Beranda blog Halaman 4

Keutamaan Doa di Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah

0
Keutamaan Doa di Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah
Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah

Penutup sebuah surah memiliki nilai istimewa yang setara dengan keindahan di awal surah. Hal ini karena penutup merupakan bagian terakhir yang didengar oleh orang yang menjadi sasaran pembicaraan (khitab). Oleh sebab itu, bagian akhir surah disusun dengan makna-makna yang indah dan mendalam (Yenda Mulya).

Dari seluruh surah yang ada dalam Alquran, hanya surah al-Baqarah yang diakhiri dengan sebuah doa. Hal ini menjadi sebuah keunikan tersendiri, karena tidak ada surah lain yang menempatkan doa di bagian penutupnya. Sementara itu, pada surah-surah lain, meskipun terdapat doa, letaknya tidak berada di akhir surah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 285-286

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Alquran) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.”

Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Albaqarah

Dalam Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa dua ayat terakhir surah al-Baqarah memiliki hubungan yang sangat kuat dengan bagian awal surah, sekaligus menjadi rangkuman dari berbagai pembahasan yang terdapat dalam surah al-Baqarah.

Begitu juga menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Ia mengutip Al-Biqa’i yang menjelaskan bahwa penutup surah Al-Baqarah dinilai sangat selaras dengan bagian pembukanya. Di awal surah, digambarkan sifat-sifat orang beriman yang meyakini kitab suci bebas dari keraguan. Sementara itu, bagian akhir surah memuat pernyataan keimanan terhadap wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt, setelah sebelumnya membahas tentang infak yang juga merupakan tema awal surah ini. Ayat-ayat di awal dan akhir surah disusun dengan harmonis dan saling berkaitan.

Doa yang Utama

Dalam surah Al-Baqarah, Allah Swt. memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad (berperang), sehingga wajar bila di akhir surah ini mereka memohon kepada Allah dengan doa, “Tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir…” Nabi Muhammad saw. menjelaskan keutamaan doa tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud r.a., beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ (مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتِينَ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ)

Dari Abu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa yang membaca dua ayat terakhir surah al-Baqarah pada malam hari, kedua ayat itu akan melindunginya (dari kejahatan setan).

Dijelaskan di dalam kitab Fathul Bari, bahwa makna sabda Nabi Muhammad saw. “kafataahu” adalah bahwa dua ayat terakhir surah Al-Baqarah akan melindungi orang yang membacanya dari berbagai keburukan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut akan menjaga seseorang dari gangguan setan, sehingga setan tidak mampu mendekatinya sepanjang malam. Pendapat lain menyebutkan bahwa Allah Ta‘ala akan mencukupinya dengan limpahan karunia dan pahala yang agung. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar bahwa ketiga pendapat tersebut bisa jadi semuanya benar.

Baca juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Doa yang terdapat di akhir surah al-Baqarah memiliki keterkaitan yang kuat dengan isi keseluruhan surah tersebut. Surah al-Baqarah memuat berbagai penjelasan mengenai kelompok-kelompok yang dipandang negatif dalam Alquran, seperti kaum Yahudi dan Nasrani. Beberapa ayat bahkan menguraikan secara rinci berbagai bentuk penyimpangan dan keburukan mereka melalui kisah-kisah tertentu (Tanāsuq al-Durar Fi Tanāsub al-Suwar).

Hal ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam doa penutup surah al-Baqarah, yang secara garis besar merupakan permohonan kepada Allah agar kita tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang disebutkan sebagai golongan sesat, serta memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan yang berasal dari mereka.

Cara Atasi Inner Child yang Terluka dengan Alquran

0
Inner child yang terluka
Inner child yang terluka

Diskusi tentang seluk-beluk manusia tidak akan pernah habis. Salah satunya pembahasan tentang kondisi psikologis manusia. Sebagian besar perilaku dan cara manusia bereaksi akan suatu hal dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Pengalaman yang diberikan oleh keluarga dan orangtua dalam mengasuh anak menjadi faktor terbesar perilaku terbentuk serta mempengaruhi inner child seseorang.

Pengertian Inner Child

Inner child merupakan kumpulan kejadian yang dialami oleh individu semasa kecil (Stephen A Diamond, Essential Secrets of Psychotherapy: The Inner Child, 2008). Pengalaman tersebut menjadi bagian dari seseorang yang berdampak hingga masa dewasa. Beberapa pengalaman negatif yang dapat menyebabkan inner child yang terluka adalah pengabaian dari orang terdekat, kekerasan secara fisik maupun emosional.

Baca juga: Mental Illness dalam Kajian Semantik Alquran

Inner child yang terluka mempengaruhi perilaku, emosi seperti takut, cara merespon atau berinteraksi, serta kesusahan dalam menjalani suatu hubungan. Permasalahan tersebut tentunya merugikan diri sendiri maupun orang lain. Karenanya diperlukan penyembuhan terhadap inner child yang terluka.

Alquran sebagai penyembuh

Alquran menawarkan berbagai solusi terhadap permasalahan manusia, salah satunya sebagai sarana untuk self-healing atau penyembuhan diri. Penyembuhan penyakit dapat dilakukan dengan Alquran karena spiritualitas seseorang terbangun melalui pembacaan firman-firman Allah Swt. (Mas’udi & Istikomah, Terapi Qur’ani Bagi Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, 141). Konsep self healing yang ditawarkan oleh Alquran di antaranya:

  1. Mengingat Allah

Sebagaimana yang tercantum dalam Alquran, Surah ar-Ra’d (13): 28

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan hati dan menyembuhkan luka batin adalah dengan berdzikir untuk mengingat Allah.

Dalam dunia Psikoterapi Islam, kegiatan berdzikir sendiri biasa dijadikan terapi penyembuhan. Menurut Ibn al-Qayyim, ayat Alquran atau doa yang digunakan untuk terapi memiliki efek yang menyembuhkan. Hanya saja, untuk bisa mencapai kesembuhan tersebut diperlukan sikap penerimaan terhadap pengobatan yang dilakukan (Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani, 184).

Baca juga: Keseimbangan Perspektif Al-Qur’an Sebagai Terapi Self-Healing

Ibn al-Qayyim juga menyatakan bahwa penyakit hati seperti kesusahan dan kegelisahan dapat disembuhkan dengan bacaan Alquran dan kalimat-kalimat thayyibah. Sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Maukah kalian aku kabari tentang sesuatu, yang apabila ada seseorang di antara kamu mengalami kesedihan atau suatu cobaan dunia lalu membaca doa ini pasti Allah akan melapangkannya? Ya. Nabi Saw bersabda, yaitu doanya Dhu al-Nun: “Tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani, 208)

  1. Memaafkan

Memaafkan orang-orang yang pernah melukai diri kita di masa lampau sangat berpengaruh pada kesehatan mental kita, khususnya dalam proses penyembuhan terhadap inner child. Memaafkan akan melepaskan beban emosional yang mengendap di hati. Seperti yang tercantum dalam Alquran Surah Ali Imran (3): 134

الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ​ۚ

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.

Menurut Shihab, terdapat tiga jenjang sikap manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 3, 221). Yaitu yang mampu menahan amarah, meskipun perasaan masih bergejolak, dan berpikir untuk membalas, namun mampu menahan dan tidak menuruti kata hati maupun pikiran.

