Beranda blog Halaman 559

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 6-7

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Ayat 6

Ayat ini menerangkan cara-cara berwudu. Rukun wudu ada enam. Empat rukun di antaranya disebutkan dalam ayat ini, sedang dua rukun lagi diambil dari dalil lain. Empat macam itu ialah:

  1. Membasuh muka, yaitu mulai dari rambut sebelah muka atau dahi sampai dengan dagu, dan dari telingga kanan sampai telinga kiri.
  2. Membasuh dua tangan dengan air bersih mulai dari ujung jari sampai dengan dua siku.
  3. Menyapu kepala, cukup menyapu sebagian kecil kepala menurut mazhab Syafi’i.184)
  4. Membasuh dua kaki mulai dari jari-jari sampai dengan dua mata kaki. Kesemuanya itu dengan menggunakan air. Sedang dua rukun lagi yang diambil dari hadis ialah:

a. Niat, pekerjaan hati, dan tidak disebutkan dalam ayat ini tetapi niat itu diharuskan pada setiap pekerjaan ibadah sesuai dengan hadis:

اِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيـَّاتِ

(رواه البخاري ومسلم عن عمر بن الخطاب)

“Sesungguhnya segala amalan adalah dengan niat” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khattab)

b. Tertib, artinya melakukan pekerjaan tersebut di atas sesuai dengan urutan yang disebutkan Allah dalam ayat ini. Tertib itu tidak disebutkan dengan jelas di dalam ayat ini, tetapi demikianlah Nabi melaksanakannya dan sesuai pula dengan sabdanya yang berbunyi:

اِبْدَءُوْا بِمَا بَدَأَ الله ُ

(رواه النسائي عن جابر بن عبد الله)

Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah. (Riwayat an-Nasa’i dan Jabir bin Abdillah)

Adapun selain enam rukun itu, seperti membasuh tiga kali, berkumur-kumur adalah sunat hukumnya. Kewajiban wudu ini bukanlah setiap kali hendak mengerjakan salat, tetapi wudu itu diwajibkan bagi seorang yang akan salat, jika wudunya sudah batal atau belum berwudu, sesuai dengan hadis yang berbunyi:

لاَ يَقْبَلُ الله ُُصَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Allah tidak menerima salat salah seorang di antara kalian, apabila ia berhadas hingga ia berwudu. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Berikutnya Allah menerangkan hal-hal yang mengharuskan seseorang  wajib mandi di antaranya :

a. Keluar mani;

b. Jim’ (bersetubuh);

c. Haid;

d. Nifas;

e. Wiladah (melahirkan);

f. Mati (orang yang hidup wajib memandikan yang mati)

Orang yang terkena salah satu dari (a) sampai (e) dinamakan orang yang berhadas besar, wajib mandi dan berwudu sebelum salat. Orang yang berhadas kecil, hanya wajib berwudu saja. Kewajiban wudu disebabkan :

a. Keluar sesuatu dari lubang buang air kecil dan buang air besar;

b. Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, antara keduanya tanpa pembatas188

c. Tidur yang tidak memungkinkan seseorang tahu jika keluar angin dari duburnya;

d. Hilang akal karena mabuk, gila dan sebagainya;

e. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan atau menyentuh lubang dubur;

f. Murtad (keluar dari agama Islam).

Selanjutnya ayat ini menerangkan cara-cara bertayamum. Jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak boleh memakai air, atau dalam keadaan musafir tidak menemukan air untuk berwudu, maka wajib bertayamum dengan debu tanah. Caranya ialah dengan meletakkan kedua belah telapak tangan pada debu tanah yang bersih lalu disapukan ke muka, kemudian meletakkan lagi kedua telapak tangan ke atas debu tanah yang bersih, lalu telapak tangan yang kiri menyapu tangan kanan mulai dari belakang jari-jari tangan terus ke pergelangan sampai dengan siku, dari siku turun ke pergelangan tangan lagi untuk menyempurnakan penyapuan yang belum tersapu, sedang telapak tangan yang sebelah kanan yang berisi debu tanah jangan diganggu untuk disapukan pula ke tangan sebelah kiri dengan cara yang sama seperti menyapu tangan kanan. Demikianlah cara Nabi bertayamum.

Kemudian akhir ayat ini menjelaskan bahwa perintah berwudu dan tayamum bukanlah untuk mempersulit kaum Muslimin, tetapi untuk menuntun mereka mengetahui cara-cara bersuci, dan untuk menyempurnakan nikmat-Nya, agar kaum Muslimin menjadi umat yang bersyukur.

Ayat 7

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mengingat nikmat-Nya, yaitu peraturan-peraturan agama yang telah ditetapkan kepada mereka. Dengan datangnya agama Islam hilanglah permusuhan, timbullah persaudaraan. Sesudah itu Allah mengingatkan akan perjanjian yang pernah diikrarkan yaitu janji patuh dan taat kepada Nabi Muhammad saw baik pada waktu susah maupun senang, mengikuti segala perintahnya dan akan meninggalkan segala larangannya dengan penuh kepatuhan dan ketaatan.

Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan supaya kaum Muslimin tetap bertakwa kepada Allah, menjaga supaya jangan sampai lupa kepada nikmat-Nya dan jangan sampai melanggar janji yang sudah diikrarkan, baik secara terang terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Sebab Allah Maha Mengetahui segala yang tersimpan di dalam hati manusia.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 4-5

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Ayat 4

Ayat ini menerangkan dua macam makanan yang dihalalkan:

1.Makanan yang baik, yaitu semua jenis makanan yang menimbulkan selera untuk memakannya dan tidak ada nas yang mengharamkannya. Adapun yang sudah ada ketentuan haramnya, maka harus dipatuhi ketentuan itu, seperti sabda Rasulullah saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ اَكْلِ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

(رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن)

Dari Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari binatang buas dan setiap yang berkuku tajam dari unggas.” (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ashabus-Sunan).

2.Binatang buruan yang ditangkap oleh binatang-binatang pemburu yang terlatih sehingga buruannya langsung dibawa kepada tuannya dan tidak akan dimakannya kecuali kalau diberi oleh tuannya. Apabila binatang pemburu itu memakan buruannya lebih dulu, sebelum diberikan oleh tuannya, maka buruannya itu haram dimakan seperti haramnya bangkai.

Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa hasil buruan binatang yang terlatih itu boleh dimakan apabila pada saat melepaskan binatang, si pemburu membaca basmalah. Hukum membaca basmalah itu wajib menurut sebagian ulama seperti Abu Hanifah, menurut Imam Syafi’i hukumnya sunah.

Kemudian akhir ayat ini menerangkan supaya tetap bertakwa, yaitu mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah sangat cepat menghitung semua amal hamba-Nya tanpa ada yang tertinggal dan tersembunyi bagi-Nya.

Ayat 4

Ayat ini menerangkan tiga macam hal yang halal bagi orang mukmin, yaitu:

1.Makanan yang baik-baik, seperti dimaksud pada ayat keempat. Kemudian disebutkan kembali pada ayat ini untuk menguatkan arti baik itu dan menerangkan bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik itu tidak berubah.

2.Makanan Ahli Kitab. Makanan di sini menurut jumhur ulama ialah sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka pada waktu itu mempunyai kepercayaan bahwa haram hukumnya memakan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Selama mereka masih mempunyai kepercayaan seperti itu, maka sembelihan mereka tetap halal.

Sedangkan makanan lainnya seperti buah-buahan, dan sebagainya dikembalikan saja hukumnya kepada jenis yang pertama yaitu tayyibat, apabila termasuk golongan makanan yang baik-baik boleh dimakan, kalau tidak (khabais), haram dimakan. Adapun sembelihan orang kafir yang bukan Ahli Kitab haram dimakan.

