Beranda blog Halaman 4

William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

0

Living Qur’an sebagai kajian yang tenar digandrungi sarjanawan bukanlah menjadi kajian yang hanya spesifik dikaji di Indonesia. Sesuai dengan namanya, ide gagasan penelitian ini adalah bahwa adanya kajian atas Alquran yang bukan hanya berkutat pada teks saja.

Secara garis besar, kajian ini mencakup dua dimensi: oral dan teks. Banyak istilah yang digunakan untuk memotret fenomena ini, misalnya, Natalia K. Suit menyebutnya Quranic Matters (Materialitas Alquran) (Qur’anic Matters: Material Mediations and Religious Practice in Egypt [Bloomsbury Studies in Material Religion).  Sementara itu, meskipun Farid Essack belum secara spesifik menamai fenomena ini, ia telah menyadarinya dan menorehkannya pada buku yang berjudul The Qur an: A User’s Guide pada bab 1.

Pada prinsipnya, apa yang disebut materialitas Alquran ini merupakan sebuah fenomena yang ada bahkan sejak zaman Nabi Saw., dan tidak selalu linier atau termaktub dalam teks Alquran, namun eksistensinya ada dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Tulisan ini hendak melihat tulisan William Graham dan Kermani yang berjudul “Recitation and Ashtetic Reception” dalam The Cambridge Companion To The Qur’an.

Baca Juga: Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik

Pertama-tama, tulisan ini secara garis besar mencakup dua pembahasan besar: pertama, objek material, yakni ragam temuan Graham terhadap fenomena pembacaan Alquran dalam berbagai kondisi dan aspek. Kedua, analisis. Pada bagian ini ia melihat makna yang terselubung atas adanya fenomena pada pembahasan pertama.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dua dimensi yang ada pada Alquran: oral dan teks. Pada bagian pertama, penjelasan terkait fenomena pembacaan Alquran dijelaskan dalam sepuluh keadaan, mulai dari hal-hal yang bersifat privat sampai publik.

Pertama, membaca Alquran (Qiraah/tilawah) merupakan satu bentuk kesalehan yang telah melekat bagi tiap muslim. Dalam tulisannya, ia juga mengulas bahwa adanya varian dialek pembacaan Alquran yang disebut dengan qiraah. Pembacaan yang lain adalah dengan melihat makna, struktur bahasa atau biasa disebut dengan tafsir. Tak lupa, ia mengulas tajwid dan qiraah.

Aspek lainnya yang menjadi sorotan adalah pembacaan Alquran dalam praktik kesalehan muslim tiap harinya. Selain itu, pembacaan Alquran juga mnejadiritual wajib pada peribadatan muslim seperti salat. Alquran juga dipraktikkan pada pendidikan tiap uslim mana kala ia tumbuh. Ia dipelajari, mula-mulanya, tidak untuk memahami maknanya, melainkan untuk dapat membacanya dengan tartil. Hal itu terjadi pada muslim baik itu yang faham bahas arab maupun tidak.

Dari banyak sisi Alquran itu dibaca, ia juga hidup baik di komunitas komunal maupun kehidupan privat. Sebagai contoh, perlombaan membaca Alquran, membaca Alquran pada malam bulan ramadhan atau menjelang salat wajib di masjid  adalah beberapa fenomena yang ada di kehidupan komunal. Sementara itu, pada kehidupan yang lebih privat, Alquran dibaca pada ritual seperti zikir, pada momen melahirkan, dan kematian.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Resepsi Estetik Alquran

Bagian kedua menjelaskan tentang aspek resepsi dari semua objek material yang telah dijelaskan sebelumnya. Sederhananya, resepsi adalah bentuk penerimaan atas seusatu. Pertanyaannya, apa nilai resepsi estetik pada Alquran?

Selain sebagai kitab pedoman yang harus diikuti isinya, Alquran memuat nilai-nilai estetik. Hal ini dapat dilihat dengan feomena sebelumnya, bagaimana masyaratkat meembacanya secara tartil. Hal itu bukanlah berjalan dengan sendiri, melainkan perintah tuhan (Allah) yang termaktub dalam kitab ini (Muzammil [73] ayat 4).

Untuk itu, Graham juga menyinggung bahwa praktik membaca Alquran secara tartil telah dipraktikkan pada zaman Nabi Saw. dan berhasil menarik banyak orang, khususnya masyarakat Arab untuk masuk Islam. Hal itu bukan karena isi atau ajarannya, melainkan mereka tertarik dari sisi estetiknya.

Baca Juga: Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

Hal yang tak luput dari penjelasan Graham adalah mengenai i’jaz Alquran. Sebagai teks yang berasal dari tuhan, keistimewaan Alquran ada pada keindahan bahasa dan tak dapat ditiru baik dari isi maupun struktur kalimat. Ia juga memperkaya perbendaharaan Bahasa Arab. Banyak karya sastra maupun ilmu kebahasaan yang muncul pasca diturunkannya Alquran.

Solusi Alquran Menghadapi Fenomena Religious Trauma

0

Belakangan ini, dunia maya digegerkan dengan isu religious trauma. Sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa agama yang seharusnya menjadi tempat menentramkan dan menenangkan bagi jiwa semua penganutnya, justru menjadi suatu hal yang menakutkan. Terlebih fenomena trauma ini marak terjadi pada agama Islam. Pasalnya, fenomena semacam ini sebetulnya didatangkan dari bagaimana agama disampaikan, bukan ajaran agamanya yang salah.

Etika Dakwah yang Diajarkan dalam Alquran

Hakikatnya, Islam merupakan agama raḥmatan li al-‘ālamīn. Agama yang membawakan kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Dan hendaknya, tindakan amar ma’rūf nahi munkar kepada sesama muslim dilakukan dengan penuh kasih sayang, didasarkan atas ilmu, tanpa menghakimi dengan cara yang kurang dibenarkan. Sebagaimana hal ini telah disinggung dalam surah al-Naḥl ayat 125 berikut.

ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.

Ayat tersebut mencerminkan bagaimana cara menyampaikan dakwah yang baik dan benar. Menyeru pada kebenaran haruslah dibangun di atas dasar ilmu dan pendekatan yang bijak. Sebagaimana ayat menyampaikan, bahwa dakwah hendaknya dengan hikmah dan al-mau’iẓah al-ḥasanah.

Dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, sederhananya, makna al-ḥikmah ialah menghadirkan kebenaran kepada jalan Tuhan dengan argumentasi yang kuat dan logis berdasarkan ilmu, mampu dicerna dan diterima dengan baik, bersama dengan pemahaman karakter dan kondisi orang yang diseru kepada jalan kebenaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Hal ini dapat dipelajari dari salah satu kisah Rasulullah dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad oleh Abu Umamah [Musnad Ahmad, 36/545], berkata: Suatu ketika, datang seorang pemuda kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata,
“Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”

Para sahabat yang mendengar itu geram dan ingin menghardiknya. Namun Nabi ﷺ tidak marah. Beliau malah dengan tenang mendekatkan diri secara emosional dan intelektual kepada si pemuda, lalu bertanya dengan nada lembut:

“Apakah engkau rela jika (zina itu) dilakukan terhadap ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”
Rasul pun melanjutkan: “Begitu juga orang lain tidak rela jika itu dilakukan terhadap ibu mereka.”

Kemudian beliau bertanya hal serupa tentang anak perempuan, saudari, dan bibi si pemuda—dan setiap kali dijawab “tidak”, Rasulullah ﷺ memberikan logika timbal balik yang menyadarkan pemuda itu tanpa kekerasan, tanpa celaan, melainkan dengan pendekatan logis dan hati-hati. Setelah itu, Rasulullah ﷺ meletakkan tangannya di dada si pemuda dan mendoakannya. Maka sejak saat itu, pemuda tersebut tidak pernah tertarik lagi kepada zina.

Inilah al-ḥikmah yang dimaksud. Rasulullah ﷺ menyampaikan kebenaran dengan dalil akal, bukan langsung vonis hukum. Selain itu, beliau memahami bahwa yang dihadapi adalah seorang pemuda dengan gejolak syahwat, bukan penentang agama. Maka tindakan tepat dalam menghadapi hal demikian adalah dengan pendekatan argumentatif dan rasional, bukan malah dengan kekerasan atau debat di atas nafsu.