Tingkat selanjutnya yaitu memaafkan. Kata al-‘afina berasal dari kata al-‘afw yang biasa diterjemahkan sebagai kata maaf. Kata ini bermakna antara lain menghapus. Memaafkan orang lain berarti menghapus bekas luka hati akibat kesalahan orang lain terhadap diri. Seakan menganggap tidak ada suatu kesalahan. Pada tingkatan ini, seseorang berpotensi untuk tidak memiliki hubungan dengan orang yang melakukan kesalahan.

Tingkatan terakhir merupakan tingkatan yang disukai Allah Swt., yaitu mereka yang menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadap mereka yang melakukan kesalahan.

  1. Menerima Takdir

Dengan menerima takdir rasa penyesalan dan marah akan berkurang. Menerima takdir berarti menerima apa saja yang pernah kita alami di masa lalu merupakan keputusan Allah Swt. Cara tersebut dapat mempengaruhi proses penyembuhan inner child dengan lebih baik. Allah Swt. berfirman dalam Surah at-Taghabun (64) :11

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dari ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa dengan mengimani takdir ada di tangan Allah Swt maka hati akan merasa tenang terhadap apapun yang menimpa. Baik itu kesenangan maupun kesedihan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 14, 274)

Disamping itu, kita juga harus memperbaiki diri, memberikan rasa aman dan nyaman terhadap diri. Di dalam al-Qur’an juga tercantum ayat yang memberikan kenyamanan dan ketenangan hati, khususnya bagi yang mengalami inner child. Di antaranya:

a. Ayat terkait penerimaan dan nilai diri (Surah at-Tin (95): 4) (Moch. Bashori Alwi, Tafsir Surat al-Tin dalam Tafsir Tahrir wa al-Tanwir Perspektif Maqasid al-Qur’an, 322)

b. Ayat tentang kesepian dan ditinggalkan (Surah ad-Dhuha (95): 3-5) (Muhammad Andri Setiawan & Karyono Ibnu Ahmad, Keterampilan Resiliensi dalam Surah Ad Dhuha, 42-45)

Baca juga: Stay Positive: Semua yang Datang dari Allah Adalah Baik

Dari pemamparan di atas, dapat kita pahami bahwa penting untuk mengobati hati yang terluka karena pengalaman yang tidak menyenangkan di masa kecil. Karenanya, melalui Alquran kita dapat mengetahui obat untuk menyembuhkan diri. Dengan mengingat Allah Swt, memaafkan orang yang pernah menyakiti, menerima takdir dari Allah Swt akan sangat berpengaruh pada proses penyembuhan inner child.

Marak Fenomena Flexing, Ini Perbedaan  Syukur dan Pamer dalam Islam

0
Perbedaan flexing dan tahaddus bin ni'mah
Perbedaan flexing dan tahaddus bin ni'mah

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di era teknologi dan komunikasi yang canggih. Kehidupan masa kini pun mengalami perubahan signifikan. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi masyarakat adalah media sosial. Pada dasarnya, media sosial berfungsi sebagai platform yang memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dan sebagai sarana berjualan. Akan tetapi, nyatanya, banyak masyarakat yang menjadikan media sebagai ajang pamer kekayaan. Perilaku seperti itu sedang marak dan disebut sebagai fenomena flexing. (Mutmainnah, Fenomena Flexing Dalam Ekonomi Islam, 32)

Baca juga: Sikap Alquran Terhadap Flexing Culture

Bahaya Flexing bagi Kehidupan Bermasyarakat

Flexing dalam konteks masa kini diartikan sebagai kebiasaan untuk memamerkan harta benda khususnya di media sosial. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya mengaitkan fenomena ini dengan kata bagha, yang berarti melampaui batas atau berbuat zalim. Kata ini dapat merujuk pada kesombongan seseorang akibat harta yang dimilikinya atau bisa disebut dengan riya’ (pamer). (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid 20, 160)

Quraish Shihab berpendapat bahwa flexing adalah perlakuan untuk memamerkan harta dengan tujuan mendapat pujian dari orang lain. (Fikri, Fenomena Flexing perspektif al-Qur’an, 38)

Pada dasarnya, popularitas bisa diraih ketika seseorang mampu menunjukkan nilai yang dimilikinya. Kelebihan yang diperoleh melalui kerja keras akan membangun personal branding secara alami. Namun, kenyataannya justru terbalik, banyak yang berusaha menampilkan kekayaan instan demi validasi sosial. Cara yang digunakan seringkali juga tidak sehat, bahkan ada yang berhutang hanya untuk menampilkan kemewahan yang semu. Hal ini membuktikan bahwa flexing memiliki dampak negatif serius yang perlu disadari oleh masyarakat.

Menariknya, fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah bahkan mencatat bagaimana kisah Fir’aun dan Qarun berakhir tragis. Dua tokoh terdahulu tersebut dihukum Allah akibat kesombongan yang lahir dari perilaku flexing. Kisah ini tercatat dalam surah al-Qashash. Fir’aun disebutkan dalam ayat 38 dan Qarun pada ayat 77. Berikut bunyi ayat-ayat tersebut:

Kesombongan Fir’aun:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى فَأَوْقِدْ لِى يَٰهَٰمَٰنُ عَلَى ٱلطِّينِ فَٱجْعَل لِّى صَرْحًا لَّعَلِّىٓ أَطَّلِعُ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُۥ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ

“Dan Fir’aun berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.”

Dalam al-Munir karya Wahbah Zuhaili ayat tersebut menceritakan tentang pengakuan Fir’aun sebagai tuhan yang patut disembah oleh rakyatnya karena keperkasaannya sebagai seorang raja. Bahkan dialog Fira’un dan Musa menandakan tentang penafian Tuhan selain dirinya. Menurut ar-Razi, pengakuan Fir’aun sebagai Tuhan tidak mengharuskannya untuk bisa menciptakan sesuatu, melainkan keharusan untuk mengagungkan dan menyembahnya secara mutlak. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 10, 387)

Kesombongan Qarun:

 اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْۖ وَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ

“Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”

Begitupun Qarun yang juga berbuat Zalim kepada sanak saudaranya untuk mengikuti setiap perintah. Saat penasehat datang dari kalangan bani Israil, Qarun menyombongkan harta dan keilmuwannya bahwa semua yang dilakukan adalah hasil kerja kerasnya bukan atas bantuan Allah Swt. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 10, 427)

Dari dua contoh di atas kita bisa mengambil benang merah larangan untuk melakukan flexing dari segi jabatan, harta atau yang lain dengan meniatkan diri untuk dipandang tinggi. Sifat yang akan timbul setelah flexing adalah sifat sombong. Allah sangat membenci sifat sombong karena seseorang akan merasa kuat tanpa bantuan Allah serta makhluk lain. Larangan sifat sombong terletak pada surah Luqman ayat 18 yang berbunyi:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”

      Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan tentang bahaya flexing bagi kehidupan sosial masyarakat.

  1. Masyarakat akan menjadikan tolak ukur kebahagiaan berupa hal yang tampak yakni harta. Penampakan masyarakat yang terlalu berfokus pada harta akan menjadikan seseorang yang tidak memiliki harta melimpah dan barang mewah akan dipandang sebelah mata.
  2. Memberikan pendidikan buruk pada seseorang untuk menjadi konsumtif. Seorang yang flexing akan membeli barang yang diinginkan bukan dibutuhkan untuk mendapat validasi dari orang yang melihatnya.
  3. Dampak buruk terbesar adalah melakukan praktik apapun untuk mendapat banyak harta. Seorang yang sudah memiliki sifat pamer dalam dirinya akan membenarkan segala cara untuk mendukung mendapatkan harta yang diinginkan

Perbedaan Flexing dan Tahadduts bin Ni’mah

Manusia zaman sekarang perlu mengembangkan sifat yang dapat melawan budaya flexing yang berujung pada kesombongan. Salah satu sifat yang diajarkan dalam Alquran adalah tahadus bi al-ni’mah (menyebut-nyebut nikmat dengan rasa syukur), sebagaimana tercantum dalam surat al-Dhuha ayat 11:

وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).”

