Beranda blog Halaman 4

Ma’na-Cum-Maghza: Tarik Ulur Metode Tafsir Kontemporer

0
Mengenal 5 Prinsip Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza
Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza

Pada 2022 lalu, Ahmad Muttaqin dalam artikelnya, From Contextual to Actual Approach: Towards a Paradigm Shift in Interpreting the Qur’an, memasukkan lima figur kontekstualis terkait pergeseran paradigma pendekatan penafsiran Al-Qur’an, salah satunya Sahiron Syamsuddin. Sahiron, yang menginjak usia 55 tahun pada 11 Agustus kemarin, menjadi satu dari sekian cendikiawan yang dipertimbangkan dalam diskursus studi Al-Qur’an di Indonesia. Ia dikenal dengan pendekatannya yang diberi nama Ma’na-Cum-Maghza.

Pendekatan ini, diasumsikan mampu untuk menggali dan merekonstruksi makna dan pesan utama historis teks Al-Qur’an, yaitu makna (ma’na) dan signifikansi (maghza), untuk kemudian dikembangkan signifikansi teks itu kepada konteks kekinian dan kesinian, persis seperti yang ia sampaikan dalam artikelnya, Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza, dalam buku antologi Pendekatan Makna Ma’na-Cum-Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer (2020).

Pendekatan yang ditawarkan oleh Sahiron ini, tentu tidak luput dari kritik dari beberapa peneliti lainnya sebagai respons yang biasa terjadi dalam tradisi percaturan pemikiran. Nurmahni dan Irsyadunnas dalam artikelnya, meski hanya sentilan sekilas, memberi sebuah pernyataan kritis terhadap pendekatan Sahiron yang kemudian memunculkan counter-counter dari peneliti lain setelahnya. Mari saya kutipkan kritik itu, “Di samping itu ada artikel yang ditulis oleh Asep Setiawan yang berjudul “Studi Kritis atas Teori Ma’na-cum-Maghza dalam Penafsiran al-Qur’an” yang fokus pada kajian kritis terhadap teori hermeneutika Ma’na-cum-Maghza dengan menilai bahwa teori tersebut belum dapat memberikan sumbangsih secara signifikan terhadap perkembangan metodologi tafsir, sebab hanya melakukan elaborasi dari berbagai teori.” (Nurmahni, Irsyadunnas, 2020)

Meskipun pernyataan di atas disandarkan terhadap penelitian Asep Setiawan, namun Umi menyebut pernyataan dari Nurmani dan sejawatnya itu tidak berdasar dan perlu dikaji ulang. Sebab, menurutnya, kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama yang ditangani oleh Sahiron menjadi satu bukti kontribusi itu (Umi Wasilatul Furdausiyah, 2021). Lalu bagaimana sebenarnya tarik ulur pendekatan ini beserta kritik-kritik terhadapnya?

Beberapa Kritik

Kritik yang cukup komprehensif pada mula-mula metode ini ditawarkan, dilakukan oleh Asep Setiawan dalam artikelnya, Hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya”: Telaah atas Teori Ma’na-Cum-Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an (2016). Asep mengawali kritiknya pada klasifikasi Sahiron terhadap tipologi penafsiran yang simplistik. Menurutnya, klasifikasi tersebut terlalu general. Sebab, meskipun tampak rasional dan objektif, tetapi secara konsep tipologi Sahiron terkesan mengikuti kacamata orientalis yang dikotomis dan parsial. Hal itu, dibuktikan dengan dimasukkannya beberapa ulama yang dikategorikan sebagai aliran quasi-objektif tradisionalis dengan anggapan bahwa mereka tidak memperhatikan prinsip-prinsip maqashid syari’ah dan literal murni tidak berdasar dan kering data.

Apa yang dituduhkan Asep memang diungkapkan oleh Sahiron. Sahiron menyebut kategori pertama dalam tiga tipologinya itu diisi oleh kelompok konservatif yang tidak memperatikan tujuan hukum secara prinsipil, melainkan hanya menunjukkan rasionalitas hukum itu sendiri dan keharusan aplikasinya sepanjang masa. Asep menganggap klaim itu keliru, sebab maqashid syariah bukanlah hal baru dan sudah dibahas oleh ulama-ulama klasik dimulai dari Imam Tirmizi.

Baca juga: Mengenal Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Alasan yang dijadikan dasar counter Asep ini, bagi saya, kurang menjawab kritikannya sendiri secara substansial. Sebenarnya, Sahiron tidak ingin mengatakan bahwa mufasir klasik melupakan maqashid, tapi lebih kepada pengabaian prinsip. Namun, kata pengabaian di sini juga menjadi problem, seperti yang dirasakan Asep. Ikhawanul Muslimin yang dijadikan satu contoh dari kelompok itu, juga tidak dijelaskan di mana letak kekeliruannya oleh Asep. Hanya saja, untuk mengatakan bahwa tipologi yang digagas Sahiron terlalu menggeneralisasi, saya setuju. Dan untuk mengklaim bahwa mufasir klasik, mengabaikan maqashid, bisa jadi konteks hukumnya masih relevan kala itu.

Ikhwanul Muslimin sebagai tamsil penafsiran quasi-objektivis konservatif menjadi penekanan tersendiri oleh Sahiron. Ini bisa dilihat dari salah satu alasan yang diajukannya terkait kelemahan kelompok yang dimaksud. Ia menyebut, “…mereka yang memiliki pandangan ini tidak tertarik untuk melakukan pembaharuan pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an untuk mencoba menjawab tantangan-tantangan modern dengan cara mempertimbangkan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara situasi pada saat diturunkannya wahyu dan situasi yang ada pada masa kini.” Atas dasar inilah, kemudian ia lebih memilih pandangan kelompok quasi-objektivis progresif yang memberi perhatian yang seimbang terhadap makna asal (ma’na) dan pesan utama (maghza) di baliknya.

Signifikansi dan kontekstualisasi

Terkait kelompok yang dipandang Sahiron dapat diterima untuk saat ini, ia menunjukkan satu kelemahan, yaitu pemahaman akan signifikansi. Maka kemudian ia menjelaskan apa saja bentuk signifikasnsi itu: Pertama, signifikansi fenomenal, yaitu pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis sejak masa Nabi hingga penafsirannya pada periode tertentu. Siginifikansi ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu signifikansi fenomenal historis dan signifikansi fenomenal dinamis; Kedua, signifikansi ideal yang berarti akumulasi ideal pemahaman terhadap signifikansi ayat.

Adapun metode dari pendekatan Ma’na-Cum-Maghza itu sendiri, setelah mengetahui hakikat signifikansi dan macam-macamnya, terdapat tiga hal penting yang harus dijalankan seorang penafsir: Pertama, mencari makna historis (al-ma’na al-tarikhi); Kedua, mencari signifikansi fenomenal historis (al-maghza al-tarikhi); dan Terakhir, mencari signifikansi fenomenal dinamis (al-maghza al-mutaharrik) konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.

Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia

Untuk menelusuri dua tahap pertama, Sahiron memberikan langkah-langkah berikut: a) analisa bahasa; b) intratekstualitas (membandingkan dengan ayat lain); c) analisa intertekstualitas (membandingkan dengan teks lain); d) konteks historis wahyu; dan e) analisa tujuan (maqshad) ayat. Sedang untuk langkah-langkah tahap terakhir berikut: a) kategorisasi ayat; b) pengembangan definitive; c) menangkap makna simbolik ayat; dan d) perspektif yang lebih luas.

Semua langkah-langkah di atas dilakukan tiada lain hanya untuk mengontekstualisasikan ayat yang ditafsirkan. Penafsir kontemporer, yang notabene terpaut jauh dari waktu Al-Qur’an diturunkan, meniscayakan penangkapan pesan moral dari kandungan teks agar sesuai dengan konteksnya di masa kini. Sebagaimana pandangan tokoh yang juga menjadi inspirasi pemikiran Sahiron, J.E. Gracia, bahwa teks menjadi entitas historis yang hadir pada kondisi tertentu dan berada dalam ruang tertentu (Umi Wasilatul Firdausiyah, 2021).