3.Mengawini perempuan-perempuan merdeka (bukan budak) dan perempuan-perempuan mukmin dan perempuan Ahli Kitab hukumnya halal. Menurut sebagian mufasir yang dimaksud al-muhsanat ialah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dirinya.

Laki-laki boleh mengawini perempuan-perempuan tersebut dengan kewajiban memberi nafkah, asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk dijadikan gundik. Ringkasnya laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-perempuan Ahli Kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas.

Tetapi perempuan-perempuan Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki Ahli Kitab apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan Ahlil Kitab. Kemudian  akhir ayat kelima ini memperingatkan, bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman, maka semua amal baik yang pernah dikerjakannya akan hapus semuanya dan di akhirat termasuk orang  yang rugi.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 3

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Dalam ayat ini dijelaskan makanan-makanan yang diharamkan, yaitu:

  1. Bangkai, yaitu binatang yang mati tanpa disembelih. Di antara hikmah diharamkan bangkai antara lain karena bangkai itu mengandung kuman yang sangat berbahaya bagi kesehatan di samping keadaannya yang menjijikkan.
  2. Darah, yaitu darah yang mengalir keluar dari tubuh hewan, karena disembelih atau lain-lain. Hikmah diharamkan darah itu antara lain, karena mengandung kuman dan zat-zat kotor dari tubuh dan sukar dicernakan.
  3. Daging babi, termasuk semua anggota.
  4. Hewan yang disembelih dengan menyebut atau mengagungkan nama selain Allah, seperti menyebut nama berhala. Hikmah haramnya adalah karena mempersekutukan Allah.
  5. Hewan mati tercekik. Banyak pendapat menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan mati tercekik, yaitu di antaranya mati karena diikat dan sebagainya, sehingga hewan itu mati dalam keadaan tidak berdaya. Hikmah haramnya sama dengan hikmah haramnya bangkai.
  6. Hewan mati dipukul, yaitu hewan yang mati dipukul dengan benda keras atau dengan benda berat. Hikmah haramnya menurut sebagian pendapat karena darahnya tidak keluar, sehingga merusak dagingnya. Selain dari itu juga karena ada larangan menganiaya binatang dan jelas perbuatan itu dianggap melanggar hadis Nabi yang berbunyi:

عَنْ شَدَّادِ بْنِ اَوْسِ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ الله َ كَتَبَ اْلاِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَاِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا اْلِقتْلَةَ وَاِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ اَحَدُكُمْ شَفَرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

(رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن)

Dari Syaddad bin Aus, Rasulullah saw, bersabda, “Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas setiap sesuatu, kalau kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan kalau menyembelih, sembelihlah dengan baik, hendaklah seorang kamu mempertajam pisaunya dan jangan sampai tersiksa binatang sembelihannya.” (Riwayat Ahmad, Muslim dan Ashabus-Sunan)

  1. Hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi seperti jatuh dari atas bukit masuk ke dalam jurang. Hikmah haramnya sama dengan bangkai.
  2. Hewan mati karena ditanduk oleh hewan lain. Hikmahnya sama dengan bangkai. Kalau masih sempat disembelih maka hukumnya halal.
  3. Hewan yang mati diterkam binatang buas. Hikmahnya sama dengan bangkai, kalau masih sempat disembelih maka hukumnya halal.
  4. Hewan yang disembelih untuk berhala, sebagaimana yang diperbuat oleh orang Arab pada zaman jahiliah yang menyembelih hewan di dekat berhala-berhala yang jumlahnya 360, terdapat di sekitar Ka’bah. Hikmah haramnya adalah karena perbuatan ini termasuk mempersekutukan Allah.

Selanjutnya diterangkan tentang haramnya mengundi nasib dengan anak panah, seperti yang dilakukan oleh orang Arab pada masa jahiliah, yaitu dengan mengambil tiga anak panah yang belum ada bulu, salah satu anak panah itu ditulis dengan perkataan: “Amarani rabbi” (Tuhanku telah menyuruhku), anak panah yang kedua ditulis dengan perkataan: “Nahani rabbi” (Tuhanku melarangku), sedang anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Anak panah itu disimpan di dalam Ka’bah.

Jika mereka bermaksud mengerjakan pekerjaan yang besar dan penting, mereka minta tolong kepada penjaga Ka’bah mencabut salah satu dari ketiga anak panah tersebut dan melaksanakan apa yang tertulis pada anak panah yang diambil itu. Kalau terambil anak panah yang tidak ditulis apa-apa, maka undian diulangi lagi. Perbuatan ini dilarang karena mengandung syirik atau tahayul dan khurafat.

Dalam hal ini menurut ajaran Rasulullah saw bila hendak memilih salah satu dari dua pekerjaan yang sama pentingnya atau memilih di antara melaksanakan atau tidak, maka hendaklah melaksanakan salat istikharah dua raka’at. Kalau undian biasa (qur’ah) yang tidak mengandung kefasikan atau tahayul dan khurafat, tidaklah diharamkan, seperti undian untuk mengambil salah satu bagian dari dua tumpukan yang sudah diusahakan sama banyaknya, siapa yang berhak dari masing-masing tumpukan itu lalu diadakan qur’ah (undian).

Selanjutnya diterangkan bahwa pada haji wada’ orang-orang kafir telah putus asa dalam usahanya untuk mengalahkan agama Islam. Oleh karena itu kaum Muslimin tidak boleh merasa takut kepada mereka tetapi hendaklah takut kepada Allah.

Selanjutnya dalam ayat ini dijelaskan lagi tentang sesuatu yang penting bagi Nabi Muhammad saw dan bagi seluruh umat Islam, bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam dan telah mencukupkan nikmat-Nya, serta telah rida agama Islam menjadi agama umat manusia.

Setelah ayat ini dibacakan oleh Nabi, maka Umar menangis lalu Nabi bertanya apa yang menyebabkan ia menangis. Umar menjawab, “Sesuatu yang sudah sempurna tidak ada yang ditunggu lagi kecuali kurangnya.” Rasulullah membenarkan ucapan Umar itu (Riwayat Ibnu Jarir dan Harun bin Antarah dari ayahnya )

Diriwayatkan bahwa ayat ini turun di Arafah tanggal 9 Zulhijjah 10 H, hari Jumat sesudah asar. Sejarah telah mencatat: bahwa 81 hari sesudah turunnya ayat ini Nabi Muhammad saw pun wafat setelah menunaikan risalahnya selama kurang lebih 23 tahun. Memang ajaran Islam telah sempurna, walaupun segala persoalan belum dirinci, tetapi telah cukup sempurna dengan berbagai prinsip urusan duniawi maupun ukhrawi.

Kemudian pada akhir ayat ini diterangkan, bahwa orang-orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan Allah karena lapar tanpa niat untuk berbuat dosa, dibolehkan asal dia makan seperlunya saja, sekedar mempertahankan hidup. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 1-2

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Ayat 1

Permulaan ayat ini memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetia hamba kepada Allah, maupun janji yang dibuat di antara sesama manusia, seperti yang bertalian dengan perkawinan, perdagangan dan sebagainya, selama janji itu tidak melanggar syariat Allah, seperti yang disebutkan di dalam hadis yang berbunyi:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

(رواه البخاري ومسلم عن عائشة)

“Setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, adalah batil meskipun seratus macam syarat.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra).