Dalam kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakrudin al-Razi dijelaskan bahwasanya tahadus bi al-Ni’mah merupakan pengagungan atas nikmat yang diberikan oleh Allah tanpa melibatkan unsur riya’ atau sombong. Menyampaikan nikmat juga bertujuan sebagai teladan, agar orang lain terdorong untuk meneladani kebaikan tersebut.

Seperti kisah Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tentang keutamaan para sahabatnya. Kemudian ada seseorang yang berkata “ceritakanlah tentang dirimu.” Ali pun menjawab “Sungguh Allah melarang memuji dirinya sendiri.” Kemudian orang itu berkata “bukankah Allah telah berfirman” “Dan terhadap nikmat tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan?” Maka Ali pun menjawab keutamaan yang dimiliki olehnya. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 31, 201)

Perbedaan mendasar antara flexing dan tahadus bi al-ni’mah terletak pada sikap hati dan pengakuan atas sumber nikmat. Flexing berpusat pada diri sendiri, seolah-olah kesuksesan murni hasil usaha pribadi, sementara tahadus bi al-ni’mah  selalu melibatkan Allah sebagai pemberi nikmat, sehingga dapat menghilangkan kesombongan.

Kesimpulannya, tahadus bi al-ni’mah tidak hanya mengurangi kebanggan diri, bahkan bisa menghapusnya, karena semua kenikmatan yang diperoleh diyakini milik Allah semata. Dengan demikian, menyebut nikmat justru menjadi sarana untuk bersyukur bukan ajang untuk pamer atas apa yang didapatkan.

Q.S Al-Anbiya’ Ayat 30: Teori Big Bang dalam Perspektif Alquran

0

Kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti alam semesta, sehingga kosmologi adalah ilmu yang mempelajari asal-usul dan perkembangan alam semesta, adapun salah satu teori besar yang sering dibahas adalah Teori Big Bang.

Dalam buku berjudul Kosmologi karya Fabian H. Chandra (hlm. 82), menyebutkan bahwa pada tahun 1931, seorang astrofisikawan dan pendeta asal Belgia bernama Georges Lemaitre, ia mencetuskan gagasan bahwa alam semesta bermula dari satu titik rapat, lalu berkembang menjadi seperti sekarang.

Gagasan Big Bang mendapatkan sambutan luas, terutama setelah Edwin Hubble mengemukakan bahwa alam semesta mengembang. Para ilmuwan Big Bangist kemudian mulai mempelajari bagaimana alam semesta berkembang sejak awal. Big Bang bukanlah ledakan seperti bom, melainkan proses di mana ruang dan materi mengembang, seperti balon yang ditiup.

Perluasan ini terjadi di seluruh ruang, bukan hanya pada satu titik. Menariknya, konsep awal penciptaan alam semesta telah disinggung lebih dahulu dalam Alquran, yakni dalam surah al-Anbiya’ ayat 30. Ayat tersebut memuat isyarat yang sejalan dengan Teori Big Bang yang baru dikembangkan dalam sains modern.

Baca Juga: Mencari Titik Temu Sains dan Alquran

Penafsiran Surah Al-Anbiya’ Ayat 30

أَوَلَمْ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan riwayat dari ‘Athiyyah al-‘Aufi berkata, “Dahulu, alam ini bersatu, tidak menurunkan hujan, lalu hujan pun turun, tidak menumbuhkan tanaman, lalu tumbuhlah tanaman.” Disebutkan pula riwayat Isma’il bin Abi Khalid, “Aku bertanya pada Abu Shalih al-Hanafi tentang firman Allah ‘أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا’, Abu Shalih menjawab, “Dahulu langit itu satu, kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis langit, bumi dulunya satu yang kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis bumi.”

Sa’id bin Jubair berkata, “Bahkan, dahulu langit dan bumi saling bersatu padu. Lalu, ketika langit diangkat dan bumi dihamparkan, maka itulah pemisahan keduanya yang disebut Allah dalam firman-Nya.” Al-Hasan dan Qatadah menyebutkan bahwa langit dan bumi dahulu menyatu, keduanya dipisahkan dengan udara. (Alu Syaikh, Lubatut Tafsir Min Ibni Katsir Jilid 5, 2003, hlm. 447–448)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Atha’, adh-Dhahhak dan Qatadah mengatakan, “Yakni, bahwa itu dulunya sesuatu yang menyatu saling menempel, lalu Allah memisahkan antara keduanya dengan udara.” Dikatakan pula oleh Ka’b, “Allah menciptakan langit dan bumi sebagiannya di atas sebagian lainnya, kemudian menciptakan angin di tengahnya sehingga langit dan bumi terpisah, Allah menjadikan langit maupun bumi menjadi tujuh.” (Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 11, 1993, 283)

Menurut al-Qurthubi sendiri dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al Qur’an (Juz 11, 284), dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran berdasarkan kesaksian dan bukti yang tampak. Karena itu Allah juga mengabarkan ini di selain ayat ini untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan juga tentang pembangkitan kembali serta pembalasan amal perbuatan.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 8, 442 – 443), Quraish Shihab menafsirkan kata “رتقا” ratqan dari segi bahasa berarti terpadu, sedang kata “فتقناهما” fataqnahuma dari kata “فتق” fataqa yang berarti terbelah atau terpisah. Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, ada yang memahaminya dalam arti langit dan bumi merupakan satu gumpalan yang terpadu, kemudian Allah membelah langit dan bumi dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di bumi.

Ada juga yang berpendapat bahwa Allah memisahkan dengan cara mengangkat langit ke atas dan membiarkan bumi tetap berada ditempatnya, keduanya terpisah karena udara. Menurut Thabathaba’i, terulangnya berkali-kali kehidupan dan kematian yang terlihat menunjukkan bahwa suatu ketika langit dan bumi pernah merupakan kesatuan (gumpalan), kemudian atas kehendak Allah Swt, keduanya dipisahkan.

Penutup

Ayat ini dipahami oleh sementara ilmuwan sebagai salah satu mukjizat Alquran yang mengungkap peristiwa penciptaan, banyak teori ilmiah yang dikemukakan oleh para pakar dengan bukti yang cukup kuat, salah satunya Teori Big Bang. Meskipun tidak dapat diklaim bahwa Alquran secara langsung mendukung teori ilmiah tersebut, tidak ada salahnya jika teori tersebut memperkaya pemahaman dalam menafsirkan firman Allah Swt.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Alquran memanglah sumber ilmu yang melahirkan berbagai disiplin ilmu lainnya. Banyak konsep dalam Alquran yang seiring berjalannya waktu terbukti selaras dengan temuan ilmiah, menunjukkan bahwa wahyu Allah Swt dapat menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun korelasi antara sains dan Alquran menunjukkan bahwa ilmu yang terkandung dalam Alquran tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam pemahaman ilmiah.

Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

0

Perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam dunia tafsir merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Begitupun dengan tafsir dari kalangan Syiah, mereka mempunyai metode sendiri, yang berbeda dengan tafsir-tafsir pada umumnya. Khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat “ulil amri”, dalam Alquran sendiri terdapat dua ayat yang mengandung kata “ulil amri” yakni dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 dan ayat 83. Namun, sebelum masuk lebih dalam tentang penafsiran dari tafsir Syiah ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu tentang sejarah singkat dan metode penafsiran yang digunakan oleh tafsir Syiah pada umumnya.

Sejarah Tafsir Syiah

Menurut Rosihon Anwar, kemunculan tafsir dalam tradisi Syiah berkaitan erat dengan lahirnya doktrin Imamah, yaitu keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat harus dipegang oleh para Imam dari Ahlulbait. Perkembangan ini juga terjadi seiring dengan kemunculan Syiah Zaidiyyah, serta semakin terlihat pada masa kemunculan Syiah Ismailiyah sekitar tahun 147 Hijriah. Beberapa pandangan menyebut bahwa tradisi tafsir Syiah mulai tumbuh sejak masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Metode Penafsiran Tafsir Syi’ah

Mufassir dari kalangan Syiah memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan Alquran. Mereka lebih menekankan pada makna batin dari ayat-ayat Alquran. Secara umum kaum Syiah menggunakan pendekatan penafsiran esoteric-sentris (metode takwil) dalam memahami Alquran. Dalam metode takwil, penafsiran lebih diarahkan untuk mencari makna yang lebih dalam, kadang bersifat simbolik atau kiasan, dan biasanya dipakai untuk memahami ayat-ayat yang mempunyai makna tersembunyi atau tidak langsung.

Baca Juga: Q.S. Alan’am Ayat 159: Faktor Perpecahan Internal Umat Islam dan Solusinya

Contoh Penafsiran dari Tafsir Syiah.

  1. An-Nisa’(4):59

يَٰۤاءَيُّهاَ الّذِينَ ءَامَنُوۤا اَطيعُواْ اللَّهُ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَاُوْلِي الْأَمْرِ مِنكٌمْ ۖ….

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil amri (pemegang kekuasaan)…

Dalam tafsir Al-Shafi, al-Kasyani mengutip dari kitab-kitab Syiah seperti Al-Kafi dan Tafsir Al-Ayyashi yang menjelaskan bahwa “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah para imam dari keturunan Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, dan keturunan mereka yang dianggap ma’shum (suci). Dalam pandangan syiah, kepemimpinan umat Islam setelah Nabi bukan ditentukan lewat pemilihan politik, tetapi melalui garis keturunan Ahlul Bait. Imam Al-Baqir dan Imam Ash-Shadiq menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil amri diantara kalian” adalah para imam dari Ahlul Bait. Ketaan kepada mereka tidak hanya diwajibkan dalam konteks keagamaan, tetapi juga sebagai penerus dari kekuasaan setelah wafatnya Nabi Muhammad. (Muhsin al-Kasyani, Tafsir al-Shafi, Jilid 2, hal. 257-269)

Pandangan serupa juga disampaikan oleh al-Tabarsi dalam tafsirnya Majma’ al-Bayan. Ia menjelaskan bahwa “ulil amri” yang disebut dalam surah An-Nisa ayat 59 adalah para imam dari keluarga Nabi (ahlul bait). Ia mengutip Riwayat dari imam al-Baqir dan Imam Ja’far al-Shidiq yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan ketaatan kepada mereka, sebagaimana kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut al-Tabarsi, ketaatan mutlak hanya bisa diberikan kepada orang yang ma’shum, yaitu yang dijaga dari kesalahan dan dosa. Karena itu, ia menolak pendapat yang menyamakan ulil amri dengan pemimpin politik atau ulama biasa yang bisa berbuat salah. Baginya, para imam Ahlul Bait adalah penerus Nabi. Mereka dianggap memiliki ilmu dan bimbingan langsung dari Allah, sehingga pantas dijadikan panutan utama dalam memimpin umat setelah nabi wafat. (Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 3, hal. 96)

Baca Juga: Kodifikasi Tafsir Jalalain; Kritik Terhadap Penulis Kasyf al-Zunnun

  1. An-Nisa’(4):83

وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُلِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ…

“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”

Dalam kitab nya Al-Mizan fi tafsir ‘l-Quran, Thabathaba’i menafsirkan ayat “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 83 tidak jauh beda dengan pemaknaan “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 59. Ia mengulas satu persatu penafsiran kata “ulul amri” yang ada dalam tafsir pada umumnya. Mulai dari para pemimpin pasukan, para Ulama, Khulafaur Rasyidin, Orang yang berpengaruh hingga para pemerintah di era modern. Menurutnya, kelompok-kelompok itu tidak memiliki wewenang atau keistimewaan untuk menganani persoalan yang mengguncang umat, dan tidak ada bukti kuat dari Alquran atau hadis shahih yang mendukung penafsiran-penafsiran tersebut. Di akhir penafsirannya Thabathaba’i menyimpulkan bahwa “ulil amri” yang dimaksud dalam ayat ini adalah para pemimpin yang maksum yaitu dua belas imam suci penerus Nabi Muhammad. (AL-MIZAN An Exegesis of the Holy Qur’an, Volume 9, hal. 30-32)

Dari ketiga penafsiran mufassir Syiah di atas, mereka sepakat bahwa makna ayat “ulil amri” dalam Alquran mengacu pada para imam dari keturunan nabi Muhammad (ahlul bait) yang suci (ma’shum), seperti Imam Ali, Hasan, Husain dan seterusnya. Para mufassir Syiah seperti Al-Kasyani, Al-Tabarsi, dan Thabathaba’I menekankan bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi bukan berdasarkan sistem politik atau pemilihan umum seperti yang di tafsirkan oleh para mufassir-mufassir umumnya.

Ta’aruf Qur’ani: Jembatan Melintasi Polarisasi

0
Ta'aruf Qur'ani: Jembatan Melintasi Polarisasi
Ta'aruf Qur'ani: Jembatan Melintasi Polarisasi (sumber: Unsplash)

Di tengah era digital yang terbelah oleh algoritma dan politik identitas, Alquran telah menawarkan konsep revolusioner empat belas abad silam: ta’aruf—proses saling mengenal yang mendalam. Konsep ini menyediakan kerangka etis untuk menjembatani jurang pemisah dalam masyarakat kontemporer yang terpolarisasi.

Keragaman untuk Saling Mengenal

Allah Swt. berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Ibnu Katsir (26/258) menjelaskan bahwa ayat ini hadir sebagai transisi dari petunjuk interaksi sosial menuju introspeksi personal. Ayat ini merespons fenomena pada masa jahiliah ketika setiap suku membanggakan diri dan menghina suku lain. Beberapa kabilah seperti Bahilah, Dhabi’ah, dan Bani ‘Akl sering menjadi objek penghinaan. Sebuah riwayat menceritakan tentang seorang Badui yang ditanya: “Apakah engkau ingin masuk surga meskipun engkau dari Bahilah?” Ia menjawab: “Ya, dengan syarat penduduk surga tidak tahu saya dari Bahilah.” Menurut Ibnu Katsir, fanatisme kesukuan inilah yang melahirkan berbagai penyakit sosial seperti ejekan, pencemaran nama baik, dan prasangka buruk.

