Beranda blog Halaman 5

Menyoal Pembacaan Sirah Nabi Muhammad Tanpa Melihat Dimensi Samawi

0
Menyoal Pembacaan Sirah Nabi Muhammad Tanpa Melihat Dimensi Samawi
Menyoal Pembacaan Sirah Nabi Muhammad Tanpa Melihat Dimensi Samawi

Setahun yang lalu, saat berbelanja buku di Azbekiyah—pasar buku tertua di Kairo—saya mendapat rekomendasi dari seorang pengunjung untuk membaca buku Muhammad Muhawalah li Fahmi al-Sirah al-Nabawiyyah karya dr. Mustafa Mahmud. Saran tersebut tentu mengagetkan saya, pasalnya Mustafa Mahmud setahu saya pernah mengalami masa ilhad (ateis) dalam hidupnya. Selain itu, Gus Dur dalam bukunya, “Islam Kosmopolitan” menganggap tokoh ini sebagai intelektual yang sering berseberangan pandangan dengan al-Azhar pada tahun 1960-an. Namun, kesan tersebut seketika memudar perlahan saat saya mulai membaca buku tersebut, karena rupanya buku itu ditulis Mustafa Mahmud setelah masa pertobatannya dari ateisme.

Dalam buku “Muhammad”, Mustafa Mahmud mencoba untuk mencegah penyebaran cara pandang baru orang-orang rasionalis-materialis dalam membaca sirah Nabi. Pada masa tersebut, banyak kalangan rasionalis yang memahami perjalanan Nabi Muhammad hanya dari sisi imanensinya (ardhiyyah) saja, tanpa memerhatikan sisi transendensinya (samawiyyah). Mereka menggambarkan pengasingan Nabi Muhammad di Gua Hira bukan untuk bermunajat kepada Tuhan-Nya, melainkan untuk menyusun strategi ala proletariat yang bisa digunakan untuk mengatasi kesenjangan di tengah-tengah kaum Quraisy. Mereka mencoba menyamakan Nabi Muhammad dengan Che Guevara dan menganggap ajaran Islam yang dibawa Nabi serupa dengan ajaran komunisme yang bertujuan mengentaskan kemiskinan.

Pandangan terkait penonjolan sisi kemanusiaan Nabi—yang berlebihan itu—sering didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-Kahfi ayat 110:

قل انما أنا بشر مثلكم

Katakanlah: sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu

Baca juga: Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad 

Dalam ayat tersebut, Nabi Muhammad disebutkan seperti manusia pada umumnya. Oleh karenanya, perjalanan Nabi Muhammad sudah seharusnya dibersihkan dari kejadian-kejadian yang sulit dijangkau nalar manusia, sepeti perjumpaan Nabi dengan Malaikat Jibril di Gua Hira dan peristiwa isra mikraj. Cerita Nabi Muhammad yang berkaitan dengan alam gaib juga dianggap dogmatis dan tidak masuk akal. Orang yang memercayainya dianggap sebagai orang dungu yang terlalu fanatik terhadap dogma akidah.

Cara pembacaan yang mencoba menegasikan sisi samawi dari Nabi Muhammad tentu tidak bisa kita terima begitu saja. Sebabnya cara pandang seperti itu, menurut Mustafa Mahmud, akan mengembalikkan cara berpikir orang-orang sebelum kedatangan Islam yang hanya mau menerima sesuatu ketika sesuai dengan keinginannya saja. Dalam buku “Muhammad”, saya sekurang-kurangnya menemukan tiga jawaban yang diajukan Mustafa Mahmud untuk menjawab pemikiran para rasionalis tersebut.

Argumentasi Mustafa Mahmud

Pertama, Nabi Muhammad bukanlah seperti manusia pada umumnya. Adapaun ayat yang dikutip para rasionalis di atas itu masih kurang lengkap. Jika kita telisik lebih jauh, kita akan mendapati bahwa Nabi merupakan manusia yang mendapatkan wahyu dari Allah:

قل انما أنا بشر مثلكم يوحى اليّ

Diksi penerimaan wahyu yang ada dalam ayat tersebut tentu dapat menafikan penyerupaan seutuhnya Nabi Muhammad dengan manusia pada umumnya—sebagaimana dikatakan oleh para rasionalis. Memang betul, Nabi adalah manusia biasa, tetapi beliau mendapatkan wahyu langsung dari Allah. Sementara manusia biasa, seperti kita, hanya berada di tahap ashabul ijtihad yang memiliki kemungkinan untuk salah.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad

Kedua, keimanan pada dasarnya menuntut adanya ruang dogmatis dalam diri manusia. Semua kejadian di alam ini tidak semuanya bersifat empiris sehingga bisa kita saksikan secara langsung. Dalam Islam sendiri kita diwajibkan untuk mengimani perkara-perkara gaib yang berada di luar jangkauan kita.

Dengan adanya kewajiban mengimani perkara gaib seperti itu, jelas tidak mungkin bagi kita untuk menegasikan Nabi dari sisi-sisi transendental. Bagaimana mungkin kita bisa mengimani Nabi Muhammad jika kita menganggap Nabi tidak memiliki sisi samawi sama sekali? Padahal peristiwa kenabian itu juga termasuk bagian dari perkara gaib.

Dan ketiga, perlu adanya pembedaan antara status Nabi dengan tokoh sosial. Menurut Mustafa Mahmud, Nabi merupakan orang pilihan yang mendapatakan wahyu dari Tuhan dan memiliki sifat maksum (terjaga dari kesalahan), sehingga perkataannya tidak mungkin didasarkan pada hawa nafsu. Sementara tokoh sosial adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad dalam mengentaskan masalah-masalah sosial dan tidak memiliki sifat maksum sehingga mungkin untuk melakukan kesalahan.

Baca juga: Inilah Empat Doa Tobat Para Nabi dalam Al-Qur’an

Pembedaan tersebut, berikutnya, dapat berpengaruh kepada cara pembacaan kita terhadap sirah Nabi. Ambil contoh, ketika kita membaca perjalanan Nabi di Gua Hira. Ketika kita mengimani adanya pembedaan itu, maka kita bisa dengan mudah berpendapat bahwa pengasingan Nabi di Gua Hira adalah ritual untuk mengesakan Tuhan semata, dan bukan untuk memikirkan masalah perjuangan kaum proletar—sebagaimana diimani oleh para rasionalis. Hingga akhirnya, di Gua Hira Nabi dipertemukan dengan sosok malaikat Jibril dan untuk pertama kalinya beliau menerima wahyu.

Ala kulli hal, ketika melakukan pembacaan sirah nabawiyyah, kita tidak boleh mengesampingkan sisi samawi/transendensi Nabi. Karena bagaimanapun, Nabi Muhammad adalah seorang nabi yang memiliki kaitan erat dengan pengalaman rabbaniyah (ketuhanan) yang tidak bisa dijangkau nalar manusia biasa. Selamat memeringati hari kelahiran Nabi Muhammad. Tabik!

Momentum Maulid: Meneladani Akhlak Rasul dalam Cahaya Q.S. al-Qalam:4

0

Bulan maulid bukan hanya tentang perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw, melainkan juga tentang bagaimana seorang muslim mampu meneladani akhlak Nabi Muhammad Saw dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang merayakan maulid Nabi Saw dengan perayaan lahiriah seperti salawatan, ceramah, bahkan perayaan besar, namun tak sedikit orang yang melupakan esensi dari perayaan tersebut.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Tradisi perayaan maulid harusnya bisa menjadi titik tolak untuk bermuhasabah, sudahkah meneladani kejujuran, kesabaran, kasih sayang, dan keadilan yang Nabi ajarkan?

