Beranda blog Halaman 5

Perdebatan tentang Burung Ababil dalam Surah Al-Fil

0
Ilustrasi Burung Ababil
Ilustrasi Burung Ababil

Kisah burung Ababil merupakan salah satu dari sekian banyak kisah yang tercatat dalam Alquran. Burung-burung ini digambarkan datang dari langit membawa batu-batu kecil untuk menghancurkan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abraha yang hendak menyerang Ka’bah. Namun, dibalik kisah itu para peneliti mulai mempertanyakan tentang kebenaran burung Ababil yang menyerang pasukan Abraha. Karena tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa Abraha dan pasukannya mati karena serangan batu yang dibawa oleh burung Ababil.

Sebuah penelitian medis dan sejarah dalam jurnal The Year of the Elephant mengungkap bahwa mungkin saja yang memukul mundur pasukan Abraha itu bukan burung Ababil, melainkan wabah penyakit mematikan, Dalam artikel ini, penulis akan mengulas beberapa pandangan mufassir mengenai kisah burung Ababil dalam surah Al-Fil ayat tiga, dan pandangan peneliti barat yang ditulis oleh John S Marr, Elias Hubbard, dan John T Cathey dalam jurnal yang berjudul The Year of the Elephant.

Baca Juga: Kisah Nabi Yusuf: Kisah yang Tidak Diulang

QS Al-Fil (105): 3

وَاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَ.

“dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.”

Ibnu Katsir menggambarkan burung ababil seperti burung alap-alap, yang masing-masing dari burung itu membawa tiga batu. Satu batu di paruhnya dan dua batu lainnya dikedua kakinya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30, hal. 545) Sedangkan dalam tafsir At Tahrir Wat Tanwir, Ibnu Asyur mengambil dari beberapa riwayat, salah satunya yakni riwayat dari Aisyah ra. yang menyebutkan bahwa burung ababil itu paling mirip dengan burung wallet, dan ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa burung ababil mirip dengan kelelawar. Selain itu Ibnu Asyur juga menukil pendapat para ulama seperti Ibnu Abbas dan Ikrimah, yang menyatakan bahwa luka akibat batu yang dibawa oleh burung ababil mirip dengan penyakit cacar. Bahkan disebutkan bahwa sebelum peristiwa itu, masyarakat Mekkah belum mengenal penyakit cacar. (At Tahrir Wat Tanwir, Juz 30, hal. 549-551)

Sementara itu, dalam Jurnal yang berjudul The Year of the Elephant, Jhon S Marr dkk menggambarkan burung ababil sebagai burung layang-layang lumbung (Hirundo rustica). Burung ini memiliki ciri-ciri paruh kecil, berbulu gelap dengan tenggorokan berwarna jingga gelap, serta memiliki sayap panjang dan runcing. Burung layang-layang lumbung biasa bermigrasi dengan kelompok yang besar, bahkan bisa mencapai lebih dari 100.000 ekor, dan sering terlihat di sekitar grombolan hewan ternak (kambing, domba, sapi, unta) karena tertarik pada lalat yang berkerumun di sekitar kotoran ternak. Burung-burung ini juga memiliki kebiasaan mengumpulkan tanah liat dengan paruh mereka untuk membuat sarang, dan kebiasaan itulah yang dianggap selaras dengan kisah burung ababil dalam surah Al-Fil tentang burung-burung yang “menjatuhkan batu dari tanah liat keras” ke arah pasukan Abraha. Secara geografis, burung ini juga biasa bermigrasi melewati Jazirah Arab, sehingga kehadirannya di sekitar Mekkah pada saat itu dianggap masuk akal.

Baca Juga: Hawariyun: Para Pengikut Setia Nabi Isa

Meskipun Jhon S Marr dkk menyebutkan ciri-ciri burung ababil dengan cukup jelas, mereka berpendapat bahwa kekalahan pasukan Abraha bukan disebabkan oleh serangan burung Ababil melainkan karena penyakit cacar atau campak. Ia menganalisis deskripsi historis mengenai pasukan yang tiba-tiba jatuh sakit dan mengalami luka-luka yang mirip dengan gejala cacar atau campak, seperti munculnya bintil-bintil di kulit, tubuh yang membusuk, kulit bernanah dan kematian masal secara mendadak dikarenakan cepatnya penyebaran wabah cacar atau campak pada saat itu. Ia juga beranggapan bahwa arti dari “batu-batu kecil” dalam surah Al-Fil merupakan kiasan untuk lesi (benjolan) campak atau cacar. Pendapat ini juga selaras dengan pendapat Ibnu Abbas dan Ikrimah dalam tafsir Ibnu Asyur yang mengatakan bahwa pasukan Abraha meninggal disebabkan oleh penyakit cacar.

Namun, perbedaan dalam penafsiran dan penelitian tersebut ialah cacar yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dan Ikrimah disebabkan oleh batu yang dibawa oleh burung ababil, sedangkan cacar yang dimaksud oleh Jhon S Marr dkk disebabkan oleh penyebaran virus cacar unta (camel pox). Terlepas dari perbedaan penafsiran para Ulama dan Ilmuan diatas, kisah ini tetap menjadi pengigat bahwa kekuasaan Allah bisa datang dengan cara yang tak terduga. Wallahu a’lam

Mengungkap Manfaat Rasm Utsmani dalam Pelestarian Alquran

0

Rasm utsmani merupakan salah satu pembahasan dalam kajian ilmu Alquran. Selain definisi, hukum rasm utsmani antara tauqifi dan ijtihadi, dan sejarahnya, ada pembahasan tentang manfaat yang perlu diketahui dari mempelajari rasm utsmani yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Beberapa ulama membahas tentang ilmu ini dalam kitab-kitab mereka, di antara ulama yang membahasnya adalah ‘Abd al-‘Adzīm al-Zurqānī dalam kitab Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Muhammad Fārūq al-Nabhān dalam kitab al-Madkhal ilā ‘Ulūm al-Qur’ān, ‘Abd al-Wahhāb Ghuzlān dalam kitab al-Bayān fi Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān dan Abu Syahbah dalam kitab al-Madkhal li Dirāsah ‘Ulūm al-Qur’ān.

Baca Juga: Kritik Sumber Ilmu Rasm Utsmaniy

Rasm Utsmani memiliki banyak manfaat, di antaranya:

Pertama, sambungan sanad dengan Alquran, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membaca atau meriwayatkannya kecuali dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Maka, seseorang yang hanya mengetahui kaidah bahasa Arab, tetapi tidak belajar Alquran dari orang lain yang memiliki sanad, tidak akan mengetahui cara membacanya dengan benar.

Hal itu karena sebagian kata dalam Alquran ditulis tidak sesuai dengan cara pengucapannya. Misalnya, beberapa awal surah ditulis dengan huruf-huruf yang tidak menunjukkan pengucapannya secara langsung. Maka, katakanlah -demi Allah- bagaimana seorang pembaca bisa tahu cara membaca “حم عسق”, “طسم”, “المص” dan yang lainnya? Orang yang hanya mengetahui bahasa Arab dan cara mengeja huruf, namun tidak belajar cara membaca dan melafalkan dari guru atau qari’, bisa jadi akan membacanya dengan tidak benar.