Al-Maraghi (26/143) memperkuat penjelasan ini dengan menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut. Ketika Bilal bin Rabah, sahabat berkulit hitam dan mantan budak, mengumandangkan azan di atas Ka’bah saat pembebasan Makkah, beberapa tokoh Quraisy membuat komentar “rasis.” ‘Attab bin Usaid berkata: “Alhamdulillah ayahku telah wafat dan tidak menyaksikan hari ini.” Harith bin Hisham bertanya: “Tidakkah Muhammad menemukan selain burung gagak hitam ini untuk menjadi muadzin?” Al-Maraghi menegaskan bahwa ayat ini turun sebagai teguran atas kesombongan berbasis keturunan dan kekayaan, sambil menetapkan bahwa kemuliaan hanya diukur dengan ketakwaan.

Baca juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Bagi mereka yang terkurung dalam gelembung informasi dan menolak membuka diri pada perspektif berbeda, ayat ini membawa pesan mendasar: keragaman bukanlah ancaman yang harus dihindari, melainkan desain ilahi untuk proses ta’aruf—saling mengenal secara mendalam. Di era algoritma yang mengarahkan manusia hanya pada konten yang mengonfirmasi bias yang sudah ada, ayat ini menjadi panggilan ilahi untuk secara aktif mencari dan memahami sudut pandang yang berbeda.

Kata li ta’ārafū menggunakan bentuk resiprokal, menggarisbawahi proses dua arah yang jauh melampaui konsep ”toleransi” sepihak. Bagi mereka yang menolak perspektif berbeda, ayat ini menantang untuk tidak hanya menerima perbedaan, tetapi aktif mempelajarinya. Mereka yang hanya nyaman dalam homogenitas pandangan perlu menyadari bahwa sikap tersebut paradoksal dengan fitrah keragaman yang Allah ciptakan sebagai sarana untuk memperkaya pemahaman tentang kebesaran-Nya.

Keragaman sebagai Tanda Kekuasaan Allah

Allah Swt berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 22).

Al-Thabari (18/479) menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bukti kekuasaan Allah yang mampu menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit manusia. Beliau menafsirkan bahwa jika Allah mampu menciptakan keragaman ini, tentu Dia juga mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematian—sebuah fenomena yang sering diingkari oleh kaum musyrikin.

Al-Maraghi (21/38–39) menambahkan dimensi praktis dalam tafsirnya bahwa keragaman bahasa—Arab, Prancis, Inggris, Hindi, Mandarin, dan lainnya—memungkinkan untuk membedakan antara teman dan musuh, serta mengenali asal-usul seseorang. Keragaman bahasa dan fisik manusia merupakan kebutuhan esensial dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak terhitung banyaknya.

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 13

Bagi mereka yang menganggap perbedaan sebagai ancaman, ayat ini mengubah paradigma fundamental: perbedaan bahasa, warna kulit, dan latar belakang budaya bukanlah hasil kebetulan evolusioner atau konstruksi sosial semata, tetapi merupakan “ayat”—tanda-tanda kekuasaan Allah yang sengaja diciptakan untuk direnungkan. Menolak atau menghindari keragaman sama dengan mengabaikan kesempatan untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang termanifestasi dalam beragam ekspresi kemanusiaan.

Di era polarisasi digital di mana banyak orang secara aktif menghindari perspektif yang berbeda, ayat ini menyodorkan pemahaman bahwa keragaman merupakan dimensi spiritual yang tidak terpisahkan dari penciptaan. Bagi mereka yang terjebak dalam keseragaman pandangan, pengamatan mendalam terhadap keragaman bahasa dan fisik manusia dapat menjadi pintu masuk untuk mengapresiasi kompleksitas ciptaan Allah. Dengan mengabaikan keragaman, seseorang sesungguhnya kehilangan kesempatan untuk menjadi “orang-orang yang mengetahui” (lil-‘ālimīn) sebagaimana disebut di akhir ayat.

Kesatuan Asal Manusia

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Menurut Ibnu Ashur (2/298) ayat ini menegaskan bahwa perbedaan agama adalah fenomena yang muncul di tengah manusia karena adanya hikmah tertentu, dan Allah kemudian mengembalikan manusia pada kesatuan agama melalui Islam. Beliau menekankan bahwa semua manusia berasal dari orang tua yang sama, Adam dan Hawa.

Pada awalnya, umat manusia membentuk satu komunitas dengan temperamen dan gaya hidup yang serupa. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang condong pada kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Thin ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut Ibnu Ashur (2/303), akal yang sehat menjadi unsur terpenting dalam fitrah manusia ini, memungkinkan mereka untuk membedakan yang baik dan buruk serta mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Alquran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?

Bagi mereka yang terperangkap dalam identitas kelompok yang sempit dan eksklusif, ayat ini mengingatkan tentang kesatuan primordial umat manusia. Di era ketika politik identitas memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan, ayat ini menjadi pengingat bahwa fragmentasi identitas yang terlihat saat ini adalah deviasi dari kondisi asal manusia yang satu.

Frasa “kāna al-nāsu ummatan wāhidah” (manusia itu adalah umat yang satu) memberikan landasan ontologis untuk mengatasi polarisasi. Mereka yang tidak membuka diri pada dialog antarkelompok perlu menyadari bahwa sikap ini bertentangan dengan fitrah kesatuan manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan setelah manusia berkembang biak dan membentuk komunitas yang beragam. Namun, Allah telah menyediakan petunjuk melalui para nabi dan kitab suci untuk mengatasi perbedaan tersebut.

Dalam konteks ruang gema digital yang memperkuat polarisasi, ayat ini mengajak untuk kembali pada kesadaran akan asal kemanusiaan bersama. Alih-alih mengunci diri dalam identitas partisan yang sempit, setiap orang diingatkan bahwa di balik semua perbedaan ideologi, politik, dan keyakinan, terdapat kemanusiaan bersama yang berasal dari sumber yang sama. Kesadaran ini dapat menjadi fondasi untuk dialog yang melampaui sekat-sekat identitas.

Aplikasi Ta’aruf di Era Digital

Beberapa prinsip utama dari konsep ta’aruf yang dapat menjembatani polarisasi modern:

  • Kesatuan asal: mengenali bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama, sehingga menyediakan landasan dialog melampaui perbedaan identitas.
  • Keragaman sebagai ayat: memandang perbedaan bahasa, warna kulit, dan budaya sebagai tanda kekuasaan Allah, bukan sebagai ancaman.
  • Dialog multiarah: membangun komunikasi otentik yang berfokus pada pemahaman, bukan sekadar memenangkan argumen.
  • Ketakwaan sebagai standar: mengevaluasi diri dan orang lain berdasarkan integritas dan ketakwaan, bukan berdasarkan identitas kelompok.
  • Proaktif melintas batas: secara sadar mencari perspektif yang berbeda untuk melawan algoritma yang mempersempit pandangan.

Menghidupkan Ta’aruf, Merawat Kemanusiaan

Konsep ta’aruf yang digariskan Alquran menawarkan jalan keluar dari polarisasi yang mencengkeram masyarakat digital masa kini. Prinsip ini bukan sekadar seruan untuk toleransi pasif, melainkan undangan aktif untuk memperkaya diri melalui perjumpaan dengan keragaman. Dalam masyarakat yang terkotak-kotak oleh algoritma dan politik identitas, ayat-ayat tentang keragaman dan kesatuan asal manusia menjadi panduan profetik yang mengingatkan bahwa perbedaan adalah desain ilahi untuk saling memahami, bukan untuk saling menjauh.