Momentum maulid Nabi Saw sebenarnya adalah kesempatan untuk merefleksikan akhlak Nabi. Dalam Alquran juga telah disebutkan pada Q.S. al-Qalam:4,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Ayat ini adalah pujian langsung dari Allah, sebuah pengakuan bahwa akhlak Rasulullah merupakan puncak dari keindahan moral. Menariknya, para ulama tafsir sepakat bahwa akhlak Nabi berakar pada Alquran.

Penafsiran Q.S al-Qalam ayat 4

Menurut Tafsir Ibn Katsir, ayat ini merupakan pujian langsung dari Allah atas kesempurnaan akhlak Nabi, Al-Tabari menegaskan bahwa akhlak Nabi berakar pada Alquran, yakni segala tindakannya adalah pengejawantahan dari wahyu. (Tafsir al-Tabari, hlm. 529) Dalam kitab Tafsir al-Mukhtashar ditafsirkan “Dan sesungguhnya kamu berada di atas akhlak yang agung yang dibawa oleh Alquran, dan engkau berakhlak dengan nilai-nilai Alquran secara sempurna”. (Tafsir al-Mukhtasar, hlm. 703)

Selain itu, dikutip sebuah hadis dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dari Aisyah bahwa ia pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah, maka ia menjawab, “Akhlaknya adalah akhlak Alquran”. Artinya, apa yang kita baca dalam mushaf, sudah diwujudkan Nabi dalam sikap sehari-hari. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 8/hlm. 188)

Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Maulid sebagai Momentum Refleksi

Perayaan maulid bukan hanya mengenang kelahiran Nabi Saw secara historis, tapi juga menghidupkan kembali nilai akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, perayaan maulid kadang berhenti pada seremoni. Umat Islam ramai-ramai mengenang kelahiran beliau, tapi lupa meneladani akhlaknya. Padahal, justru inilah esensi Maulid itu sendiri, bagaimana kelahiran Nabi menginspirasi seorang muslim untuk bermuhasabah dan memperbaiki diri.

Contoh kecilnya ketika Nabi Saw dikenal jujur (al-Amin), maka di zaman sekarang sebagai seorang muslim ditantang untuk melawan hoaks dan menjaga integritas, ketika Nabi Saw sabar menghadapi caci-maki, maka seharusnya seorang muslim dapat bijak bersosial media dan tidak mudah terpancing emosi, terakhir, ketika Nabi Saw peduli pada orang miskin dan anak yatim piatu, maka sebagai seorang muslim diharuskan untuk menumbuhkan empati sosial di tengah gaya hidup individualis.

Dengan begitu, perayaan maulid bukan hanya sekadar perayaan tahunan, tetapi ajakan untuk membawa akhlak Nabi hidup kembali di tengah masyarakat muslim saat ini. Menghidupkan akhlak Nabi berarti menyesuaikannya dengan tantangan zaman. Misalnya:

Kejujuran (ṣidq), kejujuran ini sangat penting di tengah budaya instan dan manipulasi digital sedang marak-maraknya.

Keadilan, yang tentunya menjadi pegangan dalam menghadapi kesenjangan sosial di Tengah masyarakat.

Kasih sayang, hal ini juga sangat dibutuhkan selain dalam menghadapi isu kemanusiaan dan kerusakan lingkungan, tapi juga sangat penting diterapkan dalam hubungan kekeluargaan.

Baca Juga: Irhash Kenabian Muhammad, Bukti Allah Merayakan Maulid Nabi

Penutup

Keteladanan Nabi Saw tidak lekang dimakan waktu. Ia relevan di setiap konteks, termasuk era modern yang serba cepat dan penuh tantangan seperti saat ini. Momentum maulid bisa dimaknai bukan sekadar pesta atau rutinitas tahunan, melainkan panggilan untuk menjadikan khuluq ‘azhim Nabi Saw sebagai pedoman hidup. Dengan begitu, umat Islam tidak hanya merayakan kelahiran beliau, tetapi juga kembali “menghidupkan” akhlaknya dalam diri di kehidupan sehari-hari.

Membaca Alquran Tanpa Melihat Mushaf (bil ghaib) dan dengan Melihat (bin Nadzar), Mana yang Lebih Utama?

0
membaca Alquran bil ghaib dan bin nadzar
membaca Alquran bil ghaib dan bin nadzar

Membaca Alquran adalah salah satu ibadah yang memiliki keutamaan besar, ganjaran pahala yang didapatkan oleh pembacanya dihitung perhuruf dengan sepuluh kebaikan, hal ini selaras dengan hadis Nabi yang berbunyi:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Siapa yang membaca satu huruf dari Alquran, maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).

Di kalangan para penghafal Alquran, ada istilah bil ghaib dan bin nadzar. Bil ghaib yakni membaca Alquran dengan hafalan tanpa melihat mushaf, sedangkan bin nadzar membaca Alquran dengan melihat mushaf. Dari hal ini muncul pertanyaan, mana yang lebih utama antara dua cara membaca Alquran tersebut?

Baca Juga: Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya

Pertanyaan ini sudah dijawab oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulumil Qur’an di bab adab membaca Alquran. Pada penjelasannya, as-Suyuti mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa melihat mushaf adalah bentuk ibadah juga, maka membaca Alquran bin nadzar menjadi lebih utama, demikian pula pendapat para salaf dan an-Nawawi tidak menemukan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.

Lebih lanjut an-Nawawi menyatakan bahwa persoalan tentang yang lebih utama antara dua hal tersebut sebenarnya bersifat relatif dan berbeda untuk tiap orang. Jika seseorang dapat khusyuk mentadabburi ayat saat membaca dengan melihat mushaf, maka lebih utama membaca Alquran bin nadzar. Sebaliknya, jika seseorang merasa lebih khusyuk dengan tanpa melihat mushaf, maka bil ghaib lebih utama, ini adalah pendapat yang hasan (bagus).

Selanjutnya Imam as-Suyuti turut memvalidasi keutamaan membaca Alquran bin nadzar dengan menyadur hadis yang diriwayatkan at-Thabrani dan Baihaqi dari hadis Aus ats-Tsaqafi secara marfu’ yang berbunyi:

قِرَاءَةُ الرَّجُلِ فِي غَيْرِ الْمُصْحَفِ أَلْفُ دَرَجَةٍ وَقِرَاءَتُهُ فِي الْمُصْحَفِ تُضَاعَفُ أَلْفَيْ دَرَجَةٍ

“Bacaan (Alquran) seorang laki-laki tanpa mushaf (ganjarannya) adalah seribu derajat, sedangkan yang membacanya dengan mushaf dilipatgandakan menjadi dua ribu derajat”

Imam as-Suyuti juga menampilkan riwayat lain yang dikutip az-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulumil Qur’an bahwa membaca Alquran dengan hafalan lebih utama secara mutlak. Imam Ibnu Abdissalam memilih pendapat ini karna dengan membaca Alquran tanpa mushaf (bil ghaib) lebih dapat mentadabburi ayat yang dibaca daripada dengan melihat mushaf (bin nadzar)

Baca Juga: Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital

Berdasarkan penjelasan di atas, membaca Alquran bin nadzar cenderung lebih memiliki keutamaan dibandingkan bil ghaib karena dalam bin nadzar terdapat ragam kebaikan lain yang memberikan pahala lebih yang tidak dapat ditemukan apabila membacanya bil ghaib, contohnya seperti melihat mushaf dan memegang mushaf.

Meskipun begitu, persoalan tentang keutamaan antara bil ghaib dan bin nadzar bersifat relatif, bisa berbeda antara satu sama lain. Titik pentingnya adalah pada aspek tadabbur, terkait bagaimana teknis membacanya dapat disesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam mentadabburi ayat. Jika seseorang dapat lebih khusyuk ketika membaca Alquran bin nadzar, maka itu lebih utama baginya, begitupun berlaku sebaliknya.