Selain menyeru kebaikan dengan al-ḥikmah, juga perlu dengan al-mau’iẓah al-ḥasanah. Yakni dengan ajakan yang menyentuh hati, melunakkan jiwa, dan memotivasi seseorang agar melakukan kebaikan dan meninggalkan tindakan batil. Mau’iẓah bersifat lebih emosional, menyapa perasaan, dan menggunakan gaya bahasa yang lebih lembut.

Kata ḥasanah atau baik, dalam ayat ini menunjukkan bahwa nasihat harus disampaikan dengan cara yang lembut, penuh kasih, dan mudah diterima oleh pendengarnya. Bukan dengan celaan atau kekerasan, melainkan dengan pendekatan yang membuat orang merasa dihargai dan mau memilih berubah atas dasar kesadaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Re-humanisme Dakwah Islam

Akar masalah dari religous trauma berasal dari cara penyampaian yang kurang tepat, mengajak kebaikan dengan ancaman siksa dan azab Allah tanpa disertai dengan rahmah-Nya yang tidak terbatas luasnya. Sebagai salah misal, perempuan tidak berjilbab, dihantui ancaman siksa neraka yang kelak akan menarik rambut mereka di atas api neraka.

Alangkah baiknya, jika disampaikan dengan: perempuan akan lebih terjaga kehormatannya dengan menutup anggota tubuh yang sangat berharga. Allah mencintai hambanya dengan memerintahkan menutup aurat, anugerah dari-Nya yang amat berharga yang tidak boleh sembarang orang boleh melihatnya.

Di balik ancaman siksa dan azab dalam Alquran, sejatinya selalu tersimpan pesan kasih sayang dan peringatan yang mendidik. Allah tidak serta merta menakut-nakuti hamba-Nya tanpa memberikan harapan. Bahkan, dalam banyak redaksi ayat, Allah selalu mendahulukan sifat rahmat-Nya sebelum menyebut azab. Lihatlah bagaimana Allah berfirman dalam surah al-A‘rāf ayat 156:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…

Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah Islam tidak boleh kehilangan rasa kemanusiaannya. Tidak cukup hanya menyampaikan hukum, tanpa menyentuh nurani manusia yang sedang terluka atau tersesat. Ketika seseorang sedang menjauh dari agama karena trauma, maka tugas para pendakwah bukan menambah luka, melainkan menjadi jembatan untuk kembali.

Inilah yang dimaksud dengan re-humanisme dakwah Islam—mengembalikan wajah dakwah kepada wajah yang ramah, membumi, dan penuh kasih. Bukan hanya berbicara tentang hukum, tapi juga tentang kasih sayang, pengampunan, dan pelukan-Nya yang selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin kembali.

Baca Juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Menghadapi fenomena religious trauma bukan dengan menjauh dari agama, tetapi dengan mengembalikan agama kepada wajah aslinya. Maka, mari kita menjadi bagian dari generasi dakwah yang memeluk, bukan memukul; yang mendidik, bukan menghakimi.

Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna

0
Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna
Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna (sumber: Unsplash).

Bagi pembaca Al-Qur’an, memahami ilmu waqaf dan ibtida merupakan perkara sunah. Ibnu Al-Jazari (w. 833 H) menegaskan bahwa tidak sedikit anjuran para imam qari untuk mempelajari dan memhami disiplin ilmu waqaf dan ibtida. Begitu juga dengan Al-Syuyuthi (w. 911 H) yang menyebut bahwa mengetahui waqaf dan ibtida menjadi urgensi penting di dalam memahami pemaknaan Al-Qur’an dan berimplikasi sebagai wasilah di dalam pengambilan dalil-dalil syari’at. Dasar argumentasi ini diambil oleh Al-Syuyuthi berdasar Q.S. Al-Muzzammil [73]: 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan dengan bacaan yang baik dan benar.

Dengan mengutip penafsiran Ali bin Abi Thalib, Al-Syuyuthi menyebut bahwa al-tartīl diartikan sebagai tajwīd al-ḥurūf (memperindah huruf) dan ma’rifat al-wuqūf (mengetahui bacaan waqaf). Namun demikian, Al-Zarkasyi (w. 794 H) tetap menegaskan bahwa disiplin waqaf dan ibtida merupakan seni memahami bacaan yang memerlukan ragam pengetahuan sebagai pondasinya, hal ini didasarkan oleh pernyataan Ibnu Mujahid bahwa penanganan bacaan waqaf secara sempurna hanya diperoleh bagi mereka yang ahli nahu dan qiraat.

Definisi Waqaf dan Ibtida

Al-Asymuni (w. 1100 H) dalam Manār Al-Hudā mendefinisikan waqaf secara bahasa sebagai al-kaffu ‘an al-fi’li wa al-qauli (menghentikan perbuatan dan perkataan). Sementara secara istilah, ia diartikan sebagai menghentikan suara sejenak pada akhir kata terhadap kata yang menyertainya. Dr. Muhammad Al-‘Idi dalam Muqaddimah Tahqiq Ilal al-Wuquf menyebut bahwa kata waqaf berikut derivasinya yang mengindikasikan makna menahan dan sukūn al-ḥarakah (tidak bergerak) disebut sebanyak empat kali di dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. Al-Shaffat [37]: 24, Q.S. Al-An’am [6]: 27 dan 30, serta Q.S. Saba’ [34]: 31. Sementara ibtida diartikan oleh Al-‘Idi sebagai lawan dari waqaf itu sendiri, yakni memulai sesuatu.

Dasar Penetapan Waqaf dan Ibtida

Penentuan tempat waqaf tercatat memiliki perbedaan di kalangan ulama. Sebab, masing-masing dari mereka memberikan penetapan tempat waqaf sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat. Implikasinya, pembagian waqaf di kalangan ulama tidak terbatas. Meski demikian, Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) dalam kitab Al-Maqṣad merumuskan tiga dasar di dalam penentuan waqaf: 1). Tolok ukur nafas seseorang, artinya tempat waqaf diukur oleh daya nafas seseorang; 2). Memang akhir ayat, dan 3). Adanya keterkaitan makna.

Al-Anshari dalam hal ini lebih cenderung pada dasar ketiga sebagai penetapan waqaf dengan alasan ia adalah hukum asal, sementara nafas bersifat tābi’ (hukum yang mengikuti). Kecenderungan ini juga tampak dari pernyataannya bahwa kesunahan waqaf di akhir ayat adalah apabila tidak memiliki keterkaitan erat dengan kata setelahnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Dasar keterkaitan makna dalam penetapan waqaf juga cenderung didominasi oleh banyak imam qari. Ini dibuktikan dari perumusan Al-Zarkasyi bahwa waqaf menurut jumhur terbagi ke dalam empat macam, yakni waqaf tām, kāf, ḥasan dan qabīḥ yang secara definisi didasarkan pada keterlibatan makna. Begitu juga dengan Ibnu Al-Anbari (w. 328 H) yang membagi ke dalam tiga jenis, yakni tām, ḥasan dan qabīḥ dan Al-Sajawandi (w. 560 H) ke dalam lima macam, yakni lāzim, muṭlak, jāiz, mujawwaz li wajhin dan murakkhas li ḍarurah yang keduanya tampak didasarkan pada keterkaitan makna.

Pembagian Al-Sajawandi inilah yang diambil oleh MSI (Mushaf Standar Indonesia) secagai acuan utama di dalam penetapan tempat waqaf dan MSI secara tegas merujuk pada ketentuan makna.

Baca juga: Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Kecenderungan mayoritas qari pada dasar keterkaitan makna ini tidaklah dinafikan oleh sebab ujung sebuah ayat. Implikasinya, tidak jarang ditemukan tanda lām alif sebagai simbol ketiadaan waqaf oleh Al-Sajawandi pada akhir ayat di dalam MSI atau “Mushaf Kemenag”. Tanda lām alif juga mengindikasikan adanya anjuran meneruskan bacaan hingga pada tempat waqaf yang tepat sebab keterkaitan makna pada ayat setelahnya. Contoh seperti ini dapat ditemukan misalnya pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 219-220:

۞ ……كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ ٢١٩ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ …..

Kemudian Q.S. Al-Nahl [16]: 15-16:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ ١٥ وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Pada kasus Al-Baqarah, lafal tatafakkarūn masih memiliki keterkaitan dengan jār majrūr pada lafal fi al-dunyā wa al-ākhirah sebagai penyempurna kalam. Begitu juga dengan kasus Al-Nahl ketika lafal ‘alāmāt berstatus ma’ṭūf kepada lafal subulan sebelumnya. Oleh sebab itu, dua penghujung ayat di atas ditandai dengan simbol lām alif sebab keterkaitan makna setelahnya sebagai dasar penetapan tempat waqaf. Contoh-contoh serupa juga sering ditemukan pada kasus istiṡnā (pengecualian) melalui lafal illā yang berada di awal ayat seperti Q.S. Al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, Al-Ashr [103]: 3 dan lain sebagainya.