Menghidupkan kembali prinsip ta’aruf dalam interaksi digital dan sosial memerlukan transformasi mendalam dalam cara memandang “yang lain.” Ini mengharuskan setiap individu untuk melampaui sekat-sekat identitas yang membatasi, dan kembali pada kesadaran bahwa di balik seluruh perbedaan politik, ideologi, dan budaya, terdapat kemanusiaan bersama yang mendambakan pengakuan, pemahaman, dan penghargaan. Dalam cara inilah manusia dapat menemukan jalan keluar dari labirin polarisasi menuju peradaban yang lebih berkeadaban. Wallahu ‘alam.

Menyelami Dinamika Sejarah Mushaf: Bedah Buku “Konstruksi Sejarah Mushaf Alquran Abad Pertama Islam”

0

Jumat, 25 April 2025 – Perpustakaan Pusat Studi Al-Quran bersama tafsiralquran.id dan studitafsir.com menyelenggarakan webinar bedah buku perdana dengan mengkaji buku karya Wildan Imaduddin yang berjudul Konstruksi Sejarah Mushaf Al-Quran Abad Pertama Islam. Buku tersebut fokus membahas tentang sejarah kodifikasi mushaf Alquran pada abad pertama Islam.

Latar Belakang Penulisan Buku

Buku ini lahir dari kegelisahan akademik yang dirasakan oleh Wildan. Ia melihat bahwa selama ini pembahasan sejarah mushaf hanya berhenti pada narasi teologis umum, tanpa menggali dinamika historis dan polemik di balik pembentukannya. Ia juga menceritakan bahwa kodifikasi mushaf tidak sesederhana narasi populer seperti di masa Abu Bakar atau Utsman bin Affan saja, melainkan dipenuhi dengan dinamika sosial-politik, termasuk peran penting pada masa Abdul Malik bin Marwan.

Dalam menulis bukunya, ia merujuk banyak sumber klasik seperti Kitab al-Mashahif karya Ibnu Abi Daud dan Fadha’il al-Quran karya Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, dan mengembangkan gagasan bahwa Alquran awal adalah korpus terbuka, yang baru menjadi “tertutup” seiring adanya kodifikasi. Ia mengakui bahwa penulisan bukunya dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Arkoun tentang “cadrage corpus fermé” (korpus tertutup), meskipun ia berusaha menjaga keseimbangan antara pendekatan historis dan keyakinan teologis.

Baca Juga: Menelusuri Jejak Sejarah Kodifikasi Qira’at Setelah Mushaf Usmani

Tanggapan dan Respon Pembanding

Limatus Sauda selaku dosen di Universitas K.H Abdul Halim Pacet Mojokerto mengapresiasi spesialisasi buku ini dalam membahas sejarah mushaf Alquran. Menurutnya, buku ini memberikan kemudahan bagi akademisi untuk mendapatkan data sejarah mushaf secara langsung, tanpa harus melalui pembahasan sejarah Alquran secara umum. Ia juga mengangkat isu penting: apakah benar dinamika politik sangat berperan dalam penyusunan mushaf? Hal ini merujuk pada konsep Muhammad Arkoun tentang “korpus tertutup”, di mana penyusunan mushaf terjadi dalam kondisi politik yang penuh ketegangan. Limatus melihat bahwa buku ini berkontribusi dalam mendetailkan kompleksitas tersebut.

Sementara itu, Muamar Zain Kaddafi selaku Direktur Studi Quran dan juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyoroti keunggulan buku ini dalam merevitalisasi sumber klasik seperti Kitab al-Masahif dan Fadā’il al-Qur’ān, yang selama ini jarang dikaji secara kritis. Ia juga mengapresiasi penggunaan kata “saya” oleh Wildan dalam narasi akademiknya, yang menunjukkan keberanian dalam berargumen.

Namun, Muamar juga mengkritik bahwa buku ini masih “menjaga aman” dan belum sepenuhnya mengeksplorasi konsekuensi logis dari data-data provokatif yang diungkapkan. Misalnya, temuan bahwa mushaf Irak justru lebih mirip dengan mushaf Utsman dibanding mushaf Madinah, seharusnya bisa dikembangkan menjadi argumen yang lebih berani. Muamar juga menekankan bahwa menerima konsep “korpus terbuka” berarti membuka peluang besar untuk kajian filologis Alquran ke depan, dan juga siap menghadapi perdebatan teologis terkait otentisitas mushaf yang beredar saat ini.

Baca Juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Penutup

Webinar ini menguatkan posisi buku Konstruksi Sejarah Mushaf Al-Quran Abad Pertama Islam sebagai karya penting di bidang kajian sejarah Alquran. Buku ini memperkenalkan gaya kritik tradisi, yaitu mengkaji riwayat-riwayat klasik tanpa kehilangan sikap penghormatan terhadap teks suci.

Wildan berhasil menunjukkan bahwa sejarah mushaf bukanlah narasi linier dan sederhana. Sebaliknya, ada dinamika politik, sosial, bahkan perbedaan di tingkat manuskrip, yang membentuk Alquran sebagaimana yang dikenal hari ini. Meskipun Wildan memilih untuk tidak terlalu jauh dalam berkonklusi, ia membuka ruang besar bagi diskusi, penelitian lanjutan, dan kajian kritis terhadap sejarah teks Alquran di masa depan.

Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi

0
Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi
Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi (sumber: Unsplash)

Dalam sistem kepemimpinan yang ideal, seseorang seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan integritasnya, bukan sekadar faktor keturunan, kekayaan, atau kedekatan dengan penguasa. Prinsip ini dikenal sebagai meritokrasi, yaitu sistem yang menempatkan seseorang dalam suatu posisi berdasarkan prestasi dan kompetensinya. Islam, melalui Alquran, telah menegaskan pentingnya meritokrasi dalam memilih pemimpin dan mengemban amanah kepemimpinan.

Kepemimpinan Harus Diisi Berdasarkan Kompetensi

Alquran mengajarkan bahwa seseorang yang diberikan amanah kepemimpinan haruslah orang yang memiliki kapasitas dan keahlian yang cukup. Dalam kisah Nabi Yusuf misalnya, beliau secara tegas menawarkan diri untuk mengelola perbendaharaan negara karena memiliki dua kualitas utama, yaitu kecerdasan dan integritas.

قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ ۝٥٥

Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (Q.S. Yusuf: 55).

Quraish Shihab dalam tafsirnya menyoroti bahwa pemilihan pemimpin harus mengutamakan kompetensi dan amanah. Beliau menjelaskan bahwa Nabi Yusuf tidak sekadar meminta jabatan, tetapi ia memilih tugas yang sesuai dengan keahliannya, yakni perbendaharaan negara. “Permintaan jabatan yang diajukan oleh Yusuf as. kepada Raja di atas tidaklah bertentangan dengan moral agama yang melarang seseorang meminta jabatan. Permintaan tersebut lahir atas dasar pengetahuannya bahwa tidak ada yang lebih tepat dari dirinya sendiri dalam tugas tersebut.” (Tafsir Al-Mishbah, 6: 484).

Baca juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

Ia juga menyoroti bahwa Nabi Yusuf tidak serta-merta menerima segala bentuk jabatan yang ditawarkan kepadanya, melainkan secara selektif memilih tugas yang sesuai dengan keahliannya, yaitu dalam bidang perbendaharaan negara. Ini mencerminkan prinsip penting dalam kepemimpinan Islam bahwa seseorang sebaiknya hanya mengambil peran yang benar-benar mampu dijalankan dengan baik.