Selanjutnya ayat ini menyebutkan tentang binatang-binatang yang halal dimakan seperti yang tersebut dalam Surah al-An’am/6:143 dan 144, dan melarang memakan sepuluh macam makanan seperti yang tersebut pada ayat ketiga dari Surah ini. Orang yang sedang berihram haji dan umrah atau salah satu dari keduanya tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat baik di tanah haram maupun di luarnya dan tidak dihalalkan memakan dagingnya.

Bagi orang yang berada di tanah haram sekalipun tidak sedang berihram tidak dihalalkan berburu binatang buruan darat. Demikianlah Allah menetapkan hukum-Nya menurut kehendak-Nya untuk kemaslahatan hamba-Nya.

Ayat 2

Menurut riwayat Ibnu Juraij dan Ikrimah, bahwa seorang bernama al-Hutam al-Bakri datang ke Medinah dengan unta membawa bahan makanan. Setelah dijualnya makanan itu ia menjumpai Nabi, lalu membaiat diri masuk Islam. Setelah ia berpaling pergi, Nabi memperhatikannya seraya bersabda kepada para sahabatnya yang ada di situ: “Dia datang kepada saya dengan wajah orang yang berdusta dan berpaling pergi membelakangi saya seperti penipu.”

Setelah al-Hutam tiba di Yamamah, lalu ia murtad dari Islam. Berikutnya pada bulan Zulkaidah, ia keluar lagi dengan untanya hendak menjual barang makanan ke Mekah. Tatkala para sahabat Nabi mendengar berita ini, beberapa orang dari golongan Muhajirin dan Ansar, bersiap keluar untuk menghajarnya di tengah jalan, maka turunlah ayat yang kedua ini. Akhirnya mereka tidak jadi melakukannya.

Pada ayat kedua ini Allah menerangkan kepada orang-orang yang beriman; lima larangan penting yang tidak boleh dilanggar yaitu:

  1. Melanggar larangan-larangan Allah, yaitu melanggar amalan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam ibadah haji dan lain-lainnya.
  2. Melanggar kehormatan bulan haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab, yang dilarang pada bulan-bulan tersebut berperang kecuali membela diri karena diserang.
  3. Mengganggu binatang-binatang hadyu, yaitu unta, lembu dan sejenisnya, kambing, biri-biri dan sejenisnya yang dihadiahkan kepada Ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin.
  4. Mengganggu qala’id yaitu binatang-binatang hadyu (kurban), yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Ka’bah. Menurut pendapat yang lain, termasuk juga orang-orang yang memakai kalung yang menunjukkan bahwa dia hendak mengunjungi Ka’bah yang tidak boleh diganggu, seperti yang dilakukan orang Arab pada zaman jahiliah.
  5. Menghalangi dan mengganggu orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari karunia (rezeki) Allah seperti berdagang dan mencari keridaan-Nya, yaitu mengerjakan haji dan umrah. Menurut jumhur yang tidak boleh dihalang-halangi itu ialah orang-orang mukmin, sedang orang-orang kafir tidak diperbolehkan lagi masuk tanah haram sesuai dengan firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang yang musyrik itu najis (jiwa), sebab itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini .” (at-Taubah/9:28)

Selanjutnya ayat itu menjelaskan, bahwa kalau sudah tahallul, artinya, sesudah selesai mengerjakan ibadah haji atau umrah, dibolehkan berburu di luar tanah haram sedang di tanah haram tetap tidak dibolehkan, dilarang mencabut tumbuh-tumbuhan dan mengganggu binatang buruannya, berbuat aniaya terhadap orang yang menghalang-halangi masuk Masjidilharam, seperti kaum musyrikin menghalang-halangi orang-orang mukmin mengerjakan umrah yang ditetapkan pada perdamaian Hudaibiyah.

Kemudian bahagian terakhir ayat ini mewajibkan orang-orang mukmin tolong-menolong sesama mereka dalam berbuat kebaikan dan bertakwa, untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka. Dilarang tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran serta memerintahkan supaya tetap bertakwa kepada Allah agar terhindar dari siksaan-Nya yang sangat berat.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 18-20

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 18

Keesaan Allah dinyatakan dengan menegakkan dalil-dalil dan dengan bukti ciptaan-Nya pada alam dan diri manusia, serta menurunkan ayat-ayat yang menjelaskannya. Para malaikat menyatakan pula hal keesaan Allah itu dan menyampaikannya kepada nabi-nabi. Para nabi menyatakan kesaksian yang diperkuat oleh ilmu yang sudah tertanam dalam jiwa mereka yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu lainnya yang diperoleh dengan pengalaman.

Demikian pula para ulama, turut menyatakan keesaan Allah dan menjelaskannya. Mereka menyaksikan Allah dengan kesaksian yang disertai bukti-bukti dan alasan ilmiah. Ayat ini menunjukkan martabat yang tinggi dari para ulama karena mereka telah disejajarkan dengan malaikat yang mulia yaitu sama-sama dapat menyaksikan keesaan Allah.

“Menegakkan keadilan” ialah menegakkan keseimbangan dalam itikad, karena tauhid itu merupakan suatu kepercayaan yang lurus, tauhid yang murni yang tidak dicampuri sedikit pun oleh keingkaran kepada Allah dan mempersekutukan-Nya. Juga menegakkan keseimbangan di dalam ibadah, budi pekerti dan amal perbuatan, artinya menegakkan keseimbangan antara kekuatan rohani, dan kekuatan jasmani.

Allah memerintahkan kita melakukan ibadah salat dan ibadah lainnya untuk menyucikan rohani. Allah menyuruh kita makan makanan yang baik, untuk memelihara tubuh. Allah melarang kita berlebih-lebihan di dalam beragama dan keterlaluan dalam mencintai dunia.

Demikian pula, Allah meletakkan hukum keseimbangan pada alam ini. Barang siapa memperhatikan hukum alam ini dan ketertibannya dengan teliti, maka tampak jelas baginya hukum keseimbangan itu paling sempurna. Allah menegakkan keseimbangan yang sempurna pada alam ini sebagai bukti nyata atas kebenaran kebijaksanaan-Nya. Kesatuan tata tertib pada alam ini menunjukkan keesaan pencipta-Nya.

Di akhir ayat ini, keesaan Zat-Nya ditegaskan dalam sifat ketuhanan. “Tak ada Tuhan melainkan Dia, yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana”. Sifat “Mahakuasa” dalam ayat ini memberi pengertian kesempurnaan kodrat-Nya dan sifat “Mahabijaksana” menunjukkan kesempurnaan ilmu-Nya. Suatu kekuasaan tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya hak yang mutlak dalam bertindak.

Keadilan (keseimbangan) juga tidak akan dapat sempurna, kecuali dengan mengetahui segala keadaan dan kemaslahatan. Maka barang siapa yang kesempurnaannya sudah sampai demikian, tidak seorang pun dapat mempengaruhinya dalam menjalankan keseimbangan itu dan tidak ada satu makhluk pun yang luput dari hukum-Nya.

Ayat 19

Agama yang diakui Allah hanyalah agama Islam, agama tauhid, agama yang mengesakan Allah. Dia menerangkan bahwasanya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam. Semua agama dan syariat yang dibawa nabi-nabi terdahulu intinya satu, ialah “Islam”, yaitu berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, menjunjung tinggi perintah-perintah-Nya dan berendah diri kepada-Nya, walaupun syariat-syariat itu berbeda di dalam beberapa kewajiban ibadah dan lain-lain.

Muslim yang benar ialah orang yang ikhlas dalam melaksanakan segala amalnya, serta kuat imannya dan bersih dari syirik.

