Beranda blog Halaman 5

Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

0

Moderasi beragama menjadi agenda penting dalam menjaga harmoni sosial, kebinekaan, dan perdamaian di masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Peraturan Presiden (Perpes) Moderasi Bergama Nomor 58 tahun 2023 bahwa Kementerian Agama (Kemenag) RI menjadi institusi yang menjadi leading sector implementasi moderasi beragama yang dengan berkolaborasi antar lintas sektor, termasuk media.

Sub Direktorat Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag, Muhammad Syafaat menyampaikan dalam kepemerintahan Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar bahwa moderasi beragama tidak hilang, namun istilahnya berubah menjadi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan ekoteologi.

Baca Juga: Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

“Istilah kerukunan di zaman Narasuddin Umar diganti namanya menjadi beragama maslahat yang dicanangkan menjadi jilid kedua yang bukan lagi berfikus pada isu internal umat beragama, antar agama dengan pemerintah, namun isu yang lebih baru yaitu agama dengan lingkungan, agama dengan kemanusiaan,” ujarnya dalam Acara Webinar Media Gathering pada Jumat (25/4/2025).

Ia mengatakan bahwa pelaksanaan kerukunan berpusat di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Badan Pengembangan Moderasi Beragama dan Sumber Daya Manusia (BMB/BPSDM).

“Sebanyak 89 persen umat di Indonesia ini beragama Islam, konflik paling tinggi setelah pasca-reformasi dari umat Islam yang melibatkan agama atau keyakinan. Disitulah kami bekerja untuk menangani konflik-konflik tersebut,” katanya.’

Syafaat menjelaskan dasar hukum moderasi beragama berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memeluk agamanya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Ia menambahkan bahwa didudukng dengan adanya Perpres 83 Tahun 2015 tentang Kemterian Agama, Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, dan PMA 18 2020 tentang Restra Kementerian Agama 2020-2024

“Kemenag tidak memiliki standar, nilai, dan hak untuk mendefinisikan, menfasirkan, menterjemahkan, atau memberikan stempel bahwa agama tertentu benar, agama yang lain salah, agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, itu negara tidak memiliki hak itu,” tegasnya.

Ia mengatakan bahwa media sebaiknya tidak menggunakan kata sesat, menyimpang, dan simpangan dalam menuliskan keragaman agama di Indonesia.

“Ada berita tentang ada aktifitas keberagamaan masyarakat di Sulawesi, ada masayarakat muslim mengatakan adanya 11 rukun islam, maka media menyebar informasi diluar Kemenag bentuknya menyimpang atau sesat. Nah ini tidak mungkin kami (kemenag) keluarkan informasi itu,” ucapnya.

Ia mencontohkan konflik yang pernah terjadi di daerah Pandeglang, Banten bahwa terdapat 15 masyarakat yang melakukan mandi di tempat umum dan viral karena pemberitaan menggunakan tiga kata yang tidak dianjurkan.

“Perlunya rekam media mengkonfirmasi kegiatan yang dilakukan tersebut sehingga tidak langsung menyampaikan bahwa ajaran itu sesat, tapi nyatanya mereka sama juga melakukan sholat lima waktu, puasa, hanya saja toharoh (bercuci) ada perbedaan yang tajam,” katanya.

Baca Juga: Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural

Syafaat menyampaikan bahwa dalam menuliskan moderasi beragama perlu menyandarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sietm Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan terutama pada Bab II Prinsip dan Sumber Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dan Bab III Komponen Sisten Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.

“Kalau melihat konflik di Pandeglang, Kemenag akan menyampaikan bahwa 15 masyarakat tadi masuk kedalam konflik paham, sikap, dan perilaku keberagamaan,” ujar Syafaat.

Ia menegaskan bahwa untuk mengkonfirmasi konflik keberagaman yang berada di masyarakat hingga tingkat desa, media dapat menghubungi Pranata Humas Kemenag yang tersebar di Indonesia. Saat ini, terdapat 776 Pranata Humas di Kemenag, Bimas Islam tersebar di 512 Kabupaten/Kota, 5.917 KUA di tingkat kecamatan, dan 45 ribu PAI Nasional.

“Dengan tersebarnya kantor Kemenag, rekan-rekam media dapat lebih mudah mencari Informasi mengenai konflik tentang keberagamaan agama,” katanya.

Sementara itu, Anggota Penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, Alvin Nur Choironi menyampaikan bahwa tugas media adalah menjadi resolusi dan meredamkan konflik sehingga kedamaian toleransi umat beragama di Indonesia terus berjalin.

Ia menyampaikan bahwa Informasi dari media digunakan dalam mengambil kebijakan untuk menangani konflik. “Maka media punya peran penting untuk mencegah kerusuhan dan kerugian itu terjadi,” katanya.

Alvin menyampaikan dalam konflik beragama, media harus menerapkan prinsip jurnalisme advokasi untuk meredakan konflik dan melindungi korban. Media perlu menghindari bias dan menjaga beriga agar tidak menambah kebencian terhadap kelompok tertentu karena tujuan jurnalisme advokasi adalah mendorong kebijakan pemerintah untuk melindungi korban.

Baca Juga: Moderasi dalam Islam dan Upaya Preventif Tindakan Radikal di Internet

“Media itu jangan mengambil informasi dari akun yang tidak jelas, justru menggali informasi lebih detail di lapangan dan menjadikan korban sebagai narasumber utama, sehingga pihak berwenang dapat mengungkapkan kebijakan yang sesuai,” ujarnya.

“Sehingga konflik ini tidak jadi viral, tidak meluas kemana-mana, dan bisa diselesaikan dengan baik, disini peran media untuk meredam konflik beragama,” sambungnya.

Kesalehan: Makna, Kedudukan, dan Pengaruhnya dalam Kehidupan

0

Konsep kesalehan dalam Islam bukan hanya menyangkut individu secara pribadi, tetapi juga membawa implikasi sosial dan bahkan lintas generasi. Dalam pembahasan ini, difokuskan pada pengertian kesalehan menurut bahasa, Alquran, serta pandangan mufassir, dan bagaimana kesalehan seseorang dapat memberikan pengaruh kepada keturunannya.

Definisi Saleh dalam Perspektif Bahasa dan Alquran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “saleh” memiliki dua pengertian: pertama, taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah; kedua, suci dan beriman. Dua definisi ini mencerminkan dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama) dari konsep kesalehan.

Dalam Alquran, kesalehan mendapatkan tempat yang tinggi, sebagaimana disebut dalam surah An-Nisa ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Siapa saja yang menaati (ketentuan) Allah dan rasul-Nya, niscaya mereka kelak akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya, yaitu para nabi, kalangan shiddiq, syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, (An-Nisa: 69).

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang saleh tergolong dalam golongan yang dimuliakan oleh Allah, sejajar dengan para nabi, shiddiqin, dan syuhada. Ini menegaskan bahwa kesalehan bukan posisi sembarangan, tetapi merupakan puncak pencapaian spiritual yang membawa konsekuensi ukhrawi.