“Dapat juga dikatakan bahwa sebenarnya Yusuf as. terlebih dahulu ditawari atau ditugasi oleh Raja untuk membantunya dalam berbagai bidang. Tawaran itu diterimanya, tetapi Yusuf as. memilih tugas tertentu–bukan dalam segala bidang. Karena itu, dia bermohon kiranya penugasan tersebut terbatas dalam bidang keahliannya saja, yakni perbendaharaan negara.” (Tafsir Al-Mishbah, 6: 485).

Kepemimpinan Adalah Amanah, Bukan Hak Istimewa

Islam menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah hak yang diwariskan atau didapat karena kedekatan pribadi, tetapi merupakan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Allah Swt. berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًا ۢ بَصِيْرًا ۝٥٨

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. (Q.S. An-Nisa: 58).

Ayat ini menegaskan bahwa ketika menempatkan seseorang dalam jabatan tertentu, harus diperhatikan apakah dia benar-benar berhak atas amanah tersebut. Pemimpin yang dipilih karena nepotisme atau kepentingan kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan kemampuannya hanya akan membawa kehancuran bagi masyarakat.

Baca juga: Al-Qawiyyu al-Amin sebagai Idealitas Kepemimpinan

Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa amanah bukan hanya sebatas titipan, tetapi juga mencakup kepercayaan dan tanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan. Ia menyatakan, “Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat.” (Tafsir Al-Mishbah, 2: 480).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa amanah memiliki dimensi moral yang kuat. Seseorang yang menerima amanah harus menjaga dan mengembalikannya sesuai haknya. Selain itu, ia menegaskan bahwa amanah dan keadilan harus ditegakkan tanpa diskriminasi, sebagaimana ia katakan, “Baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras.” (Tafsir Al-Mishbah, 2: 481).

Dampak Positif Meritokrasi dalam Kepemimpinan

Ketika meritokrasi diterapkan, kepemimpinan menjadi lebih efektif karena dipegang oleh individu yang benar-benar kompeten dan berintegritas. Pemimpin yang terpilih atas dasar kompetensi cenderung mengambil keputusan yang tepat, mengelola sumber daya dengan bijak, dan menjalankan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Dengan sistem ini, praktik korupsi dan nepotisme dapat diminimalisasi, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah atau organisasi dapat meningkat. Selain itu, stabilitas sosial pun terjaga karena masyarakat merasa dipimpin secara adil dan profesional.

Baca juga: Mengangkat Alquran: Peran Performatif dan Simbolisme dalam Pelantikan Pemimpin

Alquran dengan jelas mengajarkan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada meritokrasi, bukan faktor nepotisme, kekayaan, atau keturunan. Islam menekankan bahwa jabatan adalah amanah yang harus diberikan kepada orang yang memiliki kompetensi dan integritas. Dalam memilih pemimpin, baik di lingkungan kecil maupun dalam skala negara, umat Islam harus berpegang pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Alquran. Dengan begitu, kepemimpinan yang dihasilkan akan memberikan manfaat nyata dan mendatangkan keberkahan bagi semua.

Wallahu a’lam

Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

0

Alvin mencontohkan salah satu konflik toleransi yang terjadi adalah umat non-Muslim mengkritik suara toa Masjid di daerah Sumatera. Menurutnya, media memiliki peran untuk meredam konflik tersebut.

“Itukan panjang konfliknya, harusnya media itu membuat konfliknya semakin menurun. Itukan sebenarnya konflik antar tetangga, isunya semakin naik karena Miliana sebagai non-Muslim dan toa sebagai bentuk syiar Muslim, kemudian dibawa kemana-mana karena media tidak meredam konflik itu,” katanya.

Ia menekankan bahwa dalam menulis suatu pemberitaan, media diharuskan mendapatkan informasi dari korban, pelaku, saksi mata, pihak berwenang, dan pengamat. Penting juga untuk melindungi narasumber, terutama dari kelompok rentan.

Baca Juga: Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

“Korban harus menjadi narasumber utama, ini penting. Kita perlu melihat perspektif korban, melihat sebelum konflik itu terjadi, sebelum kelompok itu terjadi, jangan sampai karena sulit mencari korban, dan tokoh agama setempat sudah mengumumkan langsung menjadi narasumber utama tanpa mengecek kembali konflik terjadi,” ungkap Alvin.

Alvin mengatakan ketika mencari informasi langsung kelapangan, perlu memiliki prespektif HAM, keberagaman, dan menguasai konteks lokal.

“Jangan sampai ketika ke lapangan, langsung aja warga diwawancarai tanpa melihat latar belakangnya, orangnya seperti apa, daerah setempatnya seperti apa, wartawan harus informasi ini,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa media perlu menghindari enam aspek, yaitu (1) tidak memahami agama dan tafsir kelompok yang diliput; (2) melibatkan tafsir dan kepercayaan pribadi; (3) melakukan stereotyping dan melibatkan prasangka; (4) menampilkan judul dan diksi provokatif mengandung SARA dalam penulisan berita; (5) motivasi misi/dakwah/penyebaran agama; dan (6) tidak sensitive terhadap istilah dan simbol agama.

“Jangan sampai satu kata yang ada diberita menjadi landasan kelompok tertentu untuk mengintimidasi, memberikan ancaman, melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain,” ujar Redaktur Islami.co.

Alvin menyampaikan perlunya melindungi diri saat mencari informasi langsung kelapangan diantaranya menjaga dari kekerasan, terdapat jaminan kesehatan, kondisi fisik sehat dan siap, memahami budaya lokal, mempersiapkan akomodasi, dan kewaspadaan terhadap ancaman digital.

Senada, Aktivis Inklusi Sosial, Abi Setio Nugroho menyampaikan bahwa masyarakat sipil memiliki fungsi sebagai penyeimbang negara dan penyambung kelompok rentan serta berperan sebagai agen transformasi sosial dan politik dalam konteks kebebasan Bergama dan berkeyakinan (KBB).

“Dalam isu kebebasan beragama, masyarakat sipil menjadi intermediary antara masyarakat korban intoleransi dan pengambil kebijakan,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa fenomena konflik antara moderasi dan realitas intoleransi yang tercantum dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 dan Peta Jalan Moderasi Beragama (PJMP) masih terdapat ketimpangan antara dokumen kebijakan dan realitas.

“Kita contohkan pada kasus GKI Yasmin, Gereja di Cilegon, dan Ahmadiyah di Kuningan Sukabumi, Lombok, dan Sintan ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak bergama, yang kemudian diangkat oleh media dan masyarakat sipil,” katanya.

Baca Juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Abi menyampaikan perlu peran strategis dari media dan masyarakat sipil diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Wahid Foundation, dan Gusdurian Networking yang aktif memproduksi narasi tanding dan konten digital bernuansa toleransi.

“AJI dan LBH Pers telah mencatat bahwa peliputan yang tidak sensitif kerap memperburuk stigmatisasi terhadap minoritas agama, dan laporan dari SETARA Institute tahun 2023 terdapat 180 pelanggaran KBB dan 61 persen diangkat pertama kali oleh media,” ungkapnya.

Ia menyampaikan terdapat studi dan riset pendukung dalam menyebarkan berita tentang keberagamaan, di antaranya Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Google tahun 2020 dengan topik “Memahami Dunia Digital” menemukan bahwa konten toleransi lebih banyak dikonsumsi, tapi kalah cepat dari konten kebencian dalam algoritma.