Sebab, pengucapan yang benar sangat tergantung pada talaqqi (belajar langsung) dan sima’ (mendengarkan) dari para qari’ dan huffaz (penghafal Alquran) yang telah mendalaminya. Sambungan sanad ini adalah salah satu kekhususan Alquran dibandingkan dengan kitab-kitab samawi lainnya. Dengan itulah Alquran tetap terjaga, sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ ۝٩

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-Hijr: 09)

Tidak diragukan lagi bahwa rasm khusus (yaitu Rasm Utsmani) memiliki pengaruh besar dalam menjaga sanad. Sebab, jika seluruh kata dalam Alquran ditulis sepenuhnya sesuai dengan pengucapannya, maka banyak orang akan berani membacanya tanpa sanad dan tanpa riwayat dari guru. Dengan demikian, mereka akan kehilangan ilmu mengenai berbagai cara membaca seperti madtakhfifimalahizhharidghamikhfa’, dan lainnya yang berkaitan dengan cara-cara membaca (talaqqi dan qira’at).

Kedua, petunjuk terhadap asal-usul gerakan harakat, seperti penulisan kasrah dengan huruf ya’, dan dhammah dengan huruf waw, sebagaimana dalam contoh: “وآت ذا القربى” dan “سأوريكم” Atau sebagai petunjuk terhadap asal-usul huruf, seperti penulisan kata shalat (الصلاة), zakat (الزكاة), hayat (الحياة), dan riba (الربا) dengan huruf waw sebagai ganti dari huruf alif.

Ketiga, petunjuk terhadap sebagian bahasa Arab yang fasih, seperti penulisan ha’ ta’nits (هـ) menjadi ta’ (ت) dalam bahasa suku Thayyi’, dan seperti penghilangan akhir fi’il mudhari’ yang mu’tal (berhuruf akhir huruf illat) tanpa adanya huruf jazm, seperti dalam ucapan:يوم يأتِ  – dalam bahasa suku Hudzail.

Baca Juga: Rasm ‘Utsmaniy antara Harus Dipertahankan atau Disesuaikan

Keempat, petunjuk terhadap makna yang tersembunyi dan halus, seperti penambahan huruf ya’ dalam firman Allah: “والسماء بنيناها بأييد” – dengan dua ya’ -sebagai isyarat terhadap kekuasaan Allah Swt., yang dengan kekuatan-Nya membangun langit, dan bahwa kekuatan itu tidak bisa disamai oleh kekuatan apa pun. Hal ini sesuai dengan kaidah terkenal:

زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى

Penambahan bentuk menunjukkan penambahan makna.

Begitu pula penambahan huruf alif dalam: “وجاىء بالنبيين” (Az-Zumar) dan “وجايء يومئذ بجهنم” (Al-Fajr) Penambahan ini berfungsi untuk memberikan efek kehebatan, pengagungan, ancaman, dan peringatan yang menggetarkan.

Kelima, memberikan makna yang berbeda-beda dengan cara yang tidak tersembunyi, seperti dalam memotong kata ‘أم’ pada firman Allah:

اَمْ مَّنْ يَّكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلًا ۝١٠٩

Atau, siapakah yang menjadi pelindung mereka (dari azab Allah)? (QS. An-Nisa: 80), dan menyambungkannya dalam firman Allah:

اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ۝٢٢

Ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus? (al-Mulk: 22)

Pemotongan ‘أم’ yang pertama dalam penulisan menunjukkan bahwa itu adalah ‘أم’ yang terputus (منقطعة) yang berarti “bahkan”. Sedangkan penyambungan ‘أم’ yang kedua menunjukkan bahwa ia bukanlah ‘أم’ yang terputus, melainkan ‘أم’ yang bersambung (متصلة). (Abu Syabhah, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, 358.)

Baca Juga: Problematika Kesalahan Penyalinan dalam Rasm ‘Utsmaniy

Keenam, mencakupnya (rasm) dalam beberapa tempat untuk lebih dari satu qira’ah, contohnya adalah penulisan kata فكهين  dari firman Allah SWT:

وَاِذَا انْقَلَبُوْٓا اِلٰٓى اَهْلِهِمُ انْقَلَبُوْا فَكِهِيْنَۖ ۝٣١

Dan apabila mereka kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira, dengan penghapusan huruf alif. Maka qira’ah yang menggunakan alif dianggap bahwa huruf tersebut dihapus dalam penulisan (rasm) karena ia termasuk jamak tashih (bentuk jamak yang benar). Maka penulisan kata ini tanpa alif menjadikannya sesuai dengan dua qira’ah sekaligus. (‘Abd al-Wahhāb al-Ghuzlān, al-Bayān fī Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān, 261.)

Alhasil, ilmu ini sangat penting untuk dipelajari, melihat banyak manfaat yang dapat diambil dan berpengaruh pada beberapa aspek dalam kajian ilmu Alquran, seperti penulisan dengan satu rasm yang bisa dibaca dengan dua qira’ah, penambahan dan pengurangan huruf yang mempengaruhi terhadap makna ayat yang membuat ayat-ayat tersebut indah dan terkesan dalam hati.

Masih ada banyak manfaat lainnya yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang membahas tentang ilmu Alquran secara umum dan dalam kitab rasm Utsmani secara khusus. karena setiap orang yang meneliti rasm Utsmani berusaha untuk mengungkap satu sisi dari sisi-sisi manfaat yang terkandung di dalamnya. Allahu a’lam.

Tabir Kontroversi: Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran

0
Tabir Kontroversi: Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran
Hukum Musik dalam Bingkai Tafsir Alquran (sumber: Unsplash).

Alunan nada dan irama telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia. Dari lantunan pengantar tidur hingga dentuman pesta ria, musik hadir mewarnai berbagai aspek kehidupan. Namun, ketika kita menelisik pandangan Islam, khususnya yang bersumber dari kitab suci Alquran, tentang seni suara ini, sebuah diskusi panjang dan terkadang penuh perbedaan pendapat mencuat.

Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana sebenarnya Alquran memandang musik? Apakah ada ayat-ayat yang secara eksplisit melarang atau membolehkannya? Artikel ini mengajak Anda untuk menyingkap tabir kontroversi seputar hukum musik dalam bingkai tafsir Alquran.

Kita akan menyelami berbagai pandangan yang berkembang di kalangan ulama, menelusuri ayat-ayat yang seringkali menjadi landasan argumentasi, dan mencoba memahami secara lebih mendalam bagaimana seni yang universal ini diposisikan dalam ajaran Islam.

Menelusuri Jejak Ayat: Landasan Interpretasi Larangan Musik dalam Alquran

Ketika mencari jawaban atas pertanyaan tentang status musik dalam Islam melalui Alquran, kita akan mendapati bahwa tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit dan tegas mengharamkan atau menghalalkannya dengan menyebut kata “musik” secara langsung. Justru, perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama bertumpu pada interpretasi (tafsir) terhadap beberapa ayat yang dianggap memiliki korelasi dengan topik ini.

Berikut merupakan ayat yang sering menjadi sorotan.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (Q.S. Luqman: 6).

Baca juga: Pandangan Imam al-Ghazali Mengenai Musik dan Nyanyian

Lafadz lahwul hadith (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) inilah yang menjadi perbedaan pendapat dalam pemaknaannya dan meyebabkan banyaknya terjadi perdebatan. Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lahwul hadith (perkataan tidak berguna) adalah nyanyian.

Mereka berpendapat bahwa hal-hal tersebut dapat melalaikan seseorang dari mengingat Allah dan cenderung mengarah pada perbuatan yang sia-sia, bahkan dosa. Penafsiran ini kemudian menjadi salah satu landasan utama bagi pandangan yang mengharamkan sebagian atau seluruh jenis musik.

Terdapat juga penafsiran lain dari lafadz “lahwul hadith” ini di kalangan ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dimaksud bukanlah semata-mata nyanyian, melainkan segala bentuk perkataan yang batil, dusta, dan tidak bermanfaat.