Baca Juga: Tafsir Surah Allail Ayat 6-10: Algoritma Amal Saleh

Definisi Saleh Menurut Mufassir

Para ulama tafsir memberikan nuansa berbeda dalam memahami makna as-shalihin dalam ayat tersebut:

Pertama, Imam Al-Baidhawi menyebut orang saleh sebagai mereka yang menghabiskan umur dalam ketaatan dan menggunakan hartanya di jalan Allah. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, Dar Ihya Turats al-‘Arabi)

Kedua, Imam Al-Baghawi mengaitkan orang saleh dengan para sahabat Rasulullah Saw. (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi)

Ketiga, Ibnu Katsir menekankan bahwa kesalehan mencakup amal lahir dan batin. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Maktabah Syamilah)

Keempat, Syekh Wahbah Az-Zuhayli mempertegas bahwa orang saleh bukan berarti bebas dari dosa, namun kebaikannya lebih dominan daripada keburukannya. (Wahbah Az-Zuhayli, Tafsir al-Munir, Dar al-Fikr)

Kelima, Syekh Thahir bin Asyur menyebut orang saleh sebagai mereka yang istiqamah dalam keimanan. (Thahir bin Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, Tunis: ad-Dar at-Tunisiyyah)

Dan terakhir, dalam Tafsir An-Nasafi dan Ibnu Ajibah menambahkan aspek kesalehan sebagai keseimbangan antara lahir dan batin, serta pengaruhnya yang meluas kepada masyarakat. (An-Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah dan Ibnu Ajibah, Al-Bahr al-Madid, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Dari sini terlihat bahwa kesalehan mencakup dimensi spiritual, moral, sosial, bahkan konsistensi dalam keimanan. Kesalehan adalah integritas dalam ibadah, muamalah, dan akhlak.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial

Dimensi Sosial Kesalehan

Salah satu aspek paling menarik dari pembahasan kesalehan adalah dampaknya terhadap keturunan. Dalam surah al-Kahfi ayat 82, Allah berfirman:

وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih…

Ayat ini menjelaskan bahwa harta milik dua anak yatim itu dipelihara oleh Allah karena ayah mereka adalah orang saleh. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa keberkahan amal orangtua bisa memelihara dan menaungi keturunan mereka, bahkan hingga tujuh generasi ke bawah.

Muhammad bin al-Munkadir, sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibnu Ajibah, menyatakan:

Sungguh, sebab keshalihan seseorang, Allah Swt. akan menjaga anaknya, cucunya, kerabatnya dan lingkungan sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan dan penjagaan Allah.

Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa kesalehan seseorang menumbuhkan keberkahan yang menjalar ke lingkaran sosial terdekatnya. Dalam dunia modern, ini bisa kita lihat sebagai ‘warisan nilai’ yang lebih penting daripada sekadar warisan materi.

Satu catatan menarik adalah hadis riwayat yang menunjukkan bahwa bahkan amal baik dari orangtua non-Muslim bisa berdampak positif pada keturunannya. Dalam riwayat itu, Rasulullah Saw. bersabda:

Itu tidak akan memberinya manfaat (di akhirat). Tapi, kebaikan itu akan tampak pada keturunannya. Maka kalian tidak akan pernah dipermalukan, tidak akan hina, dan tidak akan miskin selamanya.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa nilai kebaikan bersifat universal dan bisa mewariskan dampak sosial jangka panjang, meskipun tidak bernilai secara ukhrawi bagi pelakunya yang tidak beriman. Ini mengajarkan bahwa amal baik memiliki kekuatan struktural dalam membentuk keturunan yang kuat, terhormat, dan tidak hina.

Baca Juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177

Penutup: Kesalehan Sebagai Investasi Kehidupan

Dalam perspektif Islam, kesalehan bukanlah status elitis yang hanya dicapai oleh para wali atau ulama. Ia adalah jalan hidup yang dapat ditempuh oleh siapa saja yang ingin menjalankan hak Allah dan hak manusia dengan seimbang. Dalam Fathul Bari dijelaskan:

Orang saleh adalah orang yang menegakkan kewajibannya berupa hak-hak Allah dan hamba-Nya, sedangkan kedudukan orang shalih itu bertingkat-tingkat. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Kesalehan adalah investasi, tidak hanya untuk kehidupan akhirat, tetapi juga untuk keberkahan dunia. Ia menjaga pelakunya, melindungi anak-anaknya, dan memuliakan lingkungannya. Dalam dunia yang semakin materialistik, ajaran ini mengingatkan manusia bahwa kualitas hidup yang hakiki terletak pada karakter dan spiritualitas, bukan semata pada pencapaian duniawi.

Sebagaimana dinasihatkan oleh al-Qusyairi:

Hendaknya seorang muslim menjadikan takwa dan amal shaleh sebagai tabungan untuk keluarganya, bukan harta kekayaan.

Kesalehan adalah tabungan terbaik—bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi bagi generasi yang akan datang.

Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (II)

0
Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (Bagian Satu)
The Book of Esther

Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, seluruh nama Haman di dalam Alquran bersanding dengan nama Fir’aun. Dua di antara enam ayat yang menyebut Haman bahkan menyandingkannya dengan Qārūn, sehingga pada dua ayat ini (Q.S. 29: 39 dan Q.S. 40: 24), Fir’aun, Haman, dan Qārūn bersandingan dan diceritakan narasi yang sama pada konteks kisah Mūsā. Dua di antara enam ayat, yakni Q.S. 28: 38 dan Q.S. 40: 36 menyinggung tentang pembuatan ṣarh (terjemah Kemenag: bangunan yang tinggi) yang diperintahkan oleh Fir’aun kepada Haman sebagai upaya untuk dirinya dapat melihat Tuhannya Musa dan mencapai asbāb (terjemah Kemenag: pintu-pintu).

Meski Alquran tidak menjelaskan secara detail mengenai Haman yang disinggungnya, yang jelas adalah di dalamnya sama sekali tidak menyinggung tokoh-tokoh lain yang ada di dalam kisah biblikal. Tidak ada Esther, Mordecai, begitu pula raja/penguasa yang disandingkannya pun sangat jauh berbeda. Bisa dibilang bahwa ada pergeseran geografis dan peradaban, dari Persia (Achaemenid) ke Mesir (Pharaonic).

Rasionalisasi Haman-nya Bibel dan Haman-nya Alquran

Jika ditilik dari masa turunnya, tentu Alquran berusia lebih muda jika dibandingkan dengan Bibel, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para sarjana biblikal hingga studi Qur’an cukup tertantang untuk memberikan argumen mereka dalam hal ini. Dikutip dari Silverstein (2018: 19-21), beberapa sarjana melayangkan klaim mereka dan setidaknya terdapat dua kutub yang bertolak belakang antara argumen mereka. Argumen pertama, menyatakan bahwa Alquran bersifat ahistoris sehingga tidak mengetahui konteks ‘asli’ dari pengetahuan biblikal. Di sisi yang berkebalikan, argumen kedua menyatakan bahwa peralihan antara Haman-nya Bibel ke Haman-nya Quran ini justru dianggap meneguhkan unsur divinitas Alquran.

Terlepas dari unsur teologis yang meyakini bahwa Alquran sebagai kitab Tuhan yang membawa al-ḥaq, perspektif biblikal yang meyakini bahwa Alquran merupakan turunan dari Bibel menjadi argumen yang lebih mudah untuk dibayangkan. Bisa dibayangkan pada komunitas Arab kala itu, saat Alquran dan Muhammad belum memproklamirkan risalahnya, Bibel–entah dalam fragmen Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru–menjadi satu-satunya kitab suci Abrahamik yang diyakini oleh penganut monoteis. Sementara itu, Alquran hadir belakangan dan mengulang materi biblikal, contohnya di sini adalah kisah Haman. Oleh karenanya, menjadi logis jika para sarjana biblikal dan Qur’anic studies mempertanyakan perbedaan yang mencolok antara Haman-nya Alquran dan Haman-nya Bibel. Oleh sebab konteks yang sangat berbeda, kutub kesarjanaan pertama lebih mudah untuk menyalahkan materi Alquran dan menganggapnya sebagai teks yang materinya bermuatan ahistoris.