Adanya perbedaan seperti ini adalah sebagai pilihan, bukan sebagai hujjah untuk saling menyalahkan atau merasa diri yang paling benar. Membaca Alquran bil ghaib dan bin nadzar, keduanya merupakan hal baik yang sama-sama bernilai ibadah, tidak ada yang salah di antara keduanya, yang salah adalah orang-orang yang tidak pernah mau membaca Alquran. Wallah a’lam

Profesionalitas Nabi Yusuf di Puncak Kekuasaan

0
profesionalitas nabi yusuf
profesionalitas nabi yusuf

Figur Nabi Yusuf a.s. sering dikenal sebagai teladan kesabaran dalam menghadapi penderitaan, mulai dari tragedi pembuangan beliau ke dalam sumur, perbudakan, hingga dimasukkan ke penjara. Selain itu, pelajaran penting dari kisah beliau juga terdapat di saat setelah beliau keluar dari penjara, sebut saja ketika masa penderitaan itu telah usai dan beliau berada di puncak kekuasaan. Kajian pada bagian ini sering diistilahkan dengan profesionalitas Nabi Yusuf sebagai seorang profesional, teknokrat, atau seorang pemimpin.

Kisah Nabi Yusuf adalah cerminan abadi bagi para profesional dalam menghadapi tantangan profesinya, misal cara mengelola wewenang, menavigasi godaan, dan memimpin di tengah krisis dengan integritas yang tidak tergoyahkan. Profesionalitasnya menawarkan sebuah kurikulum yang sangat relevan bagi siapa pun yang memegang amanah, sekecil apa pun itu.

Baca Juga: Kisah Nabi Yusuf: Kisah yang Tidak Diulang

Proaktif dan Kompeten dalam Mengambil Inisiatif Berbasis Keahlian

Profesionalitas Nabi Yusuf tidak dimulai saat beliau sudah duduk di kursi kekuasaan, melainkan saat beliau melihat ada sebuah masalah yang membutuhkan solusi, dan pada waktu itu adalah teka teki mimpi raja.

Setelah berhasil menakwilkan mimpi raja, beliau secara proaktif menawarkan dirinya, bukan karena ambisi buta, melainkan karena kesadaran penuh atas kompetensinya. Hal ini terabadikan dalam Surah Yusuf, ayat 55,

قَالَ اجْعَلْنِيْ عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ

Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.

Ibnu Katsir (4/339) menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Nabi Yusuf menonjolkan keahliannya karena ada kebutuhan mendesak, dan hal ini diperbolehkan. Sedang Ibn Ashur (13/9) menggarisbawahi bahwa permintaan Yusuf ini bukanlah untuk kepentingan pribadi, melainkan sebuah inisiatif untuk “melaksanakan kemaslahatan umat.”

Di dunia kerja modern yang seringkali menuntut karyawan untuk pasif, sikap Yusuf adalah sebuah kritik yang tajam. Yusuf mengajarkan bahwa profesionalitas sejati dimulai dari inisiatif proaktif yang didasari kompetensi yang membedakan antara sekadar pekerja dengan seorang calon pemimpin.

Baca Juga: Doa Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf Ayat 33

Amanah dan Keadilan dalam Mengelola Sumber Daya di Tengah Krisis

Memegang jabatan sebagai orang yang menguasai seluruh cadangan pangan Mesir adalah posisi yang sangat rentan terhadap korupsi. Di sinilah pilar profesionalitas Nabi Yusuf diuji, yakni amanah. Hal ini tercermin dari ucapan beliau sendiri kepada saudara-saudaranya saat mereka pertama kali datang meminta bantuan. Sebagaimana disebutkan dalam surah Yusuf, ayat 59,

وَلَمَّا جَهَّزَهُمْ بِجَهَازِهِمْ قَالَ ائْتُوْنِيْ بِاَخٍ لَّكُمْ مِّنْ اَبِيْكُمْ ۚ اَلَا تَرَوْنَ اَنِّيْٓ اُوْفِى الْكَيْلَ وَاَنَا۠ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْنَ

Ketika dia (Yusuf) menyiapkan perbekalan (bahan makanan) untuk mereka, dia berkata, “Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah denganmu (Bunyamin). Tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran (gandum) dan aku adalah sebaik-baiknya penerima tamu?

Frasa “aku menyempurnakan takaran” adalah sebuah deklarasi integritas. Menurut para mufasir, ucapan ini memiliki dua fungsi strategis, yaitu sebagai penegasan standar profesionalismenya yang adil, sekaligus sebagai insentif untuk meyakinkan saudara-saudaranya agar mau kembali lagi ke Mesir (Ibn Katsîr, 3/340–341).

“Perbendaharaan negara” di zaman sekarang mungkin berupa anggaran proyek, data, atau pengaruh kebijakan. Kisah Yusuf mengajukan sebuah pertanyaan provokatif, apakah sumber daya itu dikelola dengan kesadaran bahwa ia akan diaudit oleh Tuhan, bukan sekadar oleh auditor manusia?

Profesionalisme vs. Nepotisme dalam Menegakkan Aturan Tanpa Pandang Bulu

Ujian etika yang paling personal datang ketika saudara-saudaranya, yang pernah membuangnya ke sumur, kini berdiri di hadapannya. Nabi Yusuf tetap menjalankan tugasnya secara profesional, menerapkan aturan yang sama bagi semua orang. Beliau bahkan memberikan syarat tegas kepada mereka, seperti yang tertera dalam surah Yusuf, ayat 60,

فَاِنْ لَّمْ تَأْتُوْنِيْ بِهٖ فَلَا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِيْ وَلَا تَقْرَبُوْنِ

“Maka jika kamu tidak membawanya (Bunyamin) kepadaku, maka kamu tidak akan mendapat jatah gandum lagi dariku dan janganlah kamu mendekatiku.”

Dengan menetapkan syarat ini, Nabi Yusuf menunjukkan bahwa hukum dan prosedur negara berlaku untuk semua. Ini adalah manifestasi dari kemampuannya untuk menarik garis batas yang tegas antara urusan personal dan tanggung jawab profesional.

Tentu saja, sikap Nabi Yusuf ini adalah tamparan keras bagi budaya nepotisme dan konflik kepentingan. Beliau mengajarkan bahwa seorang profesional sejati harus mampu menundukkan sentimen pribadi di bawah supremasi aturan dan keadilan.

Baca Juga: Ada Isyarat Mitigasi Bencana dalam Mimpi Sang Raja di Kisah Nabi Yusuf

Kekuasaan yang Memaafkan, Bukan Menghancurkan

Puncak dari etika kepemimpinan Yusuf adalah saat beliau akhirnya mengungkapkan jati dirinya. Di momen itu, saudara-saudaranya berada di titik terlemah. Beliau memiliki segala kuasa untuk membalas dendam. Namun, beliau memilih jalan yang sebaliknya dan diabadikan dalam Surah Yusuf, ayat 92,

قَالَ لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْ ۖوَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ

Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu…”

Prinsip bahwa kisah-kisah Alquran disajikan untuk menjadi pelajaran (‘ibrah) ditegaskan di akhir surah Yusuf itu sendiri (Q.S. Yusuf: 111), sebuah prinsip yang juga disoroti oleh Imam Ar-Razi dalam tafsirnya (18/298).

Puncak dari pelajaran etika kekuasaan dalam surah ini adalah momen pengampunan Nabi Yusuf. Tindakannya menunjukkan bahwa kekuasaan yang sesungguhnya tidak diukur dari kemampuan untuk menghancurkan, melainkan dari kemampuan untuk memaafkan dan menyembuhkan luka.

Sikap Nabi Yusuf ini memberikan pelajaran etika tertinggi bagi setiap pemimpin atau manajer. Di dunia profesional, sering kali seseorang meraih posisi di atas mereka yang pernah meremehkan atau menghalanginya. Godaan untuk menggunakan kekuasaan baru itu untuk “membalas” atau menyingkirkan “musuh” lama sangatlah besar, akan tetapi, Nabi Yusuf mengajarkan bahwa puncak kepemimpinan bukanlah unjuk kuasa, melainkan kemampuan untuk merangkul, mengubah potensi konflik masa lalu menjadi kekuatan kolaboratif untuk masa depan.