Seperti Asbābun Nuzūl, Asbāb al-Wurūd juga Harus Dibaca Tuntas

0
Seperti Asbābun Nuzūl, Asbāb al-Wurūd juga Harus Dibaca Tuntas
Seperti Asbābun Nuzūl, Asbāb al-Wurūd juga Harus Dibaca Tuntas

Dalam tradisi tafsir, kita mengenal istilah asbābun nuzūl: sebab turunnya ayat. Dengan menelusuri latar belakang turunnya wahyu, penafsir bisa menangkap maksud ayat lebih jernih, tidak terjebak pada pemahaman kaku atau sepotong-sepotong. Hal yang sama berlaku untuk hadis Nabi ﷺ. Ia pun lahir dari peristiwa nyata yang disebut asbāb al-wurūd. Tanpa memperhatikan konteks ini, makna hadis bisa menyempit, bahkan disalahgunakan.

Sayangnya, di zaman media sosial, hadis sering diperlakukan layaknya quotes/kutipan instan. Begitu ada label “sahih” atau disebut dalam Shahih BukhariMuslim, banyak orang langsung merasa aman untuk menekan tombol share. Padahal, sebagaimana al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari asbābun nuzūl-nya, hadis pun harus dibaca tuntas dengan asbābul wurūd-nya.

Acar/Cuka adalah Makanan Favorit Nabi?

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

نِعْمَ الْإِدَامُ الْخَلُّ

“Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka.”
(HR. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Ashriba, Bab Faḍl al-Khall wa’l-Laban, no. 2052, juz 3 hlm. 1623)

Apabila hadis ini dibaca tanpa konteks—tanpa memperhatikan zaman, tempat, situasi, dan kondisi—barangkali kita akan menyimpulkan bahwa makanan favorit Nabi adalah makanan yang memakai cuka, atau bahwa sunnah dalam urusan makan adalah selalu mengonsumsi cuka.

Namun, lain ceritanya bila hadis tersebut dibaca dengan memperhatikan asbāb al-wurūd-nya, yakni peristiwa yang melatarbelakangi sabda Nabi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertamu ke rumah seorang sahabat yang hidupnya sederhana. Sang sahabat hanya mampu menghidangkan roti dengan cuka, karena memang tidak ada makanan lain yang lebih layak. Seandainya ia memiliki daging atau makanan yang lebih mewah, tentu ia akan menyajikannya, mengingat tamu agung yang datang adalah Nabi Muhammad ﷺ.

Dalam kondisi itu, Rasulullah ﷺ tetap menghormati jamuan yang sederhana tersebut. Bahkan beliau memuji makanan itu dengan sabdanya: “Sebaik-baik lauk pauk adalah cuka.” Dengan sikap itu, Nabi bukan sekadar menyampaikan komentar tentang rasa cuka, melainkan memberikan teladan moral: bagaimana menghargai jamuan sederhana dari seorang tuan rumah, dan bagaimana memuliakan sahabatnya yang telah berusaha menjamu dengan kemampuan terbaik.

Baca juga: Pembacaan Ulang Hadis Larangan Istri Puasa Tanpa Izin Suami

Jika kita memahami konteks hadis ini, pelajaran (‘ibrah) yang bisa diambil jauh lebih dalam dibanding sekadar “cuka adalah makanan favorit Nabi”. Ada dua nilai moral utama: pertama, anjuran untuk menghormati tamu; kedua, pentingnya menghargai setiap jamuan, betapapun sederhana.

Di sinilah pentingnya membaca hadis dengan konteks. Baik al-Qur’an maupun hadis Nabi ﷺ bukanlah teks yang muncul dari ruang hampa. Firman Allah dan sabda Rasul selalu lahir dari peristiwa, pengalaman, dan kondisi sosial tertentu.

Sayangnya, di zaman kiwari masih banyak dari kita yang menerima hadis begitu saja, membacanya bulat-bulat tanpa memperhatikan asbāb al-wurūd. Setiap ungkapan yang diawali qāla Rasūlullāh segera dianggap sebagai aturan universal, lalu disebarkan begitu saja. Teknologi informasi membuat hadis-hadis yang belum tentu siap pakai ini tersebar masif lewat WhatsApp, Facebook, Telegram, dan media sosial lainnya.

Fatalnya Hadis “Perang” Tanpa Konteks

Dalam contoh hadis tentang cuka tadi, yang dibicarakan hanyalah soal makanan: roti dan cuka (atau acar). Dampaknya relatif ringan, bahkan bisa membuat orang hanya sibuk membicarakan “menu sunah Nabi”.

Namun, bayangkan jika yang tersebar dan diyakini secara kolektif adalah hadis Nabi ﷺ yang terdengar jauh lebih keras. Misalnya sabda beliau:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذٰلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan itu, maka terjagalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan alasan Islam, dan perhitungan mereka terserah kepada Allah Ta‘ala.” (HR. al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, no. 25, Juz 1 hlm. 14)

Baca juga: Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Al-Quran

Jika hadis ini dibaca secara literal, tanpa mempertimbangkan asbāb al-wurūd dan konteks sejarahnya, maka bisa muncul kesimpulan yang sangat berbahaya: seolah-olah Nabi ﷺ diperintahkan untuk membunuh semua manusia yang bukan muslim. Padahal para ulama telah menjelaskan bahwa hadis ini turun dalam konteks perang mempertahankan eksistensi Islam di jazirah Arab, khususnya terhadap kelompok musyrik Quraisy yang saat itu memerangi kaum muslimin.

Membaca hadis semacam ini tanpa konteks bukan hanya menimbulkan salah paham, tetapi juga bisa menjadi catastrophic: legitimasi teologis bagi tindak kekerasan dan radikalisme. Inilah yang sering terjadi ketika hadis-hadis populer beredar di media sosial hanya dalam bentuk potongan terjemahan singkat.

Kesimpulan

Dua contoh di atas—hadis tentang cuka dan hadis tentang perintah memerangi manusia—menunjukkan betapa pentingnya membaca hadis dengan konteks. Tanpa konteks, pesan moral bisa menyempit hanya pada soal makanan, atau lebih buruk lagi, melahirkan justifikasi bagi kekerasan atas nama agama.

Hadis, sebagaimana al-Qur’an bukanlah teks mati. Ia lahir dari ruang dan waktu tertentu, dari peristiwa nyata yang dihadapi Nabi ﷺ bersama para sahabatnya. Karena itu, membacanya memerlukan ilmu, ketelitian, dan kehati-hatian.

Sebelum membagikan sebuah hadis di jagat maya, setidaknya ada dua hal yang perlu dipastikan: (1) kesahihannya, dan (2) konteks atau asbāb al-wurūd-nya. Dengan cara ini, hadis akan tetap menjadi sumber inspirasi moral dan spiritual, bukan sumber salah paham yang menjerumuskan.

Berdosakah Membagi Warisan Tidak Sesuai Aturan Islam?

0

Pembahasan mengenai harta warisan adalah salah satu topik yang paling sensitif dalam kehidupan keluarga. Tak jarang, ketika seseorang wafat, harta yang ditinggalkan justru menjadi pemicu pertengkaran di antara ahli waris. Hubungan yang sebelumnya akrab bisa berubah renggang, bahkan ada yang sampai enggan bertegur sapa.

Lebih parah lagi, kasus sengketa waris kerap berujung pada konflik berkepanjangan, pertikaian antar saudara, hingga tindakan yang melampaui batas, seperti kekerasan dan pembunuhan.

Melihat banyaknya potensi konflik, sebagian umat Islam memilih membagi rata harta warisan agar dianggap adil. Namun, keputusan ini tentunya menimbulkan masalah baru, terutama bagi ahli waris yang seharusnya mendapatkan bagian lebih besar, karena hak mereka menjadi terabaikan.