“Penelitian dari Paramadina, YLBHI, ICRS, dan CRCS UGM, The Asia Foundation, dan Oslo Coalition for Freedom of Religion of Belief pada tahun 2022 dengan judul Refleksi Advokasi yang menyoroti lemahnya kapasitas jurnalis memahami isu KBB, sehingga seringkali bias dalam peliputan” ujar Abi.

Ia menyampaikan tantangan yang dihadapi media yaitu fragmentasi narasi media yang berbeda-beda dalam memaknai isu agama, ancaman jurnalis melalui digital, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak minoritas agama sebagai narasumber.

“Undang-Undang Pers belum cukup melindungi jurnalis dari ancaman ketika mengangkat isu sensitif keagamaan, minimnya pendanaan dari media dan godaan mengejar traffic untuk memperbanyak pengunjung,” katanya.

Abi menyarankan bahwa perlu penguatan kapasitas media melalui pelatihan jurnalis dalam peliputan berbasis HAM dan pluralisme, serta terdapatnya penyusunan panduan liputan sensitive terhadap isu keagamaan.

“Advokasi kebijakan perlu merevisi kebijakan penyiaran agar sensitif pada KBB, dan mendorong pemerintah daerah menyusun acuan penanganan intoleransi berbasis pelaporan media dan masyarakat sipil,” katanya.

“Perlu juga koalisi media dan masyarakat sipil, dan platfrom kerja yang kolaboratif untuk membangun media yang menayangkan konten lintas agama, suku, gender, dan keyakinan,” lanjutnya.

Pertanyaan lebih lanjut terkait dengan isi press release ini dapat menghubungi : 1) sdr. Muhamad Masrur Irsyadi (0857 1693 9557) dan 2) sdr. Zainuddin (0821 6830 7959)

Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

0

Moderasi beragama menjadi agenda penting dalam menjaga harmoni sosial, kebinekaan, dan perdamaian di masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Peraturan Presiden (Perpes) Moderasi Bergama Nomor 58 tahun 2023 bahwa Kementerian Agama (Kemenag) RI menjadi institusi yang menjadi leading sector implementasi moderasi beragama yang dengan berkolaborasi antar lintas sektor, termasuk media.

Sub Direktorat Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag, Muhammad Syafaat menyampaikan dalam kepemerintahan Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar bahwa moderasi beragama tidak hilang, namun istilahnya berubah menjadi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan ekoteologi.

Baca Juga: Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

“Istilah kerukunan di zaman Narasuddin Umar diganti namanya menjadi beragama maslahat yang dicanangkan menjadi jilid kedua yang bukan lagi berfikus pada isu internal umat beragama, antar agama dengan pemerintah, namun isu yang lebih baru yaitu agama dengan lingkungan, agama dengan kemanusiaan,” ujarnya dalam Acara Webinar Media Gathering pada Jumat (25/4/2025).

Ia mengatakan bahwa pelaksanaan kerukunan berpusat di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Badan Pengembangan Moderasi Beragama dan Sumber Daya Manusia (BMB/BPSDM).

“Sebanyak 89 persen umat di Indonesia ini beragama Islam, konflik paling tinggi setelah pasca-reformasi dari umat Islam yang melibatkan agama atau keyakinan. Disitulah kami bekerja untuk menangani konflik-konflik tersebut,” katanya.’

Syafaat menjelaskan dasar hukum moderasi beragama berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memeluk agamanya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Ia menambahkan bahwa didudukng dengan adanya Perpres 83 Tahun 2015 tentang Kemterian Agama, Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, dan PMA 18 2020 tentang Restra Kementerian Agama 2020-2024

“Kemenag tidak memiliki standar, nilai, dan hak untuk mendefinisikan, menfasirkan, menterjemahkan, atau memberikan stempel bahwa agama tertentu benar, agama yang lain salah, agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, itu negara tidak memiliki hak itu,” tegasnya.

Ia mengatakan bahwa media sebaiknya tidak menggunakan kata sesat, menyimpang, dan simpangan dalam menuliskan keragaman agama di Indonesia.

“Ada berita tentang ada aktifitas keberagamaan masyarakat di Sulawesi, ada masayarakat muslim mengatakan adanya 11 rukun islam, maka media menyebar informasi diluar Kemenag bentuknya menyimpang atau sesat. Nah ini tidak mungkin kami (kemenag) keluarkan informasi itu,” ucapnya.

Ia mencontohkan konflik yang pernah terjadi di daerah Pandeglang, Banten bahwa terdapat 15 masyarakat yang melakukan mandi di tempat umum dan viral karena pemberitaan menggunakan tiga kata yang tidak dianjurkan.

“Perlunya rekam media mengkonfirmasi kegiatan yang dilakukan tersebut sehingga tidak langsung menyampaikan bahwa ajaran itu sesat, tapi nyatanya mereka sama juga melakukan sholat lima waktu, puasa, hanya saja toharoh (bercuci) ada perbedaan yang tajam,” katanya.

Baca Juga: Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural

Syafaat menyampaikan bahwa dalam menuliskan moderasi beragama perlu menyandarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sietm Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan terutama pada Bab II Prinsip dan Sumber Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dan Bab III Komponen Sisten Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.

“Kalau melihat konflik di Pandeglang, Kemenag akan menyampaikan bahwa 15 masyarakat tadi masuk kedalam konflik paham, sikap, dan perilaku keberagamaan,” ujar Syafaat.

Ia menegaskan bahwa untuk mengkonfirmasi konflik keberagaman yang berada di masyarakat hingga tingkat desa, media dapat menghubungi Pranata Humas Kemenag yang tersebar di Indonesia. Saat ini, terdapat 776 Pranata Humas di Kemenag, Bimas Islam tersebar di 512 Kabupaten/Kota, 5.917 KUA di tingkat kecamatan, dan 45 ribu PAI Nasional.

“Dengan tersebarnya kantor Kemenag, rekan-rekam media dapat lebih mudah mencari Informasi mengenai konflik tentang keberagamaan agama,” katanya.

Sementara itu, Anggota Penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, Alvin Nur Choironi menyampaikan bahwa tugas media adalah menjadi resolusi dan meredamkan konflik sehingga kedamaian toleransi umat beragama di Indonesia terus berjalin.

Ia menyampaikan bahwa Informasi dari media digunakan dalam mengambil kebijakan untuk menangani konflik. “Maka media punya peran penting untuk mencegah kerusuhan dan kerugian itu terjadi,” katanya.

Alvin menyampaikan dalam konflik beragama, media harus menerapkan prinsip jurnalisme advokasi untuk meredakan konflik dan melindungi korban. Media perlu menghindari bias dan menjaga beriga agar tidak menambah kebencian terhadap kelompok tertentu karena tujuan jurnalisme advokasi adalah mendorong kebijakan pemerintah untuk melindungi korban.

Baca Juga: Moderasi dalam Islam dan Upaya Preventif Tindakan Radikal di Internet

“Media itu jangan mengambil informasi dari akun yang tidak jelas, justru menggali informasi lebih detail di lapangan dan menjadikan korban sebagai narasumber utama, sehingga pihak berwenang dapat mengungkapkan kebijakan yang sesuai,” ujarnya.

“Sehingga konflik ini tidak jadi viral, tidak meluas kemana-mana, dan bisa diselesaikan dengan baik, disini peran media untuk meredam konflik beragama,” sambungnya.