Memahami Dalil-dalil yang Mendasari Pandangan Permisif Terhadap Musik

Ayat Alquran yang dijadikan landasan dalil oleh orang-orang yang memperbolehkan musik dan lagu adalah dalam Q.S. Al-A’raf: 157 berikut.

وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ…

… Dan (Nabi) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…

Ulama menafsirkan kata “ṭayyibat” sebagai segala sesuatu yang baik, menyenangkan, dan tidak mengandung unsur keburukan atau kemudaratan. Jika musik dan lagu tidak mengandung lirik yang buruk, tidak melalaikan dari kewajiban agama, dan tidak mendorong pada perbuatan maksiat, maka ia termasuk dalam kategori “ṭayyibat”.

Penggunaan Q.S. Al-A’raf: 157 ini menunjukkan adanya upaya dari sebagian ulama untuk mencari landasan pembolehan musik dalam prinsip-prinsip umum Alquran yang menghalalkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat.

Baca juga: Tafsir Surah asy-Syu’ara dan Polemik Hukum Musik

Terdapat juga hadis sahih yang menerangkan bahwa bolehnya mendengar dan menyanyikan lagu. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang nyanyian di rumah Aisyah r.a., dan Rasulullah saw. berada di situ.

Berikut kisahnya. Suatu hari Abu Bakar r.a. masuk ke rumah Rasul. Di sana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedangkan Rasulullah terhalang oleh tirainya. Abu Bakar melarang keduanya, sehingga rasulullah membuka tirai sambil bersabda:

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ

“Wahai Abu Bakar, biarkanlah mereka (bernyanyi), karena hari ini adalah hari Id (hari raya).

Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah ini menjadi salah satu pilar penting bagi pandangan yang membolehkan musik dan nyanyian dengan batasan-batasan yang jelas sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Ia menunjukkan adanya fleksibilitas dalam Islam terkait hiburan yang sehat dan tidak melanggar nilai-nilai agama.

Kesimpulan

Hadis tentang nyanyian di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha pada hari raya menjadi dalil kuat bagi pandangan yang membolehkan, menunjukkan bahwa dalam konteks yang tepat dan dengan batasan tertentu, mendengarkan dan menyanyikan lagu diperbolehkan. Namun, para ulama yang membolehkan tetap memberikan syarat-syarat yang ketat, seperti lirik yang baik, tidak melalaikan kewajiban, tidak bercampur dengan kemaksiatan, dan niat yang baik.

Dengan demikian, isu hukum musik adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Kedua pandangan memiliki argumentasi dan dalil masing-masing. Umat Islam dianjurkan untuk menghormati perbedaan ini, memahami dasar dari setiap pandangan, dan memilih pendapat yang diyakini kebenarannya berdasarkan ilmu dan pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil syariat.

Al-Dakhil dalam Penafsiran Aliran Babiyah

0

Munculnya aliran Babiyah dalam perkembangan ajaran Islam menjadi sebuah sejarah yang cukup fenomenal. Aliran tersebut berkembang di Persia pada pertengahan abad ke-19, yang ditandai dengan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan. Pendiri aliran ini adalah Sayyid Ali Muhammad Syirazi atau dikenal dengan al-Bab.

Sekte Babiyah merupakan pecahan dari sekte Syiah Itsna Asy’ariyah, yang kemudian berkembang menjadi sekte Bahaiyah dengan mewarisi ajaran dan keyakinan yang dipopulerkan sebelumnya oleh sekte Babiyah. Pokok ajaran aliran Babiyah sangatlah menyimpang dari ajaran Islam, salah satunya adalah dalam konsep ketuhanan, yang mana al-Syirazi mengklaim bahwa dirinya adalah inkarnasi Tuhan.  (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 30-31)

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Potret Kitab Tafsir Aliran Babiyah

Salah satu kitab milik mereka yang terkenal adalah Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, jika ditelaah kitab ini memiliki sistematika dan struktur yang unik dalam penyusunannya. Setiap bab atau surah dalam kitab ini diatur dengan rapi dan dijelaskan secara mendalam dengan gaya penyampaian yang mirip dengan Alquran.

Kitab ini secara khusus menafsirkan surah Yusuf yang terdiri dari 111 ayat (dalam kitab disebutkan surah), maksud surah di sini adalah nama dari setiap ayat pada surah Yusuf yang berjumlah 111, dan setiap ayat memiliki nama masing-masing dengan menggunakan diksi surah, seperti ayat pertama dinamakan surah ulama ayat kedua dinamakan surah al-Iman dan seterusnya. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.1)

Dalam penulisan dan penjelasan ayat, kitab ini mengikuti gaya bahasa dan struktur seperti Alquran, termasuk pemilihan kata yang tinggi nilai sastranya dan pemanfaatan ungkapan-ungkapan yang penuh makna. Kitab ini menggunakan bahasa Arab yang tinggi dan mengikuti pola penyusunan ayat yang terinspirasi dari bahasa wahyu, yang bertujuan agar pesan-pesan yang disampaikan dapat meresap mendalam pada pembaca atau pendengarnya. Setiap ayat ditulis dengan pendekatan yang berfungsi baik sebagai pesan spiritual maupun sebagai simbol-simbol tertentu dalam mistisisme Islam.

Baca Juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

Contoh Penafsiran Ayat dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf

Penafsiran Q.S. Yusuf ayat 4 dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, sebagai berikut:

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”.

Ayat ini membahas tentang mimpi Nabi Yusuf yang melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang bersujud kepadanya. Menurut aliran Babiyah, mimpi ini dihubungkan dengan peristiwa besar, yaitu kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad. Dalam pandangannya, Yusuf yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Husain, matahari diibaratkan sebagai Fatimah, bulan sebagai Nabi Muhammad, dan bintang-bintang sebagai para imam yang merupakan keturunan Nabi. Mereka semua bersujud kepada Husain sebagai simbol kepatuhan dan kebenaran. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.16-17)

Al-Dakhil Dalam Penafsiran Q.S Yusuf ayat 4

Ad-dakhil merupakan istilah dalam ilmu tafsir yang merujuk pada segala bentuk unsur asing atau hal-hal yang disusupkan ke dalam tafsir Alquran, baik berupa ideologi, keyakinan, maupun pemikiran yang tidak bersumber dari metode penafsiran yang sahih. Unsur ini biasanya muncul ketika penafsiran dipaksakan agar sesuai dengan kepentingan tertentu, baik bersifat politik, sektarian, ataupun ajaran kelompok tertentu.

Baca Juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4

Dalam konteks penafsiran Qayyum al-Asma’, terlihat jelas bagaimana ayat-ayat Alquran ditakwilkan secara bathiniyah, sehingga penafsirannya sesuai dengan ajaran mereka. (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 32), seperti memaknai Nabi Yusuf sebagai Husain bin Ali, matahari sebagai Fatimah, dan bulan sebagai Nabi Muhammad.

Penakwilan semacam ini tidak hanya keluar dari makna lahiriah teks, namun juga bertujuan untuk memperkuat doktrin internal mereka. Penafsiran seperti ini termasuk dalam kategori ad-dakhil fi al-tafsir, karena menyisipkan makna yang tidak berasal dari dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Dengan demikian, keberadaan unsur ad-dakhil dalam penafsiran aliran Babiyah menjadi pelajaran penting agar penafsiran Alquran senantiasa dilakukan dengan kehati-hatian dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini demi menjaga kemurnian makna Alquran dari penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dapat menyesatkan umat.

Keutamaan Doa di Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah

0
Keutamaan Doa di Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah
Dua Ayat Terakhir Surah Al-Baqarah

Penutup sebuah surah memiliki nilai istimewa yang setara dengan keindahan di awal surah. Hal ini karena penutup merupakan bagian terakhir yang didengar oleh orang yang menjadi sasaran pembicaraan (khitab). Oleh sebab itu, bagian akhir surah disusun dengan makna-makna yang indah dan mendalam (Yenda Mulya).