Dari sinilah banyak muncul pertanyaan: apakah seorang Muslim wajib membagi warisan sesuai aturan syariat dan berdosa jika membagi warisan tidak sesuai dengan aturan yang telah Allah tetapkan dalam Alquran?

Baca Juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah

Kewajiban Membagi Warisan Sesuai Syariat Islam

Aturan pembagian warisan pada dasarnya telah dijelaskan secara tegas oleh Allah Swt. dalam Alquran, khususnya pada Surah An-Nisa’ ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menerangkan dengan gamblang siapa saja yang berhak menerima warisan serta berapa bagian yang menjadi hak masing-masing ahli waris.

Menurut Dr. Mustafa al-Khin, ayat-ayat tentang pembagian warisan memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan syariat shalat dan zakat. Hal ini karena hukum waris ditetapkan berdasarkan nash Alquran, sunnah Nabi, dan ijma’ ulama. Oleh sebab itu, hukum waris wajib diterapkan dan diamalkan. Tidak boleh diubah, apalagi ditinggalkan, sebab ia termasuk bagian dari syariat yang telah Allah tetapkan untuk kemaslahatan manusia.

نِظَامُ الْمِيرَاثِ نِظَامٌ شَرْعِيٌّ ثَابِتٌ بِنُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الْأُمَّةِ، شَأْنُهُ فِي ذَلِكَ شَأْنُ أَحْكَامِ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ، وَالْمُعَامَلَاتِ، وَالْحُدُودِ. يَجِبُ تَطْبِيقُهُ، وَالْعَمَلُ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ تَغْيِيرُهُ، وَالْخُرُوجُ عَلَيْهِ، مَهْمَا تَطَاوَلَ الزَّمَانُ

”Hukum waris adalah aturan syariat yang tetap, bersumber dari Alquran, sunnah Nabi, dan kesepakatan umat Islam. Kedudukannya sama pentingnya dengan hukum salat, zakat, muamalah, maupun hudud. Karena itu, hukum waris wajib diterapkan dan diamalkan. Tidak boleh diubah atau ditinggalkan, meskipun zaman sudah berubah dan waktu terus berjalan.”(al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam Syafi’i, juz 5 hal.72)

Selain itu, ada hal menarik yang patut diperhatikan pada ayat penutup tentang pembagian warisan, yakni Surah An-Nisa’ ayat 13 dan 14. Setelah menjelaskan secara rinci aturan-aturan warisan, Allah menutupnya dengan penegasan bahwa ketentuan tersebut adalah hukum yang telah Dia tetapkan. Allah juga memberikan janji mulia berupa balasan surga bagi siapa saja yang taat menjalankannya. Sebaliknya, bagi yang melanggar atau mengabaikan aturan itu, ancaman azab yang pedih telah menantinya.

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Artinya;”Itu adalah batas-batas (ketentuan) Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Mereka) kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar aturannya maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka, ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’[4]: 13-14)

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa aturan pembagian warisan harus dilaksanakan dan tidak boleh ada kecurangan di dalamnya, seperti menambah bagian sebagian ahli waris atau mengurangi bagian yang lain dengan berbagai alasan.

Semua harus diserahkan sesuai ketetapan Allah tanpa diubah sedikit pun. Apabila ada yang tidak ridha dengan pembagian tersebut lalu memilih aturan lain, maka ia diancam dengan neraka dan azab yang menghinakan, karena perbuatannya menunjukkan ketidakridhaan terhadap hukum Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, juz 2 hal.232)

Baca Juga: Pembagian Warisan Bagi Anak dan Orang Tua Menurut Al-Qur’an

Bagaimana Jika Para Ahli Waris Sepakat Membagi Harta Warisan Secara Sama Rata?

Kewajiban membagi harta warisan sesuai aturan syariat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan keadilan dengan memberikan hak kepada orang yang memang berhak menerimanya.

Namun, jika dalam praktik pembagian sesuai syariat sulit dilakukan, misalnya karena adanya konflik internal dalam keluarga. Dalam keadaan seperti ini, jika seluruh ahli waris sepakat untuk menggunakan cara lain, maka hal tersebut diperbolehkan dengan beberapa ketentuan.

Pertama, seluruh ahli waris yang terlibat harus sudah baligh dan berakal, sehingga mampu mengambil keputusan dengan penuh kesadaran.

Kedua, pembagian dilakukan atas dasar kerelaan semua pihak, khususnya dari ahli waris yang mengalah atau melepaskan sebagian haknya.

Ketiga, meskipun memilih kesepakatan di luar aturan syariat, mereka tetap harus meyakini bahwa ketentuan pembagian waris yang Allah tetapkan dalam syariat Islam adalah aturan yang paling adil dan sempurna. (Fatwa Mauqi’ Thariqul Islam, no.55227)

Sebagai penutup, aturan pembagian harta warisan sejatinya merupakan bentuk ujian dari Allah kepada hamba-Nya: apakah ia ridha dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan atau justru menolaknya. Sesungguhnya, setiap ketentuan Allah adalah sebaik-baiknya aturan, dan semuanya pasti bertujuan untuk kebaikan serta kemaslahatan hamba-Nya.

Terakhir, mengutip dawuh Dr. Mustafa al-Khin;

وَمَهْمَا ظَنَّ النَّاسُ بِأَفْكَارِهِمْ خَيْرًا، فَتَشْرِيعُ اللَّهِ خَيْرٌ لَّهُمْ، وَأَنْفَعُ

“Seberapa pun manusia mengira bahwa pemikiran mereka lebih baik, sesungguhnya syariat Allah jauh lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka.”(al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam Syafi’i juz 5 hal.72). Wallahu ‘alam bish shawab.

Penyakit Hati di Era Media Sosial: Hasad dan Terapinya

0
penyakit hati_terapi untuk sifat hasad dalam Alquran
penyakit hati_terapi untuk sifat hasad dalam Alquran

Penyakit hati yang berbahaya, salah satunya seperti hasad makin menjadi-jadi di era media sosial seperti sekarang. Media sosial adalah sebuah panggung perbandingan tanpa akhir. Studi psikologis terkini membuktikan bahwa platform ini secara sistematis menciptakan sebuah proses yang disebut upward social comparison, yaitu kecenderungan alami untuk membandingkan diri dengan orang lain yang kehidupannya tampak lebih ideal(Liu dkk., hlm. 3). Jauh sebelum istilah modern ini muncul, tradisi spiritual Islam telah memiliki diagnosis yang lebih tua dan mendalam untuk penyakit hati tersebut, yakni hasad.

Baca Juga: Ibrah Surah Alfil: Iri dan Dengki Penyebab Kehancuran

Hakikat dan Bahaya Sifat Hasad

Rasulullah saw. memberi sebuah peringatan keras tentang bahaya sifat hasad.

“Jauhilah oleh kalian sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini tidak main-main. Ia menggambarkan hasad bukan sekadar sebagai dosa, melainkan sebagai api yang melahap habis “saldo” amal baik seorang hamba. Ibnu Manzhur mengutip dari Ibn al-A’rabi, mengaitkan akar kata hasad dengan hasdal (sejenis kutu/tungau). Sebagaimana kutu itu mengupas kulit lalu menghisap darahnya, demikian pula “hasad mengupas hati, lalu memakan habis kebaikannya” (Ibn Manzhûr, hlm. 148).

Secara istilah, definisi paling tajam diberikan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin. Menurut beliau, hakikat hasad adalah “membenci nikmat (yang ada pada orang lain) dan mencintai hilangnya nikmat tersebut darinya”. Lebih dari itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa hasad pada dasarnya adalah sebuah bentuk protesterhadap ketetapan Allah. Seorang pendengki seolah-olah tidak terima dengan cara Allah membagi karunia-Nya (Al-Ghazâlî, hlm. 189).

