Beranda blog Halaman 6

Slow Living ala Al-Qur’an: Menemukan Ketenangan di Tengah Hustle Culture

0

Di era yang dipenuhi dengan notifikasi, target, dan tuntutan produktivitas, seseorang didorong untuk terus bergerak, berlari, bahkan berkompetisi setiap hari. Budaya ini sering disebut dengan hustle culture, yakni ketika nilai seseorang ditentukan dari seberapa sibuk dan sibuknya dia.

Baca Juga: Antara Impian dan Keluarga: Refleksi Qur’ani Film Home Sweet Loan

Apa Itu Hustle Culture?

Hustle culture merupakan pola hidup yang menuntut individu untuk terus bekerja dengan tempo cepat dan intens, sering kali tanpa jeda bak kerja rodi. Budaya ini kerap membuat seseorang mengesampingkan waktu istirahat dan mengorbankan kehidupan pribadinya demi produktivitas yang berlebihan.

Pola hidup seperti ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya tekanan sosial, ambisi untuk meraih kesuksesan, pengaruh media sosial yang memamerkan pencapaian seperti yang banyak terlihat di Instagram, hingga perubahan dunia digital yang serba cepat dan instan. Hal tersebut dapat berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang jika terjadi secara terus menerus.

Namun, apakah benar hidup harus secepat itu? Apakah Islam mengajarkan hambanya untuk berlomba-lomba dalam kesibukan?

Slow Living dalam Alquran

Di era modern saat ini muncul trend gaya hidup baru, yakni slow living (hal. 10) yang mulanya berakar dari gerakan slow food di Italia sekitar tahun 1980-an. Gerakan ini muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kehadiran restoran cepat saji di kota Roma. Tujuannya adalah mengajak masyarakat untuk kembali menghargai makanan lokal dan menikmati proses makan dengan perlahan. Seiring waktu, gagasan ini berkembang luas dan tidak lagi terbatas pada urusan makanan saja, melainkan merambah ke berbagai aspek kehidupan yang kemudian dikenal sebagai slow living.

Slow living mengajak manusia untuk lebih hadir dan sadar dalam menjalani aktivitas sehari-hari, dengan cara mengurangi kesibukan yang tidak perlu serta menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan sosial. Gaya hidup ini menekankan pentingnya menikmati setiap momen dengan tenang, tanpa terburu-buru. Fokusnya bukan pada kecepatan, melainkan pada kualitas dalam menyelesaikan sesuatu. Dengan begitu, seseorang akan lebih bijak dalam memanfaatkan waktu, mengelola stres, dan membuat keputusan.

Menariknya, jauh sebelum munculnya trend tersebut, agama Islam telah memiliki prinsip yang selaras dengan gaya hidup slow living, salah satunya disebutkan dalam Q.S Al-Asr: 1-3

وَالْعَصْرِۙ

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر ࣖ

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.

Dalam ayat tersebut Allah bersumpah dengan menggunakan kata “masa/waktu” yang mengandung makna tersirat tentng peringatan betapa pentingnya menghargai waktu agar tidak menjadi orang yang merugi, Allah Swt bersumpah dengan masa agar manusia memperhatikan masa yang telah diberikan-Nya dan memanfaatkannya dengan baik. Hal tersebut sesuai dengan prinsip slow living yakni menghargai waktu.

Namun, perlu digaris bawahi bahwa gaya hidup slow living bukan berarti justru bermalas-malasan, dalam Q.S Al-Insyirah: 7 juga telah disebutkan:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Ayat tersebut mengandung nilai semangat produktivitas, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Sebagaimana Wahbah az-Zuhaili menafsirkan dalam Tafsir Al-Wajiz (hal. 598) “Maka ketika kalian lengang wahai Rasulallah setelah melaksanakan dan menyampaikan risalah itu kepada manusia, maka beristirahatlah dengan berdoa dan ibadah, dan tetaplah melakukan keduanya”

Baca Juga: Keseimbangan Hidup Manusia Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Qasas Ayat 77

Dari penjelasan tafsir tersebut terlihat bahwasanya maksud Allah Swt adalah tetap menyeimbangkan kehidupan duniawi dan akhirat, tanpa mengesampingkan salah satunya. Ketika seseorang telah menyelesaikan satu kewajibannya di dunia, maka jangan lupa untuk beristirahat dengan kembali pada Rabb-nya. Untuk hidup yang singkat ini jangan sampai disia-siakan hanya dengan mengejar kesibukan dunia, mengejar validasi manusia yang tak pernah ada ujungnya, sisakan waktu untuk beristirahat sejenak untuk mengingat Allah dan bersyukur atas nikmat-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah: 152,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.