Dari seluruh surah yang ada dalam Alquran, hanya surah al-Baqarah yang diakhiri dengan sebuah doa. Hal ini menjadi sebuah keunikan tersendiri, karena tidak ada surah lain yang menempatkan doa di bagian penutupnya. Sementara itu, pada surah-surah lain, meskipun terdapat doa, letaknya tidak berada di akhir surah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 285-286

اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖ ۗ وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Alquran) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.”

Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Albaqarah

Dalam Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa dua ayat terakhir surah al-Baqarah memiliki hubungan yang sangat kuat dengan bagian awal surah, sekaligus menjadi rangkuman dari berbagai pembahasan yang terdapat dalam surah al-Baqarah.

Begitu juga menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Ia mengutip Al-Biqa’i yang menjelaskan bahwa penutup surah Al-Baqarah dinilai sangat selaras dengan bagian pembukanya. Di awal surah, digambarkan sifat-sifat orang beriman yang meyakini kitab suci bebas dari keraguan. Sementara itu, bagian akhir surah memuat pernyataan keimanan terhadap wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt, setelah sebelumnya membahas tentang infak yang juga merupakan tema awal surah ini. Ayat-ayat di awal dan akhir surah disusun dengan harmonis dan saling berkaitan.

Doa yang Utama

Dalam surah Al-Baqarah, Allah Swt. memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad (berperang), sehingga wajar bila di akhir surah ini mereka memohon kepada Allah dengan doa, “Tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir…” Nabi Muhammad saw. menjelaskan keutamaan doa tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud r.a., beliau berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمُ (مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتِينَ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ)

Dari Abu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa yang membaca dua ayat terakhir surah al-Baqarah pada malam hari, kedua ayat itu akan melindunginya (dari kejahatan setan).

Dijelaskan di dalam kitab Fathul Bari, bahwa makna sabda Nabi Muhammad saw. “kafataahu” adalah bahwa dua ayat terakhir surah Al-Baqarah akan melindungi orang yang membacanya dari berbagai keburukan dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut akan menjaga seseorang dari gangguan setan, sehingga setan tidak mampu mendekatinya sepanjang malam. Pendapat lain menyebutkan bahwa Allah Ta‘ala akan mencukupinya dengan limpahan karunia dan pahala yang agung. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar bahwa ketiga pendapat tersebut bisa jadi semuanya benar.

Baca juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Doa yang terdapat di akhir surah al-Baqarah memiliki keterkaitan yang kuat dengan isi keseluruhan surah tersebut. Surah al-Baqarah memuat berbagai penjelasan mengenai kelompok-kelompok yang dipandang negatif dalam Alquran, seperti kaum Yahudi dan Nasrani. Beberapa ayat bahkan menguraikan secara rinci berbagai bentuk penyimpangan dan keburukan mereka melalui kisah-kisah tertentu (Tanāsuq al-Durar Fi Tanāsub al-Suwar).

Hal ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam doa penutup surah al-Baqarah, yang secara garis besar merupakan permohonan kepada Allah agar kita tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang disebutkan sebagai golongan sesat, serta memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan yang berasal dari mereka.

Cara Atasi Inner Child yang Terluka dengan Alquran

0
Inner child yang terluka
Inner child yang terluka

Diskusi tentang seluk-beluk manusia tidak akan pernah habis. Salah satunya pembahasan tentang kondisi psikologis manusia. Sebagian besar perilaku dan cara manusia bereaksi akan suatu hal dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Pengalaman yang diberikan oleh keluarga dan orangtua dalam mengasuh anak menjadi faktor terbesar perilaku terbentuk serta mempengaruhi inner child seseorang.

Pengertian Inner Child

Inner child merupakan kumpulan kejadian yang dialami oleh individu semasa kecil (Stephen A Diamond, Essential Secrets of Psychotherapy: The Inner Child, 2008). Pengalaman tersebut menjadi bagian dari seseorang yang berdampak hingga masa dewasa. Beberapa pengalaman negatif yang dapat menyebabkan inner child yang terluka adalah pengabaian dari orang terdekat, kekerasan secara fisik maupun emosional.

Baca juga: Mental Illness dalam Kajian Semantik Alquran

Inner child yang terluka mempengaruhi perilaku, emosi seperti takut, cara merespon atau berinteraksi, serta kesusahan dalam menjalani suatu hubungan. Permasalahan tersebut tentunya merugikan diri sendiri maupun orang lain. Karenanya diperlukan penyembuhan terhadap inner child yang terluka.

Alquran sebagai penyembuh

Alquran menawarkan berbagai solusi terhadap permasalahan manusia, salah satunya sebagai sarana untuk self-healing atau penyembuhan diri. Penyembuhan penyakit dapat dilakukan dengan Alquran karena spiritualitas seseorang terbangun melalui pembacaan firman-firman Allah Swt. (Mas’udi & Istikomah, Terapi Qur’ani Bagi Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, 141). Konsep self healing yang ditawarkan oleh Alquran di antaranya:

  1. Mengingat Allah

Sebagaimana yang tercantum dalam Alquran, Surah ar-Ra’d (13): 28

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan hati dan menyembuhkan luka batin adalah dengan berdzikir untuk mengingat Allah.

Dalam dunia Psikoterapi Islam, kegiatan berdzikir sendiri biasa dijadikan terapi penyembuhan. Menurut Ibn al-Qayyim, ayat Alquran atau doa yang digunakan untuk terapi memiliki efek yang menyembuhkan. Hanya saja, untuk bisa mencapai kesembuhan tersebut diperlukan sikap penerimaan terhadap pengobatan yang dilakukan (Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani, 184).

Baca juga: Keseimbangan Perspektif Al-Qur’an Sebagai Terapi Self-Healing

Ibn al-Qayyim juga menyatakan bahwa penyakit hati seperti kesusahan dan kegelisahan dapat disembuhkan dengan bacaan Alquran dan kalimat-kalimat thayyibah. Sebagaimana sabda Nabi saw.:

“Maukah kalian aku kabari tentang sesuatu, yang apabila ada seseorang di antara kamu mengalami kesedihan atau suatu cobaan dunia lalu membaca doa ini pasti Allah akan melapangkannya? Ya. Nabi Saw bersabda, yaitu doanya Dhu al-Nun: “Tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Achmad Zuhdi, Terapi Qur’ani, 208)

  1. Memaafkan

Memaafkan orang-orang yang pernah melukai diri kita di masa lampau sangat berpengaruh pada kesehatan mental kita, khususnya dalam proses penyembuhan terhadap inner child. Memaafkan akan melepaskan beban emosional yang mengendap di hati. Seperti yang tercantum dalam Alquran Surah Ali Imran (3): 134

الَّذِيۡنَ يُنۡفِقُوۡنَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ​ۚ

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.

Menurut Shihab, terdapat tiga jenjang sikap manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 3, 221). Yaitu yang mampu menahan amarah, meskipun perasaan masih bergejolak, dan berpikir untuk membalas, namun mampu menahan dan tidak menuruti kata hati maupun pikiran.

Tingkat selanjutnya yaitu memaafkan. Kata al-‘afina berasal dari kata al-‘afw yang biasa diterjemahkan sebagai kata maaf. Kata ini bermakna antara lain menghapus. Memaafkan orang lain berarti menghapus bekas luka hati akibat kesalahan orang lain terhadap diri. Seakan menganggap tidak ada suatu kesalahan. Pada tingkatan ini, seseorang berpotensi untuk tidak memiliki hubungan dengan orang yang melakukan kesalahan.