Membedakan antara Hasad dan Ghibthah

Islam memahami fitrah manusia yang cenderung membandingkan. Oleh karena itu, ajaran Islam membedakan dengan tegas antara hasad yang tercela dengan ghibthah yang diperbolehkan. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ghibthah (yang juga beliau sebut munāfasah) adalah kondisi ketika seseorang melihat nikmat pada orang lain, lalu dia berkeinginan untuk memiliki nikmat serupa, tanpa berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut (Al-Ghazâlî, hlm. 189).

Perbedaan ini ditegaskan dalam hadis Rasulullah saw,

“Tidak ada hasad (yang dibolehkan) kecuali pada dua orang: seseorang yang dianugerahi Allah harta lalu ia menginfakkannya di jalan kebenaran, dan seseorang yang dianugerahi Allah hikmah (Al-Qur’an) lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibn Ashur, dalam tafsirnya menegaskan bahwa hadis ini adalah salah satu dalil utama yang membedakan antara hasad yang tercela dengan ghibthah (yang dalam hadis ini disebut secara majas sebagai “hasad”) (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 28).

Saat melihat unggahan kesuksesan seorang teman di media sosial, ke persimpangan manakah hati ini lebih sering berbelok? Apakah ke jalan ghibthah yang memotivasi untuk menjadi lebih baik, atau ke lorong gelap hasad yang menggerogoti jiwa dengan kebencian?

Baca Juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

Metode Terapi untuk Sifat Hasad dalam Alquran

Islam tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga memberikan resep terapinya. Al-Qur’an menyajikan sebuah terapi proaktif untuk memotong akar penyakit hati ini sebelum ia tumbuh membesar.

Terapi Pertama (Proaktif): Mengalihkan Fokus dari Makhluk kepada Al-Khaliq

Akar dari hasad adalah tamanni, yaitu berangan-angan atau menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Alquran secara langsung melarang ini dan memberikan solusinya dalam surah an-Nisa'[4]: 32,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Menurut Ibn Ashur larangan berangan-angan (tamanni) adalah sebuah langkah preventif yang luar biasa, karena angan-angan adalah gerbang yang dapat berujung pada hasad. Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa kejahatan pertama di muka bumi (pembunuhan Habil oleh Qabil) lahir dari hasad.

Ayat ini kemudian tidak berhenti pada larangan, tetapi langsung memberikan terapi aktifnya: “Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya”. Ini adalah sebuah pengalihan fokus yang fundamental. Alih-alih memfokuskan energi mental pada nikmat yang ada di tangan orang lain, seorang mukmin diperintahkan untuk mengalihkan seluruh harapannya dan permintaannya langsung kepada Allah (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 30).

Terapi Kedua (Defensif): Berlindung dari Kejahatan yang Telah Muncul

Jika perasaan hasad sudah terlanjur muncul dan terasa mengancam, maka langkah selanjutnya adalah terapi defensif, yaitu berlindung kepada Allah, sebagaimana dalam perintah di surah al-Falaq, ayat 5,

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ

“…dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia telah dengki”

Ar-Razi menjelaskan bahwa hasad disebut secara khusus setelah kejahatan-kejahatan lainnya dalam surah ini untuk menegaskan bahwa ia termasuk salah satu jenis kejahatan yang paling besar (Ar-Râzî, hlm. 375). Sementara itu, Ibn Ashur menyoroti pentingnya frasa “idza hasad” (apabila ia telah dengki). Menurutnya, ini menunjukkan bahwa bahaya terbesar dari seorang pendengki adalah ketika perasaan itu telah memuncak dan mendorongnya untuk berbuat jahat secara nyata, baik melalui lisan maupun perbuatan (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 629).

Dua terapi ini bekerja secara sinergis. Terapi an-Nisa’ adalah “vaksin” yang mencegah penyakit, sedangkan terapi Al-Falaq adalah “antibiotik” saat penyakit itu sudah mulai menyerang. Lantas, sudahkah lisan ini lebih sering meminta karunia Allah daripada mengomentari karunia orang lain?

Penutup

Media sosial adalah alat yang netral. Ia bisa menjadi sumber inspirasi jika didekati dengan semangat ghibthah, atau bisa menjadi sumber penyakit jika hati dibiarkan terjangkit virus hasad. Islam menyediakan perangkat lengkap untuk menjaga kesehatan hati di era digital ini, dengan diagnosis yang presisi, pembedaan yang jelas, serta terapi spiritual yang kokoh. Pada akhirnya, pertarungan melawan hasad bukanlah tentang memblokir akun orang lain, tetapi tentang membersihkan dan membentengi hati sendiri dari salah satu penyakit paling mematikan.

Menggali Hukum dari Ayat-Ayat Kisah dalam Al-Qur’an

0
Menggali Hukum dari Ayat-Ayat Kisah dalam Al-Qur’an
Sampul kitab Al-Qashash Al-Qur’ani wa Atsaruhu fi Istinbath Al-Ahkam

Secara umum, ayat-ayat dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian, yaitu ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) dan ayat-ayat kisah (ayat al-qashash). Untuk menggali persoalan hukum, para ulama biasanya merujuk pada ayat-ayat yang secara tegas memuat ketentuan hukum. Jika dikumpulkan, jumlah ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an diperkirakan setara dengan tiga juz. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam karyanya yang terkenal, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam.

Namun, pada hakikatnya sumber hukum dalam al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ayat-ayat ahkam yang eksplisit. Ayat-ayat kisah pun dapat mengandung aspek hukum yang dapat digali melalui pendekatan usul fikih.

Salah satu karya yang secara khusus membahas hal ini adalah kitab Al-Qashash Al-Qur’ani wa Atsaruhu fi Istinbath Al-Ahkam. Kitab ini murni berfokus pada penggalian hukum dari ayat-ayat kisah, dengan landasan argumentasi usul fikih yang kuat. Penulisnya adalah Syaikh Asamah Muhammad Abdul Adzim Hamzah, seorang pengajar usul fikih di Universitas al-Azhar. Kitab ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1418 H/1997 M.

Contoh Penafsiran

Salah satu contoh ayat kisah yang menjadi dasar pengambilan hukum bagi para fuqaha adalah firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 41 yang berbunyi:

وَاٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُوْنُوْٓا اَوَّلَ كَافِرٍ ۢ بِهۖ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًاۖ وَّاِيَّايَ فَاتَّقُوْنِ

Artinya: Berimanlah kamu kepada apa (al-Qur’an) yang telah Aku turunkan sebagai pembenar bagi apa yang ada pada kamu (Taurat) dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku. (QS. al-Baqarah [2]: 41)

Ayat ini dan ayat sebelumnya berbicara tentang Bani Israil, yakni keturunan Nabi Yakub, cucu Nabi Ibrahim as. Mereka diperintahkan agar memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan beriman kepada al-Qur’an yang membenarkan kitab sebelumnya, yakni Taurat, Zabur, dan Injil. Mereka juga dilarang untuk menjual atau menukar ayat-ayat Allah dengan kemegahan duniawi atau dengan harga yang pada hakikatnya murah meskipun tampak mahal.

Baca juga: Bagaimana Membaca Kandungan Sains dalam Ayat-Ayat Kisah?

Dari ayat kisah tersebut, para fuqaha kemudian merumuskan persoalan hukum: Apakah boleh mengambil upah karena telah mengajarkan al-Qur’an atau ilmu lainnya? Persoalan ini muncul berdasarkan potongan ayat di atas yang berbunyi, “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku.”

Imam az-Zuhri dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh mengambil upah dari aktivitas mengajarkan ilmu, termasuk mengajarkan al-Qur’an. Pendapat ini didasarkan pada ayat di atas. Sementara mayoritas ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, cenderung membolehkan pengambilan upah atas pengajaran ilmu.