Baca juga: Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (I)

Dengan penelitian yang lebih lanjut terhadap dokumen-dokumen peradaban Mesir, ditemukan bahwa ada pejabat Mesir Kuno bernama Ha-amen yang dikaitkan dengan sebuah proyek pembangunan. Fakta ini terungkap setelah penemuan hieroglif pada tahun 1822. Satu sarjana yang berpegang pada lini ini adalah Maurice Bucaille (w. 1998). Perspektifnya mengatakan bahwa pada abad ketujuh Masehi, tidak mungkin bagi bangsa Arab mengetahui detail semacam ini. Penemuan hieroglif beserta fakta nama Ha-amen ini ditangkapnya sebagai sebuah justifikasi unsur divinitas Alquran.

Untuk mengakhiri artikel pendek ini, penulis memberi sebuah refleksi. Terlepas dari dua kutub argumen yang dilayangkan oleh sarjana biblikal dan Qur’anic studies di atas, masih terdapat pertanyaan yang menganga untuk dijawab. Bagi argumen pertama, jika memang Alquran tidak mengenal kesejarahan biblikal, mengapa tidak ditemukan sanggahan dari sisi komunitas pemegang Bibel di dalam konteks abad ketujuh Masehi terhadap ahistorisitas Alquran? Pertanyaan yang serupa juga bisa dilayangkan pada argumen kedua. Jika memang konteks Haman yang dimaksud Alquran adalah pengetahuan Tuhan akan nama Ha-amen sebagaimana yang ditemukan oleh hieroglif, lantas bagaimana bisa audiens Alquran saat itu bisa memahami dan related terhadap kisah Haman yang dibawakan oleh Alquran?

Wallahu a’lam

Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (I)

0
Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (Bagian Satu)
The Book of Esther

Sudah menjadi perkara yang lazim diketahui oleh banyak orang bahwa Alquran pertama kali dibacakan di tengah komunitas Arab yang saat itu dikelilingi oleh berbagai kultur, budaya, dan pengetahuan dari komunitas-komunitas lain di sekitarnya. Pun, dewasa ini pembicaraan yang menyebut bahwa komunitas Arab pra-Islam disebut jāhiliyyah karena ‘kurangnya intelegensi’–untuk tidak menyebut kebodohan–mereka nampaknya sudah menjadi klaim yang tidak relevan lagi di dalam diskusi akademik. Hal ini dibuktikan oleh ditemukannya inskripsi-inskripsi yang disinyalir sudah ada sejak era pra-Islam di wilayah Arab, sehingga menunjukkan bahwa komunitas Arab sebenarnya sudah akrab dengan transfer pengetahuan dalam lingkup peradaban Near East.

Alquran sebagai Dokumen Historis Komunitas muslim Awal

Selain inskripsi yang masih terus dicari keberadaannya, Alquran menjadi satu-satunya teks menjanjikan untuk menjadi saksi historisitas komunitas Arab, sebagai salah satu fragmen teks yang diproklamasikan di tengah peradaban Timur Tengah (Middle East) secara umum. Secara langsung, bisa dibilang bahwa Alquran merekam komunikasi tentang keadaan dan peristiwa yang terjadi pada abad ketujuh di Jazirah Arab. Ini nampak dari banyak ayatnya yang menceritakan mulai dari Nabi Muhammad sendiri, ahl al-kitāb sebagai suatu istilah, hingga komunitas spesifik seperti yahūd, naṣārā, mu’minūn, muslimūn, munāfiqūn, dan masih banyak lagi. Hadirnya para aktor dengan terminologinya masing-masing ini saja sudah mengandung kemungkinan kuat bahwa komunitas muslim, atau Arab secara umum, saat itu sudah familier dengan komunitas lain, lengkap beserta pengetahuan natural hingga kultural yang dibawa oleh mereka.

Artikel ini mencoba memberi gambaran akan hubungan yang erat di antara Alquran yang–baik secara langsung atau tidak langsung–merepresentasikan pengetahuan muslim awal dan juga mendeskripsikan kemungkinan peradaban yang beredar di sekitarnya. Kisah Haman yang diceritakan di dalam Alquran dapat menjadi salah satu titik tolak yang membangun argumen ini. Dalam beberapa ayat, Alquran menceritakan bahwa ada seseorang bernama Haman sebagai salah satu bagian umat terdahulu yang disinggung, seperti yang lazim ditemukan dalam genre ayat-ayat kisah lainnya.

Kisah Haman: Alquran dan Versi Pendahulunya

Dengan mencari subjek nama Haman di dalam Alquran, ditemukan enam ayat yang menyebutkannya. Pertama, Q.S. 28: 6, kedua, Q.S. 28: 8, ketiga, Q.S. 28: 38, keempat, Q.S. 29: 39, kelima, Q.S. 40: 24, dan terakhir, Q.S. 40: 36. Pengetahuan yang mafhum di kalangan muslim adalah bahwa Haman di dalam Alquran berhubungan dengan Fir’aun (Pharaoh) dan konteks peradaban kerajaan Mesir kuno (Pharaonic). Hal ini menjadi menarik karena di saat yang bersamaan, pengetahuan biblikal juga memiliki cerita dengan nama tokoh yang sama, Haman, dengan menghubungkannya pada Raja Ahashwerosh dan konteks peradaban kekaisaran Persia (Achaemenid). Kisah Haman di dalam kerangka biblikal bisa ditemukan di dalam the Book of Esther. Di sana tokoh tersebut disandingkan dengan aktor-aktor lainnya, seperti raja Ahashwerosh, Esther, Mordecai, hingga Zeresh.

Baca juga: Alquran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman

Dari sudut pandang pengetahuan biblikal, the Book of Esther mengambil latar cerita selama pemerintahan raja Xerxes I atau yang dikenal dengan Ahashwerosh (486-465 SM) di kekaisaran Persia. Dikisahkan bahwa Ahashwerosh memiliki ratu bernama Vashti yang dimintanya mempertunjukkan kecantikannya dalam momen perjamuan di hadapannya dan para pengikutnya. Vashti menolak permintaannya, yang menyebabkan Ahashwerosh mengadakan semacam kontes kecantikan untuk menemukan ratu baru. Pada kesempatan inilah, Esther, seorang perempuan Yahudi (Jewess) yang dibesarkan oleh sepupunya, Mordecai, mengikuti kontes tersebut dan memenangkannya. Ia pun menjadi ratu Persia baru dan menyembunyikan fakta ke-Yahudi-annya. Mordecai sendiri adalah salah satu pejabat kekaisaran yang dulunya diangkat karena jasa telah menggagalkan percobaan pembunuhan pada raja.

Seiring waktu, Haman keturunan Agag diangkat sebagai wakil raja. Perlu diketahui bahwa dalam perspektif kisah biblikal, Agag dulunya merupakan musuh bebuyutan bangsa Israel. Dengan diangkatnya Haman, Ahashwerosh memerintahkan seluruh pejabatnya untuk bersujud di hadapan Haman. Mordecai adalah satu-satunya yang tidak mau bersujud, beralasan pada identitas Yahudinya, sehingga menyebabkan Haman marah. Karena kemarahannya ini, Haman berencana membunuh semua orang Yahudi di seluruh penjuru kekaisaran. Raja pun menyetujui rencana Haman. Dengan berdasar pada lemparan undian (yang dalam bahasa Akkadia disebut pūr dan bentuk plural di bahasa Ibrani disebut pūrīm), ia menetapkan bahwa pemusnahan Yahudi tersebut akan dilaksanakan akhir tahun, tepatnya pada tanggal tiga belas bulan Adar.