Allah mensyariatkan agama untuk dua macam tujuan:

  1. Membersihkan jiwa manusia dan akalnya dari kepercayaan yang tidak benar.
  2. Memperbaiki jiwa manusia dengan amal perbuatan yang baik dan memurnikan keikhlasan kepada Allah.;Kemudian Allah menggambarkan perselisihan para Ahli Kitab tentang agama yang sebenarnya. Sebenarnya mereka tidaklah keluar dari agama Islam, agama tauhid yang dibawa oleh para nabi, seandainya pemimpin-pemimpin mereka tidak berbuat aniaya dan melampaui batas sehingga mereka berpecah belah menjadi sekian sekte serta membunuh nabi-nabi.

Perpecahan dan peperangan di antara mereka tidak patut terjadi karena mereka adalah satu agama. Tetapi karena kedengkian di antara pemimpin-pemimpin mereka, dan dukungan mereka terhadap satu mazhab untuk mengalahkan mazhab yang lain, timbullah perpecahan itu. Perpecahan itu bertambah sengit setelah pemimpin-pemimpin itu menyesatkan lawannya dengan jalan menafsirkan nas-nas agama menurut hawa nafsu mereka.

Di akhir ayat ini, dikemukakan peringatan kepada orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dengan menandaskan hukuman yang akan ditimpakan kepada mereka.

Ayat 20

Dalam ayat ini diterangkan bagaimana semestinya Nabi Muhammad. menghadapi sikap Ahli Kitab yang menentang agama Islam. Dalam menghadapi mereka, Nabi diperintahkan untuk menjawab bilamana mereka mengemukakan bantahan terhadap ajaran yang dibawanya, dengan mengatakan kepada mereka bahwa dia hanya berserah diri kepada Allah demikian pula orang-orang yang mengikutinya. Jawaban demikian adalah untuk menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak berfaedah, karena bukti-bukti kekeliruan mereka sudah jelas.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi untuk mengatakan kepada orang Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin Arab yang sedang dihadapinya: “Apakah kamu (mau) masuk agama Islam?” Maksudnya apakah kamu mau menerima agama Islam sehingga kamu berserah diri kepada Allah.

Pertanyaan itu disampaikan Nabi sesudah beliau berulang kali menunjukkan bukti-bukti kebenarannya, dan sebenarnya sudah pula dimengerti oleh mereka. Ataukah sebenarnya mereka masih ingin meneruskan kekafiran dan perlawanan mereka. Secara tidak langsung ungkapan pertanyaan Nabi itu menunjukkan kebodohan dan ketumpulan otak mereka serta mencela sikap keras dari mereka itu.

“Sesungguhnya jika mereka menjadi Muslim, mereka mendapat petunjuk. Menjadi Muslim berarti berserah diri secara mutlak kepada keesaan Allah. Di sinilah letak jiwa segala agama yang dibawa oleh para rasul, yakni berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa. Mereka pasti akan memperoleh keuntungan besar dan selamat dari jurang kesengsaraan. Karena penyerahan diri mereka kepada Allah Yang Maha Esa akan mendorong mereka mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad yaitu ajaran Islam. Tetapi jika mereka menolak, maka hal itu tidak menjadi tanggung jawab beliau, sebab tugas beliau hanyalah menyampaikan ajaran Allah.

“Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”, Allah Maha Mengetahui hati siapa yang tertutup di antara hamba-hamba-Nya, mata siapa yang buta melihat kebenaran, dan siapa pula yang putus asa mencari petunjuk Ilahi. Allah Maha Mengetahui siapa-siapa di antara hamba-Nya yang dapat menerima taufik dan hidayah daripada-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 15-17

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 15

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang dimaksud dengan tempat kembali yang baik itu agar mereka terdorong untuk berbuat kebaikan. Nabi Muhammad diperintahkan untuk menanyakan kepada kaumnya, apakah mereka suka diberitahu tentang hal-hal yang lebih baik dari segala macam kesenangan yang disebut pada ayat 14. Dengan cara bertanya mereka akan lebih tertarik untuk memberikan jawaban.

Pengertian “yang lebih baik” adalah balasan yang akan diperoleh oleh orang yang bertakwa, yang dapat dibagi kepada dua macam nikmat, yaitu:

  1. Bersifat jasmani, nikmat berupa keindahan di surga yang tak tergambarkan oleh manusia, antara lain pasangan hidup yang bersih dari segala macam cacat dan kelemahan, seperti yang terdapat pada manusia di dunia, baik dari segi rupa maupun perangai dan lain sebagainya.
  2. Bersifat kerohanian, rida Allah yang tidak bercampur sedikit pun dengan kemurkaan-Nya, dan inilah sebesar-besar nikmat di akhirat bagi orang-orang yang bertakwa.;Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الله َعَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ ِلاَهْلِ الْجَنَّةِ: يَا اَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُوْنَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ. فَيَقُوْلُ: هَلْ رَضِيْتُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ وَمَا لَنَا لاَ نَرْضَى وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَالَمْ تُعْطِ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ؟ فَيَقُوْلُ: اَنَا اُعْطِيْكُمْ اَفْضَلَ مِنْ ذٰلِكَ. قَالُوْا: يَا رَبَّنَا وَ اَيُّ شَيْءٍ اَفْضَلُ مِنْ ذٰلِكَ؟ فَيَقُوْلُ: اُحِلَّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلاَ اَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ اَبَداً

(رواه البخاري ومسلم عن أبي سعيد الخدري)

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berkata kepada ahli surga, “Hai, penghuni surga,” mereka manjawab, ”Labbaika Rabbana Wasa’daika.” Berkata Allah, “Sudah puaskah kamu sekalian?” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak puas. Sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang dari makhluk-Mu”. Maka Allah berfirman, ”Aku akan memberikan kepada kamu yang lebih baik daripada itu?” Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami! Apakah yang lebih daripada itu? Maka Allah menjawab, “Aku akan melimpahkan kepadamu keridaan-Ku. Lalu Aku tidak akan marah kepadamu selama-lamanya”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).

Penghuni surga itu mempunyai tingkatan seperti keadaan di dunia. Di antara manusia di dunia ini ada yang tidak dapat memahami pentingnya rida Ilahi, padahal rida Ilahi itu mendorongnya untuk berbuat kebajikan atau meninggalkan kejahatan. Mereka ini hanya menginginkan kenikmatan-kenikmatan lahiriah seperti yang mereka rasakan di dunia. Di antara mereka ada yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi dan sanggup mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka mengharapkan keridaan Allah serta menjadikannya sebagai tujuan akhir dan kebahagiaan yang tertinggi bagi hidupnya.

Allah Maha Mengetahui hal ihwal manusia, isi hati dan segala rahasia mereka. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah. Oleh karena itu Dia akan memberikan ganjaran atas segala perbuatan manusia menurut derajat takwanya masing-masing.

Ayat 16

Sifat-sifat orang yang bertakwa yaitu orang yang hatinya sudah merasakan nikmatnya iman, orang yang bergetar lidahnya mengucapkan pengakuan iman ini ketika berdoa dan beribadah. Mereka memelihara diri dari berbuat maksiat, tunduk kepada Allah dengan khusyuk serta memohon kepada-Nya, “Wahai Tuhan kami, kami benar-benar telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan kepada Rasulullah dengan iman yang meresap ke dalam lubuk hati kami, yang membimbing akal pikiran kami, dan menguasai pekerjaan-pekerjaan badaniah kami. Maka wahai Tuhan kami, hapuslah dosa-dosa kami dengan ampunan-Mu dan jauhkanlah kami dari azab neraka. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Doa agar terhindar dari azab neraka dikhususkan, karena orang yang dibebaskan dari azab neraka berarti telah mendapat kemenangan dan tempat kembali yang terbaik. Yang dimaksud dengan iman dalam pengakuan orang-orang yang bertakwa ini ialah iman yang murni, yang terwujud pada kemampuan memelihara diri daripada kemaksiatan, serta banyak berbuat kebajikan.