Contoh lain seperti firman Allah Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 43:

وَقَالَ الْمَلِكُ اِنِّيْٓ اَرٰى سَبْعَ بَقَرٰتٍ سِمَانٍ يَّأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعَ سُنْۢبُلٰتٍ خُضْرٍ وَّاُخَرَ يٰبِسٰتٍۗ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ اَفْتُوْنِيْ فِيْ رُؤْيَايَ اِنْ كُنْتُمْ لِلرُّءْيَا تَعْبُرُوْنَ

Artinya: Raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus serta tujuh tangkai (gandum) yang hijau (dan tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai para pemuka kaum, jelaskan kepadaku tentang mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkannya. (QS. Yusuf [12]: 43)

Ayat ini menceritakan tentang keberadaan Nabi Yusuf as. yang cukup lama dipenjara. Peristiwa bermula dari mimpi sang saja, sehingga salah seorang dari pelayannya teringat kembali akan pesan Nabi Yusuf as. ketika mereka dahulu sama-sama berada di dalam penjara. Ia kemudian menyampaikan kepada raja tentang keahlian Nabi Yusuf dalam menafsirkan mimpi. Kemudian raja memanggil Nabi Yusuf dan meminta beliau untuk menafsirkan mimpinya.

Baca juga: Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (I)

Hukum yang dapat diambil dari ayat kisah ini adalah bahwa, kebenaran sebuah mimpi tidak harus selalu berasal dari seorang muslim. Orang di luar agama Islam pun dapat mengalami mimpi yang mengandung isyarat keadaan sekitarnya, atau bahkan tentang peristiwa yang akan datang. Sebagaimana ditunjukkan dalam kisah mimpi raja Mesir yang kemudian ditafsirkan oleh Nabi Yusuf as.

Walhasil, kitab ini sangat layak untuk dibaca dan dikaji, terutama oleh para akademisi dan peneliti yang berfokus pada bidang tafsir dan usul fikih. Ia tidak hanya memberikan wawasan baru tentang metode penggalian hukum dari ayat-ayat kisah, tetapi juga memperkaya khazanah keilmuan Islam dengan pendekatan yang mendalam dan argumentasi yang kuat.

Allah Berjanji Mengabulkan Doa, Lantas Mengapa Banyak Doa Belum Terkabul?

0
Janji Allah untuk mengabulkan doa
Janji Allah untuk mengabulkan doa

Janji Allah untuk mengabulkan doa hambaNya sudah disampaikan dengan sangat belas dalam Alquran. Berdasarkan hal ini pula setiap muslim berdoa kepada Allah dengan penuh harap. Ada yang berdoa memohon rezeki, kesembuhan, jodoh, atau jalan keluar dari masalah yang acapkali menyesakkan dada. Namun, tak jarang doa yang dipanjatkan berulang-ulang tersebut justru seolah tidak mendapat jawaban, tak pelak dalam benak hati kita pun muncul pertanyaan“Mengapa doa saya tak kunjung terkabul? Bukankah Allah berjanji mengabulkan doa hamba-Nya?”

Rasa heran itu semakin besar ketika orang yang berdoa merasa sudah berusaha mengikuti resep agar doa dikabulkan dari para ustaz atau tokoh agama. Mulai dari berdoa di waktu mustajab, menjaga adab, hingga mengulang doa dengan penuh keyakinan. Meski begitu, seringkali hasilnya tetap sama, doa belum terwujud sesuai harapan.

Baca Juga: Alasan Doa Belum Dikabulkan Menurut Fakhruddin al-Razi

Janji Allah: Mengabulkan Setiap Doa HambaNya

Allah SWT. telah berjanji untuk mengabulkan setiap doa hambanya, tepatnya dalam surah Ghafir [40] ayat 60.

وَقالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ داخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman:Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. Ghafir [40]: 60)

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafâtihul Ghaib menafsirkan bahwa ayat di atas menunjukkan janji Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya, dan janji itu pasti benar.

Kemudian apabila ada yang bertanya, “Jika Allah berjanji mengabulkan doa, mengapa kenyataannya banyak doa yang tidak kunjung terkabul?”Beliau menjawab dengan mengutip pendapat al-Ka‘bi, bahwa doa pasti akan terkabul atau layak dikabulkan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu doa tersebut mengandung maslahat (kebaikan) dan hikmah. Tentu saja, yang dimaksud maslahat dan hikmah di sini bukan menurut pandangan manusia, melainkan menurut ketentuan Allah swt.

Selain itu, syarat berikutnya adalah tidak boleh ada ketergantungan kepada selain Allah. Sering kali ketika seseorang berdoa, dalam hatinya masih tersisa rasa bergantung pada harta, teman, atau bahkan usahanya sendiri.

Orang yang berdoa tersebut merasa sudah melakukan berbagai ikhtiar agar doa terkabul, lalu seakan-akan menuntut Allah untuk mengabulkannya. Pada titik ini, masih ada sedikit ketergantungan kepada selain Allah.

Baca Juga: Tips dari Alquran agar Doa Terkabul

Doa Selalu Terkabul, Meski Bukan dengan Cara yang Diharapkan

Dalam sebuah hadis panjang riwayat al-Hakim, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa kelak pada hari kiamat Allah akan memperlihatkan kepada hamba-Nya bagaimana setiap doa yang pernah seorang hamba panjatkan tidak pernah sia-sia. Ada doa yang langsung dikabulkan di dunia, ada pula yang ditunda dikabulkan sebagai balasan berlipat ganda di surga.

Berikut hadis lengkapnya,

عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ يَدْعُو اللهَ بِالْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُوَقِّفَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيَقُولُ: عَبْدِي إِنِّي أَمَرْتُكَ أَنْ تَدْعُونِي، وَوَعَدْتُكَ أَنْ أَسْتَجِيبَ لَكَ، فَهَلْ كُنْتَ تَدْعُونِي؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ يَا رَبِّ. فَيَقُولُ: أَمَا إِنَّكَ لَمْ تَدْعُنِي بِدَعْوَةٍ إِلَّا اسْتَجَبْتُ لَكَ، أَلَيْسَ دَعَوْتَنِي يَوْمَ كَذَا وَكَذَا لِغَمٍّ نَزَلَ بِكَ أَنْ أُفَرِّجَ عَنْكَ، فَفَرَّجْتُ عَنْكَ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ يَا رَبِّ  .فَيَقُولُ: فَإِنِّي عَجَّلْتُهَا لَكَ فِي الدُّنْيَا، وَدَعَوْتَنِي يَوْمَ كَذَا وَكَذَا لِغَمٍّ نَزَلَ بِكَ أَنْ أُفَرِّجَ عَنْكَ، فَلَمْ تَرَ فَرَجًا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ يَا رَبّ  .فَيَقُولُ: إِنِّي ادَّخَرْتُ لَكَ بِهَا فِي الْجَنَّةِ كَذَا وَكَذَا، وَدَعَوْتَنِي فِي حَاجَةٍ أَقْضِيَهَا لَكَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فَقَضَيْتُهَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ يَا رَبِّ. فَيَقُولُ: فَإِنِّي عَجَّلْتُهَا لَكَ فِي الدُّنْيَا، وَدَعَوْتَنِي فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي حَاجَةٍ أَقْضِيَهَا لَكَ فَلَمْ تَرَ قَضَاءَهَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ يَا رَبِّ فَيَقُولُ: إِنِّي ادَّخَرْتُ لَكَ فِي الْجَنَّةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: فَلَا يَدَعُ اللهُ دَعْوَةً دَعَا بِهَا عَبْدُهُ الْمُؤْمِنُ إِلَّا مَرَّتْ لَهُ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ عَجَّلَ لَهُ فِي الدُّنْيَا، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ ادَّخَرَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ

Rasulullah Saw bersabda:Allah akan memanggil seorang mukmin pada hari kiamat hingga menempatkannya di hadapan-Nya, lalu berfirman:“Hamba-Ku, bukankah Aku telah memerintahkanmu untuk berdoa kepada-Ku, dan Aku telah berjanji akan mengabulkannya? Apakah engkau dahulu berdoa kepada-Ku?” Ia pun menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Ketahuilah, tidaklah engkau berdoa kepada-Ku dengan satu doa pun kecuali Aku telah mengabulkannya. Bukankah engkau pernah berdoa pada suatu hari dan itu karena kesusahan yang menimpamu agar Aku melepaskanmu darinya, lalu Aku lepaskan engkau?” Ia menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Itu telah Aku segerakan untukmu di dunia. Dan bukankah engkau pernah berdoa pada suaru hari dan itu karena kesusahan yang menimpamu agar Aku lepaskan darinya, tetapi engkau tidak melihat jalan keluar?” Ia menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.”Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menyimpankan untukmu pahala dengan doa itu di surga. Dan bukankah engkau pernah berdoa kepada-Ku pada suatu hari dan itu karena suatu kebutuhan agar Aku kabulkan, lalu Aku kabulkan?” Ia menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Itu telah Aku segerakan untukmu di dunia. Dan bukankah engkau pernah berdoa kepada-Ku pada suatu hari dan itu karena suatu kebutuhan agar Aku kabulkan, tetapi engkau tidak melihat hasilnya?” Ia menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menyimpankan untukmu balasan di surga.” Rasulullah Saw bersabda: “Maka tidaklah seorang hamba mukmin berdoa dengan suatu doa, melainkan Allah pasti mengabulkannya: bisa jadi disegerakan baginya di dunia, atau disimpan untuknya di akhirat.” (Mukhtasar Silahul Mu’minin halaman 26)

Berdasar hadis ini dapat dipahami bahwa janji Allah untuk mengabulkan doa hamba-Nya adalah janji yang pasti. Hanya saja, bentuk pengabulannya bisa berbeda dari yang kita harapkan. Bisa jadi Allah mengabulkannya dalam bentuk ampunan atas dosa yang telah kita lakukan, bisa juga dikabulkan segera di dunia, atau ditunda untuk dibalas dengan yang terbaik di akhirat kelak.

Oleh karena itu, jangan pernah berputus asa dalam berdoa kepada Allah SWT, dan jangan pula berprasangka buruk kepada-Nya. Sebab, Allah pasti mengabulkan doa hamba-Nya dengan cara yang paling tepat. Wallāh a‘lam.

Relasi antara Barakah dan Gaya Hidup Frugal Living

0

Gaya hidup frugal bukan sekadar tren, melainkan sebuah persimpangan antara kebijaksanaan finansial dan spiritualitas. Dalam Islam, gaya hidup sadar konsumsi ini memiliki relasi yang erat dengan konsep barakah, yakni sebuah keberkahan ilahiah yang membuat sedikit terasa cukup. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian, frugal living adalah upaya sadar untuk mengontrol diri dari perilaku konsumtif berlebihan demi mencapai tujuan jangka panjang (Maisyarah & Nurwahidin, 2022, hlm. 89). Lalu, bagaimana Islam secara spesifik membingkai gaya hidup ini, dan apa hubungan mendalamnya dengan konsep keberkahan?

Baca Juga: Relasi Antara Konsep Sabar dan Gaya Hidup Frugal Living

Membedah Makna Barakah

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kiranya memahami apa itu barakah. Secara linguistik, Ibnu Faris menjelaskan bahwa akar kata ba-ra-kaf (برك) memiliki makna inti “ketetapan dan kelanggengan”, seperti menderumnya seekor unta yang menempel kokoh di tanah .(Ibn Faris, 1979, hlm. 227–228). Dari makna dasar inilah lahir makna-makna turunan yang lebih dalam. Mengutip Ibnu Abbas, Ibnu Manzur mendefinisikan barakah sebagai “kelimpahan dalam setiap kebaikanaaa” (al-kathrah fi kulli khair) (Ibn Mandzur, 1414, hlm. 396).

Alquran meletakkan sebuah syarat fundamental untuk membuka “keran” keberkahan dari langit dan bumi. Allah berfirman dalam Surah Al-A’raf, ayat 96:

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti akan Kami limpahkan kepada mereka berkah (barakātin) dari langit dan bumi…”

Ibn Ashur menjelaskan bahwa penggunaan kata barakātin dalam bentuk jamak menunjukkan banyaknya ragam dan jenis keberkahan yang akan dilimpahkan. Beliau mendefinisikan barakah secara mendalam sebagai “kebaikan yang saleh yang tidak memiliki konsekuensi buruk di akhirat”; ini adalah level nikmat tertinggi (Ibn ‘Ashur, 1984, hlm. 53).

Di sisi lain, Al-Maraghi menambahkan dimensi spiritual yang indah. Menurutnya, “berkah dari langit” bukan hanya hujan, tetapi juga mencakup pengetahuan dari wahyu dan hembusan ilham dari Allah. Sementara “berkah dari bumi” bukan hanya kesuburan tanah, tetapi juga pemahaman akan sunnatullah di alam semesta (Al-Marâghî, 1431, hlm. 14–15).

Baca Juga: Arti Kata Tabaarakallah dan Penjelasannya dalam Al-Quran

Frugal Living sebagai Wujud Takwa Penjemput Barakah

Ayat di atas menegaskan bahwa syarat turunnya barakah adalah iman dan takwa. Di sinilah frugal living memainkan perannya sebagai manifestasi takwa dalam urusan harta. Untuk memahaminya, kita perlu melihat lawannya: tabdzir (pemborosan), sebuah perilaku yang secara aktif menolak barakah. Allah berfirman dalam Surah Al-Isra’, ayat 26-27:

“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara setan…”

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, memberikan penjelasan yang sangat tajam mengenai ayat ini. Beliau mengutip pandangan ulama salaf seperti Mujahid yang membedakan antara infak dan pemborosan: “Jika seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam ketaatan kepada Allah, ia bukanlah pemboros. Namun, jika ia menginfakkan satu dirham pun dalam maksiat kepada Allah, maka ia adalah seorang pemboros” (Al-Râzi, 1420, hlm. 328–329). Ini menunjukkan bahwa standar pemborosan bukanlah pada jumlah, melainkan pada kebenaran tujuannya.

Lebih jauh, Ar-Razi menjelaskan makna “saudara setan”. Ini adalah sebuah tasyabbuh (kemiripan) dalam perbuatan. Setan bersifat kafūr (sangat ingkar) kepada Tuhannya, karena ia menggunakan nikmat yang Allah berikan untuk berbuat maksiat. Demikian pula, seorang pemboros (mubadzir) juga bersifat kafūr, karena ia menggunakan nikmat harta yang Allah berikan untuk hal-hal yang tidak diridai-Nya (Al-Râzi, 1420, hlm. 329). Dengan demikian, seorang yang menerapkan frugal living sesungguhnya sedang menjaga dirinya dari kemiripan dengan setan dan melatih dirinya untuk menjadi hamba yang bersyukur.

Buah Manis dari Barakah

Apa hasil nyata dari gaya hidup frugal yang dipenuhi barakah? Buahnya adalah ketenangan dan rasa cukup yang melampaui logika matematis. Imam Al-Maraghi menjelaskan perbedaan penting: ketika nikmat diberikan kepada orang yang tidak beriman, ia menjadi ujian (ibtila’) yang melahirkan kesombongan. Namun, ketika diberikan kepada orang beriman, ia melahirkan rasa syukur dan digunakan di jalan kebaikan, sehingga menjadi nikmat dan berkah yang sejati (Al-Marâghî, 1431, hlm. 14–15).

Rasa cukup inilah kekayaan hakiki yang menjadi buah dari barakah. Rasulullah SAW memberikan dua ilustrasi indah tentang hal ini. Pertama, tentang hakikat barakah itu sendiri:

“Makanan untuk satu orang cukup untuk dua orang, makanan untuk dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan untuk empat orang cukup untuk delapan orang.” (HR. Muslim)

Imam An-Nawawi dalam syarahnya menjelaskan bahwa hadis ini adalah dorongan untuk saling membantu (al-muwasah) dalam urusan makanan. Beliau menegaskan bahwa meskipun makanan itu sedikit, di dalamnya akan terjadi sebuah barakah yang mencakup semua orang yang hadir, sehingga tercapailah kecukupan yang dimaksud (al-kifayah al-maqshudah) (An-Nawawī, 2000a, hlm. 66–67).