Baca juga: Pemahaman Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Alquran

Singkat cerita, Mordecai meminta Esther untuk mengintervensi rencana Haman dalam memusnahkan orang-orang Yahudi. Pada titik ini, versi cerita terbagi menjadi dua, yang keduanya bertemu pada narasi bahwa Esther melibatkan dirinya sendiri, sebagai orang Yahudi, di dalam rencana pemusnahan Haman. Raja yang salah menginterpretasikan niat Haman dan melihat ancaman pada ratunya tersebut lalu memerintahkan agar Haman digantung di tiang gantungan. Tidak hanya itu, raja juga memberi izin pada Esther dan Mordecai untuk mengeluarkan dekrit di kekaisaran yang memungkinkan orang-orang Yahudi untuk membela diri terhadap musuh-musuhnya di tanggal tiga belas Adar. Dari peristiwa ini, sepuluh putra Haman terbunuh, begitu pun lebih dari 70.000 orang non-Yahudi. Untuk mengingat pembebasan Yahudi ini, hingga saat ini setiap tanggal tiga belas bulan Adar selalu diperingati sebagai perayaan Purim oleh orang Yahudi (Silverstein, 2018: 12-3).

Fakta Penafsiran Ayat Seribu Dinar

0
Fakta Penafsiran Ayat Seribu Dinar
Sumber: pixabay.com

Ayat seribu dinar merupakan potongan dari salah satu surah yang terdapat dalam Alquran, yakni surah At-Talaq ayat 2-3. Ayat ini dipercaya oleh masyarakat memiliki keistimewaan bagi siapa yang membacanya akan mendapatkan kemudahan dan kelimpahan rezeki. Hal ini juga merupakan salah satu dari fenomena living Qur’an (pengamalan Alquran dalam kehidupan sehari-hari) yang marak terjadi di masyarakat, khususnya para pejuang nafkah.

Pertanyaannya adalah, apakah ayat tersebut benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang masyarakat percaya? Apakah kepercayaan masyarakat tersebut selaras dengan penafsirannya? Maka dari itu, dalam artikel ini setidaknya akan diulas penjelasan mengenai tafsir ayat tersebut.

Penafsiran Ayat Seribu Dinar (Surah at-Talaq Ayat 2-3)

 (وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًاۙ)

Siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.

Ibnu Katsir dalam menafsirkan bagian akhir Q.S. al-Thalaq: 2 ini mengatakan bahwa siapa saja yang bertakwa kepada Allah dengan dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, maka orang tersebut akan diberikan jalan keluar oleh Allah Swt. Maksud dari jalan keluar di sini adalah akan dipermudah segala urusannya di dunia maupun di akhirat. Seperti diberinya kemudahan jalan keluar ketika menghadapi permasalahan dan kesulitan menghadapi sakaratul maut.

Dalam penafsiran ayat pertama yang terdapat dalam ayat seribu dinar, tidak ditemukan perintah untuk mengamalkan ayat ini agar rezekinya menjadi lancar. Akan tetapi ketika bertakwa kepada Allah, dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya lah yang membuat seseorang mendapatkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

(وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ)

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.

Berdasarkan lanjutan ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang yang bertakwa akan diberi rezeki dari arah yang tidak pernah terbesit di hatinya; dari arah yang tidak pernah diharapkan olehnya dan tidak pernah diketahui atau disangka-sangka olehnya.

Baca juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Alquran dengan Pembacanya

Bisa diketahui, bahwa ketika sang mufasir menafsirkan ayat ini, sangat menekankan perintah untuk senantiasa bertakwa. Dengan bertakwa, maka manusia akan mendapatkan rezeki yang sesuai dengan janji Allah pada ayat ini.

Menurut Quraish Shihab, rezeki yang dimaksud di sini bukan hanya berupa materi saja. Rezeki yang Allah karuniakan kepada orang yang bertakwa bisa berupa kebahagiaan dan ketenagan hati. Menurutnya, justru kebahagiaan dan ketenagan hati merupakan suatu kekayaan yang tidak ada habisnya.

Contoh dari hal tersebut adalah ketika seseorang merasa tentram hati dan pikirannya dengan keadaan ekonomi yang biasa-biasa saja. Dibandingkan dengan seseorang yang kaya akan hartanya, tetapi hati dan pikirannya selalu merasa gelisah dan sedih.

(وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗۗ)

Dan siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.

Dalam penafsiran ayat selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dengan seseorang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan cukupkan kebutuhannya. Kemudian ketika ingin meminta sesuatu, hendaklah dia berdoa langsung kepada Allah. Begitu juga ketika ingin meminta pertolongan kepada Allah, hendaknya ia meminta langsung kepada-Nya.

(اِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ)

Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya.

Hasbi Ash-Shiddieqy menafsirkan ayat tersebut, bahwa setiap sesuatu yang terjadi pada hamba adalah sesuai dengan hukum, ketentuan, dan kadar masing-masing. Maka hendaknya seseorang tidak bersedih ketika belum mendapatkan hal yang diinginkannya.  Karena semua telah diatur oleh Allah ketika waktunya telah tiba dan sesuai kadar yang ditentukan oleh-Nya.

Baca juga: Enam Tips Memperlancar Rezeki Menurut Alquran

Pengamalan ayat seribu dinar ini menunjukkan bagaimana ayat ini hidup dengan diyakini, dibaca, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan kemudahan dalam meraih rezeki dari Allah Swt.

Lebih dari sekedar “menghidupkan” ayat ini adalah dengan menjadikan ketakwaan sebagai pondasi utama untuk menjalani kehidupan. Keyakinan akan janji Allah dalam ayat ini memotivasi umat Islam untuk terus berusaha dan optimis, sambil berserah diri kepada-Nya dengan sungguh-sungguh, dan diiringi oleh takwa dan tawakal.

Kisah Nabi Musa dan Harun: Solusi Menghadapi Rasa Khawatir

0

Setiap manusia pasti pernah merasa khawatir. Perasaan tersebut muncul saat menghadapi hal-hal yang tidak pasti, seperti: pekerjaan, masa depan, keputusan penting, atau bahkan hal-hal kecil yang terus menghantui pikiran. Rasa khawatir bisa mengganggu ketenangan, melemahkan semangat, dan menurunkan keyakinan diri. Dalam kondisi seperti ini, banyak yang mencari cara untuk mengatasi kekhawatiran, namun tak semua menemukan jawaban yang menenangkan jiwa.

Alquran sebagai petunjuk hidup menyimpan solusi bagi rasa khawatir, tidak hanya sebagai teori, tetapi sebagai pegangan nyata. Salah satunya dalam surah Thaha 45-47 yang menampakkan respons Ilahi terhadap perasaan khawatir, mengajarkan bahwa kekhawatiran adalah momen untuk mendekat dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt, ayat tersebut juga sebagai pengingat adanya kekuatan besar yang siap menenangkan hati.

Baca Juga: Solusi Alquran dalam Menghadapi Tekanan Hidup

Telaah Surah Thaha Ayat 45

Fenomena khawatir tidaklah asing bagi islam, sejak dahulu kekhawatiran telah menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia. Ada beberapa fenomena khawatir yang diabadikan Allah Swt dalam Alquran, salah satunya kisah kekhawatiran Nabi Musa dan Harun alaihissalam menghadapi Fir’aun yang diceritakan dalam surah Thaha ayat 45, berbunyi:

قَالَا رَبَّنَآ إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَآ أَوْ أَن يَطْغَىٰ

Berkatalah mereka berdua, ‘Ya Tuhan kami, sungguh kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas’.

