian pertama, penjelasan terkait fenomena pembacaan Alquran dijelaskan dalam sepuluh keadaan, mulai dari hal-hal yang bersifat privat sampai publik.

Pertama, membaca Alquran (Qiraah/tilawah) merupakan satu bentuk kesalehan yang telah melekat bagi tiap muslim. Dalam tulisannya, ia juga mengulas bahwa adanya varian dialek pembacaan Alquran yang disebut dengan qiraah. Pembacaan yang lain adalah dengan melihat makna, struktur bahasa atau biasa disebut dengan tafsir. Tak lupa, ia mengulas tajwid dan qiraah.

Aspek lainnya yang menjadi sorotan adalah pembacaan Alquran dalam praktik kesalehan muslim tiap harinya. Selain itu, pembacaan Alquran juga mnejadiritual wajib pada peribadatan muslim seperti salat. Alquran juga dipraktikkan pada pendidikan tiap uslim mana kala ia tumbuh. Ia dipelajari, mula-mulanya, tidak untuk memahami maknanya, melainkan untuk dapat membacanya dengan tartil. Hal itu terjadi pada muslim baik itu yang faham bahas arab maupun tidak.

Dari banyak sisi Alquran itu dibaca, ia juga hidup baik di komunitas komunal maupun kehidupan privat. Sebagai contoh, perlombaan membaca Alquran, membaca Alquran pada malam bulan ramadhan atau menjelang salat wajib di masjid  adalah beberapa fenomena yang ada di kehidupan komunal. Sementara itu, pada kehidupan yang lebih privat, Alquran dibaca pada ritual seperti zikir, pada momen melahirkan, dan kematian.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Resepsi Estetik Alquran

Bagian kedua menjelaskan tentang aspek resepsi dari semua objek material yang telah dijelaskan sebelumnya. Sederhananya, resepsi adalah bentuk penerimaan atas seusatu. Pertanyaannya, apa nilai resepsi estetik pada Alquran?

Selain sebagai kitab pedoman yang harus diikuti isinya, Alquran memuat nilai-nilai estetik. Hal ini dapat dilihat dengan feomena sebelumnya, bagaimana masyaratkat meembacanya secara tartil. Hal itu bukanlah berjalan dengan sendiri, melainkan perintah tuhan (Allah) yang termaktub dalam kitab ini (Muzammil [73] ayat 4).

Untuk itu, Graham juga menyinggung bahwa praktik membaca Alquran secara tartil telah dipraktikkan pada zaman Nabi Saw. dan berhasil menarik banyak orang, khususnya masyarakat Arab untuk masuk Islam. Hal itu bukan karena isi atau ajarannya, melainkan mereka tertarik dari sisi estetiknya.

Baca Juga: Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

Hal yang tak luput dari penjelasan Graham adalah mengenai i’jaz Alquran. Sebagai teks yang berasal dari tuhan, keistimewaan Alquran ada pada keindahan bahasa dan tak dapat ditiru baik dari isi maupun struktur kalimat. Ia juga memperkaya perbendaharaan Bahasa Arab. Banyak karya sastra maupun ilmu kebahasaan yang muncul pasca diturunkannya Alquran.