Penutup

Pada akhirnya, kisah Nabi Yusuf A.S. bukanlah sekadar riwayat, melainkan sebuah kurikulum utuh tentang etika kepemimpinan dan profesionalitas. Beliau mengajarkan serangkaian pelajaran abadi, bahwa seorang profesional sejati harus memulai dengan inisiatif proaktif yang berbasis kompetensi; menjalankan amanah dengan keadilan dan integritas mutlak; mampu menegakkan profesionalisme di atas sentimen pribadi; dan yang terpenting, di puncak kekuasaan, etika itu disempurnakan dengan kemampuan menggunakan wewenang untuk memaafkan. Keempat pelajaran inilah yang membentuk cetak biru seorang pemimpin yang tidak hanya sukses di mata manusia, tetapi juga mulia di hadapan Tuhan. Wallahu ‘alam.

Aplikasi Al-Qur’an Digital: Transformasi Perkembangan Bentuk Al-Qur’an

0
Aplikasi Al-Qur’an Digital: Transformasi Perkembangan Bentuk Al-Qur’an
Ilustrasi aplikasi Al-Qur’an digital (sumber: Unsplash)

Transformasi Mushaf Menjadi Aplikasi Digital

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi turut berkembang dan semakin canggih sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia. Salah satu bukti perkembangan teknologi saat ini yaitu adanya aplikasi al-Qur’an digital. Al-Qur’an digital dinilai akan terus mengalami perkembangan di masa depan baik dari segi ragam, kualitas, dan kuantitasnya (Al-Qur’an Digital (Ragam, Permasalahan, Dan Masa Depan), hal 33-34).

Hal ini wajar terjadi, karena setiap agama tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan zaman termasuk kemajuan teknologi yang sangat cepat berkembang, sehingga terjadi integrasi antara agama dan teknologi (Revolusi Digital Dalam Kajian Al-Qur’An: Mewujudkan Sinergi Untuk Kemajuan Umat, hal 1331).

Era digital yang berkembang pesat membawa transformasi baru bagi kehidupan umat Islam. Lahirnya al-Qur’an digital memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk mengaksesnya. Aplikasi digital, web, dan media sosial membantu mereka untuk membaca, mengkaji, dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an secara lebih praktis (Hafalan Al-Quran Berbasis Aplikasi Di Rumah Binaan (Rubin): Studi Digitalisasi Al-Qur’an, hal 1).

Baca juga: Perbandingan Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Aplikasi Qur’an Kemenag

Era digital ditandai dengan perkembangan teknologi yang semakin memberikan kemudahan bagi manusia untuk mengerjakan dan menyelesaikan kebutuhan sehari-hari. Sebuah era yang menciptakan sebagian besar aktivitas manusia yang bergantung kepada sistem digital (Peran Literasi Digital Dalam Pembelajaran Al-Qur’an Hadis, hal 7).

Aplikasi al-Qur’an digital umumnya tersedia secara gratis seperti di Play Store. Tersedianya aplikasi al-Qur’an digital secara gratis tentu menguntungkan bagi mereka yang ingin menggunakannya. Aplikasi-aplikasi tersebut menyediakan beragam fitur yang ditawarkan seperti mencari ayat, mencari kosakata, terjemahan dalam berbagai bahasa, tafsir dari beberapa kitab tafsir, dan artikel-artikel keislaman (Transformasi Perilaku Beragama Masyarakat Muslim Kontemporer: Fenomena Al-Qur’an Di Era Digital, hal 43).

Baca juga: Transformasi Terjemahan Al-Qur’an: dari Lisan, Tulis, Website, Hingga Aplikasi Android

Adanya transformasi digital menuntut umat Islam untuk mampu mengintegrasikan antara agama dan teknologi dengan baik. Integrasi antara agama dan teknologi selain berkaitan dengan al-Qur’an digital, turut berkaitan dengan peribadatan karena dapat memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah, seperti terciptanya penunjuk arah kiblat dan pengingat waktu salat (Revolusi Digital Dalam Kajian Al-Qur’An: Mewujudkan Sinergi Untuk Kemajuan Umat, hal 1331).

Dengan demikian, keberadaan berbagai macam aplikasi al-Qur’an digital dengan ciri khasnya masing-masing mempengaruhi umat Islam dalam berinteraksi dengan teks-teks al-Qur’an yang dulunya teks cetak berubah menjadi teks dalam bentuk digital. Hal ini secara tidak langsung mengajak umat Islam untuk bersikap inovatif dan terbuka dengan perkembangan zaman dan teknologi.

Tantangan Terhadap Al-Qur’an Digital

Al-Qur’an digital memberikan warna baru dalam dunia Islam. Di satu sisi adanya al-Qur’an digital dianggap sebagai sarana baru untuk membaca al-Qur’an, walaupun masih banyak yang menggunakan al-Qur’an cetak. Namun, di sisi lain perlu adanya perhatian dan pengawasan lebih dalam tentang siapa yang membuat, apa latar belakang, dan tujuan dari pembuatan aplikasi al-Qur’an digital. Hal ini merupakan upaya untuk tetap menjaga dan memelihara al-Qur’an dari berbagai upaya pemalsuan dan penyalahgunaan (Transformasi Perilaku Beragama Masyarakat Muslim Kontemporer: Fenomena Al-Qur’an Di Era Digital, hal 43-44).

Karena adakalanya masih ditemukan kesalahan penulisan ayat-ayat al-Qur’an baik dalam bentuk cetak maupun digital. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan kolaborasi antara otoritas keagamaan dan pihak platform.

Baca juga: Integrasi Teknologi Augmented Reality (AR) dalam Tafsir Alquran Digital

Kolaborasi dengan pihak-pihak terkait seperti LPMQ, lembaga pendidikan, dan pihak platform penting dilakukan dalam rangka pengawasan dan perlindungan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, database aplikasi, dan data diri pengguna. Para pengguna juga kiranya mendapat pelatihan tentang penggunaan aplikasi secara baik dan efektif. Cara-cara ini dilakukan agar terciptanya rasa aman dan nyaman sehingga aplikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Dengan demikian, di era digital saat ini, al-Qur’an sangat mudah diakses dan dipelajari sebagai dampak kemajuan teknologi. Aplikasi-aplikasi al-Qur’an yang tersedia diciptakan dan juga menyediakan fitur-fitur pendukung agar umat Islam dapat membaca, mendengarkan, dan mempelajari al-Qur’an dengan lebih mudah dan praktis. Kemudahan akses membaca al-Qur’an via aplikasi harus diimbangi dengan efektivitas platform dan pengawasan dari berbagai pihak.

Rahasia di Balik al-Ikhlas: Satu Surah Seribu Keutamaan

0
keutamaan surah al-ikhlas
keutamaan surah al-ikhlas

Surah al-Ikhlas merupakan salah satu surah yang paling sering dibaca oleh banyak orang, khususnya dalam pelaksanaan salat. Selain karena jumlah ayatnya yang singkat, surah ini mengandung ajaran penting tentang keesaan Tuhan, yang menjadi inti dari keimanan seseorang.

Status ‘surah favorit’ ini tampaknya beriringan dengan keutamaan surah tersebut. Terdapat beberapa keutamaan dari surah al-Ikhlas yang didokumentasi oleh Muhammad bin Abu Bakar al-‘Ushfury dalam kitabnya, al-Mawa’idh al-Ushfuriyah. Berikut keutamaan-keutamamaan tersebut.