Tingkatan terakhir merupakan tingkatan yang disukai Allah Swt., yaitu mereka yang menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadap mereka yang melakukan kesalahan.

  1. Menerima Takdir

Dengan menerima takdir rasa penyesalan dan marah akan berkurang. Menerima takdir berarti menerima apa saja yang pernah kita alami di masa lalu merupakan keputusan Allah Swt. Cara tersebut dapat mempengaruhi proses penyembuhan inner child dengan lebih baik. Allah Swt. berfirman dalam Surah at-Taghabun (64) :11

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dari ayat tersebut, kita dapat melihat bahwa dengan mengimani takdir ada di tangan Allah Swt maka hati akan merasa tenang terhadap apapun yang menimpa. Baik itu kesenangan maupun kesedihan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 14, 274)

Disamping itu, kita juga harus memperbaiki diri, memberikan rasa aman dan nyaman terhadap diri. Di dalam al-Qur’an juga tercantum ayat yang memberikan kenyamanan dan ketenangan hati, khususnya bagi yang mengalami inner child. Di antaranya:

a. Ayat terkait penerimaan dan nilai diri (Surah at-Tin (95): 4) (Moch. Bashori Alwi, Tafsir Surat al-Tin dalam Tafsir Tahrir wa al-Tanwir Perspektif Maqasid al-Qur’an, 322)

b. Ayat tentang kesepian dan ditinggalkan (Surah ad-Dhuha (95): 3-5) (Muhammad Andri Setiawan & Karyono Ibnu Ahmad, Keterampilan Resiliensi dalam Surah Ad Dhuha, 42-45)

Baca juga: Stay Positive: Semua yang Datang dari Allah Adalah Baik

Dari pemamparan di atas, dapat kita pahami bahwa penting untuk mengobati hati yang terluka karena pengalaman yang tidak menyenangkan di masa kecil. Karenanya, melalui Alquran kita dapat mengetahui obat untuk menyembuhkan diri. Dengan mengingat Allah Swt, memaafkan orang yang pernah menyakiti, menerima takdir dari Allah Swt akan sangat berpengaruh pada proses penyembuhan inner child.

Marak Fenomena Flexing, Ini Perbedaan  Syukur dan Pamer dalam Islam

0
Perbedaan flexing dan tahaddus bin ni'mah
Perbedaan flexing dan tahaddus bin ni'mah

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di era teknologi dan komunikasi yang canggih. Kehidupan masa kini pun mengalami perubahan signifikan. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi masyarakat adalah media sosial. Pada dasarnya, media sosial berfungsi sebagai platform yang memudahkan seseorang untuk berkomunikasi dan sebagai sarana berjualan. Akan tetapi, nyatanya, banyak masyarakat yang menjadikan media sebagai ajang pamer kekayaan. Perilaku seperti itu sedang marak dan disebut sebagai fenomena flexing. (Mutmainnah, Fenomena Flexing Dalam Ekonomi Islam, 32)

Baca juga: Sikap Alquran Terhadap Flexing Culture

Bahaya Flexing bagi Kehidupan Bermasyarakat

Flexing dalam konteks masa kini diartikan sebagai kebiasaan untuk memamerkan harta benda khususnya di media sosial. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya mengaitkan fenomena ini dengan kata bagha, yang berarti melampaui batas atau berbuat zalim. Kata ini dapat merujuk pada kesombongan seseorang akibat harta yang dimilikinya atau bisa disebut dengan riya’ (pamer). (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid 20, 160)

Quraish Shihab berpendapat bahwa flexing adalah perlakuan untuk memamerkan harta dengan tujuan mendapat pujian dari orang lain. (Fikri, Fenomena Flexing perspektif al-Qur’an, 38)

Pada dasarnya, popularitas bisa diraih ketika seseorang mampu menunjukkan nilai yang dimilikinya. Kelebihan yang diperoleh melalui kerja keras akan membangun personal branding secara alami. Namun, kenyataannya justru terbalik, banyak yang berusaha menampilkan kekayaan instan demi validasi sosial. Cara yang digunakan seringkali juga tidak sehat, bahkan ada yang berhutang hanya untuk menampilkan kemewahan yang semu. Hal ini membuktikan bahwa flexing memiliki dampak negatif serius yang perlu disadari oleh masyarakat.

Menariknya, fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah bahkan mencatat bagaimana kisah Fir’aun dan Qarun berakhir tragis. Dua tokoh terdahulu tersebut dihukum Allah akibat kesombongan yang lahir dari perilaku flexing. Kisah ini tercatat dalam surah al-Qashash. Fir’aun disebutkan dalam ayat 38 dan Qarun pada ayat 77. Berikut bunyi ayat-ayat tersebut:

Kesombongan Fir’aun:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى فَأَوْقِدْ لِى يَٰهَٰمَٰنُ عَلَى ٱلطِّينِ فَٱجْعَل لِّى صَرْحًا لَّعَلِّىٓ أَطَّلِعُ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُۥ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ

“Dan Fir’aun berkata: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.”

Dalam al-Munir karya Wahbah Zuhaili ayat tersebut menceritakan tentang pengakuan Fir’aun sebagai tuhan yang patut disembah oleh rakyatnya karena keperkasaannya sebagai seorang raja. Bahkan dialog Fira’un dan Musa menandakan tentang penafian Tuhan selain dirinya. Menurut ar-Razi, pengakuan Fir’aun sebagai Tuhan tidak mengharuskannya untuk bisa menciptakan sesuatu, melainkan keharusan untuk mengagungkan dan menyembahnya secara mutlak. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 10, 387)

Kesombongan Qarun:

 اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْۖ وَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ

“Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”

Begitupun Qarun yang juga berbuat Zalim kepada sanak saudaranya untuk mengikuti setiap perintah. Saat penasehat datang dari kalangan bani Israil, Qarun menyombongkan harta dan keilmuwannya bahwa semua yang dilakukan adalah hasil kerja kerasnya bukan atas bantuan Allah Swt. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 10, 427)

Dari dua contoh di atas kita bisa mengambil benang merah larangan untuk melakukan flexing dari segi jabatan, harta atau yang lain dengan meniatkan diri untuk dipandang tinggi. Sifat yang akan timbul setelah flexing adalah sifat sombong. Allah sangat membenci sifat sombong karena seseorang akan merasa kuat tanpa bantuan Allah serta makhluk lain. Larangan sifat sombong terletak pada surah Luqman ayat 18 yang berbunyi:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”

      Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan tentang bahaya flexing bagi kehidupan sosial masyarakat.

  1. Masyarakat akan menjadikan tolak ukur kebahagiaan berupa hal yang tampak yakni harta. Penampakan masyarakat yang terlalu berfokus pada harta akan menjadikan seseorang yang tidak memiliki harta melimpah dan barang mewah akan dipandang sebelah mata.
  2. Memberikan pendidikan buruk pada seseorang untuk menjadi konsumtif. Seorang yang flexing akan membeli barang yang diinginkan bukan dibutuhkan untuk mendapat validasi dari orang yang melihatnya.
  3. Dampak buruk terbesar adalah melakukan praktik apapun untuk mendapat banyak harta. Seorang yang sudah memiliki sifat pamer dalam dirinya akan membenarkan segala cara untuk mendukung mendapatkan harta yang diinginkan

Perbedaan Flexing dan Tahadduts bin Ni’mah

Manusia zaman sekarang perlu mengembangkan sifat yang dapat melawan budaya flexing yang berujung pada kesombongan. Salah satu sifat yang diajarkan dalam Alquran adalah tahadus bi al-ni’mah (menyebut-nyebut nikmat dengan rasa syukur), sebagaimana tercantum dalam surat al-Dhuha ayat 11:

وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).”