Ulama salaf telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan iman itu meliputi iktikad, ucapan dan perbuatan. Iman inilah yang memberi bimbingan kepada akal dan perbuatan manusia yang sesuai dengan fitrahnya.

Ayat 17

Pada ayat ini disebutkan sifat-sifat orang beriman yang membedakan mereka dari yang lain. Dengan sifat tersebut mereka mendapatkan keridaan Allah swt. Semua sifat tersebut mereka miliki, dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkatan keutamaan, berkat sifat-sifat itu mereka memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada mereka. Sifat-sifat tersebut ialah:

  1. Sabar. Sabar yang paling sempurna, ialah sabar dan tabah menderita di dalam melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan Allah. Apabila gelora syahwat sudah bergejolak, dan jiwa pun sudah tunduk untuk melakukan kemaksiatan maka kesabaranlah yang akan membendungnya. Sifat sabar pulalah yang menetapkan (mengokohkan) iman dan memelihara ketaatan pada batas-batas yang telah ditetapkan syariat (hukum agama). Sabarlah yang dapat memelihara martabat manusia di waktu mendapat kesulitan di dunia, dan memelihara hak-hak orang dari gangguan tangan orang yang rakus. Sifat sabar merupakan syarat bagi tercapainya sifat-sifat jujur, taat, dan istigfar.
  2. Bersifat benar. Benar adalah puncak kesempurnaan. Benar dan jujur dalam iman, perkataan dan niat.
  3. Taat. Taat ialah ketekunan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan tunduk dan khusyuk kepada Allah. Tunduk dan khusyuk adalah jiwa dan intisari ibadah. Tanpa tunduk dan khusyuk ibadah menjadi hampa, bagaikan pohon tiada berbuah.
  4. Membelanjakan harta di jalan Allah, baik yang bersifat wajib, maupun yang sunah, karena mengeluarkan harta untuk amal kebajikan sangat ditekankan dan dianjurkan oleh agama.
  5. Beristigfar pada waktu sahur, yaitu waktu sebelum fajar menyingsing dekat subuh. Maksudnya salat tahajud di akhir malam, yaitu waktu tidur paling enak dan sukar untuk meninggalkannya. Tetapi jiwa dan hati pada waktu itu sangat bening dan tenang. Salat ini diikuti dengan bacaan istigfar dan doa. Terdapat di dalam kitab hadis Sahih Bukhari dan Muslim, dan dalam kitab-kitab musnad serta sunan, riwayat dari sejumlah sahabat.;Rasulullah berkata:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ اِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلاٰخِرِ. يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

(رواه البخاري ومسلم)

‘Tuhan kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi, turun pada setiap malam ke langit dunia pada waktu sepertiga akhir malam. Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Adapun istigfar (minta ampun) yang dimaksud oleh agama ialah istigfar yang disertai tobat nasuha, serta menyesuaikan perbuatan dengan ketentuan agama. Tobat nasuha adalah tobat dengan benar-benar menghentikan perbuatan dosa dan tidak mengulangi lagi, serta berusaha menggantinya dengan perbuatan yang baik.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 14

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Sesudah dijelaskan pada ayat sebelum ini tentang kekeliruan pandangan orang kafir terhadap harta dan anak-anak serta penyimpangan mereka dari kebenaran, maka dalam ayat ini diterangkan segi kesesatan mereka yang disebabkan oleh harta dan anak yang dijadikan tumpuan harapan mereka.

Adalah keliru kalau manusia menjadikan harta dan anak sebagai tujuan hidupnya. Perempuan, anak-anak, emas dan perak, kendaraan, binatang peliharaan, dan semua kekayaan adalah menyenangkan manusia dan sangat dicintainya. Sebenarnya bukan sesuatu yang terlarang mencintai benda-benda itu, karena manusia tidak dapat terhindar dari mencintainya.

Namun sedikit sekali orang yang memahami keburukan atau bahayanya, sekalipun bukti-bukti cukup jelas dan banyak yang memperlihatkan keburukan dan bahayanya itu. Kadang-kadang manusia menyukai sesuatu, padahal dia mengetahui sesuatu itu buruk, dan tidak berguna. Siapa yang menyukai sesuatu tetapi dia menganggap hal itu tidak baik untuk dirinya, dia dapat melepaskan diri dari pengaruhnya.

Sesungguhnya Allah menjadikan tabiat manusia cinta kepada harta benda dan kesenangan. Oleh sebab itu, Allah menjadikan harta benda dan kesenangan sebagai sarana menguji keimanan seseorang, apakah dia akan menggunakan semua harta dan kesenangan itu untuk kehidupan duniawi saja, ataukah dia akan menggunakan harta bendanya untuk mencapai keridaan Allah.

وَتَوَدُّوْنَ اَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُوْنُ لَكُمْ وَيُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمٰتِهٖ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكٰفِرِيْنَۙ

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.(al-Kahf/18: 7)

Benda-benda kesenangan manusia secara terperinci adalah sebagai berikut:

Pertama: Perempuan (istri), istri adalah tumpuan cinta dan kasih sayang. Jiwa manusia selalu cenderung tertuju kepada istri, sebagaimana difirmankan Allah dalam Alquran:

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. …. (ar-Rum/30: 21)

Sebagian besar hasil usaha kaum lelaki yang diperoleh dengan susah payah diperuntukkan bagi anak dan istri. Para lelaki adalah pembimbing yang bertanggung jawab atas kaum perempuan, karena lelaki itu memiliki kekuatan dan kemampuan melindungi mereka. Tetapi mencintai perempuan secara berlebihan mempunyai efek yang kurang baik terhadap keluarga, masyarakat, dan bangsa, dan dapat pula mempengaruhi keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

Dalam ayat ini, mencintai istri disebutkan lebih dahulu daripada mencintai anak-anak, walaupun cinta kepada istri itu dapat luntur, sedang cinta pada anak tidak karena cinta pada anak jarang sekali berlebih-lebihan seperti halnya mencintai perempuan.

Pada umumnya mencintai anak tidak menimbulkan problema. Dalam masyarakat banyak terjadi seorang laki-laki mengutamakan cinta kepada perempuan dengan mengabaikan cinta kepada anak. Seperti laki-laki yang kawin lebih dari satu, dia curahkan cintanya pada istri yang lain, diberinya nafkah yang banyak, sedang istrinya yang tua diabaikan.

Dengan demikian anak-anaknya jadi terlantar, karena pendidikannya tidak lagi diperhatikan. Banyak pula anak-anak penguasa dan orang kaya yang rusak akhlaknya karena bapaknya mencintai perempuan lain.

Kedua: Anak, laki-laki atau perempuan. Cinta kepada anak adalah fitrah manusia. Sama halnya dengan cinta kepada istri karena tujuannya untuk melanjutkan keturunan.

Anak sebenarnya adalah hiasan rumah tangga, penerus keturunan dari generasi ke generasi. Tetapi dia dapat berubah menjadi cobaan:

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), … (at-Tagabun/64: 15)

Ketiga: Harta kekayaan yang melimpah ruah. Ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Emas dan perak amat disenangi, karena keduanya adalah alat penilai harga sesuatu. Orang yang memilikinya sama dengan orang yang memiliki segala sesuatu. Memiliki berarti menguasai. Berkuasa adalah salah satu kesempurnaan, dan kesempurnaan itu diinginkan oleh semua manusia.