Penutup

Melalui ayat diatas Allah Swt mengingatkan hamba-Nya agar memanfaatkan waktu sebaik mungkin, dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Hal tersebut selaras dengan prinsip gaya hidup slow living yang kini digencari banyak orang. Terlalu berlebihan dalam urusan dunia juga tidak baik, apalagi di tengah kehidupan modern yang serba instan, justru hal tersebut dapat membuat seseorang menjadi lalai dalam menjaga hubungan spiritual dengan Allah Swt.

Baca Juga: 3 Pola Hidup Minimalis Yang Bernilai Qur’ani

Dalam konteks ini, gaya hidup slow living dapat membantu mengurangi sikap tergesa-gesa, serta mengajak manusia untuk kembali menikmati hidup lebih tenang, dengan tetap produktif, dan menyeimbangkan antara urusan dunia dengan akhirat, sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah Swt melalui Alquran.

Tiga Cara Kerja Allah dalam Mengatur Kehidupan

0
Tiga Cara Kerja Allah dalam Mengatur Kehidupan
Allah Swt. kuasa menghilangkan elemen panas dari api yang membakar Nabi Ibrahim

Manusia sering terjebak dalam pola pikir sebab-akibat yang terbatas. Ketika jalan keluar tidak tampak, muncul rasa putus asa, bahkan menyalahkan takdir. Padahal, cara kerja Allah Swt. dalam mengatur kehidupan tidak selalu sejalan dengan logika manusia. Dalam banyak kasus, Allah Swt. mengatur kehidupan melalui cara-cara yang tak terduga dan melampaui nalar. Memahami cara kerja Allah Swt. berarti membuka diri terhadap kemungkinan yang tidak selalu bisa dijelaskan secara rasional. Justru saat semua terlihat buntu, di situlah cara kerja Allah Swt. dalam mengatur kehidupan sering mulai terlihat dengan jelas.

Dalam hal ini, setidaknya terdapat tiga cara kerja Allah Swt. dalam mengatur kehidupan yang patut dipahami, yaitu; melalui sebab, tanpa sebab, dan melawan sebab. Ketiga cara tersebut menunjukkan bahwa logika manusia bukan satu-satunya ukuran dalam membaca kehendak-Nya. Beberapa bentuk cara kerja Allah Swt. telah dipaparkan dalam Alquran, baik secara eksplisit maupun melalui kisah-kisah teladan yang penuh pelajaran.

Melalui Sebab

Allah Swt. mengatur kehidupan melalui hukum sebab-akibat yang bisa dipahami manusia. Usaha membuahkan hasil, kerja keras membuka jalan, dan doa menjadi penggerak perubahan. Dalam pola ini, Allah Swt. membungkus kuasa-Nya melalui proses-proses duniawi yang rasional dan terukur. Ini merupakan bentuk yang paling umum dari cara kerja-Nya. Contoh nyatanya, ketika seseorang bekerja untuk mencari nafkah, maka Allah memberikan rezeki sesuai dengan ketetapan-Nya. Hal ini telah dijelaskan dalam Alquran, salah satunya dalam surah al-Mulk ayat 15:

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjuru-Nya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya kamu dibangkitkan.

Baca juga: Bolehkah Seorang Muslim Overthinking?

Dalam Tafsir Al-Misbah (jilid 14/356) dijelaskan bahwa Allah Swt. menegaskan sekali lagi tentang kuasa-Nya sekaligus lemah lembut-Nya dalam pengaturan makhluk termasuk manusia, agar mereka mensyukuri nikmat-Nya. Dari firman-Nya dapat dipahami, Dialah sendiri yang menjadikan untuk kenyamanan hidup bumi sehingga seseorang menjadi mudah sekali untuk melakukan aneka aktivitas baik berjalan, bertani, berniaga dan lain-lain.