Dalam kitab Mafatih al-Ghaib karya Fakrudin al-Razi dijelaskan bahwasanya tahadus bi al-Ni’mah merupakan pengagungan atas nikmat yang diberikan oleh Allah tanpa melibatkan unsur riya’ atau sombong. Menyampaikan nikmat juga bertujuan sebagai teladan, agar orang lain terdorong untuk meneladani kebaikan tersebut.

Seperti kisah Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tentang keutamaan para sahabatnya. Kemudian ada seseorang yang berkata “ceritakanlah tentang dirimu.” Ali pun menjawab “Sungguh Allah melarang memuji dirinya sendiri.” Kemudian orang itu berkata “bukankah Allah telah berfirman” “Dan terhadap nikmat tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan?” Maka Ali pun menjawab keutamaan yang dimiliki olehnya. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Jilid 31, 201)

Perbedaan mendasar antara flexing dan tahadus bi al-ni’mah terletak pada sikap hati dan pengakuan atas sumber nikmat. Flexing berpusat pada diri sendiri, seolah-olah kesuksesan murni hasil usaha pribadi, sementara tahadus bi al-ni’mah  selalu melibatkan Allah sebagai pemberi nikmat, sehingga dapat menghilangkan kesombongan.

Kesimpulannya, tahadus bi al-ni’mah tidak hanya mengurangi kebanggan diri, bahkan bisa menghapusnya, karena semua kenikmatan yang diperoleh diyakini milik Allah semata. Dengan demikian, menyebut nikmat justru menjadi sarana untuk bersyukur bukan ajang untuk pamer atas apa yang didapatkan.

Q.S Al-Anbiya’ Ayat 30: Teori Big Bang dalam Perspektif Alquran

0

Kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti alam semesta, sehingga kosmologi adalah ilmu yang mempelajari asal-usul dan perkembangan alam semesta, adapun salah satu teori besar yang sering dibahas adalah Teori Big Bang.

Dalam buku berjudul Kosmologi karya Fabian H. Chandra (hlm. 82), menyebutkan bahwa pada tahun 1931, seorang astrofisikawan dan pendeta asal Belgia bernama Georges Lemaitre, ia mencetuskan gagasan bahwa alam semesta bermula dari satu titik rapat, lalu berkembang menjadi seperti sekarang.

Gagasan Big Bang mendapatkan sambutan luas, terutama setelah Edwin Hubble mengemukakan bahwa alam semesta mengembang. Para ilmuwan Big Bangist kemudian mulai mempelajari bagaimana alam semesta berkembang sejak awal. Big Bang bukanlah ledakan seperti bom, melainkan proses di mana ruang dan materi mengembang, seperti balon yang ditiup.

Perluasan ini terjadi di seluruh ruang, bukan hanya pada satu titik. Menariknya, konsep awal penciptaan alam semesta telah disinggung lebih dahulu dalam Alquran, yakni dalam surah al-Anbiya’ ayat 30. Ayat tersebut memuat isyarat yang sejalan dengan Teori Big Bang yang baru dikembangkan dalam sains modern.

Baca Juga: Mencari Titik Temu Sains dan Alquran

Penafsiran Surah Al-Anbiya’ Ayat 30

أَوَلَمْ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan riwayat dari ‘Athiyyah al-‘Aufi berkata, “Dahulu, alam ini bersatu, tidak menurunkan hujan, lalu hujan pun turun, tidak menumbuhkan tanaman, lalu tumbuhlah tanaman.” Disebutkan pula riwayat Isma’il bin Abi Khalid, “Aku bertanya pada Abu Shalih al-Hanafi tentang firman Allah ‘أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا’, Abu Shalih menjawab, “Dahulu langit itu satu, kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis langit, bumi dulunya satu yang kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis bumi.”

Sa’id bin Jubair berkata, “Bahkan, dahulu langit dan bumi saling bersatu padu. Lalu, ketika langit diangkat dan bumi dihamparkan, maka itulah pemisahan keduanya yang disebut Allah dalam firman-Nya.” Al-Hasan dan Qatadah menyebutkan bahwa langit dan bumi dahulu menyatu, keduanya dipisahkan dengan udara. (Alu Syaikh, Lubatut Tafsir Min Ibni Katsir Jilid 5, 2003, hlm. 447–448)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Atha’, adh-Dhahhak dan Qatadah mengatakan, “Yakni, bahwa itu dulunya sesuatu yang menyatu saling menempel, lalu Allah memisahkan antara keduanya dengan udara.” Dikatakan pula oleh Ka’b, “Allah menciptakan langit dan bumi sebagiannya di atas sebagian lainnya, kemudian menciptakan angin di tengahnya sehingga langit dan bumi terpisah, Allah menjadikan langit maupun bumi menjadi tujuh.” (Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 11, 1993, 283)

Menurut al-Qurthubi sendiri dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al Qur’an (Juz 11, 284), dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran berdasarkan kesaksian dan bukti yang tampak. Karena itu Allah juga mengabarkan ini di selain ayat ini untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan juga tentang pembangkitan kembali serta pembalasan amal perbuatan.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 8, 442 – 443), Quraish Shihab menafsirkan kata “رتقا” ratqan dari segi bahasa berarti terpadu, sedang kata “فتقناهما” fataqnahuma dari kata “فتق” fataqa yang berarti terbelah atau terpisah. Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, ada yang memahaminya dalam arti langit dan bumi merupakan satu gumpalan yang terpadu, kemudian Allah membelah langit dan bumi dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di bumi.

Ada juga yang berpendapat bahwa Allah memisahkan dengan cara mengangkat langit ke atas dan membiarkan bumi tetap berada ditempatnya, keduanya terpisah karena udara. Menurut Thabathaba’i, terulangnya berkali-kali kehidupan dan kematian yang terlihat menunjukkan bahwa suatu ketika langit dan bumi pernah merupakan kesatuan (gumpalan), kemudian atas kehendak Allah Swt, keduanya dipisahkan.

Penutup

Ayat ini dipahami oleh sementara ilmuwan sebagai salah satu mukjizat Alquran yang mengungkap peristiwa penciptaan, banyak teori ilmiah yang dikemukakan oleh para pakar dengan bukti yang cukup kuat, salah satunya Teori Big Bang. Meskipun tidak dapat diklaim bahwa Alquran secara langsung mendukung teori ilmiah tersebut, tidak ada salahnya jika teori tersebut memperkaya pemahaman dalam menafsirkan firman Allah Swt.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Alquran memanglah sumber ilmu yang melahirkan berbagai disiplin ilmu lainnya. Banyak konsep dalam Alquran yang seiring berjalannya waktu terbukti selaras dengan temuan ilmiah, menunjukkan bahwa wahyu Allah Swt dapat menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun korelasi antara sains dan Alquran menunjukkan bahwa ilmu yang terkandung dalam Alquran tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam pemahaman ilmiah.

Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri

0

Perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam dunia tafsir merupakan sesuatu yang biasa terjadi. Begitupun dengan tafsir dari kalangan Syiah, mereka mempunyai metode sendiri, yang berbeda dengan tafsir-tafsir pada umumnya. Khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat “ulil amri”, dalam Alquran sendiri terdapat dua ayat yang mengandung kata “ulil amri” yakni dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 dan ayat 83. Namun, sebelum masuk lebih dalam tentang penafsiran dari tafsir Syiah ini, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu tentang sejarah singkat dan metode penafsiran yang digunakan oleh tafsir Syiah pada umumnya.