Karena emas dan perak adalah alat yang paling tepat untuk memperoleh kesempurnaan, maka ia diinginkan dan dicintai. Apabila sesuatu yang dicintai tidak dapat diperoleh kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun dicintai pula. Maka karena itulah emas dan perak dicintai”.

Harta yang melimpah ruah akan menggoda hati manusia serta menyibukkan mereka sepanjang hari untuk mengurusnya. Hal ini sudah barang tentu akan dapat melupakan orang kepada Tuhan dan kehidupan di akhirat.

سَيَقُوْلُ لَكَ الْمُخَلَّفُوْنَ مِنَ الْاَعْرَابِ شَغَلَتْنَآ اَمْوَالُنَا وَاَهْلُوْنَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا

Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiah) akan berkata kepadamu, ”Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami… (al-Fath/48: 11)

Cinta kepada harta telah menjadi tabiat buruk manusia, karena harta adalah alat untuk memenuhi keinginan. Keinginan manusia tidak ada batasnya. Maka mereka mengejar harta tidak henti-hentinya. Rasulullah saw bersabda:

لَوْكَانَ لاِبْنِ أَدَمَ وَادٍ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ِالَيْهِ ثَانِيًا وَلَوْكَانَ لَهُ وَادِيَانِ لاَبْتَغَى لَهُمَا ثَالِثًا وَلاَ يَمْـَلأُ جَوْفَ ابْنِ اَدَمَ ِالاَّ التُّرَابُ وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ

(رواه البخارى عن ابن عباس)

Sekiranya manusia itu mempunyai satu lembah harta, niscaya ia ingin yang kedua (satu lembah lagi). Kalau ia mempunyai dua lembah, niscaya ia ingin yang ketiga. Tidak ada yang dapat memenuhi perut Bani Adam kecuali tanah. Dan Allah mengampuni orang-orang yang bertobat kepada-Nya. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas).

Keempat: Kuda yang dipelihara di padang rumput, terutama kuda yang berwarna putih di bagian dahi dan kakinya, sehingga tampak sebagai tanda. Bagi masyarakat Arab, kuda yang demikian ini adalah kuda yang paling baik dan paling indah. Mereka berlomba-lomba untuk dapat memilikinya. Mereka merasa bangga dengan kuda semacam itu dan kadang-kadang bersaing membelinya dengan harga yang amat tinggi.

Kelima: Binatang ternak lainnya, seperti sapi, unta, kambing. Binatang-binatang ini termasuk harta kekayaan Arab Badui. Kebutuhan hidup mereka seperti pakaian, makanan alat-alat rumah tangga dan sebagainya, sebagian besar terpenuhi dari hasil beternak binatang-binatang itu. Allah berfirman menerangkan nikmat-Nya ini:

وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ وَّمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ   ٥  وَلَكُمْ فِيْهَا جَمَالٌ حِيْنَ تُرِيْحُوْنَ وَحِيْنَ تَسْرَحُوْنَۖ  ٦  وَتَحْمِلُ اَثْقَالَكُمْ اِلٰى بَلَدٍ لَّمْ تَكُوْنُوْا بٰلِغِيْهِ اِلَّا بِشِقِّ الْاَنْفُسِۗ اِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ  ٧  وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ  ٨

Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat penggembalaan).Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sungguh, Tuhanmu Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.(an-Nahl/16: 5-8)

Keenam: Sawah ladang adalah sumber kehidupan manusia dan hewan. Kebutuhan manusia kepada sawah ladang melebihi kebutuhan mereka kepada harta lainnya yang disenangi, karena sawah ladang adalah sumber pemenuhan kebutuhan seseorang.

Demikianlah keenam macam harta yang disenangi manusia di dunia ini, dan merupakan alat kelengkapan bagi hidup mereka, yang memenuhi segala kebutuhan dan keinginan mereka. Setan menggoda manusia sehingga ia memandang baik mencintai harta benda tersebut. Tetapi hendaknya manusia menyadari bahwa semua harta benda itu hanya untuk kehidupan duniawi yang tidak kekal.

Tidak benar, apabila harta benda dijadikan manusia sebagai cita-cita dan tujuan akhir dari kehidupan di dunia yang fana ini, sehingga dia terhalang untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan yang sebenarnya, yaitu kehidupan akhirat yang abadi. Bukankah di sisi Allah ada tempat kembali yang baik (surga)? Alangkah bahagianya manusia, sekiranya dia mempergunakan harta benda itu dalam batas-batas petunjuk Allah.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 11 -13

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 11

Hal ihwal orang yang ingkar sama dengan hal ihwal Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, juga serupa dengan apa yang dilakukan umat sebelumnya kepada Nabi Musa dan nabi-nabi lainnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Allah yang dibawa oleh para rasul. Karena itu Allah menurunkan siksa atas mereka betapa pun besarnya kekuasaan mereka. Musuh-musuh nabi itu hancur, dan nabi-nabi beserta pengikut-pengikutnya memperoleh kemenangan.

Orang kafir tidak dapat lari dari azab yang diturunkan Allah. Karena hukuman Allah itu adalah sebagai akibat yang wajar dari dosa mereka sendiri. Orang-orang Yahudi merasa takut dengan turunnya ayat ini karena mereka mengetahui apa yang telah dialami oleh Fir’aun dan pengikut-pengikutnya.

Yang dimaksud orang-orang kafir dalam ayat ini ialah orang Yahudi Medinah. Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, orang Yahudi Medinah tatkala menyaksikan kemenangan Rasulullah atas kaum musyrik pada Perang Badar, mereka berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia adalah nabi yang ummi, yang dikabarkan oleh Nabi Musa kepada kita, dan dalam Taurat terdapat tanda-tandanya”.

Lalu mereka bermaksud mengikuti Nabi Muhammad saw. Tetapi sebagian mereka berkata, “Janganlah terburu-buru sampai kamu menyaksikan bukti-bukti yang lain.” Tatkala tiba Perang Uhud mereka menjadi ragu-ragu lalu mereka membatalkan perjanjian yang mereka sepakati dengan Rasulullah saw. Kemudian Ka’ab bin al-Asyraf (pimpinan Yahudi) bersama enam puluh anggota pasukan berkuda berangkat segera ke Mekah untuk menghimpun kekuatan untuk memerangi Rasulullah saw. Maka pada saat itu turunlah ayat ini.

Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, dan oleh al-Baihaqi dalam Dala′il melalui Ibnu Ishaq dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah tatkala berhasil mengalahkan orang Quraisy dalam Perang Badar, beliau pulang ke Medinah, beliau mengumpulkan orang Yahudi di pasar Bani Qainuqa’. Beliau berkata, “Hai, orang Yahudi masuklah dalam agama Islam sebelum kamu ditimpa oleh apa yang telah ditimpakan Allah kepada kaum Quraisy. Mereka menjawab, “Hai Muhammad, jangan kamu tertipu oleh dirimu sendiri.

Kamu telah membunuh sejumlah orang Quraisy, dan mereka itu orang-orang yang tidak berpengalaman, tidak mengerti perang. Demi Allah, jika kamu berperang melawan kami, kamu akan tahu bahwa kamilah sebenarnya laki-laki yang sesungguhnya, kamu belum pernah berhadapan dengan kami”. Dengan kejadian ini, turunlah ayat 12 dan 13 ini.