Adh-Dhahhak mengatakan, “يَفْرُطَ” adalah bersegera, dan “يَطْغَىٰ” adalah menganiaya. An-Nuhas menyebutkan bahwa ayat diatas menjelaskan kekhawatiran Nabi Musa dan Harun terhadap Fir’aun yang segera mengeluarkan perintah. Adapun kata “يفرط” menurut Jumhur jika ya’ dibaca fathah dan ra’ dibaca dhammah maka bermakna segera menghukum kami. (Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 11, 1993, hlm. 201)

Dalam Tafsir Al-Azhar, (jilid 6 hlm. 4430), Hamka menjelaskan bahwa Nabi Musa dan Harun bukan merasa takut menghadapi siksaan sebagai pengecut, sifat itu tidak mungkin bagi seorang yang jiwanya sudah dibentuk oleh Allah Swt sebagai utusan. Maksud dari kekhawatiran Nabi Musa dan Harun adalah jika dakwah mulianya harus berhenti sebelum mencapai keberhasilan.

Baca Juga: Empat Kunci Kesuksesan Hidup dalam Surah Az-Zumar Ayat 10

Solusi Allah Swt Untuk Nabi Musa dan Harun

Respons Allah Swt dalam ayat selanjutnya menunjukkan dimensi ketenangan ilahiah, dengan menegaskan pendampingan dan perlindungan-Nya secara langsung dalam surah Thaha ayat 46, berbunyi:

قَالَ لَا تَخَافَآ ۖ إِنَّنِى مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَىٰ

Allah berfirman, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat’.

Menurut para ulama, ketika keduanya merasa khawatir selayaknya manusia biasa, Allah Swt menjelaskan pada Nabi Musa dan Harun, bahwa Fir’aun tidak akan sampai pada mereka dan tidak pula kepada kaumnya. Terkait firman Allah Swt “إِنَّنِى مَعَكُمَآ” dimaksudkan dengan pertolongan, bantuan dan kekuatan dalam menghadapi Fir’aun, serta firman “أَسْمَعُ وَأَرَىٰ” adalah ungkapan tentang pengetahuan Dzat yang tidak ada suatu pun luput dari-Nya. (Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 11, 1993, hlm. 202)

Dijelaskan oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 6 hlm. 4431 – 4432), Thaha ayat 46 merupakan jaminan dari Allah sendiri untuk mengatasi kecemasan Nabi Musa dan Harun kala itu. Menurut riwayat adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut dengan, “Janganlah kalian berdua khawatir. Aku mendengar percakapan kalian berdua dan Aku dengar pula percakapan Fir’aun itu. Aku melihat kalian berdua juga pendirian Fir’aun. Tak ada yang tersembunyi dari pendengaran dan penglihatan-Ku. Ketahuilah bahwa ubun-ubun Fir’aun berada dalam genggaman-Ku, tidak ada yang akan terjadi jikalau Aku tidak mengizinkannya. Aku ada bersama kalian, memelihara kalian, menolong kalian dan membantu kalian”.

Respons Allah Swt pada surah Thaha ayat 46 tersebut tidak hanya memberikan ketenangan bagi Nabi Musa dan Harun alaihissalam, tetapi juga memberi kebenarian dalam diri keduanya. Kemudian Allah Swt memberi solusi selanjutnya, yakni dalam surah Thaha ayat 47:

فَأْتِيَاهُ فَقُولَآ إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ ۖ قَدْ جِئْنَٰكَ بِـَٔايَةٍ مِّن رَّبِّكَ ۖ وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىٰ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْهُدَىٰٓ

Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: ‘Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sungguh kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk’.

Dijelaskan oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 6 hlm. 4433 – 4434), Nabi Musa dan Harun segera pergi menghadap Fir’aun hendak menyampaikan apa yang telah Allah Swt wahyukan, yang tak lain menegaskan keduanya adalah utusan Allah Swt yang diberi tugas untuk mengingatkan Fir’aun agar membebaskan Bani Israil yang ia tindas.

“Keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk”, ini merupakan peringatan Nabi Musa kepada Fir’aun. Sebagai seorang rasul, wajib menyampaikan seruan itu tanpa mempedulikan tingginya kedudukan Fir’aun. Kepingan terakhir dari ayat 47 tersebut juga dijadikan semboyan oleh Nabi Muhammad Saw dalam surat yang dikirimkan pada Herclus seorang raja besar Rum, berikut isi suratnya:

“Dari Muhammad Utusan Allah kepada Hercules orang agung Rum, ‘keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du, Saya mengajak Anda memeluk Islam. Sebab itu masuklah ke Islam, agar anda selamat dan anda akan diberi Allah dua pahala…”

Pesan Alquran: Tenang, Tak Perlu Khawatir

Selain yang telah dijelaskan pada surah Thaha, ada beberapa ayat Alquran lainnya yang dapat dijadikan obat kekhawatiran, yaitu:

At-Taubah ayat 40

…لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا…

Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita”.

Al-Fath ayat 4

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Al-Insyirah ayat 5 – 6

(٦) إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا (٥) فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

Setidaknya, tiga ayat yang telah disebutkan tadi memperkuat pesan mendalam bahwa kekhawatiran bukanlah kondisi yang tak dapat diatasi. Alquran menegaskan terkait tawakkal terhadap Allah menjadi kunci untuk mencapai ketenangan hati dan pikiran.

Baca Juga: Sikap Pantang Menyerah Nabi Yunus Setelah Kegagalan

Penutup

Dari kisah Nabi Musa dan Harun hingga pesan-pesan ketenangan dalam ayat Alquran lainnya, terlihat jelas bahwa bersama Allah Swt, tidak ada alasan untuk larut dalam kekhawatiran. Saat hari mulai gelisah dan pikiran dipenuhi rasa takut, cukup percayakan semua pada Allah Swt. Dengan bersandar kepada-Nya, khawatir yang dirasakan larut dalam ketenangan.

Kisah Nabi Yusuf: Kisah yang Tidak Diulang

0
kisah Nabi Yusuf_kisah yang tidak diulang
kisah Nabi Yusuf_kisah yang tidak diulang

Allah swt. menceritakan kisah para nabi dengan gaya dan dialektika yang berbeda-beda. Ahmad Bahjat dalam buku Nabi-nabi Allah mengatakan bahwa ada kisah Nabi yang disampaikan secara berulang, ada pula kisah yang tidak diulang. Ada yang dipaparkan kisahnya secara utuh, misal kisah nabi Yusuf; ada yang hanya sebagian peristiwa saja; bahkan ada yang hanya dipaparkan bagian episode terakhirnya. Semua itu disajikan denganA beragam. Keindahan seni dengan pemaparan kisah yang indah tersebut turut mempengaruhi emosi religius seseorang. Inilah di antara kemukjizatan Alquran melalui cara penyajian kisahnya yang meninggalkan kesan dan berbekas.

Kisah nabi Yusuf: kisah yang tidak diulang

Berbeda dengan nabi Musa, nabi Adam, dan nabi-nabi lainnya yang kisahnya diulang, kisah nabi Yusuf dipaparkan secara utuh dalam satu surah.

Dalam buku Tadabbur, hikmah tidak diulangnya kisah nabi Yusuf adalah karena kisah nabi Yusuf tidak berbicara dalam konteks dakwah. Kisahnya berbicara intrik dan konflik keluarga.

Sedangkan kisah nabi Nuh, Ibrahim, Musa (dan kisah Nabi yang diulang lainnya), kisah mereka adalah kisah dakwah yang berhadapan dengan kekuatan besar para penguasa. Hal ini selaras dengan fungsi tikrar, yakni ahammiyah wa afdhaliyah (penting dan utama), merujuk pada kisah Nabi yang mengemban tugas dakwah yang menggambarkan sengitnya pergulatan hak dan batil.