Sejarah Tafsir Syiah

Menurut Rosihon Anwar, kemunculan tafsir dalam tradisi Syiah berkaitan erat dengan lahirnya doktrin Imamah, yaitu keyakinan bahwa kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat harus dipegang oleh para Imam dari Ahlulbait. Perkembangan ini juga terjadi seiring dengan kemunculan Syiah Zaidiyyah, serta semakin terlihat pada masa kemunculan Syiah Ismailiyah sekitar tahun 147 Hijriah. Beberapa pandangan menyebut bahwa tradisi tafsir Syiah mulai tumbuh sejak masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Metode Penafsiran Tafsir Syi’ah

Mufassir dari kalangan Syiah memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan Alquran. Mereka lebih menekankan pada makna batin dari ayat-ayat Alquran. Secara umum kaum Syiah menggunakan pendekatan penafsiran esoteric-sentris (metode takwil) dalam memahami Alquran. Dalam metode takwil, penafsiran lebih diarahkan untuk mencari makna yang lebih dalam, kadang bersifat simbolik atau kiasan, dan biasanya dipakai untuk memahami ayat-ayat yang mempunyai makna tersembunyi atau tidak langsung.

Baca Juga: Q.S. Alan’am Ayat 159: Faktor Perpecahan Internal Umat Islam dan Solusinya

Contoh Penafsiran dari Tafsir Syiah.

  1. An-Nisa’(4):59

يَٰۤاءَيُّهاَ الّذِينَ ءَامَنُوۤا اَطيعُواْ اللَّهُ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَاُوْلِي الْأَمْرِ مِنكٌمْ ۖ….

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil amri (pemegang kekuasaan)…

Dalam tafsir Al-Shafi, al-Kasyani mengutip dari kitab-kitab Syiah seperti Al-Kafi dan Tafsir Al-Ayyashi yang menjelaskan bahwa “ulil amri” dalam ayat tersebut adalah para imam dari keturunan Nabi Muhammad, yaitu Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, dan keturunan mereka yang dianggap ma’shum (suci). Dalam pandangan syiah, kepemimpinan umat Islam setelah Nabi bukan ditentukan lewat pemilihan politik, tetapi melalui garis keturunan Ahlul Bait. Imam Al-Baqir dan Imam Ash-Shadiq menegaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil amri diantara kalian” adalah para imam dari Ahlul Bait. Ketaan kepada mereka tidak hanya diwajibkan dalam konteks keagamaan, tetapi juga sebagai penerus dari kekuasaan setelah wafatnya Nabi Muhammad. (Muhsin al-Kasyani, Tafsir al-Shafi, Jilid 2, hal. 257-269)

Pandangan serupa juga disampaikan oleh al-Tabarsi dalam tafsirnya Majma’ al-Bayan. Ia menjelaskan bahwa “ulil amri” yang disebut dalam surah An-Nisa ayat 59 adalah para imam dari keluarga Nabi (ahlul bait). Ia mengutip Riwayat dari imam al-Baqir dan Imam Ja’far al-Shidiq yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan ketaatan kepada mereka, sebagaimana kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut al-Tabarsi, ketaatan mutlak hanya bisa diberikan kepada orang yang ma’shum, yaitu yang dijaga dari kesalahan dan dosa. Karena itu, ia menolak pendapat yang menyamakan ulil amri dengan pemimpin politik atau ulama biasa yang bisa berbuat salah. Baginya, para imam Ahlul Bait adalah penerus Nabi. Mereka dianggap memiliki ilmu dan bimbingan langsung dari Allah, sehingga pantas dijadikan panutan utama dalam memimpin umat setelah nabi wafat. (Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid 3, hal. 96)

Baca Juga: Kodifikasi Tafsir Jalalain; Kritik Terhadap Penulis Kasyf al-Zunnun

  1. An-Nisa’(4):83

وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُلِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ…

“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”

Dalam kitab nya Al-Mizan fi tafsir ‘l-Quran, Thabathaba’i menafsirkan ayat “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 83 tidak jauh beda dengan pemaknaan “ulil amri” dalam surah An-Nisa’ ayat 59. Ia mengulas satu persatu penafsiran kata “ulul amri” yang ada dalam tafsir pada umumnya. Mulai dari para pemimpin pasukan, para Ulama, Khulafaur Rasyidin, Orang yang berpengaruh hingga para pemerintah di era modern. Menurutnya, kelompok-kelompok itu tidak memiliki wewenang atau keistimewaan untuk menganani persoalan yang mengguncang umat, dan tidak ada bukti kuat dari Alquran atau hadis shahih yang mendukung penafsiran-penafsiran tersebut. Di akhir penafsirannya Thabathaba’i menyimpulkan bahwa “ulil amri” yang dimaksud dalam ayat ini adalah para pemimpin yang maksum yaitu dua belas imam suci penerus Nabi Muhammad. (AL-MIZAN An Exegesis of the Holy Qur’an, Volume 9, hal. 30-32)

Dari ketiga penafsiran mufassir Syiah di atas, mereka sepakat bahwa makna ayat “ulil amri” dalam Alquran mengacu pada para imam dari keturunan nabi Muhammad (ahlul bait) yang suci (ma’shum), seperti Imam Ali, Hasan, Husain dan seterusnya. Para mufassir Syiah seperti Al-Kasyani, Al-Tabarsi, dan Thabathaba’I menekankan bahwa kepemimpinan umat setelah wafatnya Nabi bukan berdasarkan sistem politik atau pemilihan umum seperti yang di tafsirkan oleh para mufassir-mufassir umumnya.

Ta’aruf Qur’ani: Jembatan Melintasi Polarisasi

0
Ta'aruf Qur'ani: Jembatan Melintasi Polarisasi
Ta'aruf Qur'ani: Jembatan Melintasi Polarisasi (sumber: Unsplash)

Di tengah era digital yang terbelah oleh algoritma dan politik identitas, Alquran telah menawarkan konsep revolusioner empat belas abad silam: ta’aruf—proses saling mengenal yang mendalam. Konsep ini menyediakan kerangka etis untuk menjembatani jurang pemisah dalam masyarakat kontemporer yang terpolarisasi.

Keragaman untuk Saling Mengenal

Allah Swt. berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Ibnu Katsir (26/258) menjelaskan bahwa ayat ini hadir sebagai transisi dari petunjuk interaksi sosial menuju introspeksi personal. Ayat ini merespons fenomena pada masa jahiliah ketika setiap suku membanggakan diri dan menghina suku lain. Beberapa kabilah seperti Bahilah, Dhabi’ah, dan Bani ‘Akl sering menjadi objek penghinaan. Sebuah riwayat menceritakan tentang seorang Badui yang ditanya: “Apakah engkau ingin masuk surga meskipun engkau dari Bahilah?” Ia menjawab: “Ya, dengan syarat penduduk surga tidak tahu saya dari Bahilah.” Menurut Ibnu Katsir, fanatisme kesukuan inilah yang melahirkan berbagai penyakit sosial seperti ejekan, pencemaran nama baik, dan prasangka buruk.

Al-Maraghi (26/143) memperkuat penjelasan ini dengan menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut. Ketika Bilal bin Rabah, sahabat berkulit hitam dan mantan budak, mengumandangkan azan di atas Ka’bah saat pembebasan Makkah, beberapa tokoh Quraisy membuat komentar “rasis.” ‘Attab bin Usaid berkata: “Alhamdulillah ayahku telah wafat dan tidak menyaksikan hari ini.” Harith bin Hisham bertanya: “Tidakkah Muhammad menemukan selain burung gagak hitam ini untuk menjadi muadzin?” Al-Maraghi menegaskan bahwa ayat ini turun sebagai teguran atas kesombongan berbasis keturunan dan kekayaan, sambil menetapkan bahwa kemuliaan hanya diukur dengan ketakwaan.