Keutamaan yang pertama tercermin dalam kisah Suraqah bin Malik yang mengejar Nabi saw. saat hijrah ke Madinah. Dia tergiur oleh hadiah besar yang dijanjikan kaum kafir Quraisy. Ketika Suraqah berhasil menyusul Nabi saw., dia menghunus pedangnya untuk membunuh Nabi saw. Namun, Nabi saw. memerintahkan bumi untuk menahannya dan kaki kuda Suraqah terbenam ke dalam tanah hingga lututnya. Kemudian Suraqah meminta ampunan kepada Nabi saw., dan setelah Nabi saw. berdoa, Allah swt. menyelamatkannya.

Tak berselang lama, dia kembali menyerang Nabi saw., dan kali ini kaki kudanya terbenam lebih dalam hingga ke perut. Suraqah meminta ampunan kembali kepada Nabi saw. dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Setelah selamat, Suraqah bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, beritahu aku siapa Tuhanmu, karena Dia memiliki kekuasaan sebesar ini. Apakah Dia terbuat dari emas atau dari perak?

Setelah Nabi saw. diam cukup lama, malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu berupa surah al-Ikhlas. “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.”

Surah ini menegaskan bahwa Allah swt. adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak bergantung kepada siapapun, berbeda dengan makhluk, dan tidak setara dengan apapun.

Baca Juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Keutamaan surah al-Ikhlas berikutnya ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw. bersabda:

عن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه انه قال، قال رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم مَنْ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ إِلَى آخِرِها بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ عَشْرَ مَرَّاتٍ لَمْ يَصِلْ إِلَيْهِ ذَنْبٌ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ وَإنْ جَهد الشيطان

Barang siapa membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad (Al-Ikhlas) hingga akhir sebanyak sepuluh kali setelah salat Subuh, maka dosa tidak akan menyentuhnya sepanjang hari itu, meskipun setan berusaha keras (untuk menyesatkannya).

Baca Juga: Khasiat Surah Alikhlas: Amalan Kaya dari Nabi Muhammad

Dikisahkan pula, ketika Nabi saw. sedang duduk di gerbang kota Madinah, sebuah iringan jenazah melintas dihadapannya. Nabi saw. bertanya tentang kepemilikan hutang dari jenazah tersebut. Kemudian, sahabat yang lain menjawab bahwa jenazah tersebut memiliki hutang sebesar empat dirham. Oleh karena jenazah tersebut masih memiliki hutang yang belum dilunasi, Nabi saw. enggan untuk ikut mensalati jenazah tersebut.

Melihat peristiwa tersebut, Allah swt mengutus malaikat Jibril dan berkata:

يامحمد إن الله عز وجل يُقْرِئُكَ السَّلَامُ وَيَقُوْلُ بُعِثْتُ جِبْرَائِيْل بِصُورَةٍ آدَمِيٍّ وَأَدَّى دَيْنَهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فإنه مَغْفُوْرٌ وَيَقُوْلُ مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَتِهِ غَفَرَ اللهُ لَهُ

Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: Aku telah mengutus Jibril dalam rupa manusia dan ia telah melunasi utangnya. Maka bangkitlah dan salatkanlah jenazahnya, karena ia telah diampuni. Dan barang siapa yang mensalatkan jenazahnya, Allah akan mengampuninya.

Lantas, Nabi saw. pun bertanya kepada Jibril:

ياأخي ياجبرائيل مِنْ أَيْنَ لَهُ هَذَا الْكَرَامَةُ فَقَالَ لِقِرَاءَتِهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ سُوْرَةَ قُلْ هُوَ الله أَحَدٌ لِأَنَّ فِيْهَا بَيَانُ صِفَاتِ الله تعالى وَالثَّنَاءُ عَلَيْه

Wahai saudaraku Jibril, dari mana dia memperoleh kemuliaan sebesar ini?” Jibril menjawab,“Karena dia membaca Surah Qul Huwa Allahu Ahad (Al-Ikhlas) sebanyak seratus kali setiap hari, sebab di dalamnya terdapat penjelasan tentang sifat-sifat Allah dan pujian kepada-Nya.

Lebih lanjut, keutamaan surah al-Ikhlas juga ditegaskan dalam hadis Nabi saw.

مَنْ قَرَأَهَا فِي جَمِيْعِ عُمْرِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً لَايَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَرَى مَكَانَهُ فِى الْجَنَّةِ خُصُوْصًا مَنْ قَرَأَهَا فِى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي كُلِّ يَوْمٍ كَذَا مَرَّاتٍ تَشْفَعُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِجَمِيْعِ اَقْربَائِهِ مِمَّنْ قَدْ اسْتَوْجَبَتْ عَلَيْهِ النَّارُ

Barangsiapa membaca (surah Al-Ikhlas) sekali saja sepanjang hidupnya, maka ia tidak akan keluar dari dunia ini sebelum melihat tempatnya di surga. Terlebih lagi bagi siapa yang membacanya dalam lima waktu salat setiap hari sebanyak sekian kali, maka surah ini akan memberi syafaat kepadanya pada hari kiamat, bahkan untuk seluruh kerabatnya yang telah pantas masuk neraka.”

Wallahu a’lam.

Warisan Para Nabi: Ilmu Tawaduk 

0
warisan para nabi_ilmu tawaduk
warisan para nabi_ilmu tawaduk

Rasulullah Muhammad saw. melalui hadisnya telah menyatakan bahwa ‘…ulama adalah pewaris para Nabi…’ dan di lanjutan hadis tersebut juga disampaikan bahwa warisan para Nabi tersebut bukan berupa materi, seperti harta, tahta maupun ketenaran, warisan yang dimaksud adalah berupa warisan ilmu. Habib Jindan dalam pidatonya di satu kesempatan mensyarahkan warisan ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu tawaduk, sifat rendah hati.

Warisan para Nabi yang berupa ilmu tawaduk ini tercermin dalam doa-doa mereka yang tercatat dalam Alquran dan hadis. Sebut saja seperti doa Nabi Adam a.s., doa Nabi Yunus a.s., doa Nabi Musa a.s., dan doa Nabi Muhammad saw.

Doa Nabi Adam dan Hawwa dalam surah al-A’raf [7]: 23

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Keduanya (Nabi Adam dan Hawwa) berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”

Doa Nabi Yunus dalam surah al-Anbiya’ [21]: 87

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ

(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis,493) “Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.”

Doa Nabi Musa dalam surah al-Qasas [28]: 16

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya saya telah menzalimi diri saya sendiri, maka ampunilah aku.” Dia (Allah) lalu mengampuninya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Doa Nabi Muhammad saw. yang Diajarkan ke Abu Bakar

عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ :أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي. قَالَ:  قُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Hadis dari Abu Bakar. Beliau berkata kepada Rasulullah saw., ‘ajarkan kepada saya sebuah doa yang akan saya baca di dalam salat saya.’ Kemudian Rasulullah saw. menjawab, ‘bacalah doa ini, ‘ya Allah, sungguh saya telah menzalimi diri saya dengan kezaliman yang banyak. Tiada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah saya dengan pengampunan yang bersumber dariMu dan rahmatilah saya. Sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Meneladani Cara Tobat Nabi Adam

Tawaduk Menyikapi Keterbatasan Diri

Berdasar pada penjelasan al-Qurtubi dalam tafsirnya, konteks ayat doa di atas berbeda-beda, sebut saja doa Nabi Adam yang diucapkan setelah melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah khuldi; doa nabi Yunus diucapkan ketika berada dalam kegelapan perut ikan, dan menyadari kesalahannya yang lari dari kaumnya; sementara doa Nabi Musa dilantunkan setelah beliau menyadari kesalahannya yang (tidak sengaja) membunuh seseorang.

Jika diperhatikan lebih lanjut, dalam perbedaan konteks doa tersebut akan didapati ekspresi yang sama dari para Nabi, yaitu pengakuan kesalahan dan penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat oleh para Nabi pemilik doa. Bagian ini terlihat dalam frasa ‘…saya (kami) telah menzalimi diri saya (kami)…’.