Sekilas Perdebatan Penetapan Waqaf

Perdebatan penetapan waqaf antara berdasar makna dan akhir ayat berlangsung lama. Al-Zarkasyi dalam Al-Burhān menyebut bahwa sebagian ulama mutaakhirin memperselisihkan pendapat mayoritas qari yang mendasari penetapan waqaf pada keterkaitan makna meski berada di penghujung ayat dengan dalih khilāf al-sunnah.

Argumentasi ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan Al-Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa “Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallama memutus bacaannya ayat demi ayat” dan mayoritas akhir ayat di dalam Al-Qur’an khususnya surah-surah pendek adalah waqaf tām dan kāf. Implikasinya, mengikuti sunah adalah hal yang utama. Di antara tokoh yang sepakat dalam hal ini adalah Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’ab al-Īmān dan Al-Nuhas dari Al-Akhfasy Ali bin Sulaiman yang lebih mengunggulkan waqaf berdasar ujung ayat meski berkaitan dengan makna setelahnya.

Baca juga: Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Adapun dasar penetapan waqaf sebab ukuran nafas pada akhirnya dijelmakan dengan istilah waqaf qabih dalam pembagian jumhur atau diisitlahkan sebagai waqaf iḍṭirārīy (wakaf darurat) oleh Ibnu Al-Jazari. Secara definisi, waqaf iḍṭirārīy adalah waqaf saat kalam belum sempurna maknanya dan hanya diperbolehkan secara darurat sebab terhentinya nafas seseorang.

Dengan demikian, Al-Dani (444 H) menegaskan bahwa penetapan waqaf jenis ini cenderung dilarang dan diingkari oleh para imam qari. Implikasinya, siapapun yang terhenti nafasnya di tempat waqaf jenis ini maka disunahkan baginya membaca ulang lafal sebelumnya untuk melanjutkan bacaan berikutnya, walaupun tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya.

Menimbang Ulang Kata Pepatah “Banyak Anak Banyak Rezeki”

0
Menimbang ulang kata pepatah
Menimbang ulang kata pepatah "banyak anak banyak rezeki"

Anak merupakan amanah, anugerah, dan rezeki dari Allah Swt. Karenanya, cukup sering kita mendengar kata pepatah, “banyak anak banyak rezeki.” Dalam ajaran Islam, tidak ada anjuran untuk membatasi jumlah anak. Di sisi lain, Islam mengharamkan untuk membunuh anak, karena takut miskin atau lain hal. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran surah Al-Isra (17): 31.

وَلََ تَ قْتُ لُوا أَوْلََدَكُمْ خَشْيَةَ إِّمْلََقٍ نََْنُ ن رَْزُقُ هُمْ وَإِّيََّّكُمْ إِّ ن قَ تْ لَهُمْ كا ن خِّطْئًا كبِّيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Banyaknya masyarakat yang menganut pemikiran “banyak anak banyak rezeki” memberikan dampak pada masalah kependudukan. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua atau keluarga yang meyakini pemikiran tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan dalam berbagai aspek seperti kondisi mental dan finansial (Imroatul Mufasirin, Banyak Anak Banyak Rezeki Perspektif Perlindungan Anak Pada Masyarakat Pinggiran, 11).

Baca juga: Meruwat Anak dalam Islam

Pandangan tersebut tidak hanya berpotensi menimbulkan masalah kependudukan, melainkan juga dapat memperparah kondisi kemiskinan atau ketidakmampuan masyarakat untuk hidup layak. Kemiskinan yang dimaksud tidak terbatas pada jumlah penghasilan melainkan juga kondisi kerentanan, tertutupnya akses pada sumber daya produktif seperti kesempatan kerja, rendahnya ketahanan fisik dan intelektual. Di samping juga mengakibatkan ketergantungan secara fisik, sosial, hingga ekonomi pada pihak lain (Fawziah Zahrawati B, Pembebasan Jerat Feminisasi Kemiskinan, 10-11).

Mengingat anak adalah amanah dari Allah Swt, maka perlu bagi calon orang tua untuk memahami kondisi mental, kesiapan ilmu, dan finansial masing-masing agar mampu memberikan hak anak. Kewajiban orangtua untuk memenuhi hak-hak anak telah disinggung dalam Alquran. Berikut ayat yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan keturunan:

Surah al-Baqarah (2):233

وَالۡوَالِدٰتُ يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ​ لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ​ ؕ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ​ؕ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ…

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya…”

Ayat ini menjelaskan tentang keluarga. Seorang ibu sepantasnya menyusui anak hingga waktu yang cukup. Sedangkan ayah memiliki peran untuk memberikan nafkah seperti pangan sehat untuk ibu agar mampu memberikan nutrisi yang baik melalui air susunya, juga nafkah seperti pakaian.

Penggalan ayat selanjutnya “janganlah seorang ibu menderita karena anaknya memiliki makna bahwa janganlah ayah mengurangi hak wajar bagi sang ibu dari segi pemberian nafkah dan penyediaan pakaian. Begitupun “jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” yaitu jangan sampai sang ibu meminta sesuatu di atas kemampuan sang ayah menggunakan anak yang disusui sebagai alasan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 1, 503-505). Nafkah sendiri merupakan kewajiban individu yang diberi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Disebutkan pula kurun waktu untuk menyusui anak, yaitu dua tahun, tetapi dalam penafsiran lain disebutkan bahwa waktu itu bisa kurang hingga dua puluh satu bulan. Ini menunjukkan bahwa anak yang lahir tidak membuat penderitaan bagi orangtuanya. Diperlukan kemampuan orang tua untuk menjamin kesejahteraan anak dan kehidupan mereka, selain itu orang tua harus memiliki pengaturan kelahiran terkait jumlah anak yang sanggup dipelihara dengan baik dari aspek kesejahteraan hidup (Abdul Hakim et al, Analisis Surah Al-Baqarah Ayat 233: Studi Tafsir Ilmi dan Tafsir Tematik Kementerian Agama, 29).

Surah an-Nisa (4):9

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Penting bagi semua orang untuk menjalankan perintah Allah Swt. Ayat ini menekankan untuk berlaku adil dan menjalankan amanah dengan baik. Ayat ini juga menunjukkan tuntunan agar seseorang memiliki kepemimpinan yang bertanggung jawab ( Rahmad Alim Witari & Efi Tri Astuti, Urgensi Pemberantasan Stunting Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 9, 84).

al-Maraghi mengungkapkan bahwa orang tua dan mereka yang diwasiati (dititipi anak yatim) diperintahkan untuk memperlakukan anak dengan baik, berbicara dengan baik dan halus serta sopan, memanggil anak-anak dengan panggilan seperti “anakku,” “sayangku,” dan sebagainya (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 192).

Dari ayat ini, tanggung jawab orang tua terhadap anak terdiri dari beberapa aspek (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 195). Di antaranya:

  1. Mewujudkan generasi berkualitas dengan pendidikan jasmani dan rohani anak, orang tua harus merasa khawatir apabila anaknya dalam kondisi yang lemah.
  2. Membekali anak dengan tauhid dan akidah.
  3. Mendidik dan membentuk akhlak yang baik.Surah al-An’am(6): 151

Surah al-An’am (6): 151

قُلۡ تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡ​ اَلَّا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡـًٔـــا وَّبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَكُمۡ مِّنۡ اِمۡلَاقٍ​ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَاِيَّاهُمۡ​ ۚ وَلَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِىۡ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالۡحَـقِّ​ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”

Menurut Ibn Kathir, ayat ini menunjukkan larangan menyekutukan Allah Swt dengan apapun, membunuh anak-anak sendiri karena takut miskin, mendekati perbuatan keji, dan membunuh jiwa yang tidak bersalah. Ayat ini juga menunjukkan perintah untuk berbuat kebaikan pada orang tua.

Ayat ini mengingatkan kita akan hak anak, yaitu setiap anak berhak untuk hidup dan tumbuh sesuai fitrahnya. Hak ini harus sudah dipenuhi sejak anak masih berupa janin dalam kandungan (Cut Annisa Syafira, Upaya Perlindungan Anak dalam Pandangan Islam, 904). Orang tua juga berkewajiban mendidik anak agar berbakti kepada mereka (birr al-walidain), didikan yang bagus adalah yang menimbulkan hormat (respect) dan cinta. Penting juga bagi ayah dan bunda untuk memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, 2442).