Ayat 12

Pada ayat ini Allah dengan tegas memperingatkan mereka; bahwa mereka pasti akan binasa di dunia ini, sebelum di akhirat nanti. Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa mereka akan dikalahkan di dunia ini. Tuhan akan menepati janji-Nya, dan di akhirat mereka akan ditempatkan di Neraka Jahanam.

Kebenaran ayat ini terbukti di kemudian hari. Kaum Muslimin berhasil mengalahkan Yahudi Bani Quraizah karena pengkhianatan mereka dan mengusir Bani Nadir dari Medinah, karena kemunafikan mereka, dan menaklukkan kota Khaibar kota orang Yahudi, serta memungut jizyah dari orang-orang Yahudi. Walaupun ayat ini menerangkan pungutan jizyah dari orang Yahudi, namun pengertian ayat ini mencakup semua orang kafir pada umumnya.

Ayat 13

Selanjutnya Allah memperingatkan agar mereka jangan merasa kuat dengan jumlah harta dan tenaga yang mereka miliki. Karena seharusnya mereka mengambil pelajaran dari peristiwa Perang Badar.

Jumlah dana dan tenaga yang besar dan banyaknya sekutu yang membantu, tidak akan menjamin kemenangan dalam peperangan. Sejarah peperangan di dunia ini membuktikan kekeliruan anggapan demikian. Apa yang terjadi pada Perang Badar, di mana dua pasukan saling berhadapan, pasukan dari kaum Muslimin yang berjumlah kecil yang berjuang di jalan Allah, ditakdirkan mendapat kemenangan atas pasukan kaum musyrikin yang jauh lebih besar jumlahnya.

Mereka yang memiliki akal pikiran yang sehat dan mempergunakannya untuk merenungkan segala perkara yang terjadi, serta mengambil faedah daripadanya, tentulah akan banyak memperoleh pelajaran dari peristiwa Perang Badar. Ternyata ada suatu kekuatan lain di atas segala kekuatan yang tampak. Kekuatan itulah yang sering memperkuat pasukan yang lemah hingga dia dapat mengalahkan pasukan yang kuat lagi besar dengan izin Allah.

Berperang di jalan Allah adalah kunci kemenangan. Bila perjuangan dan peperangan tujuannya untuk membela kebenaran, melindungi agama dan pemeluknya, maka jiwa pejuang-pejuangnya akan mendapat ketenangan dalam menghadapi medan pertempuran dan dapat berkonsentrasi dengan sepenuh kekuatan yang dimilikinya.

Karena mereka meyakini bahwa di belakang mereka ada kekuatan yang mendorong dan ada pertolongan dari Allah. Allah menegaskan bahwa pertolongan itu akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berjihad di jalan-Nya, asal saja mereka itu tetap tabah dan sabar serta selalu ingat kepada Allah, dan patuh kepada pimpinan.

Pada Perang Badar kedua yang terjadi tanggal 17 Ramadan tahun 2 Hijriah itu, kaum Muslimin berusaha mematuhi ketentuan-kekntuan Tuhan dan ketentuan Rasul-Nya dengan segala kemampuan yang ada, serta dengan tekad yang bulat. Mereka berperang dengan penuh keberanian, dan dengan pertolongan Allah mereka menang dalam peperangan itu.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad/47: 7)

Menurut para ahli sejarah, tentara kaum Muslimin dalam Perang Badar berjumlah 313 orang. Terdiri dari 77 orang Muhajirin dan 236 orang Ansar. Yang memegang bendera dalam pasukan Muhajirin adalah Ali bin Abu Talib, sedang bendera pasukan Ansar dipegang oleh Sa’ad bin ‘Ubadah. Dalam pasukan Muslimin itu terdapat 90 ekor unta dan 2 ekor kuda perang, masing-masing dikendarai oleh Miqdad bin al-Aswad dan Marsad bin Abi Marsad.

Jumlah yang terbunuh dari pihak kaum Muslimin 14 orang laki-laki, terdiri dari 6 orang Muhajirin dan 8 orang Ansar. Jumlah tentara kaum musyrikin 950 orang, dipimpin oleh ‘Utbah bin Rabi’ah, dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan dan Abu Jahal. Dalam pasukan mereka terdapat seratus ekor kuda, 700 ekor unta, dan sejumlah senjata yang tidak terbilang banyaknya.

Dalam Perang Badar jumlah pasukan kaum Muslimin hanya 313 orang saja. Tetapi dalam penglihatan kaum musyrikin ketika perang telah berkecamuk jumlah tersebut menjadi berlipat ganda, sehingga hal itu menimbulkan rasa takut dalam hati mereka. Akhirnya mereka lari dari medan pertempuran. Demikian Allah menurunkan pertolongan kepada kaum Muslimin.

Sebelum perang berkecamuk, pasukan kaum Muslimin di mata orang musyrik kelihatan sangat kecil, karena itu mereka berani menghadapi dan menyerbu musuh, seperti yang terjadi dalam Perang Badar.

وَاِذْ يُرِيْكُمُوْهُمْ اِذِ الْتَقَيْتُمْ فِيْٓ اَعْيُنِكُمْ قَلِيْلًا وَّيُقَلِّلُكُمْ فِيْٓ اَعْيُنِهِمْ لِيَقْضِيَ اللّٰهُ اَمْرًا كَانَ مَفْعُوْلًا ۗوَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ ࣖ

Dan ketika Allah memperlihatkan mereka kepadamu ketika kamu berjumpa, mereka berjumlah sedikit menurut penglihatan matamu dan kamu diperlihatkan-Nya berjumlah sedikit menurut penglihatan mereka, itu karena Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan. Hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan. (al-Anfal/8: 44)

Dengan pertolongan inilah Allah memperkuat orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan sesungguhnya pada pertolongan yang demikian itu ada pelajaran bagi orang yang mempunyai akal dan pikiran.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 7 – 10

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 7

Alquran yang diturunkan Allah itu, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang muhkamat dan terdapat pada yang mutasyabihat.

 “Ayat yang muhkamat” ialah ayat yang jelas artinya, seperti ayat-ayat hukum, dan sebagainya. “Ayat mutasyabihat” ialah ayat yang tidak jelas artinya, yang dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran. Seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib dan sebagainya.

Menurut sebagian mufasir, tujuan diturunkannya ayat-ayat ini, ialah:

  1. Untuk menguji iman dan keteguhan hati seorang Muslim kepada Allah. Iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah. Allah menurunkan ayat-ayat yang dapat dipahami artinya dengan mudah dan Dia menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan maksud yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat mutasyabihat.

Dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat ini, manusia akan merasa bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna, ia hanya diberi Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan menyerahkan pengertian ayat-ayat itu kepada Allah Yang Maha Mengetahui.

  1. Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat kaum Muslimin akan berpikir sesuai dengan batas-batas yang diberikan Allah; ada yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada pula yang sukar dipikirkan, lalu diserahkan kepada Allah.
  2. Para nabi dan para rasul diutus kepada seluruh umat manusia yang berbeda-beda, misalnya: Berbeda kepandaiannya, kemampuannya, kekayaannya, berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya. Karena itu, cara penyampaian agama kepada mereka hendaklah disesuaikan dengan keadaan mereka dan kesiapan bahasa yang dimiliki sesuai dengan kemampuan mereka.;Sikap manusia dalam memahami dan menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu:
  3. Orang yang hatinya tidak menginginkan kebenaran, mereka jadikan ayat-ayat itu untuk bahan fitnah yang mereka sebarkan di kalangan manusia dan mereka mencari-cari artinya yang dapat dijadikan alasan untuk menguatkan pendapat dan keinginan mereka.
  4. Orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan ingin mencari kebenaran, mereka harus mencari pengertian yang benar, dari ayat itu. Bila mereka belum atau tidak sanggup mengetahuinya, mereka berserah diri kepada Allah sambil berdoa dan mohon petunjuk.;Pada akhir ayat ini Allah menerangkan sifat orang yang dalam ilmu pengetahuannya, yaitu orang yang suka memperhatikan makhluk Allah, suka memikirkan dan merenungkannya. Ia berpikir semata-mata karena Allah dan untuk mencari kebenaran.