Kisah nabi Yusuf tidak diulang karena orang yang memusuhi nabi Yusuf bukan dalam perkara agama, misalnya berkutat pada masalah keluarga yang sifatnya duniawi seperti kedengkian saudara-saudaranya, tetapi mereka tetap mengimani agama yang dianut ayahnya.

Baca Juga: Menghadapi “Zulaikha Virtual” dengan Amalan Nabi Yusuf

Turunnya Kisah Nabi Yusuf: Penghibur Lara

Meskipun ujian nabi Yusuf sifatnya dunia, namun bukan berarti tidak penting. Dalam Tafsir fi Zhilalil Quranditerangkan bahwa ketika Rasulullah saw. dan umat Islam mengalami kesedihan, keterasingan, terputusnya hubungan sejak ‘amul huzni (tahun kesedihan), turunlah kisah nabi Yusuf dengan ragam rintangan dan ujian yang dihadapinya. Allah ceritakan kisah itu dalam satu surah, bagaimana nabi Yusuf diuji dengan kedengkian saudara-saudaranya, tragedi dimasukkan ke dalam sumur, menjadi budak yang diperjualbelikan, ujian wanita, dimasukkan ke dalam penjara, dan semua cobaan itu dilalui nabi Yusuf dengan penuh kesabaran hingga berakhir dengan happy ending.

Kesabaran nabi Yusuf adalah teladan yang semakin meneguhkan dan menguatkan hati Rasulullah saw. dan umatnya yang senantiasa diliputi kesedihan dan mengalami beebagai penyiksaan. Saudara-saudara Yusuf ibarat kedengkian kaum kafir quraisy yang padahal mereka adalah keluarga dekat Rasul. Rasul pun diusir dari tempat kelahirannya sebagaimana nabi Yusuf dikeluarkan. Ujian datang silih berganti namun tetap dihadapi nabi Yusuf dengan kesabaran.

Akhir kisah nabi Yusuf menjadi keunikan tersendiri yang berbeda dengan kisah nabi yang lain yang kebanyakan berakhir dengan bencana. Imam Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan juga mengatakan letak keunikan kisah nabi Yusuf ada pada endingnya, kisahnya disajikan dengan deretan masalah demi masalah namun berujung bahagia.

Kisah Nabi Yusuf: Ahsa nal-Qashash

Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa Allah menamai kisah nabi yusuf sebagai kisah terbaik (ahsan al-qashash) karena beberapa alasan. Pertama, kisah nabi Yusuf memuat pelajaran berharga; Kedua, saking baiknya sifat nabi Yusuf yang memaafkan saudaranya. Ketiga, kisah nabi Yusuf merekam banyak unsur hingga memuat juga kisah para nabi, para salihin, malaikat, jin, binatang, kisah penguasa, pedagang, ulama, dan seterusnya. Keempat, setiap orang dalam kisahnya berharap mendapatkan kebahagiaan.

Kisah nabi Yusuf pun juga kaya akan nilai sastra. Dalam buku Islam dan Sains Modern, kisah nabi Yusuf merupakan prosa biografi yang relevan dengan teori sastra modern. Di dalamnya memuat unsur plot, setting, dan tokoh dengan pengemasan gaya bahasa dan penyampaian yang indah.

Baca Juga: Doa Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf Ayat 33

Penutup

Dalam Majmu’ Fatawa disebutkan bahwa tidak diulangnya kisah nabi Yusuf karena motif orang yang berlaku buruk pada nabi Yusuf adalah motif dunia semata. Hal ini memberi pesan bahwa ujian berkenaan dunia hendaknya dilalui dengan kesabaran dan tidak terlalu diambil pusing. Meski ujian Nabi Yusuf bertubi-tubi, Allah menganugerahi kesudahan yang berbahagia. Belajar dari kisah nabi Yusuf, seberapapun beratnya konflik keluarga dan kehidupan yang dilalui, akan ditemui kemudahan sesudahnya.

Wallahu a’lam

Keteguhan Nabi Nuh Berdakwah Selama 950 Tahun

0
kisah keteguhan Nabi Nuh
kisah keteguhan Nabi Nuh

Dalam sejarah para nabi, tidak ada contoh keteguhan dan kesabaran yang lebih mengesankan daripada kisah keteguhan Nabi Nuh as. Selama 950 tahun, beliau berdakwah kepada kaumnya tanpa mengenal lelah dan putus asa, meskipun respons yang diterima sangat mengecewakan. Kisah perjuangan panjang ini mengandung pelajaran luar biasa tentang kegigihan dalam menegakkan kebenaran.

Dakwah yang Tak Kenal Lelah

Allah SWT. mengabadikan rentang waktu dakwah Nabi Nuh dalam Alquran,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلاّ خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-‘Ankabut [29]: 14).

Ibnu Katsir (6/242) menukilkan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Nuh diutus menjadi nabi ketika berusia 40 tahun, kemudian berdakwah di tengah kaumnya selama 950 tahun. Setelah banjir besar, beliau masih hidup selama 60 tahun hingga manusia kembali berkembang biak dan tersebar. Ini kontras dengan pendapat lain yang dianggap gharib (tidak umum) yang mengatakan bahwa umur total Nabi Nuh adalah 950 tahun, atau bahwa beliau berdakwah setelah berusia 350 tahun. Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat Ibnu Abbas-lah yang lebih mendekati kebenaran.

Sebagai perbandingan, umur rata-rata manusia saat ini hanya sekitar 70-80 tahun. Artinya, Nabi Nuh berdakwah selama lebih dari 10 kali lipat umur manusia modern. Menariknya, Alquran tidak menyebutkan bahwa Nabi Nuh pernah mengeluh atau merasa putus asa selama rentang waktu yang sangat panjang tersebut.

Baca Juga: Doa Nabi Nuh ketika Berlayar di Kapal yang Diajarkan Allah

Strategi Dakwah yang Komprehensif

Nabi Nuh menggunakan berbagai metode dalam dakwahnya, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran,

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.’” (QS. Nuh [71]: 5-7).

Al-Maraghi (29/82–83) menjelaskan bahwa Nabi Nuh mengadukan kepada Allah bagaimana ia telah bersungguh-sungguh menyeru kaumnya siang dan malam tanpa henti, menjalankan perintah Allah dengan tekun. Namun, setiap kali beliau mengajak mereka untuk mendekati kebenaran, mereka justru lari menjauh dan berpaling.

Ayat ini juga menggambarkan sikap keras kepala kaumnya dengan tiga tindakan penolakan, yaitu menutup telinga dengan jari-jari (agar tidak mendengar), menutupi diri dengan pakaian (agar tidak melihat), dan bersikeras dalam kekafiran dengan sikap sombong yang berlebihan. Mereka melakukan ini setiap kali Nabi Nuh mengajak mereka untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa.

Al-Maraghi menguraikan bahwa Nabi Nuh menggunakan tiga pendekatan utama dalam dakwahnya:

  1. Memulai dengan nasihat secara rahasia (secara personal)
  2. Menyeru secara terang-terangan (di depan umum)
  3. Menggabungkan antara seruan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi

Al-Maraghi juga menjelaskan bahwa Nabi Nuh tidak hanya menyeru kaumnya untuk beriman, tetapi juga menyampaikan motivasi duniawi jika mereka beriman: pertama, Allah akan menurunkan hujan yang berlimpah; Kedua, Allah akan menambah harta benda mereka; dan ketiga, Allah akan memperbanyak keturunan mereka.

Strategi komprehensif ini menunjukkan keinginan kuat Nabi Nuh untuk menyelamatkan kaumnya. Namun, meskipun telah berusaha selama hampir satu milenium dengan berbagai pendekatan, hasilnya tetap sangat minim.