Dari ketiga ayat di atas, dapat kita pahami bahwa menjadi orang tua harus bertanggung jawab atas kualitas hidup sang anak dari segi pangan hingga pendidikan. Dengan kesiapan sebagai orang tua, maka akan tercetak generasi yang berkualitas. Karenanya, sekalipun Allah Swt. menjamin rezeki tiap anak, orang tua tetap diharuskan untuk berikhtiar dalam memberikan nafkah lahir dan batin kepada anak. Sehingga, orang tua tidak berpangku tangan lantas secara sembarangan memperbanyak anak dengan alasan kata pepatah “banyak anak banyak rezeki.”

Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

0
Nuansa Sunni dalam pemikiran al-Syaukani
Nuansa Sunni dalam pemikiran al-Syaukani

Manusia pada dasarnya bersifat dinamis, hal ini bisa terbentuk karena pengaruh lingkungan keluarga, budaya, bahkan perjalanan intelektual. Tidak terkecuali ulama ternama yang hidup pada abad ke-12, yakni al-Syaukani pengarang kitab Fathul Qadir yang berada pada lingkungan masyarakat yang bermadzhab Syiah.  Meski demikian, pemikiran al-Syaukani bernuansa Sunni. Tranformasi ini terjadi bukan tanpa alasan, melainkan dilatarbelakangi oleh proses intelektual dan pengalaman hidup yang mendalam.

Baca juga: Analisis Akidah asy-Syaukani  dalam Karya Tafsirnya

Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat al-Syaukani yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan Syiah Zaidiyyah justru membantah doktrin Syiah melalui karyanya yang berjudul al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wa at-Taqlid, yang menuai kritik dari sebagian ulama dan masyarakat di Yaman. Perjalanan intelektual menjadi bukti tentang keberhasilan manusia untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 211)

Biografi al-Syaukani

al-Syaukani termasuk dari golongan Syiah Zaidiyyah. Beliau lahir di kota Sana’a Yaman Utara pada hari Senin, 28 Zulkaidah 1173 H.  al-Syaukani tergolong sebagai anak yang haus akan ilmu, bahkan di usia 10 tahun, dia sudah  mulai menghafal Alquran dan mempelajarinya.

Tidak hanya berkutat pada Alquran, Imam al-Syaukani juga memiliki daya ingat yang cukup kuat. Hal itu diperlihatkan dari beberapa hafalan mukhtashar (kitab ringkasan) dari beberapa bidang keilmuan dengan cepat dan dapat memahami beberapa disiplin keilmuan. Tidak heran saat menginjak dewasa, beliau dapat menguasai berbagai macam ilmu (polymath) seperti hadis, tafsir, sejarah, fikih, ilmu logika, dan lain sebagainya. (Miftahudin, Imam al-Syaukani, sosok Syiah yang Sunni)

Selama proses belajar, al-Syaukani tidak diizinkan oleh ayahnya untuk mencari ilmu di luar kota Sana’a.  Ayahnya beranggapan bahwa kota tersebut sudah representatif sebagai tempat belajar ilmu agama.  Harapan dari sang ayah tak ialah memberi angin segar bagi al-Syaukani untuk menimba ilmu. Sehingga, beliau dikirim ke berbagai ulama Zaidiyyah di kota tersebut.

Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

al-Syaukani melarang seorang muslim untuk taklid buta dalam mengambil suatu keputusan. Hal itu diungkapkan oleh beliau karena latar belakang beliau yang memiliki pemikiran bebas terhadap segala sesuatu. Lingkungan Zaidiyyah juga berandil penting dalam membentuk kebebasan berpikir bagi Imam al-Syaukani. Di samping itu, ayah al-Syaukani memberikan fasilitas buku bacaan yang berlatar belakang pemahaman di luar Syiah serta ilmu pengetahuan alam menjadikannya sebagai seseorang yang sangat terbuka.

Syiah Zaidiyyah terkenal dengan mazhab yang begitu terbuka kepada keilmuan lain. Mazhab ini Tidak pernah menutup pintu ijtihad selama bukan ijtihad yang sudah disepakati oleh jumhur ulama. Syiah Zaidiyyah beranggapan bahwa pintu ijtihad terbuka lebar. Hal inilah yang membuat mazhab Zaidiyyah mengeluarkan cabang mazhab baru yakni Mazhab Qasimiyah, Mazhab Hadawiyah, dan Mazhab Nasiriyah.

Dalam mazhab fikih, Syiah Zaidiyyah lebih dekat dengan Mazhab Hanafiyyah dan dari segi teologis lebih dekat dengan Mu’tazilah. Al-Syaukani tidak menutup cakrawala keilmuwan dengan hanya mempelajari seputar kajian Zaidiyyah. Beliau meluaskan cakupan keilmuwan dengan membaca kitab-kitab yang kebanyakan dari ulama Sunni yakni Imam al-Syafi’i. Seperti kitab Syarh Jam’ul Jawami  karya al Din al Mahali, Fath al Bari, dan kitab yang lainnya. (Tubagus Surur, Dimensi Liberal Dalam pemikiran hukum Imam al-Syaukani, 4)

Baca juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni

Dalam perjalananan intelektualnya, al-Syaukani tidak belajar kepada satu ulama saja, melainkan aktif menimba ilmu dari berbagai pakar di zamannya yang menguasai ilmu beragam seperti ilmu fikih, linguistik, rasional, matematika, serta astronomi. Untuk memperdalam pemahamannya, sepulang dari belajar, beliau selalu membandingkan pendapat ulama terdahulu dengan penjelasan guru-gurunya. (al-Syaukani, Fath al-Qadīr al-Jāmi‟ Bayna Fann al-Riwāyah wa alDirāyah min Ilm al-Tafsīr, jilid, 1, 13)

Sikap terbuka inilah yang menjadikan al-Syaukani dapat menentukan arah pemikiran dengan tidak terdogma oleh keyakinan yang dianut keluarganya sebagai Syiah Zaidiyyah. Dalam bidang teologi, Syiah Zaidiyyah lebih cenderung kepada Mu’tazilah. al-Syaukani tidak sepemahaman dengan Mu’tazilah. Dia mengambil keyakinan teologi yang cenderung berpahaman salaf atau lebih dikenal dengan ahlu sunnah wal jama’ah.

Baca juga: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 67-68

Hal ini dibuktikan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat bernuansa pemimpin yang sejalan dengan metode ulama salaf (mengembalikan kepada Alquran dan sunah) tanpa melakukan penambahan atau perubahan sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Syiah. Contoh dalam surah al-Maidah ayat 67, kalangan Syiah mengklaim bahwa ada pengubahan atau penghapusan (tahrif ) dalam mushaf Utsmani. Secara lebih spesifik, terdapat kata yang dihilangkan dalam ayat tersebut dengan menyatakan bahwa seharusnya terdapat tambahan kata ‘Ali’ dalam surat al-Maidah ayat 67. Menurut sebagian ulama Syiah, bunyi ayat yang benar (menurut klaim mereka) adalah:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ فِي عَلِيٍّ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu mengenai Ali.”

Padahal, ayat yang benar dalam mushaf Utsmani yang disepakati umat Islam adalah:

يٰاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.”