Baca juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme

Bagi mereka yang terkurung dalam gelembung informasi dan menolak membuka diri pada perspektif berbeda, ayat ini membawa pesan mendasar: keragaman bukanlah ancaman yang harus dihindari, melainkan desain ilahi untuk proses ta’aruf—saling mengenal secara mendalam. Di era algoritma yang mengarahkan manusia hanya pada konten yang mengonfirmasi bias yang sudah ada, ayat ini menjadi panggilan ilahi untuk secara aktif mencari dan memahami sudut pandang yang berbeda.

Kata li ta’ārafū menggunakan bentuk resiprokal, menggarisbawahi proses dua arah yang jauh melampaui konsep ”toleransi” sepihak. Bagi mereka yang menolak perspektif berbeda, ayat ini menantang untuk tidak hanya menerima perbedaan, tetapi aktif mempelajarinya. Mereka yang hanya nyaman dalam homogenitas pandangan perlu menyadari bahwa sikap tersebut paradoksal dengan fitrah keragaman yang Allah ciptakan sebagai sarana untuk memperkaya pemahaman tentang kebesaran-Nya.

Keragaman sebagai Tanda Kekuasaan Allah

Allah Swt berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 22).

Al-Thabari (18/479) menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bukti kekuasaan Allah yang mampu menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit manusia. Beliau menafsirkan bahwa jika Allah mampu menciptakan keragaman ini, tentu Dia juga mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematian—sebuah fenomena yang sering diingkari oleh kaum musyrikin.

Al-Maraghi (21/38–39) menambahkan dimensi praktis dalam tafsirnya bahwa keragaman bahasa—Arab, Prancis, Inggris, Hindi, Mandarin, dan lainnya—memungkinkan untuk membedakan antara teman dan musuh, serta mengenali asal-usul seseorang. Keragaman bahasa dan fisik manusia merupakan kebutuhan esensial dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak terhitung banyaknya.

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 13

Bagi mereka yang menganggap perbedaan sebagai ancaman, ayat ini mengubah paradigma fundamental: perbedaan bahasa, warna kulit, dan latar belakang budaya bukanlah hasil kebetulan evolusioner atau konstruksi sosial semata, tetapi merupakan “ayat”—tanda-tanda kekuasaan Allah yang sengaja diciptakan untuk direnungkan. Menolak atau menghindari keragaman sama dengan mengabaikan kesempatan untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang termanifestasi dalam beragam ekspresi kemanusiaan.

Di era polarisasi digital di mana banyak orang secara aktif menghindari perspektif yang berbeda, ayat ini menyodorkan pemahaman bahwa keragaman merupakan dimensi spiritual yang tidak terpisahkan dari penciptaan. Bagi mereka yang terjebak dalam keseragaman pandangan, pengamatan mendalam terhadap keragaman bahasa dan fisik manusia dapat menjadi pintu masuk untuk mengapresiasi kompleksitas ciptaan Allah. Dengan mengabaikan keragaman, seseorang sesungguhnya kehilangan kesempatan untuk menjadi “orang-orang yang mengetahui” (lil-‘ālimīn) sebagaimana disebut di akhir ayat.

Kesatuan Asal Manusia

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Menurut Ibnu Ashur (2/298) ayat ini menegaskan bahwa perbedaan agama adalah fenomena yang muncul di tengah manusia karena adanya hikmah tertentu, dan Allah kemudian mengembalikan manusia pada kesatuan agama melalui Islam. Beliau menekankan bahwa semua manusia berasal dari orang tua yang sama, Adam dan Hawa.

Pada awalnya, umat manusia membentuk satu komunitas dengan temperamen dan gaya hidup yang serupa. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang condong pada kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Thin ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut Ibnu Ashur (2/303), akal yang sehat menjadi unsur terpenting dalam fitrah manusia ini, memungkinkan mereka untuk membedakan yang baik dan buruk serta mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Alquran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?

Bagi mereka yang terperangkap dalam identitas kelompok yang sempit dan eksklusif, ayat ini mengingatkan tentang kesatuan primordial umat manusia. Di era ketika politik identitas memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan, ayat ini menjadi pengingat bahwa fragmentasi identitas yang terlihat saat ini adalah deviasi dari kondisi asal manusia yang satu.

Frasa “kāna al-nāsu ummatan wāhidah” (manusia itu adalah umat yang satu) memberikan landasan ontologis untuk mengatasi polarisasi. Mereka yang tidak membuka diri pada dialog antarkelompok perlu menyadari bahwa sikap ini bertentangan dengan fitrah kesatuan manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan setelah manusia berkembang biak dan membentuk komunitas yang beragam. Namun, Allah telah menyediakan petunjuk melalui para nabi dan kitab suci untuk mengatasi perbedaan tersebut.

Dalam konteks ruang gema digital yang memperkuat polarisasi, ayat ini mengajak untuk kembali pada kesadaran akan asal kemanusiaan bersama. Alih-alih mengunci diri dalam identitas partisan yang sempit, setiap orang diingatkan bahwa di balik semua perbedaan ideologi, politik, dan keyakinan, terdapat kemanusiaan bersama yang berasal dari sumber yang sama. Kesadaran ini dapat menjadi fondasi untuk dialog yang melampaui sekat-sekat identitas.

Aplikasi Ta’aruf di Era Digital

Beberapa prinsip utama dari konsep ta’aruf yang dapat menjembatani polarisasi modern:

  • Kesatuan asal: mengenali bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama, sehingga menyediakan landasan dialog melampaui perbedaan identitas.
  • Keragaman sebagai ayat: memandang perbedaan bahasa, warna kulit, dan budaya sebagai tanda kekuasaan Allah, bukan sebagai ancaman.
  • Dialog multiarah: membangun komunikasi otentik yang berfokus pada pemahaman, bukan sekadar memenangkan argumen.
  • Ketakwaan sebagai standar: mengevaluasi diri dan orang lain berdasarkan integritas dan ketakwaan, bukan berdasarkan identitas kelompok.
  • Proaktif melintas batas: secara sadar mencari perspektif yang berbeda untuk melawan algoritma yang mempersempit pandangan.

Menghidupkan Ta’aruf, Merawat Kemanusiaan

Konsep ta’aruf yang digariskan Alquran menawarkan jalan keluar dari polarisasi yang mencengkeram masyarakat digital masa kini. Prinsip ini bukan sekadar seruan untuk toleransi pasif, melainkan undangan aktif untuk memperkaya diri melalui perjumpaan dengan keragaman. Dalam masyarakat yang terkotak-kotak oleh algoritma dan politik identitas, ayat-ayat tentang keragaman dan kesatuan asal manusia menjadi panduan profetik yang mengingatkan bahwa perbedaan adalah desain ilahi untuk saling memahami, bukan untuk saling menjauh.

Menghidupkan kembali prinsip ta’aruf dalam interaksi digital dan sosial memerlukan transformasi mendalam dalam cara memandang “yang lain.” Ini mengharuskan setiap individu untuk melampaui sekat-sekat identitas yang membatasi, dan kembali pada kesadaran bahwa di balik seluruh perbedaan politik, ideologi, dan budaya, terdapat kemanusiaan bersama yang mendambakan pengakuan, pemahaman, dan penghargaan. Dalam cara inilah manusia dapat menemukan jalan keluar dari labirin polarisasi menuju peradaban yang lebih berkeadaban. Wallahu ‘alam.