Baca Juga: Nabi Nuh dan Gelar ‘Hamba yang Bersyukur’

Titik Balik: Doa kepada Allah

Setelah berdakwah selama 950 tahun dengan hasil yang sangat minim, Nabi Nuh akhirnya berdoa kepada Allah:

“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.’” (QS. Nuh [71]: 26-27).

Ibnu Ashur (29/214) menjelaskan bahwa kalimat “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu” merupakan alasan permintaan Nabi Nuh. Beliau khawatir mereka akan menyesatkan sebagian orang beriman dan akan melahirkan anak-anak yang tumbuh dalam kekafiran.

Doa ini muncul setelah Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa tidak akan ada lagi dari kaumnya yang beriman selain yang telah beriman. Ini adalah bukti bahwa Nabi Nuh tidak berdoa untuk kehancuran kaumnya kecuali setelah mengetahui dengan pasti—melalui wahyu dari Allah—bahwa tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk beriman.

Ibnu Ashur juga menyebutkan bahwa Nabi Nuh mengetahui bahwa kaumnya hanya akan melahirkan anak-anak yang fasik dan kafir berdasarkan pengalaman dan pengamatan beliau.

Beliau menggunakan pernyataan “tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” karena melihat bagaimana anak-anak tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekafiran dan penolakan terhadap kebenaran. Menurut Ibnu Ashur, “fajir” (fasik) berarti orang yang melakukan perbuatan buruk yang parah, sedangkan “kaffar” adalah bentuk hiperbola dari kata “kafir”, artinya yang sangat kafir.

Ibnu Ashur juga membahas apakah banjir tersebut menimpa seluruh bumi atau hanya wilayah tempat kaum Nabi Nuh tinggal. Beliau menyebutkan bahwa ada kemungkinan manusia pada masa itu hanya terbatas pada kaum Nabi Nuh, meskipun juga mungkin tidak demikian. Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan ini, bisa jadi banjir tersebut menutupi seluruh permukaan bumi, atau hanya mencakup wilayah besar tempat kaum Nabi Nuh tinggal.

Baca Juga: Isyarat Kreativitas Manusia dalam Kisah Nabi Nuh

Penutup: Pelajaran dari Keteguhan Nabi Nuh

Kisah perjuangan Nabi Nuh memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan dalam menegakkan kebenaran. Di era modern yang serba cepat dan berorientasi pada hasil instan, menjadi pengingat penting bahwa upaya menegakkan kebenaran seringkali membutuhkan waktu panjang dan kesabaran luar biasa.

Konsistensi Nabi Nuh dalam menyampaikan pesan yang sama selama 950 tahun mengajarkan bahwa kebenaran tidak perlu diubah atau dikompromikan untuk menarik pengikut. Kebenaran tetap kebenaran, terlepas dari berapa banyak orang yang menerimanya.

Fleksibilitas Nabi Nuh dalam metode penyampaian mengajarkan bahwa kita perlu adaptif dalam cara menyampaikan kebenaran, meskipun tetap teguh pada prinsip dan isi pesannya. Beliau menggunakan pendekatan personal dan pendekatan massal, pendekatan spiritual dan pendekatan material, semua demi menyelamatkan kaumnya.

Doa Nabi Nuh di akhir masa dakwahnya mengajarkan bahwa ada batasnya ketika dialog dan pendekatan persuasif harus diakhiri, yaitu ketika telah jelas bahwa pihak yang didakwahi telah tertutup total dari kebenaran dan berpotensi menyebarkan kerusakan yang lebih besar. Ini adalah kebijaksanaan yang penting dalam konteks dakwah.

Keteguhan Nabi Nuh dalam berdakwah selama 950 tahun merupakan teladan tertinggi tentang kesabaran, kegigihan, dan ketabahan dalam menegakkan kebenaran. Perjuangan panjang Nabi Nuh mengingatkan kita bahwa menegakkan kebenaran bukan tentang kesuksesan instan atau pengakuan massal, melainkan tentang keteguhan hati dan kesetiaan pada prinsip.

Al-Baqarah Ayat 188 dan Relevansinya dengan Tindakan Korupsi

0

Klasemen liga korupsi Indonesia yang tersebar secara masif di media sosial menyimpan ironi perihal masalah korupsi di negara ini. Kasus mega korupsi Pertamina semakin menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak pernah surut, malah justru meningkat setiap tahun dari sisi jumlah kasus dan angka kerugian. Faktanya korupsi sejak lama menjadi biang masalah negara ini sehingga menghambat pertumbuhan dan kemajuan di berbagai sektor.

Perbuatan korupsi adalah puncak dari berbagai sebab persoalan masyarakat. Angka kemiskinan tinggi, pengangguran meningkat dan maraknya tindakan kriminal menjadi bukti dari dampak pengabaian atas hak-hak masyarakat. Hak yang seharusnya dapat dirasakan oleh orang banyak hilang begitu saja karena kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu.

Baca Juga: Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya

Definisi Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoahkan, memutarbalik dan menyogok. Menurut Klitgaard, korupsi adalah tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri atau pihak tertentu, seperti kerabat atau teman, baik berupa status maupun kekayaan, dengan cara menyimpang dari tugas resmi atau melanggar aturan. (Khasib Amrullah, Pendidikan Anti Korupsi: Studi terhadap Konsep Worldview dan Korupsi)

Adapun Tindak korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah perbuatan seseorang atau badan hukum yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan kerugian negara. Singkatnya, korupsi adalah perbuatan mengambil hak orang lain demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Mengambil sesuatu yang bukan miliknya adalah sebuah kebatilan dan sangat dikecam oleh Alquran. Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam sangat memperhatikan pemenuhan hak setiap orang dan mengecam siapapun yang mengabaikannya. Salah satunya seperti dalam ayat berikut ini:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 188)

Baca Juga: Pentingnya Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi, Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 38

Tafsir Al-Baqarah Ayat 188

Maksud dari frasa wala ta’kulu amwalakum bainakum adalah memakan harta yang tidak dibenarkan cara perolehannya oleh agama. Memperoleh harta yang tidak dibenarkan oleh agama terdapat dua model yaitu dengan cara mengambil secara paksa seperti mencuri dan merampas dan model yang kedua adalah memperolehnya dengan cara seperti berjudi, menipu dan yang lainnya. Dalam tafsir Bahr al-Muhit maksud dari kata “akala” bisa diartikan sebagai makna majazi sebagai cara mengambil dan cara memilikinya.

Menurut al-Qurtubi makna kata batil adalah hilang atau lenyap. Sedangkan menurut Fairuzzabadi kata batil dapat diartikan dengan kerugian, kesia-siaan, kebohongan, kegelapan, dan kerusakan. Jadi dalam konteks ayat ini memakan atau menguasai harta dengan batil dapat menyebabkan kerugian dan kerusakan tidak hanya untuk korban tapi juga untuk pelaku. Dari keseluruhan makna batil yang disebutkan bahwa memakan harta dengan cara yang batil adalah jalan yang dilarang oleh agama.

Kata tudlu diambil dari kata dalwun yang berarti ember yang dapat dimaknai dengan mengulurkan ember. Jika dianalogikan, orang yang membutuhkan ember letaknya pasti berada di bawah orang yang mengulurkannya, sehingga bisa diartikan bahwa hakim yang disuap posisinya dibawah orang yang menyuapnya. Jadi dimaknai dengan janganlah kalian memberi suap kepada para hakim untuk mengubah hukum Allah SWT karena keputusan mereka tidak akan mengubah yang haram menjadi halal ataupun yang halal menjadi haram. (Kitab ‘Umdatul Huffadz)

Dikutip dari Ali ibn Abi Talhah dari Ibn Abbad bahwa ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengaku mempunyai sebuah harta tapi tidak memiliki bukti bahwa harta itu milikinya. Lalu ia mengadukannya kepada hakim tentang perkara tersebut meskipun ia tahu bahwa kebenaran tidak berpihak padanya dan ia berdosa karena telah memakan harta haram.