Tidak berhenti sampai di sana, beliau juga sangat gigih untuk mendakwahi umat Islam kepada aqidah Sunni yakni dengan cara mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana datang dalam Alquran dan hadis tanpa takwil maupun penyimpangan yang dilakukan dengan ra’yunya. Dari penjelasan tersebut, tampak keseriusan beliau untuk menentukan pemikirannya dengan pemahaman Sunni. Seperti saat dihadapkan dengan ayat Mutasyabih (samar), beliau akan membiarkan sesuai makna zahirnya dan menyerahkan hakikat arti kepada Allah Swt. (al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, 212)

Penafsiran Surah al-Nisa ayat 59 Sebagai Penguat Nuansa Sunni

            اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. al-Nisa 59)

Secara umum, surah al-Nisa ayat 59 menjelaskan ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin, dimana ayat tersebut dijadikan ajang untuk menyebarkan pemahaman teologis oleh berbagai ulama yang ingin meletakkan pemahaman manhaj-nya. Tidak terkecuali Imam Syiah yang dikenal moderat yakni Imam al-Thabarsi dalam kitabnya Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juga memberikan doktrin tentang Imamah yang ditujukan kepada Ahlu Bait (keluarga Nabi Muhammad saw.). Bahkan, dalam tafsirnya beliau mempromosikan persepktif imam Syiah dan kemaksuman Imamiyah serta ketaatan mutlak kepadanya. (al-Thabrasi, Majma’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an, jilid 3, 96)

Baca juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

Sangat berbeda dari apa yang ditawarkan oleh Imam al-Syaukani sebagai ulama yang berhaluan Syiah Zaidiyyah. Beliau menafsirkan surat al-Nisa ayat 59 dengan motif yang lebih inklusif untuk semua manusia. Ulilamri yang dimaksud dalam Surah al-Nisa ayat 59 adalah seseorang yang dapat melaksanakan perintah Allah dan Rasul serta menjauhi larangan yang telah ditetapkan. Baginya, seorang ulilamri boleh tidak ditaati jika melanggar perintah Allah dan Rasul serta mengikuti thaghut. Hal ini menjadi salah satu penguat pemahaman al-Syaukani yang lebih terdominasi oleh ulama salaf yang berhaluan Sunni. (al-Syaukani, Fathul Qadir, Jilid 2, Hal 903-904)

Ujian Nabi Ibrahim; Antara Ketaatan kepada Allah dan Kasih Sayang terhadap Keluarga

0
Kisah Ujian Nabi Ibrahim dalam Alquran
Kisah Ujian Nabi Ibrahim dalam Alquran

Dalam sejarah para nabi, kisah Nabi Ibrahim as. menonjol karena intensitas ujian-ujian yang beliau hadapi, terutama yang berkaitan dengan keluarga. Ujian Nabi Ibrahim menggambarkan dengan jelas tentang seorang hamba Allah yang tulus harus bisa menyeimbangkan ketaatan mutlak kepada Sang Pencipta dan kasih sayang terhadap keluarga yang dicintainya.

Di era modern, ketika banyak orang mengalami dilema antara melaksanakan kewajiban agama dan tanggung jawab terhadap keluarga, kisah Nabi Ibrahim as. bisa menjadi panduan yang sangat relevan. Beliau membuktikan bahwa seseorang dapat menjadi hamba Allah yang taat sekaligus anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan bertanggung jawab.

Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

Ujian Penyembelihan

Ujian Nabi Ibrahim paling dramatis dalam kehidupan Nabi Ibrahim as. adalah perintah Allah untuk menyembelih putranya. Allah swt. mengabadikan peristiwa ini dalam Alquran, surah as-Shaffat ayat 102.

al-Maraghi (23/73) selain menyiratkan tentang kegelisahan dan kegundahan Nabi Ibrahim tentang mimpi tersebut, al-Maraghi juga menafsiri ayat tersebut dengan menjelaskan respons dari Nabi Ismail ketika diberitahu oleh sang ayah mengenai mimpinya. Nabi Ismail menjawab dengan ketaatan dan kepatuhan total dengan berkata, “Wahai ayahku, engkau telah memanggil orang yang mendengar, dan meminta kepada orang yang menjawab, dan menuju kepada orang yang rela dengan ujian Allah dan takdir-Nya. Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan bagiku hanyalah tunduk dan menjalankan perintah, dan Allah-lah yang memberi pahala dan Dia adalah sebaik-baik penolong.”

Nabi Ismail menguatkan ketaatannya dengan perkataan: “Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Al-Maraghi menyebutkan bahwa Nabi Ismail benar-benar menepati janjinya, bersabar menghadapi takdir tersebut tanpa mengeluh atau resah dengan apa yang telah ditakdirkan. Oleh karena itu, Allah memujinya dalam Al-Quran sebagai “orang yang benar janjinya” (QS. Maryam [9]: 54).

Sikap Nabi Ibrahim dan Ismail dalam menghadapi ujian ini menunjukkan puncak ketaatan kepada Allah. Mereka meletakkan perintah Allah di atas segala-galanya, termasuk di atas ikatan kasih sayang antara ayah dan anak yang sangat kuat.

Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

Ujian Kepercayaan

Ujian Nabi Ibrahim yang tidak kalah beratnya adalah ketika Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di lembah Makkah yang kala itu gersang dan tidak berpenghuni.

Peristiwa ini diisyaratkan dalam doa Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Alquran, surah Ibrahim ayat 37.

Ibnu Katsir (4/441) menjelaskan bahwa doa ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah setelah menempatkan Hajar dan putranya Ismail di lembah Makkah yang tandus. Ibnu Katsir menerangkan bahwa ini adalah doa kedua Nabi Ibrahim, setelah doa pertama yang beliau mohonkan ketika pertama kali meninggalkan Hajar dan Ismail. Doa pertama dilakukan sebelum Kabah dibangun, sedangkan doa kedua ini dilakukan setelah Kabah berdiri, sehingga beliau menyebutkan “di dekat rumah Engkau yang dihormati.”

Ibnu Katsir juga menukil pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa frasa “agar mereka mendirikan salat” berkaitan dengan “rumah Engkau yang dihormati,” artinya Allah menjadikan Kabah sebagai tempat yang dihormati agar penduduknya dapat melaksanakan salat di sana. Ini menunjukkan tujuan spiritual yang tinggi di balik perintah Allah yang secara lahiriah tampak sangat berat.

Doa Nabi Ibrahim ini menunjukkan kepercayaannya yang mutlak kepada Allah. Meskipun secara logika manusia, meninggalkan istri dan anak bayi di lembah tandus tampak sebagai tindakan yang kejam, Nabi Ibrahim memahami bahwa perintah Allah selalu mengandung hikmah dan kebaikan. Beliau percaya sepenuhnya bahwa Allah akan menjaga keluarganya.

Kepercayaan ini terbukti benar ketika Allah memunculkan mata air Zamzam untuk Hajar dan Ismail, yang kemudian menjadi sumber kehidupan di lembah tersebut dan menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di sekitarnya. Lembah tandus itu akhirnya berkembang menjadi kota Makkah yang makmur dan menjadi pusat ibadah haji hingga saat ini.

Baca Juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta

Bentuk Kasih Sayang Seorang Ayah

Meskipun harus meninggalkan keluarganya demi ketaatan kepada Allah, Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Beliau terus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan keluarganya, sebagaimana diabadikan dalam Alquran, surah al-Baqarah ayat 128,

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 128).

ar-Razi dalam tafsirnya (4/52) memberikan perspektif teologis yang mendalam terkait doa ini. Beliau menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas adalah murni anugerah dan karunia dari-Nya, bukan kewajiban yang harus dipenuhi-Nya.

ar-Razi mengajukan argumen menarik, yaitu jika pemberian pahala adalah kewajiban bagi Allah, maka doa dan permohonan Nabi Ibrahim ini tidak akan ada gunanya, mirip seperti seseorang yang berdoa “Ya Allah, jadikanlah api panas dan es dingin.” Doa semacam itu tidak bermakna karena api yang panas dan es yang dingin adalah keniscayaan alami. Namun, ketika Nabi Ibrahim tetap berdoa memohon taufik dan petunjuk, ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi Allah untuk memberikan apa pun kepada hamba-Nya; semua pemberian-Nya adalah murni karunia dan rahmat.

Doa ini mencerminkan perhatian Nabi Ibrahim yang mendalam terhadap kehidupan spiritual keluarganya. Beliau tidak hanya mendoakan keselamatan fisik, tetapi juga keselamatan agama dan ketundukan kepada Allah. Hal ini mencerminkan pemahaman Nabi Ibrahim bahwa bentuk kasih sayang tertinggi seorang ayah kepada anaknya adalah mendoakan dan mengupayakan agar anaknya menjadi hamba Allah yang taat.

Penutup

Kisah Nabi Ibrahim as. khususnya di bagian ujian Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa keseimbangan antara ketaatan kepada Allah dan kasih sayang terhadap keluarga bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang menjalankan keduanya dengan cara yang harmonis. Ketaatan sejati kepada Allah mencakup juga pemenuhan tanggung jawab terhadap keluarga dengan penuh kasih sayang.

Nabi Ibrahim membuktikan bahwa ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara perintah Allah dan kecintaan terhadap keluarga, prioritas utama seorang mukmin sejati adalah ketaatan kepada Allah. Namun, ketaatan ini tidak menafikan kasih sayang dan tanggung jawab terhadap keluarga. Bahkan, ketaatan kepada Allah justru menjadi bentuk tertinggi dari kasih sayang terhadap keluarga, karena membimbing mereka menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Alhasil, ketaatan Nabi Ibrahim tidak didasarkan pada ketakutan atau paksaan, melainkan pada kerelaan dan cinta yang mendalam kepada Allah. Begitu pula, kasih sayangnya kepada keluarga tidak didasarkan pada kelekatan emosional semata, melainkan pada kesadaran bahwa kebaikan tertinggi bagi keluarga adalah menuntun mereka kepada ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.