Pada bagian ini, tergambar bagaimana profil para Nabi yang merupakan utusan (langsung) Allah dalam menyikapi keterbatasan diri mereka ketika mereka melakukan kesalahan. Mereka tidak menyalahkan orang lain, pun juga komplain dan tidak terima atas takdir Allah terhadap mereka. Mereka dengan rendah hati mengakui kekurangan, kekhilafan dan kesalahan mereka. Mereka menyesalinya dan bertaubat atas kesalahan tersebut.

Tidak lupa dalam kerendahhatian atas pengakuan dan penyesalan tersebut, terselip ketauhidan yang sangat menonjol, yaitu frasa ‘….tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Allah…’. Bagian ini juga yang digarisbawahi oleh Ibn Hajar al-Asqalani ketika mensyarahi hadis doa yang diminta oleh Abu Bakar.

Warisan para Nabi berupa ilmu tawaduk ini menunjukkan bahwa bermuhasabah adalah prioritas dalam menyikapi keterbatasan diri, dan menyadari akan penghambaan kepada Allah adalah poin muhasabah yang paling utama.

Baca Juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus Yang Dibaca Masyarakat Banjar Pada Arba Musta’mir

Warisan Kesombongan Iblis

Berbanding terbalik dengan warisan ilmu tawaduk para Nabi, yaitu warisan sifat sombong dari Iblis. Salah satu penggambaran kesombongan Iblis yang direkam dalam Alquran terdapat pada surah al-A’raf ayat 12-13.

Pada ayat ini, Iblis merasa lebih baik dari pada Nabi Adam, oleh karena itu dia tidak mau menaati perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam. Sebab kesombongan ini pula Allah mengusir Iblis dari surga.

Jika mengikuti alur dua ayat tentang kesombongan Iblis, maka akan dipahami bahwa setidaknya dua hal yang menyebankan kesombongan iblis. Pertama, tidak menghamba kepada Allah. Hal ini tampak pada ketidakpatuhannya atas perintah dan menerima takdir dari Allah; Kedua, merasa lebih baik dari Nabi Adam yang pada dasarnya sama-sama ciptaan Allah.

Baca Juga: Tafsir Surat al-A’raf Ayat 12: Congkak Bentuk Pembangkangan Iblis terhadap Allah

Tawaduk dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat dan Agama

Setiap agama mempunyai keyakinan masing-masing akan kebenaran ajarannya. Namun apabila hal ini dihadapkan pada kehidupan sosial, berdampingan dengan pemeluk agama lain, maka sikap yang diajarkan oleh Alquran antara lain adalah ‘untukmu agamamu, untukku agamaku’ (Q.S. al-Kafirun [109]: 6).

Mengutip penjelasan M. Quraish Shihab tentang ayat terakhir surah al-Kafirun, ‘silahkan laksanakan agama anda, beri saya juga kesempatan untuk melaksanakan agama saya, boleh jadi anda yang benar, dan boleh jadi saya yang salah, boleh jadi juga sebaliknya.’

Adapun untuk menyikapi perbedaan pendapat sesama muslim, identifikasi terlebih dahulu bahwa perbedaan yang dimaksud adalah di ranah perinciannya, bukan pada hal yang prinsip, seperti keesaan Tuhan, status nabi terakhir untuk Nabi Muhammad, berkitab suci Alquran, percaya akan hari kiamat, kewajiban salat, zaka, puasa, dan sebagainya.

Untuk menyikapi perbedaan dalam hal perincian tersebut, misal beda cara bersuci antara ulama fikih, beda cara berdoa, dan yang semacamnya, terhadap hal ini, Nabi Muhammad saw. melalui hadisnya mengapresiasi perbedaan tersebut dengan dua pahala untuk pendapat yang benar, dan satu pahala untuk pendapat yang salah.

Poin dari menyikapi perbedaan pendapat maupun perbedaan keyakinan agama yaitu dengan bersikap tawaduk, tidak menyombongkan pendapat atau agama sendiri dengan menyalahkan atau merendahkan pendapat dan agama lain yang berbeda.

Ilmu tawaduk sebagai warisan para Nabi menjadi peninggalan yang abadi, tidak seperti materi yang bisa habis setelah digunakan manfaatnya, bisa jadi karena keabadiannya ini menjadikannya sangat langka untuk dipraktikkan. Wallah a’lam.

Kemerdekaan Sejati: Menjawab Seruan Surah An-Nisa’ Ayat 75

0
menjawab seruan surah an-Nisa ayat 75
menjawab seruan surah an-Nisa ayat 75

Kemerdekaan sejati bukan hanya kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari segala bentuk kezaliman, kebodohan, kemiskinan, dan kerusakan moral. Dalam pandangan Islam, ketika manusia dapat hidup dalam keadilan, martabat, dan ketaatan kepada Allah swt. maka dia telah mencapai kemerdekaan sejati.

Dalam surah an-Nisa’ ayat 75, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membela kaum tertindas; perintah ini merupakan salah satu bentuk nyata bahwa Allah swt. menuntut hamba-Nya meraih kemerdekaan sejati. Melalui ayat tersebut, jelas bahwa kemerdekaan sejati adalah amanah yang harus dijaga dan dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan.

Baca Juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Makna Kemerdekaan

Menurut KBBI, kemerdekaan bermakna keadaan berdiri sendiri atau kebebasan–tidak terjajah, lepas, dan sebagainya–yang dalam bahasa Arab disebut al-hurriyyah (الحرية). Menurut Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya, Maqashid al-Shari’ah al-Islamiyah,  al-hurriyyah mempunyai dua makna; pertama, kemerdekaan sebagai lawan kata perbudakan; kedua, kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri ataupun urusannya sesuka hati dengan tanpa ada tekanan.

Beliau juga menyebutkan beberapa aspek kemerdekaan dan kebebasan dalam syariat Islam, yaitu: hurriyyah al-i’tiqad (kebebasan dalam berkeyakinan), hurriyyah al-aqwal (kebebasan berpendapat), hurriyyah al-‘ilmi wa al-ta’lim wa al-ta’lif  (kebebasan belajar, mengajar, dan berkarya), hurriyyah al-a’mal (kebebasan bekerja).

Semua yang telah disebutkan tidak lain bermuara pada kemerdekaan sejati, yakni ketika seseorang lepas dari segala bentuk perbudakan–baik oleh manusia, hawa nafsu, maupun sistem yang zalim–dan hanya tunduk kepada Allah swt. Islam memandang kemerdekaan bukan sekedar urusan politik atau batas wilayah, tapi juga kebebasan hati dan pikiran untuk memilih jalan kebenaran.

Meskipun Alquran tidak secara tersurat menyebut istilah kemerdekaan, terdapat beberapa ayat Alquran yang secara tidak langsung memberi isyarat mengenai konsep kemerdekaan atau kebebasan, salah satunya dalam surah an-Nisa’ ayat 75 yang berbunyi:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ ٱلظَّالِمِ أَهْلُهَا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا

Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.

Baca Juga: Jebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi

Penafsiran Surah An-Nisa’ ayat 75

“berapa banyaknya manusia yang tidak berani membuka mulut menyebut yang benar, juga tidak berani mengerjakan ibadah dengan terang-terangan karena yang berkuasa ialah orang yang zalim? Selalu dipenuhi oleh rasa takut dan cemas”, ungkap Hamka pada awal penafsiran surah an-Nisa’ ayat 75. Penghujung ayat tersebut ditafsirkan sebagai keluhan teman-teman seagama, sefaham dan setujuan, yang tengah menderita di negeri Makkah. Maka selain daripada mengharapkan surga, bangkitkanlah perasaan belas kasihan kepada mereka, bebaskanlah mereka dari penindasan dengan menempuh peperangan. Ayat ini adalah intisari dari tujuan perang umat Islam, mulai dari zaman Rasulullah saw. hingga saat ini. (Tafsir Al-Azhar, jilid 2/1310)

Pengarang Tafsir Al-Manar (jilid 5/259-260) menyebutkan bahwa ayat ini adalah panggilan untuk umat Islam untuk berperang di jalan Allah dengan tujuan yang jelas dan mulia, yakni membela kaum lemah yang tertindas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang tidak mampu berhijrah atau melindungi diri karena keterbatasan fisik maupun kekuatan, mereka yang hidup dalam tekanan dan siksaan. Perang dalam Islam tidak dimaksudkan untuk memperluas kekuasaan, menumpahkan darah, atau memaksa seseorang memeluk keyakinan yang sama.