Baca Juga: Kecaman Al-Quran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161

Penutup

Jika menyesuaikan kata akala dan bi al-bathil dalam penafsiran yang lalu, maka tindakan korupsi adalah definisi dari dua kata itu sendiri. Tindakan korupsi secara langsung menyebabkan kerugian dengan hilangnya pemasukan negara dan merusak kesejahteraan hidup orang banyak. Alquran melarang dengan tegas untuk mengambil bagian yang bukan miliknya, apalagi jika pada bagian tersebut terdapat hak orang lain. Sebagaimana korupsi, Alquran melarang segala bentuk pengabaian terhadap pemenuhan hak orang lain dengan cara apapun.

Wallahu a’lam

Pentingnya Membaca dan Membatasi Pembicaraan

0
Pentingnya Membaca dan Membatasi Pembicaraan Menurut Quraish Shihab
Quraish Shihab (sumber: www.youtube.com/@gwirjawan).

Dalam podcast Endgame bersama Gita Wirjawan yang berjudul “Benahi Hati, Baca Alam Raya,” Quraish Shihab membahas berbagai topik menarik, mulai dari perjalanan hidupnya, pemahaman tentang Islam, Alquran, hingga demokrasi. Di antara banyak topik yang diangkat, dua topik yang menjadi sorotan utama adalah pentingnya membaca dan membatasi pembicaraan. Kedua hal ini menurutnya tidak hanya berdampak pada perkembangan individu, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan masyarakat.

Membaca: Kunci Peradaban dan Kemajuan

Membaca merupakan salah satu kunci utama dalam mencapai kemajuan peradaban. Quraish Shihab menegaskan bahwa membaca memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan meraih pengalaman orang lain. “Kalau Anda banyak membaca, Anda bisa mendapatkan pengetahuan dan meraih pengalaman orang lain. Kalau Anda banyak membaca, Anda akan mengetahui bahwa pengetahuan itu bermanfaat dan harus digunakan pada tempatnya,” ujarnya.

Dalam Islam, pentingnya membaca telah ditekankan sejak wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yakni perintah Iqra’ (Bacalah!). Yang menarik, wahyu ini diperintahkan kepada seseorang yang tidak bisa membaca dan kepada masyarakat yang belum mengenal budaya baca-tulis. Menurut Quraish Shihab, hal ini menunjukkan bahwa membaca merupakan kunci untuk meraih peradaban dan kemajuan di segala bidang. “Aneh, bahwa perintah itu ditujukan kepada ia yang tidak pandai membaca, perintah itu ditujukan kepada masyarakat yang tidak tahu baca tulis. Tapi kenapa Iqra’ (Bacalah!)? Karena itulah kunci meraih peradaban,” jelasnya.

Baca juga: Tafsir Iqra’: Perintah Alquran untuk Tanggap Literasi

Menurutnya, perintah membaca dalam ayat tersebut tidak membatasi apa yang harus dibaca. Ia menekankan bahwa membaca mencakup berbagai aspek kehidupan, bukan hanya teks tertulis. “Membaca di ayat itu, Dia tidak tentukan objek bacaan. Baca apa saja, syaratnya hanya satu, demi karena Allah. Iqra’ itu bukan hanya dalam arti membaca teks tertulis, bacalah alam raya, bacalah manusia, bacalah sejarah.” Hal ini menunjukkan bahwa membaca adalah kunci untuk memahami dunia secara lebih luas dan mendalam.

Membudayakan Membaca Sejak Dini

Dalam upaya membudayakan membaca, keteladanan dan pembiasaan menjadi kunci utama. Menurut Quraish Shihab, orang tua harus memberikan contoh dengan membaca di rumah. “Keteladanan, jika di rumah orang tuanya membaca, pasti anaknya ikut membaca. Dan itu dididik sejak kecil. Pembiasaan, dibiasakan di rumah. Orang tua harus membiasakan anak-anaknya membaca.”

Selain itu, penting bagi orang tua untuk memberikan buku yang sesuai dengan minat anak. Membeli buku yang tidak sesuai dengan ketertarikan mereka justru dapat menghambat kebiasaan membaca. “Berikan dia buku yang dia senangi, jangan belikan buku yang dia tidak suka,” ujarnya.

Beliau juga menyoroti bagaimana budaya membaca di beberapa negara maju sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, di Jepang, membaca telah menjadi kebiasaan bahkan dalam perjalanan. “Kenapa orang-orang Jepang bisa membaca di kereta api? Artinya manusia bisa kalau mereka mau,” katanya. Hal ini menunjukkan bahwa membudayakan membaca bukanlah hal yang mustahil jika seseorang memiliki niat dan kemauan.

Membatasi Pembicaraan: Bijak dalam Berbicara

Selain membaca, Quraish juga mengingatkan pentingnya membatasi pembicaraan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali orang berbicara tanpa pertimbangan, mengungkapkan segala sesuatu tanpa memilah mana yang perlu dan mana yang tidak. “Sekian banyak kata-kata ahli hikmah yang mengatakan begini, misalnya ‘Jangan berbicara menyangkut apa yang kamu tidak ketahui; jangan semua yang kamu ketahui kamu bicarakan,’” ungkapnya.

Dengan media sosial yang serba terbuka saat ini, banyak orang yang membicarakan berbagai hal tanpa filter. Padahal, dalam Islam, menjaga ucapan adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan. Quraish Shihab mengingatkan, “Jika ada orang lain yang bisa berbicara, diamlah. Karena kalau dia benar dan kamu hadir di situ, kamu akan dinilai setuju pendapatnya. Tapi kalau dia salah, kesalahannya hanya tertuju pada dia, kamu tidak salah.” jelasnya.

Beliau mengilustrasikan hal ini dengan perumpamaan menarik tentang anggota tubuh manusia yang berbicara kepada lidah. “Ada ilustrasi, anggota tubuh manusia ini, setiap hari berkata kepada lidah ‘Lidah, tolong jangan banyak bicara. Karena kalau kamu salah, yang kena getahnya kami (seluruh tubuh).”

Baca juga: Indeks Literasi Alquran di Indonesia dan Nasihat Quraish Shihab

Ucapan yang tidak terkontrol bisa membawa dampak yang luas. Kata-kata yang salah dapat melukai orang lain, menciptakan perselisihan, dan bahkan membawa konsekuensi hukum. Oleh karena itu, membatasi pembicaraan bukan berarti tidak berbicara sama sekali, tetapi lebih kepada berbicara dengan bijak dan sesuai dengan konteks yang tepat.

Membaca dan membatasi pembicaraan adalah dua aspek penting yang dapat membentuk karakter seseorang dan menentukan arah peradaban. Membaca membuka wawasan, meningkatkan kesadaran, dan mengurangi kemungkinan melakukan hal-hal negatif. Sementara itu, membatasi pembicaraan mengajarkan seseorang untuk lebih bijak dalam berbicara, tidak tergesa-gesa dalam mengungkapkan pendapat, serta menghindari konflik yang tidak perlu.

Seperti yang disampaikan oleh Quraish Shihab, membaca adalah jalan menuju kemajuan, sedangkan membatasi pembicaraan adalah bentuk kebijaksanaan. Jika kedua hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak hanya individu yang berkembang, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.