Ayat 8

Sikap orang yang ilmu pengetahuannya telah mendalam, mereka selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah swt, bila mereka tidak sanggup lagi memikirkan ayat-ayat Allah. Mereka berdoa kepada Allah agar selalu dipelihara, dipimpin, diberi petunjuk, dan jangan sampai mereka tergelincir ke jalan yang sesat setelah mereka mendapat petunjuk. Dari doa mereka dipahami bahwa yang mereka mohonkan itu bukanlah semata-mata keselamatan dan kebahagiaan duniawi, tetapi juga mereka memohon kebahagiaan dan keselamatan di akhirat.

Ayat 9

Dalam doa orang-orang yang ilmu pengetahuannya telah mendalam itu tergambar pula keyakinan mereka, yaitu mereka meyakini kedatangan hari kiamat, dan setelah itu Allah mengumpulkan seluruh makhluk-Nya untuk diperhitungkan segala amal perbuatannya yang telah mereka perbuat selama mereka hidup di dunia. Mereka yakin bahwa pada hari itu Allah membalas amal baik dengan pahala yang berlipat ganda, dan membalas semua perbuatan dosa dengan azab yang setimpal.

Kedatangan hari akhirat dan pengumpulan makhluk pada hari itu, merupakan janji Allah kepada manusia. Orang-orang yang ilmu pengetahuannya mendalam, yakin benar bahwa Allah pasti menepati janji-Nya.

Ayat 10

Orang yang kafir dan mengingkari kenabian Muhammad, padahal mereka mengetahui kebenarannya baik dari golongan Ahli Kitab maupun dari golongan orang-orang musyrik Arab, mereka tidak akan dapat menghindari azab Allah. Selanjutnya Allah menerangkan bahwa harta benda dan anak cucu mereka tidak akan memberi syafaat sedikit pun kepada mereka.

Harta yang bisa dipergunakan untuk mendapat manfaat dan menolak kemudaratan di dunia dan anak-anak yang bisa membantu dalam segala urusan penting dan dalam peperangan, semuanya itu tidak akan menyelamatkan mereka dari api neraka, sebagaimana Allah berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ    ٨٨

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. (asy-Syu’ara′/26:88)

Walaupun mereka mengucapkan seperti firman Allah:

وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ

Dan mereka berkata, ”Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Saba′/34: 35)

Peryataan mereka ini dibantah Allah dengan firman-Nya:

وَمَآ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ بِالَّتِيْ تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفٰىٓ اِلَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

Dan bukanlah harta atau anak-anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, …. (Saba′/34: 37)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 1 -6

0
tafsir surat ali 'imran
tafsiralquran.id

Ayat 1

Alif Lam Mim termasuk huruf-huruf muqaththa’ah (singkatan) yang terletak pada permulaan beberapa surah Alquran. Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud huruf-huruf itu, selanjutnya lihat masalah ini pada judul “Fawatihus-suwar” pada permulaan jilid I tafsir ini.

Ayat 2

Ayat ini menegaskan bahwa Tuhan yang berhak disembah tidak lain hanyalah Allah swt Yang hidup kekal, terus menerus mengatur dan menjaga makhluk-Nya. Selanjutnya lihat tafsir ayat 255 al-Baqarah.

Ayat 3

Ayat ini menerangkan bahwa Tuhan yang berhak disembah itu benar-benar telah menurunkan AAlquran kepada Nabi Muhammad saw dengan perantaraan Jibril, dan menegaskan bahwa sebelum menurunkan Alquran, Allah telah menurunkan pula kitab-kitab kepada para nabi terdahulu, yang diutus sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw, misalnya kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa, kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa dan sebagainya.

Alquran mengakui kebenaran isi kitab-kitab terdahulu sebagaimana kitab-kitab terdahulu itu membenarkan isi Alquran sesuai dengan yang diisyaratkan kitab-kitab itu. Penegasan dan pengakuan ini hanyalah secara garis besarnya saja, tidak secara terperinci, yaitu Allah telah mengutus rasul-rasul kepada umat-umat dahulu, dan Allah telah menurunkan wahyu kepada mereka, seperti Taurat, Injil dan sebagainya. Mengenai isi dari kitab-kitab itu tidak dijelaskan Alquran. Beriman kepada penegasan dan pengakuan ayat itu termasuk iman kepada Allah.

Sebagaimana halnya dengan Alquran yang mengakui bahwa telah diutus para nabi dan rasul kepada umat-umat yang terdahulu dan telah diturunkan kepada mereka kitab-kitab, maka kitab-kitab yang dahulu pun mengisyaratkan dan mengakui bahwa pada akhir zaman nanti Allah akan mengutus seorang nabi terakhir, nabi penutup dan kepada nabi itu akan diturunkan Allah pula sebuah kitab yang berisi pokok-pokok dari risalah yang dibawa nabi-nabi yang terdahulu.

Menurut ayat ini seluruh isi Taurat dan Injil adalah wahyu dari Allah, yang disampaikan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa yang berisi pokok-pokok risalah yang dibawanya, tidak ada sedikit pun terdapat di dalamnya yang berupa perkataan karangan manusia dan sebagainya.

Mengenai Taurat yang ada sekarang bukanlah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, demikian pula Injil bukanlah Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa karena di dalam kedua kitab itu terdapat karangan pengikut kedua Nabi itu yang datang kemudian.

يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ

…. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), …(al-Ma′idah/5:13. Lihat juga an-Nisa′/4:46).

Ayat 4

Sebelum Alquran diturunkan, Taurat dan Injil menjadi petunjuk bagi manusia, dan kemudian diturunkanlah Al-Furqan yaitu Alquran, kitab yang dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah.

Pada akhir ayat ini, Allah mengancam dengan azab yang pedih terhadap orang-orang yang tetap ingkar dan tidak mau tahu dengan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada para rasul, orang-orang yang tidak mau menggunakan akal pikirannya untuk membedakan antara kepercayaan yang benar dengan yang salah, antara agama-agama yang diridai Allah dengan yang tidak diridai-Nya.

Mereka semua akan dimasukkan ke dalam neraka. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mengubah keputusan Allah dan tidak ada yang dapat mengelakkan dan mempertahankan diri dari azab-Nya. Allah akan membalas segala bentuk keingkaran dan pembangkangan terhadap hukum-hukum-Nya serta mengazab pelaku-pelakunya dengan azab yang setimpal.

Ayat 5

Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang menandingi ilmu Allah dan tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Ayat 6

Dengan kodrat-Nya, dijadikan-Nya manusia bermacam-macam bentuk setelah melalui proses demi proses, sejak dari sel mani yang menerobos ke dalam rahim, kemudian menjadi sesuatu yang melekat pada dinding rahim, dan dari sesuatu yang melekat itu menjadi segumpal daging yang melekat, akhirnya berbentuk manusia dan lahirlah ia ke dunia (al-Mu′minun/23:12-14). Semuanya itu dijadikan Allah sesuai dengan sunah (hukum) dan ilmu-Nya.

(Tafsir Kemenag)