Pada puncaknya, gaya hidup ini akan mengantarkan seseorang pada kekayaan yang sejati, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

“Kekayaan bukanlah tentang banyaknya harta benda, namun kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa (ghinan-nafs).” (HR. Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi menguraikan hadis ini dengan menyatakan bahwa kekayaan yang terpuji (al-ghina al-mahmud) bukanlah banyaknya harta dunia (katsratul ‘aradh), melainkan kekayaan jiwa, rasa kenyangnya, dan sedikitnya ketamakan. Beliau menegaskan bahwa seseorang yang hatinya terus-menerus mencari tambahan duniawi, maka ia tidak memiliki kekayaan sama sekali, karena ia tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ia miliki (An-Nawawī, 2000b, hlm. 140).

Penutup

Relasi antara barakah dan frugal living adalah hubungan simbiosis yang indah. Frugal living, dalam pandangan Islam, bukanlah sekadar strategi finansial, melainkan sebuah disiplin spiritual. Ia adalah ikhtiar seorang hamba untuk mewujudkan takwa dalam hartanya, dengan cara menghindari pemborosan (tabdzir) yang menyerupai perbuatan setan. Sebagai balasannya, Allah melimpahkan barakah sebagai anugerah ilahiah yang membuat yang sedikit terasa mencukupi, yang terbatas namun terasa melimpah, dan puncaknya, mengantarkan jiwa pada kekayaan sejati: ghinan-nafs, rasa cukup yang menenangkan. Wallahu a’lam.

Makanan Halal sebagai Kunci Spiritual dan Pendidikan Akhlak Anak

0
Makanan Halal sebagai Kunci Spiritual dan Pendidikan Akhlak Anak
Ilustrasi makanan (sumber: Unsplash)

Di era modern yang penuh dengan kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, banyak orang tua menghadapi tantangan besar dalam mendidik anak. Generasi muda kerap sulit diarahkan, enggan menerima nasihat, dan cenderung menjauh dari nilai-nilai agama. Padahal, berbagai pendekatan pendidikan baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sudah diterapkan. Namun, perubahan perilaku yang diharapkan sering kali tidak kunjung terwujud, sehingga menimbulkan pertanyaan besar: apa yang kurang dari semua usaha itu?

Faktor lingkungan, pergaulan, dan media sosial kerap dianggap sebagai penyebab utama merosotnya akhlak anak. Akan tetapi, ada satu aspek yang sering dilupakan, padahal sangat mendasar dalam ajaran Islam, yaitu makanan halal. Apa yang dikonsumsi sehari-hari ternyata tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kondisi hati dan spiritualitas seseorang. Inilah kunci yang sering diabaikan dalam pendidikan akhlak anak.

Imam Yahya bin Mu‘adz ar-Razi, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menyampaikan hikmah mendalam:

 الطَّاعَةُ مَخْزُونَةٌ فِي خَزَائِنِ اللَّهِ ، وَمِفْتَاحُهَا الدُّعَاءُ ، وَأَسْنَانُهُ الْحَلَالُ ، ؛ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ لِلْمِفْتَاحِ أَسْنَانُ ، فَلَا يَنْفَتِحُ الْبَابُ ، وَإِذَا لَمْ يَنْفَتِحْ بَابُ الْخَزَانَةِ ، كَيْفَ يَصِلُ إِلَى مَا فِيهَا مِنَ الطاعة ؟

“Ketaatan tersimpan di gudang kekayaan Allah. Kunci untuk membukanya adalah doa, dan gigi dari kunci itu adalah makanan halal. Jika kuncinya tidak bergigi (berdoa tapi makanannya tidak halal), maka pintu tidak akan terbuka. Dan jika pintunya tidak bisa terbuka, bagaimana mungkin bisa taat?”

Ucapan di atas menegaskan betapa pentingnya makanan halal dalam membuka pintu ketaatan. Di dalam Alquran juga secara tegas manusia diperintahkan untuk mengonsumsi makanan halal dan thayyib. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 168:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

 

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Ayat ini menegaskan bahwa makanan halal thayyib bukan hanya soal hukum Fiqih, melainkan juga benteng spiritual. Mengonsumsi yang halal dapat menjaga manusia dari tipu daya dan bisikan setan. Sebaliknya, makanan yang haram akan membuka pintu bagi godaan setan untuk merusak iman, akhlak, dan perilaku manusia.

Baca juga: Empat Kosakata Makan dan Makanan dalam Alquran

Hadis Rasulullah saw. riwayat Muslim yang disebutkan dalam kitab Arba’in Nawawi juga memperkuat hal ini. Dalam Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa makanan yang haram akan menjadi penghalang terkabulnya doa. Seorang hamba bisa saja bersungguh-sungguh beribadah dan berdoa, tetapi jika konsumsi sehari-harinya berasal dari sumber yang haram, maka pintu keberkahannya tertutup. Hal ini tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga pada anak-anak yang diberi makan dari harta yang tidak halal.

Dalam konteks pendidikan anak, makanan halal memiliki peran yang amat besar. Seorang anak yang sejak kecil terbiasa diberi makanan halal nan thayyib akan tumbuh dengan jiwa yang lebih lembut, hati yang mudah menerima nasihat, dan akhlak yang lebih terjaga. Sebaliknya, jika sejak dini anak diberi makanan haram, maka benih-benih keburukan bisa tumbuh tanpa disadari, meski orang tua telah menasihati dengan sungguh-sungguh.

Orang tua sering kali mengeluh karena anak-anak sulit diarahkan, keras kepala, atau susah menerima petunjuk. Padahal, bisa jadi persoalannya bukan hanya pada pola asuh atau lingkungan, melainkan pada sumber makanan yang masuk ke tubuh anak. Apa yang dikonsumsi anak sehari-hari berhubungan erat dengan kondisi spiritual dan kecenderungan moralnya.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 51: Perihal Makanan dan Amal Saleh

Di sinilah pentingnya bagi orang tua dan para pencari nafkah untuk memperhatikan sumber rezeki. Tugas mendidik anak bukan hanya sebatas memberi nasihat atau pendidikan formal, tetapi juga memastikan bahwa setiap makanan yang disajikan berasal dari rezeki yang halal. Dengan begitu, pendidikan akhlak akan lebih efektif karena didukung oleh fondasi yang benar.

Makanan halal dalam Islam bukanlah konsep sempit yang hanya membicarakan halal-haram secara hukum, tetapi sebuah sistem nilai yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Ia menjadi penentu kualitas doa, ibadah, dan bahkan kepribadian seorang anak. Mengabaikannya sama saja dengan menutup pintu keberkahan yang Allah sediakan bagi hamba-Nya.

Oleh karena itu, menjadikan makanan halal thayyib sebagai prioritas utama adalah sebuah keharusan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan jasmani, tetapi juga menjadi kunci terbukanya pintu-pintu spiritual. Dengan makanan halal, doa lebih mudah dikabulkan, hati lebih lembut, dan jiwa lebih siap menerima hidayah Allah. Pada akhirnya, pendidikan akhlak anak akan lebih kokoh jika dibangun di atas fondasi makanan yang halal dan penuh berkah.

Dari Sekaten sampai Salawat. Begini Cara Alquran Mengajarkan Syukur di Bulan Maulid

0

Setiap datang bulan Rabiul Awwal, suasana di banyak daerah di Indonesia terasa berbeda. Dari hiruk-pikuk Sekaten di Yogyakarta, ramainya Grebeg Maulid di Solo, sampai lantunan salawat Diba’an di setiap penjuru desa, semua itu adalah ekspresi bentuk cinta umat Islam kepada Nabi Muhammad Saw.