“Artificial Intelligence” dan Tantangan atas Eksistensi Manusia sebagai Khalifah

0
artificial intelligence dan tantangan manusia sebagai khalifah
artificial intelligence dan tantangan manusia sebagai khalifah

Kemajuan di bidang teknologi dan digital yang begitu pesat telah melahirkan era baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Kecerdasan buatan atau yang biasa disebut artificial intelligence (AI) tumbuh begitu cepat dengan segudang potensi dan kegunaan yang ditawarkan. Ia mampu mempermudah pekerjaan manusia bahkan bisa menggantikan peran manusia dalam dunia kerja.

Hal inilah yang menyebabkan sebagian orang berspekulasi bahwa AI dapat menjadi bumerang yang mengancam eksistensi manusia di muka bumi. Pasalnya, ada banyak sekali pekerjaan manusia yang bahkan mampu dilakukan dengan lebih baik oleh mesin AI. Akibatnya, banyak sektor pekerjaan yang memilih memanfaatkan mesin AI ketimbang menggunakan jasa manusia.

Menurut laporan dari World Economic Forum, pada tahun 2025 ini, AI dan otomatisasi diprediksi akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan. Namun di sisi lain, ia juga akan membuka 97 juta lebih lapangan kerja baru yang relevan dengan era digital.

Baca Juga: Work-Life Balance di Era Digital: Pelajaran dari Surah Al-‘Asr

Potensi dan Peran Manusia sebagai Kilafah

Jika dilihat dari aspek tersebut, sepintas kita akan menilai bahwa teknologi AI akan menjadi ancaman bagi umat manusia. Namun, sebagai khalifah Allah dimuka bumi, manusia diberi privilege berupa ketundukan alam semesta pada potensi yang dimiliki manusia.

Dalam Alquran, Allah swt. berfirman,

{وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}

Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 13

Pada ayat di atas, Allah swt, menegaskan nikmat yang telah Dia berikan kepada manusia berupa ketundukan alam semesta pada manusia. Langit dan bumi beserta isinya berjalan secara harmoni dan teratur guna menyediakan kehidupan yang layak bagi manusia. Potensi dan daya guna yang dimiliki alam semesta ini diciptakan untuk kelangsungan hidup manusia, sebagaimana keterangan dari Imam al-Wahidy dalam Tafsir Al-Basith:

معنى تسخيره لنا: هو أنه هيأها لانتفاعنا بها، فهو مسخر لنا من حيث إننا ننتفع به على الوجه الذي نريد

Allah menundukkan alam untuk kita mengandung arti bahwa allah swt telah menyediakan alam semesta agar bisa dimanfaatkan oleh kita, manusia. allah menundukkan (alam) untuk kita agar kita bisa memanfaatkannya sesuai dengan keinginan kita. [Tafsir al-Basith, juz 20, hal. 137]

Ketundukan alam semesta untuk kebutuhan manusia merupakan bentuk timbal balik dari tanggung jawab sebagai khalifah yang dibebankan kepada manusia. Dalam Kitab AlBi’ah wal Hifadh Alaiha fi Mandhuril Islami, Syaikh Ali Jum’ah menyebutkan bahwa salah satu relasi manusia dengan alam adalah علاقة التسخير. Relasi ini meniscayakan peran manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab memakmurkan bumi. Kemudian sebagai timbal balik, alam menyediakan segalanya guna dimanfaatkan oleh manusia.

Dalam kaidah kebahasaan, kata ما dalam ayat di atas bermakna umum. Artinya apapun yang ada di langit dan bumi semuanya ditundukkan oleh Allah sebagai fasilitas kehidupan bagi manusia. Termasuk diantaranya adalah mesin-mesin yang diprogram dengan AI. Ia memiliki potensi untuk memudahkan berbagai aspek kehidupan manusia untuk dimanfaatkan dengan baik.

Baca Juga: Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi

Perhatikan firman Allah swt. dalam surah al-Hadid ayat 25

{وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِي }

Kami menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan bermanfaat bagi manusiaagar allah mengetahui siapa yang menolong agama dabn rasul-rasulnya walaupun allah tidak dilihatny. Sesungguhnya allah maha kuat lagi maha perkasa. Q.S. Al-Hadid [57]: 25

Besi merupakan salah satu unsur yang bermanfaat bagi umat manusia. Ia merupakan bahan baku dari berbagai jenis perabotan rumah tangga, misalnya yang dimanfaatkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, besi juga berpotensi menimbulkan ketakutan, misalnya ketika digunakan sebagai senjata perang atau disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Ibnu Asyur dalam Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir  memaknai بأس sebagai ketakutan atau bahaya, yakni bahaya yang ditimbulkan oleh peperangan notabene menggunakan persenjataan yang terbuat dari besi. Dari aspek ini, besi dapat menimbulkan bahaya karena berpotensi disalahgunakan untuk menyakiti manusia.

Sama halnya dengan besi, kecerdasan buatan yang saat ini sedang berkembang pesat dapat menimbulkan kerugian. Namun di waktu yang sama, ia bisa mendatangkan manfaat apabila kita bisa mengoperasikannya sesuai persinya.

Maka dari itu, ini merupakan tantangan baru bagi manusia sebagai aktor utama yang menghuni bumi untuk meng-upgrade diri agar bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, sehingga secanggih apapun AI dan otomatisasi mesin ini, ia akan tetap survive dan menjadi pionir utama dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Wallah a’lam.

Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan

0
Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan
Tuntunan Alquran untuk Menjaga Ketahanan Pangan

Indonesia merupakan negara yang dicitakan menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Hal ini didukung oleh predikat negara agraris yang disematkan pada Indonesia. Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), produksi padi Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sekitar 54,65 juta ton pada tahun 2020. Angka ini yang menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga penghasil beras terbanyak. Tidak hanya berkutat pada beras saja, tetapi Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Maka tidak heran ada sebuah peribahasa yang berbunyi “gemah ripah loh jinawi” untuk menggambarkan kekuatan ketahanan pangan Indonesia.

Baca juga: Surat Thaha Ayat 117-119: Terpenuhinya Pangan, Sandang & Papan Sebagai Manifestasi Kesejahteraan Sosial

Ketahanan pangan, sebagaimana didefinisikan oleh FAO, adalah kondisi ketika semua orang memiliki akses terhadap pangan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, untuk menunjang kehidupan yang lebih sehat, aktif, dan produktif. Oleh karena itu ketahanan pangan merupakan aspek yang esensial dalam menjaga kemajuan serta keutuhan suatu negara. Maka, terdapat 2 aspek utama yang perlu diperhatikan, yakni ketersediaan bahan pangan yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta pengelolaan logistik yang efektif, dalam hal ini pemerintah menjadi tanggung jawab untuk mendistribusi sesuai kebutuhan masyarakat.

Edukasi tata kelola lahan pertanian (Analisis Qs Yusuf 47-49)

قَالَ تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَاَبًاۚ فَمَا حَصَدْتُّمْ فَذَرُوْهُ فِيْ سُنْۢبُلِهٖٓ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تَأْكُلُوْنَ ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَّأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ اِلَّا قَلِيْلًا مِّمَّا تُحْصِنُوْن ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ

(Yusuf) berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwasanya mimpi Raja merupakan tanda akan datangnya masa panceklik. mimpi yang menggambarkan tujuh sapi gemuk menandakan datangnya masa kesuburan yang perlu dimanfaatkan oleh raja serta masyarakatnya untuk bercocok tanam, dan tujuh sapi kurus yang memakan tujuh sapi gemuk diartikan akan datang masa panceklik yang panjang dan perlu persiapan untuk menjaga ketahanan pangan di Mesir saat itu. perawatan yang dilakukan haruslah memperhatikan keadaan cuaca, tanaman yang akan ditanam, dan pengairan untuk menjaga stabilitas tanaman. Hal ini menandakan kesungguh-sungguhan untuk mempersiapkan menghadapi masa panceklik.