Islam memaknai peperangan sebagai langkah terakhir untuk menghapus kerusakan yang lebih besar, menegakkan keadilan, serta membebaskan dari kepemimpinan yang zalim. Melalui perintah ini, Allah mengingatkan bahwa membela kebenaran dan menolong yang tertindas adalah bagian dari ibadah, peperangan yang dibenarkan hanyalah yang bertujuan menjaga kebebasan beragama, memuliakan manusia, serta menegakkan kebenaran di muka bumi.

Menjawab Seruan Surah An-Nisa’ Ayat 75 di Era Modern

Di zaman modern saat ini, bentuk penjajahan tidak selalu hadir dengan senjata dan invasi militer. Penjajahan bisa berbentuk eksploitasi ekonomi yang membuat rakyat sulit keluar dari kemiskinan, dominasi budaya yang mengikis akhlak, atau sistem hukum yang berat sebelah. Salah satu fitrah Alquran adalah sebagai kitab suci yang berlaku sepanjang zaman. Dengan demikian, jelas bahwa ayat 75 dari surah an-Nisa’ menjadi pengingat bahwa kewajiban membela yang lemah dan menegakkan keadilan tidak berhenti pada konteks peperangan fisik semata, tetapi mencakup perlawanan terhadap segala bentuk penindasan di masa kini.

Adapun beberapa langkah nyata guna menjawab seruan ayat tersebut; pertama, membela bangsa yang masih terjajah seperti Palestina dapat dilakukan melalui doa, advokasi, dan lain sebagainya; kedua, terus bersuara untuk melawan penindasan dan kezaliman dari berbagai aspek, mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, moral, dan sebagainya.

Wallah a’lam.

Menjaga Lisan di Era Digital: Etika Komentar dan Kritik Menurut Alquran

0

Di era digital ini, jari-jari bisa lebih tajam dari lidah. Komentar, story, retweet, atau balasan DM kadang lebih menyakitkan daripada ucapan langsung. Dulu orang bertengkar hanya sebatas lewat mulut, tapi sekarang cukup lewat kolom komentar. Ironisnya, semua itu sering dibungkus dengan dalih “kan cuma ngasih pendapat”, “jujur aja”, “ga usah baper” atau “biar dia sadar”.

Padahal, Islam telah memberi panduan tentang bagaimana cara berbicara. Bukan hanya dalam bentuk suara, tapi juga tulisan. Dalam Alquran, Allah mengingatkan bahwa setiap kata, setiap huruf, bahkan niat di baliknya tidak pernah luput dari catatan.

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (QS. Qaf  [50]: 18)

Baca Juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 11: Bentuk Penjagaan Lisan

Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ada dua malaikat yang mencatat setiap ucapan dan perbuatan manusia. Sehingga tidak ada suatu perkataan dan perbuatan yang dilakukannya melainkan pasti dicatat, tanpa ada yang terlewatkan sedikitpun. (tafsir al-Munir, jilid 13, hal 520).

Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa tidak hanya ucapan saja yang dicatat melainkan perbuatan juga, maka komentar pun juga demikian. Jari yang asal ketik bisa menyeret seseorang pada dosa yang tanpa disadari. Kadang, hanya karena emosi sesaat atau ikut-ikutan tren menyindir, kita membiarkan adab lepas dari genggaman.

Dalam Alquran pun tidak melarang seseorang untuk menyampaikan kritik atau pun pendapat, akan tetapi harus menggunakan etika dalam melakukan hal itu. Berikut adalah etika komentar dan kritik yang diajarkan Alquran.

Pertama,   Tabayyun

Tabayyun berarti memverifikasi, mengklarifikasi, atau meneliti suatu informasi sebelum menyebarkannya atau mengambil tindakan berdasarkan informasi tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Alquran surah al-Hujurat [49]: 6

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Alquran mengingatkan manusia untuk tidak tergesa-gesa dalam menyebarkan informasi. Jangan hanya karena viral, lalu ikut menyebarkan tanpa klarifikasi. Apalagi jika informasi itu bisa menjatuhkan orang lain.

Di era digital, tabayyun bukan sekadar pilihan tapi sebuah keharusan. Tidak semua yang tampak salah benar-benar salah, bisa jadi itu hanya potongan dari sebuah video atau cerita yang utuh. Maka berhati-hatilah, karena jejak media tidak bisa hilang begitu saja.

Baca Juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Kedua,  Tidak Mencela atau Menghina

Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Hujurat [49]: 11

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok itu) lebih baik dari pada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik dari pada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.

Ayat ini mengajarkan larangan keras untuk mencela, merendahkan, dan menghina orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini body shaming menjadi gambaran. Tak jarang ketika menemukan postingan di media sosial mengenai postur tubuh yang kurang baik itu dibanding-bandingkan dengan standar fisik tertentu, mendapatkan sindiran, atau komentar merendahkan yang seringkali dikemas dalam bentuk candaan.

Tanpa sadar, candaan yang dilontarkan dalam komentar itu  ternyata menyakiti orang lain. Tak jarang pula orang mengalami tekanan psikologis karena membaca komentar yang menyakitkan. Islam mengajarkan untuk menjaga kehormatan sesama, bukan menjatuhkannya meskipun dalam bentuk candaan.

Ketiga,  Menjaga Prasangka

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain… . QS. Al-Hujurat [49]: 12.

Terkadang, komentar yang menyakitkan lahir dari prasangka yang terlalu cepat. Manusia terlalu percaya pada isi kepala sendiri, terlalu cepat menyimpulkan, dan terlalu yakin bahwa dirinya yang paling tahu. Padahal, Allah menyuruh manusia menjauhi prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa dan juga jangan suka mencari kesalahan-kesalahan orang lain.

Baca Juga: Al-Qur’an di Era Digital dan Kemunculan Generasi Muslim Melek Digital

Keempat,  Kritik yang Membangun

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan Hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. QS. An-Nahl [16]: 125

Kritik boleh, tapi dengan cara yang baik. Dalam Tafsir al-Munir, kata Hikmah disini diartikan dengan perkataan yang kuat, tepat, menyentuh dan berkesan. Sedangkan mauizah hasanah, yaitu dengan nasihat-nasihat yang baik dan berkesan dalam hati mereka. (Tafsir al-Munir, jilid 7, hal 511).

Maka, saat melihat postingan yang kurang pantas, sampaikan kritik secara membangun. Jangan menjatuhkan, merendahkan, ataupun mempermalukan. Kritik bukan sekadar menyampaikan kebenaran, tapi juga bagaimana menyampaikannya dengan cara yang baik dan benar. Kritik yang menyakiti hati, merendahkan atau mempermalukan bisa menjadi ladang dosa, meskipun isi yang disampaikan benar.

Di era digital seperti saat ini, menjaga lisan bukan lagi sekadar menjaga ucapan. Tapi, juga menjaga tulisan dan ketikan. Jangan sampai karena ketikan dari jari, bisa membuat celaka di akhirat. Dan jangan karena ingin terlihat tegas atau lucu, kita malah menyakiti tanpa sadar.

Jebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi

0
Jebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi
Ilustrasi anak sapi (sumber: Unsplash)

Al-Qur’an menyajikan sebuah pelajaran abadi tentang jebakan pasca-kemerdekaan melalui Kisah Patung Anak Sapi. Di tengah semarak perayaan kemerdekaan bulan Agustus ini, kisah tersebut menjadi cermin yang sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa setelah penjajah fisik dikalahkan, muncul musuh baru yang lebih berbahaya, yakni fitnah yang lahir dari euforia kebebasan itu sendiri, yang mampu menggadaikan kemerdekaan hakiki dengan sekejap.

Kisah abadi ini memuat tentang bagaimana kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata bisa tergadai oleh kilau emas dalam sekejap, namun melahirkan sebuah pelajaran abadi tentang jebakan yang selalu mengintai di era pasca-kemerdekaan.

Di Puncak Kemenangan, Ujian Datang

Bayangkan sebuah kaum yang baru saja menyaksikan mukjizat terbelahnya lautan dan tenggelamnya Firaun. Inilah Bani Israil, bangsa yang baru menghirup udara kebebasan setelah ratusan tahun perbudakan. Di puncak kemenangan inilah, Allah menjanjikan penyempurna kemerdekaan mereka dengan kitab suci, Taurat. Untuk itu, Nabi Musa As. dipanggil untuk sebuah pertemuan sakral selama empat puluh malam. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 142, Musa awalnya dijanjikan tiga puluh malam untuk berpuasa dan beribadah, kemudian disempurnakan dengan sepuluh malam lagi (Ibn Katsîr, 3/420).

“Kami telah menjanjikan Musa (untuk memberikan kitab Taurat setelah bermunajat selama) tiga puluh malam. Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka, lengkaplah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Musa berkata kepada saudaranya, (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf [7] 142).

Para mufasir menjelaskan, penambahan sepuluh malam ini terjadi karena setelah berpuasa sebulan penuh, Musa membersihkan mulutnya dengan bersiwak. Allah kemudian menegurnya dengan lembut, mengingatkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi-Nya daripada aroma kesturi, lalu memerintahkannya menyempurnakan ibadah menjadi empat puluh malam (Al-Qurthubî, 8/274). Dalam penantian yang disempurnakan inilah, sebuah kekosongan spiritual di tengah Bani Israil menjadi lahan subur bagi fitnah terbesar mereka.

Kilau Emas yang Membutakan Iman

Siapakah dalang di balik fitnah ini? Dia adalah Samiri. Para mufasir menyebutkan beberapa riwayat tentang identitasnya. Ada yang mengatakan ia berasal dari kaum penyembah sapi sehingga sisa-sisa akidah itu masih ada di hatinya (Al-Qurthubî, 11/233). Apapun latar belakangnya, ia adalah seorang manipulator yang cerdas.

Mengapa Bani Israil begitu mudah terpedaya? Samiri memainkan dua kartu psikologis yang sangat kuat. Pertama, ia mengeksploitasi ketidaksabaran mereka atas kepergian Musa yang terasa lama. Kedua, ia membingkai perhiasan emas yang mereka bawa dari Mesir sebagai “beban dosa” atau awzar yang harus dilepaskan (Al-Qurthubî, 11/233). Dengan dalih “pemurnian diri”, ia meminta mereka menyerahkan semua emas yang dimiliki.

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Setelah emas terkumpul, ia membentuk patung anak sapi yang bisa mengeluarkan suara. Di saat itulah, ia melancarkan propagandanya, sebagaimana diabadikan dalam Surah Taha, ayat 88:

“…kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lubang api) seekor anak sapi yang bertubuh dan dapat bersuara, lalu mereka berkata, ‘Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi dia (Musa) telah lupa’.”

Sebagian besar kaum itu terpesona. Mereka yang terbiasa dengan kemewahan dan tuhan-tuhan visual di Mesir, kini menemukan objek penyembahan yang konkret dan berkilau. Kemerdekaan tauhid yang baru mereka raih seketika runtuh, digantikan oleh perbudakan kepada patung emas.

Akhir Hayat Samiri dan Harga Sebuah Pengkhianatan

Ketika Nabi Musa kembali, murkanya memuncak. Setelah memastikan saudaranya, Harun, tidak bersalah, ia beralih kepada Samiri. Dalam dialog yang diabadikan Al-Qur’an, Samiri mengaku telah melakukan tipu daya. Maka, Nabi Musa menjatuhkan hukuman yang setimpal atas pengkhianatannya terhadap kemerdekaan tauhid. Hukuman itu bukanlah penjara atau hukuman mati, melainkan sebuah pengasingan sosial seumur hidup. Musa berkata:

“Pergilah kamu, maka sesungguhnya dalam kehidupan di dunia ini, (hukuman) bagimu adalah dengan mengatakan, ‘Jangan sentuh (aku)’. Dan sesungguhnya engkau mempunyai janji (hukuman lain) yang tidak akan dapat engkau hindari…” (QS. Taha: 97).

Menurut Ibnu Katsir, hukuman “la misas” (jangan sentuh) ini membuat Samiri dan keturunannya hidup dalam keterasingan total. Jika ia menyentuh atau disentuh orang lain, keduanya akan menderita demam. Ia hidup liar seperti binatang buas, terbuang dari peradaban yang telah ia rusak (Ibnu Katsîr, 2/193-6).

Baca juga: Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Adapun bagi kaumnya yang terpedaya, harga yang harus mereka bayar juga sangat mahal. Pengkhianatan ini mendatangkan murka Allah dan kehinaan, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-A’raf, ayat 152:

“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia…”

Taubat mereka pun tidak cukup dengan istighfar. Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tarikh, Allah memerintahkan agar mereka yang tidak bersalah membunuh mereka yang telah menyembah patung anak sapi sebagai tebusan atas dosa syirik tersebut (Al-Muqaddasî, 3/89).

Pelajaran Abadi dari Patung Anak Sapi

Kisah ini bukanlah sekadar catatan sejarah, ia adalah kurikulum abadi tentang hakikat kemerdekaan. Beberapa pelajaran penting dapat kita ambil:

Kekosongan Spiritual adalah Musuh Utama

Kemerdekaan tanpa panduan ilahi akan menciptakan kekosongan. Kekosongan inilah yang menjadi musuh paling berbahaya, karena ia siap diisi oleh ideologi, materialisme, atau hawa nafsu yang akan menjajah kembali jiwa yang baru bebas.

Waspada Terhadap Pesona Materialisme

Patung anak sapi adalah simbol abadi dari materialisme. Kilau dunia dan janji–janji kemewahan bisa dengan mudah membutakan iman yang belum kokoh dan membuat seseorang rela menukar kebebasan abadinya dengan kenikmatan sesaat.

Baca juga: Rahasia Sapi di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Bahaya Provokator Internal

Ancaman terbesar seringkali datang dari dalam, dari “Samiri” yang memahami kelemahan psikologis sebuah kaum dan memanfaatkannya dengan narasi yang menipu. Mereka membingkai kebatilan seolah-olah sebuah kebenaran dan solusi.

Kemerdekaan adalah Proses Penjagaan

Meraih kemerdekaan adalah satu hal, menjaganya adalah hal lain. Ia menuntut kewaspadaan spiritual yang terus-menerus untuk memastikan hati tetap merdeka dan hanya menghamba kepada Allah.

Penutup

Pelajaran dari kisah Patung Anak Sapi adalah pengingat yang tajam bahwa proklamasi hanyalah awal dari perjalanan. Kemerdekaan sejati bukanlah peristiwa satu hari, melainkan perjuangan setiap hari untuk menjaga agar hati tetap merdeka dari “Samiri-Samiri” baru dan “berhala-berhala” berkilauan yang mereka tawarkan. Karena musuh terbesar sebuah kemerdekaan bukanlah penjajah yang telah pergi, melainkan kekosongan jiwa yang siap diisi oleh apa pun selain Allah.