Tradisi Nusantara

Sejak awal, Islam di Nusantara dikenal ramah terhadap budaya lokal. Walisongo, misalnya, tidak serta-merta menghapus tradisi masyarakat, melainkan mengisinya dengan nilai Islam. Dari situ lahirlah warna-warni tradisi Maulid di Indonesia. Di antara tradisi yang paling meriah adalah Sekaten di Yogyakarta, acara ini ditandai dengan gamelan yang dimainkan di alun-alun, lalu masyarakat berbondong-bondong datang. Dahulu, ini cara Walisongo menarik perhatian masyarakat agar mau mendengar dakwah Islam, yang kemudian berlanjut menjadi perayaan besar pada bulan Maulid.

Selanjutnya ada Grebeg Maulid di Solo, acara tersebut merupakan gunungan hasil bumi yang diarak dan dibagikan kepada masyarakat, sebagai simbol syukur dan semangat berbagi. Terakhir, Salawat Diba’an dan Barzanji, yang berisi lantunan doa, pujian, dan kisah kelahiran Nabi yang hidup di pesantren sampai kampung-kampung. Tradisi ini sudah menjadi budaya yang begitu melekat di Indonesia, nyaris hampir di semua pelosok desa merayakan Maulid Nabi dengan pembacaan shalawat yang ditutup dengan makan bersama/bagi-bagi berkat kepada warga sekitar.

Semua tradisi ini adalah cara umat Islam untuk bersyukur atas rahmat Allah, sekaligus mengekspresikan rasa cinta kepada Nabi. Lalu, bagaimana Alquran memandang tradisi di bulan maulid tersebut?

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (6): Surah Al-Ahzab Ayat 56

Maulid dan Pesan Alquran

Menariknya, Alquran sudah lebih dulu memberikan isyarat bahwa kegembiraan atas nikmat Allah adalah ibadah. Dalam Q.S. Yunus:58, Allah menegaskan:

قُلْ بِفَضْلِ ٱللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِۦ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا۟ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Al-Ṭabari menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk berkata kepada orang-orang: “Dengan karunia Allah” maksudnya adalah Islam yang Allah anugerahkan kepada manusia. “Dan dengan rahmat-Nya” maksudnya adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka, yang mengajarkan apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui, serta membimbing kepada agama. (Al-Tabari, Jami’ul Bayan, hlm. 105)

Ayat ini mendorong umat Islam untuk bergembira dengan rahmat Allah diatas segala-galanya. Dan rahmat terbesar bagi manusia adalah lahirnya Nabi Muhammad Saw, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Anbiya:107:

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Jadi, rasa syukur dan suka cita dalam tradisi Maulid sebenarnya punya dasar kuat dalam Alquran. sebagaimana dijelaskan dalam tafsir al-Ṭabari, “karunia Allah” dalam ayat Q.S. Yunus:58 dimaknai sebagai Islam, dan “rahmat-Nya” dimaknai sebagai Alquran. Keduanya adalah anugerah terbesar bagi umat manusia, yang nilainya jauh lebih tinggi daripada harta dunia yang dikumpulkan.

Dengan cara pandang ini, kebahagiaan yang ditunjukkan umat Islam saat memperingati kelahiran Nabi bukanlah sekadar tradisi budaya, melainkan bentuk kegembiraan atas hadirnya Rasulullah yang membawa Islam dan Alquran itu sendiri. Artinya, semangat Maulid sangat selaras dengan pesan Qur’ani, yakni bergembira dengan rahmat Allah lebih baik daripada sibuk mengejar harta dunia.

Baca Juga: Inilah Potret Perayaan Maulid Nabi dalam Al-Quran

Penutup

Dari Sekaten sampai salawat di kampung, Maulid di Nusantara adalah wujud rasa syukur atas hadirnya Nabi Muhammad Saw. Alquran sudah menegaskan bergembira dengan rahmat Allah adalah perbuatan mulia. Maka, tradisi Maulid, dengan segala warna budayanya, bukan sekadar seremonial semata, ia adalah cara umat Islam menghidupkan ayat, merayakan rahmat terbesar Allah, dan meneguhkan cinta kepada Rasulullah Saw.

Kisah Menakjubkan Seputar Kelahiran Nabi Muhammad Saw

0
Kisah menjelang kelahiran Nabi Muhammad
Kisah menjelang kelahiran Nabi Muhammad

Kelahiran Nabi Muhammad saw. adalah salah satu titik balik paling penting dalam sejarah manusia. Peristiwa agung ini bukan hanya melahirkan sosok role model dalam kehidupan, tetapi juga mengawali peradaban besar yang membawa cahaya bagi dunia. Para sejarawan mencatat bahwa menjelang kelahiran Nabi Muhammad saw terdapat berbagai peristiwa luar biasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi seakan menjadi pertanda bahwa seluruh alam raya sedang menyambut kedatangan Sang Manusia Agung.

Dikabulkannya Doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

Sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, terdapat salah satu doa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang memohon kepada Allah swt. agar mengutus seorang rasul dari golongannya. Doa ini bukan sekedar permintaan pribadi, melainkan sebuah visi besar. Hal ini telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 129:

رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab (Alquran) dan Alhikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

“رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ” sosok yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw. menurut qira’ah Ubay: رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْ أَخِرِهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ “Ya Tuhan kami, utuslah pada akhir (zaman) mereka seorang Rasul dari kalangan mereka.” Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami gerangan dirimu!” Nabi Saw menjawab, “Baiklah, aku adalah doa Ibrahim dan berita baik Isa.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 2/131)

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Realisasi Kabar Gembira Nabi Isa ‘Alaihissalam

Seperti riwayat Khalid bin Ma’dan yang sudah disebutkan tadi, ternyata Nabi Isa ‘alaihissalam sudah menegaskan pada kaumnya terkait kehadiran seorang rasul setelahnya. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam surah ash-Shaff ayat 6:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ يَٰبَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ ٱلتَّوْرَىٰةِ وَمُبَشِّرًۢا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِى ٱسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُم بِٱلْبَيِّنَٰتِ قَالُوا۟ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ

“Dan (ingatlah) ketika ‘Isa ibnu Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad’. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata’.”

Ahmad (أَحْمَدُ) adalah isim alam (nama) yang diambil dari sifat, bukan dari perbuatan. Sifat tersebut sesuai dengan wazan “أَفْعَلُ” yang bermaksud pengutamaan. Dengan demikian, Ahmad bermakna “أَحْمَدُ الْحَامِدِينَ لِرَبِّهِ” berarti yang paling memuji di antara orang-orang yang memuji terhadap Tuhannya. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Juz 18/83)

Baca Juga: Inilah Potret Perayaan Maulid Nabi dalam Al-Quran

Fenomena Luar Biasa Seiring Kelahiran Nabi Muhammad saw.

Seperti yang sudah diketahui banyak orang, Nabi Muhammad saw. lahir pada hari senin, 12 Rabi’ul Awwal. Hari bersejarah itu bertepatan dengan peristiwa runtuhnya pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah dalam upayanya menghancurkan Kabah. Kenyataannya, bukan hanya peristiwa itu saja yang menggemparkan, seiring dengan kelahiran Nabi Muhammad saw., ada berbagai fenomena luar biasa lain yang sulit dipahami akal manusia. Fenomena-fenomena tersebut tidak dijelaskan dalam Alquran, namun dapat ditelusuri di Kitab Sirah Nabawiyah (hal.48) karya Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Ibnu Sa’ad meriwayatkan, bahwa ibunda Nabi Muhammad saw. yakni Aminah berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di Syam.” Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Al-Arbadh bin Sariyah. Diriwayatkan dari Al-Baihaqi, terdapat beberapa bukti kerasulan yang bertepatan dengan kelahiran Rasulullah saw. di antaranya; runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah.

Berbagai kisah dan fenomena yang telah dipaparkan menegaskan betapa istimewanya kedatangan Sang Manusia Agung, Baginda Nabi Muhammad Saw. Beliau lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam, menuntun manusia keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya kebenaran, serta menjadi role model bagi umat manusia sepanjang zaman. Peristiwa-peristiwa yang terjadi bukan hanya menjadi buah bibir pada zamannya, tetapi juga tercatat sebagai tanda-tanda kebesaran Allah swt.