Baca juga: Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Lebih jauh lagi, Nabi Yusuf diberi pengetahuan setelah masa panceklik dapat dilalui, Allah akan menurunkan hujan setelahnya. Masyarakatnya akan diberi kehidupan yang sejahtera ditandai dengan tumbuhnya buah yang dapat diperas untuk dijadikan minuman serta hewan ternak yang dapat diambil manfaatnya.(Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 6 Hal 472)

Fakhrudin al-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib memberikan penjelasan secara gamblang untuk konsisten dalam bercocok tanam dan menyimpan sebagian makanan untuk hari-hari panceklik di masa yang akan datang. Kata دَأَباً  diartikan sebagai konsistensi untuk melakukan sesuatu dalam suatu keadaan. Dilanjutkan dengan pemaparan tata cara penyimpanan biji yang baik, yakni tetap tersimpan dalam bulirnya (sunbul) agar terlindungi dari udara dan serangga. Hal itulah yang dapat menjaga kesegarannya lebih lama.(Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18 halaman 465)

Tidak hanya berkutat pada proses penyimpanan saja, tetapi ayat tersebut memberikan terobosan untuk menghemat bahan pangan sesuai kebutuhan. Distribusi proporsional memberikan ketahanan pangan pada masa panceklik kedepannya. Perencanaan jangka panjang yang dipersiapkan oleh Nabi Yusuf juga mengajarkan masyarakat modern untuk mempersiapkan diri dari perubahan iklim yang tidak menentu.

Peran Pemerintah dalam alokasi bahan pangan (Analisis QS.al-Nahl 112)

                  وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنعُو

Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya berlimpah ruah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan422) karena apa yang selalu mereka perbuat.

Fakrudin al-Razi dalam kitabnya menjelaskan berbagai pandangan para ulama tentang keumuman lafaz tersebut sebagai peringatan bagi seluruh negeri. Terdapat indikasi bahwa sebuah negeri akan memperoleh keberkahan jika mengikuti petunjuk Allah dan menjauhi segala bentuk kedurhakaan terhadap-Nya. Dengan demikian, negeri itu akan mendapatkan beberapa kenikmatan yaitu:

  1. Negeri yang aman (Keamanan)

Negeri yang memberikan keamanan dan tidak ada gangguan bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya.

  1. Memberikan ketentraman (Tentram)

Al-Wahidi berkata negeri yang tentram adalah negeri yang memberikan kenyamanan bagi warganya sehingga kehidupan negeri berjalan stabil dan tenang, sehingga masyarakat yang hidup di dalamnya tidak perlu berpindah karena ketakutan atau kesempitan dalam hidup.

Baca juga: Pesan Cinta Syekh Adnan al-Afyouni: Pertahankan Kesejahteraan Indonesia !

  1. Kelimpahan Rezeki

Rezeki yang datang melimpah  bisa diartikann sebagai kecukupan ekonomi dalam negeri tersebut. Bisa berupa bahan pokok serta kesehatan yang merata. Terdapat sebuah syair hikmah yang berbunyi “ Tiga hal yang tidak ada batasnya yakni keamanan, kesehatan,  dan kecukupan. (ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 20, Hal 279)

Lebih dalam lagi Quraish Shihab dalam kitabnya al-Misbah memberikan permisalan terhadap kota Makkah yang sudah diberikan kenikmatan melimpah tetapi malah mengkufurinya. Hal itu tampak saat mereka melawan Rasulullah dengan cara membangkang dari perintah Allah Swt, sehingga kota tersebut diberi azab berupa krisis ekonomi (masa panceklik yang berkepanjangan) dan gangguang keamanan. (Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 7, hal 370)

Perlu kita ketahui bahwa ayat tersebut tidak hanya merujuk kepada kota Makkah semata, tetapi negara secara umum. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama tafsir, bahwasanya peristiwa krisis ketahanan pangan bisa saja terjadi kepada negara kita, yakni Indonesia. Penyebab utamanya dikarenakan kinerja pemerintah yang kurang optimal. Tercermin dari maraknya kasus korupsi, keamanan yang rapuh, serta ketidakmampuan dalam melakukan tugas yang telah diberikan. Akibatnya negeri ini berpotensi kehilangan stabilitas keamanan, ketentraman hidup masyarakat, serta berkurangnya kelimpahan rezeki.

Penutup

Alquran sebenarnya telah memberikan solusi untuk mengurangi berbagai masalah dunia, termasuk ketahanan pangan selama masa panceklik yang berkepanjangan. Bahkan, Alquran juga memuat sistem mitigasi untuk menjaga stabilitas negara jika diimplementasikan dengan benar. Persoalannya kini terletak pada kesanggupan manusia untuk mempelajari kisah terdahulu dengan mengambil hikmah di dalamnya dan mengaplikasikan petunjuk yang telah tertulis dalam Alquran.

Menilik Ikigai dari Perspektif Alquran

0
Menilik Ikigai dalam Perspektif Alquran
Menilik Ikigai dalam Perspektif Alquran

Ikigai berarti nilai hidup atau alasan untuk tetap hidup yang dianut oleh masyarakat Jepang. Menurut kamus terkemuka di Jepang, makna Ikigai dideskripsikan sebagai “kegembiraan dan rasa sejahtera karena hidup” juga “menyadari nilai kehidupan” (Toshimasa Sone, Naoki Nakaya et al, Sense of Life Worth Living (Ikigai) and Mortality in Japan: Ohsaki Study, 709). Ikigai dapat dideskripsikan seperti saat adanya tantangan dalam kehidupan, kita mencoba menggali makna yang lebih dalam. Selain itu, hal-hal kecil dalam hidup yang membuat kehidupan terasa bermakna, itulah yang dimaksud dengan ikigai.

Baca juga: Tafsir Maqashidi: Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati

Dengan adanya alasan atau tujuan hidup, seseorang akan merasa lebih mudah menjalani hari dan lebih minim merasakan tekanan karena mengetahui apa yang diinginkan dan mencintai apa yang dilakukan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ikigai dapat mempengaruhi kesehatan seseorang dari segi mental maupun fisik (Patrick E. McKnight & Todd B. Kashdan, Purpose in Life as a System That Creates and Sustains Health and Well-Being: An Integrative, Testable Theory, 249).

Cara ikigai membuat orang merasakan perubahan positif terdengar cukup familiar dengan prinsip yang ditawarkan Alquran. Petunjuk, pedoman, dan penyembuh adalah klaim tentang Alquran, sebagaimana terdapat pada ayat berikut:

Surah al-Baqarah: 2

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Surah Fussilat: 44

قُلۡ هُوَ لِلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا هُدًى وَشِفَآءٌ​ 

“Alquran adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.”         

Dalam proses seseorang mencari Ikigai, diperlukan identifikasi terhadap beberapa hal. Sedangkan bagi seorang mukmin agar mampu memaknai tujuan penciptaannya juga diperlukan pendekatan kepada Allah Swt. serta renungan terhadap ayat-ayat Alquran yang mengingatkan diri akan tujuan hidup. Berikut pertanyaan substantif sebagai upaya untuk identifikasi dalam menemukan Ikigai serta ayat Alquran yang dapat kita renungkan:

Apa yang kamu cintai?

Surah al-Baqarah: 165

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّتَّخِذُ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ اَنۡدَادًا يُّحِبُّوۡنَهُمۡ كَحُبِّ اللّٰهِؕ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”

Dengan mencintai Allah, kita akan memiliki tujuan yang sesuai dengan perintah di dalam Alquran. Konteks surat al-Baqarah: 165 ini adalah perbedaan di antara orang kafir dengan orang mukmin dalam mencintai Tuhannya. Keberadaan rasa iman dan tauhid dalam seorang mukmin terhadap Allah Swt membuat rasa cinta terhadap hal selain Allah didasarkan pada rasa cintanya pada Allah Swt. Apabila dihadapkan kesulitan, maka dia akan tetap kembali atau setia terhadap Allah Swt. Sebaliknya, orang kafir akan berbalik dari sesuatu yang dia cintai (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1, 371-372.)

Dengan cinta maka kegiatan yang dilakukan akan terasa ringan. Dengan mencintai Allah kita dapat lebih jernih melihat sekitar sehingga memudahkan rencana dan tindakan selanjutnya.

Apa yang bisa memberimu penghasilan (profesi)?

Surah an-Najm: 39

وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ‏

“dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Seseorang akan mendapatkan hasil sesuatu dari apa yang diusahakan. Dengan melakukan amal baik maka akan mendapatkan balasan kebaikan (pahala) pula. Begitupun sebaliknya, apabila melakukan hal mudarat maka kita akan mendapatkan dosa dan balasan kelak. Dalam penafsiran Buya Hamka, dijelaskan bahwa kita mendapatkan hasil pekerjaan sekadar usaha yang telah kita lakukan. Apabila melakukannya dengan malas, maka wajar jika kita mendapat sedikit ataupun sama sekali tidak ada hasil dan dari hal tersebut, kita tentu tidak bisa menyalahkan orang lain (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, 7012.)

Segala usaha yang kita lakukan baik ataupun buruk akan diperlihatkan kelak dan diberi ganjaran yang cukup. Sebab itu perlu bagi kita untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan berusaha menghindari perbuatan tercela (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, 7015.) Karena itulah memilih profesi yang baik dan halal harus dilakukan agar ikigai sejalan dengan maksud ayat tersebut.

Apa yang kamu kuasai?

Surah Yusuf: 55

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Sangat penting bagi kita untuk menyadari dan percaya diri dengan keahlian yang kita miliki, sebagaimana sikap Nabi Yusuf dalam ayat tersebut. Quraish Shihab menyatakan bahwa seseorang boleh mengajukan suatu kedudukan selama motivasinya adalah untuk kepentingan masyarakat, juga selama seseorang memiliki kemampuan untuk posisi kedudukan tersebut (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 6, 485).

Baca juga: Tafsir Surah Annur Ayat 45: Setiap Orang Memiliki Keahlian Masing-Masing

Di sisi lain, Shihab juga menyebutkan bahwa permintaan jabatan dalam keadaan dan sifat yang dialami oleh Nabi Yusuf menunjukkan kepercayaan diri dan keberanian moral. Kemampuan untuk mengetahui kapabilitas diri dan percaya akan hal tersebut sangat berpengaruh dalam memutuskan suatu pilihan (Quentin Cavalan, Beyond Overconfidence: Exploring the Role of Confidence Sensitivity and Meta-Confidence in Career Choices, 24-25) Karenanya, kesadaran dan kepercayaan diri terhadap apa yang dikuasai akan mempermudah kita menentukan Ikigai atau tujuan dalam hidup.

Apa yang dunia butuhkan?

Surah al-Baqarah: 261

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Dari ayat tersebut, kita diberi isyarat untuk bermanfaat bagi orang lain. Jika kita memiliki kemampuan untuk membantu, jangan merasa berat. Karena sesungguhnya Allah akan melipat gandakan balasan atas bantuan yang kita berikan terhadap sesama. Ayat ini juga mengingatkan kita untuk memiliki rasa ingin hidup. Dalam penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat ini, hidup bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas. Melainkan hidup adalah gerak, rasa, tahu, kehendak, dan pilihan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 1, 567).

Dari pertanyaan untuk mengidentifikasi Ikigai, serta ayat-ayat dalam Alquran, maka kita dapat mengambil bagian yang sejalan dengan itu semua. Menjadikan visi misi dalam hidup. Sehingga diri lebih terarah dan mampu memberikan kontribusi pada lingkungan. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu a’lam.

Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

0

Alquran sebagai pedoman hidup telah mengidentifikasi dengan jelas berbagai karakter orang-orang yang lalai (ghâfilin). Kelalaian bukanlah sekadar kondisi abai biasa, melainkan keadaan spiritual yang berbahaya yang menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya. Melalui berbagai ayat, Alquran menggambarkan ciri-ciri orang lalai sebagai peringatan dan pembelajaran. Pengenalan terhadap karakter-karakter ini menjadi penting sebagai upaya preventif dalam menjalani kehidupan modern yang semakin kompleks.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Tidak Menggunakan Akal dan Hati

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf [7]: 179).

Ibnu Asyur (9/84) menjelaskan bahwa kelalaian adalah ketidaksadaran terhadap apa yang seharusnya disadari. Orang-orang lalai diumpamakan seperti binatang ternak karena tidak memanfaatkan potensi akal untuk memahami dan mengambil pelajaran.

Dalam kehidupan modern, fenomena ini tampak pada masyarakat informasi yang justru semakin tumpul daya kritisnya. Di tengah banjir informasi, banyak orang menjadi pasif secara intelektual. Mereka menelan berita tanpa filter kritis dan gagal menggunakan kemampuan berpikir untuk menggali makna dari berbagai peristiwa.

Bukankah ironis bahwa di era kemajuan ilmu pengetahuan, banyak orang justru semakin malas berpikir? Apa gunanya memiliki teknologi canggih jika manusia kehilangan kemampuan refleksi dan kontemplasi yang melahirkan ambisi menguasai?

Baca Juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan

Terikat pada Dunia dan Kesenangan Sementara

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.Yunus [10]: 7-8).

Al-Maraghi (11/80) menerangkan bahwa ayat ini menggambarkan orang-orang yang mengingkari akhirat dan merasa cukup dengan kehidupan dunia. Mereka menghabiskan seluruh energi untuk mengejar kepentingan duniawi dan merasa tenang dengan kenikmatan sementara, tanpa memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.

Era konsumerisme global telah memperkuat karakter lalai ini melalui industri yang tanpa henti menawarkan kepuasan instan. Media sosial dengan konten hedonistik, iklan yang menstimulasi hasrat konsumtif, dan ukuran kesuksesan material telah menjebak banyak orang dalam pengejaran dunia tanpa akhir.

Fatamorgana kebahagiaan duniawi terus menggoda manusia modern. Validasi eksternal dan akumulasi materi menjadi candu yang sulit dilepaskan. Ketika nafas terakhir berhembus, barulah kesadaran itu datang, ironis terlambat menyadari bahwa betapa singkat kehidupan dunia dibanding keabadian yang menanti.

Enggan Mendengar atau Menerima Kebenaran

Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main. (QS. Al-Anbiya [21]: 1-2).

Ibnu Asyur (17/11) menerangkan bahwa ayat ini mengandung peringatan keras tentang kedekatan hari perhitungan, sementara manusia tetap dalam kelalaian. Ketika peringatan datang, mereka mendengarkan sambil bermain-main, tanpa keseriusan dan penghayatan.

Keengganan menerima kebenaran ini termanifestasi dalam fenomena post-truth, di mana fakta objektif sering dikesampingkan demi narasi yang lebih menarik. Polarisasi pendapat yang diperparah algoritma media sosial membuat banyak orang terjebak dalam ruang gema yang hanya meneguhkan pandangan mereka sendiri.

Manusia modern semakin pandai membangun benteng ego yang sulit ditembus kebenaran. Algoritma digital yang dirancang untuk kenyamanan malah menjadi penjara tak kasat mata, mengurung penggunanya dalam isolasi intelektual yang nyaman namun mematikan. Kebenaran pun menjadi relatif, bergantung pada preferensi pribadi alih-alih realitas objektif.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati

Berpaling dari Zikir dan Peringatan Allah

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Menurut Al-Maraghi (15/143) ayat ini melarang untuk menaati orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah karena buruknya kesiapan mereka. Mereka terjebak dalam pengejaran nafsu berlebihan hingga hati mereka tertutup oleh kefasikan dan kemaksiatan.

Dalam kehidupan serba cepat dan penuh distraksi, zikir menjadi tantangan spiritual utama. Notifikasi yang terus berbunyi, jadwal padat, dan hiburan melimpah telah menggerus waktu untuk refleksi spiritual. Banyak yang lebih sering memeriksa ponsel daripada merenung tentang makna hidup.

Kehampaan spiritual menjadi epidemi tersembunyi di balik gemerlap modernitas. Kesibukan tanpa henti menjadi pelarian sempurna dari kesunyian yang justru dibutuhkan jiwa. Mungkin inilah yang menjelaskan paradoks zaman, semakin maju teknologi komunikasi, semakin dalam rasa kesepian yang dirasakan manusia.

Penutup

Analisis terhadap karakter orang-orang lalai dalam Alquran memberikan cermin refleksi bagi masyarakat modern. Keempat karakter tersebut: tidak menggunakan akal dan hati, terikat pada dunia, enggan menerima kebenaran, dan berpaling dari zikir. ternyata semakin menguat di era kontemporer. Tantangan besar manusia modern adalah mengatasi berbagai bentuk kelalaian ini di tengah kompleksitas hidup yang semakin memudahkan untuk lalai. Kesadaran akan bahaya kelalaian dan upaya sungguh-sungguh untuk menghindarinya menjadi kunci utama dalam membangun kehidupan yang bermakna dan seimbang di tengah arus modernitas yang “seringkali” menyesatkan.

Wallahu ‘alam