Ayat di atas secara kuat mendukung prinsip bahwa “Allah bekerja melalui sebab.” Allah menyediakan berbagai sebab seperti bumi, potensi dan rezeki yang melimpah sebagai sarana bagi manusia untuk hidup dan berusaha. Manusia kemudian diperintahkan untuk berikhtiar, menjalankan berbagai aktivitas. Namun, hasil akhir dari usaha tersebut tetap berada dalam kekuasaan Allah.

Tanpa Sebab

Terkadang, pertolongan Allah Swt. datang begitu saja. Tanpa ada usaha besar, tanpa alasan yang jelas, tapi hasilnya nyata. Inilah murni rahmat dan kehendak Allah Swt. Contohnya dapat dilihat dari kisah Maryam salamun’alaiha. Ia berada dalam ruang khusus untuk beribadah, tak keluar, tak mencari, tetapi Allah Swt. tetap menyediakan makanan di sisinya. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah Ali ‘Imran ayat 37:

…كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا ٱلْمِحْرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَٰمَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

…Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: ‘Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab: ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Baca juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Quraish Shihab menjelaskan bahwa percakapan antara Nabi Zakariya dan Maryam dalam ayat tersebut menunjukkan hubungan yang sangat akrab antara Allah Swt. dan Maryam, ada rahasia di balik anugerah yang dilimpahkan pada Maryam, yang tidak perlu diketahui orang, sebagaimana dapat dipahami dari pernyataan Maryam bahwa “Makanan itu dari sisi Allah” dan tidak menjelaskan bagaimana beliau memperolehnya. Memang tidak semua pengalaman ruhani dapat diceritakan kepada orang lain, karena kata-kata sering kali tidak mampu mewadahi pengalaman ruhani itu, bahkan memunculkan sebuah kerancuan dalam pemahaman (Tafsir Al-Misbah, Jilid 2/83)

Melawan Sebab

Inilah yang paling mengejutkan, saat semua tanda menunjukkan kegagalan, justru Allah Swt. hadirkan kemenangan. Ketika logika berkata “tidak mungkin”, Allah Swt. membuktikan sebaliknya. Cara kerja ini melampaui nalar manusia dan hanya bisa dipahami dengan iman. Salah satu contohnya ialah ketika Nabi Ibrahim alaihissalam tidak terbakar oleh api, dijelaskan dalam surah al-Anbiya’ ayat 69 yang berbunyi:

قُلْنَا يَٰنَارُ كُونِى بَرْدًا وَسَلَٰمًا عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ

Kami berfirman, Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.

Menurut Quraish Shihab, perintah Allah kepada api agar menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim dinamakan amr takwiniy (perintah perwujudan). Dengan demikian, Allah mencabut potensi panas dan pembakaran dari api, menjadikannya dingin tetapi tidak melampaui batas, maka perintah menjadi dingin itu disertai dengan perintah keselamatan sehingga tidak membahayakan Nabi Ibrahim.

Memang pembahasan aqliyah menyangkut peristiwa-peristiwa alam yang biasa terjadi dapat dijangkau manusia melalui pengetahuannya terkait hukum sebab–akibat, serta pengalaman keseharian yang terjadi berkali-kali kapan dan di mana pun. Adapun peristiwa luar biasa yang hanya terjadi sekali dan tidak dapat diketahui hakikatnya oleh manusia, maka tidak ada tempat untuk pembahasan aqliyah menyangkut hal itu. (Tafsir Al-Misbah, Jilid 8/476-477)

Penutup

Memahami cara kerja Allah Swt. dalam mengatur kehidupan bukan hanya memperkaya keimanan, tetapi juga membentuk cara pandang yang lebih lapang dan bijaksana. Ketika segala usaha tampak buntu, ketika logika tak mampu menjelaskan keadaan, di situlah ruang keimanan diuji dan keyakinan pada cara kerja-Nya menjadi cahaya penuntun. Sebab, pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang apa yang tampak, tetapi juga tentang siapa yang mengatur segala sesuatu.

Mengenal Kitab At-Tafsirat Al-Ahmadiyah Karya Mulla Jiwan

0

Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah merupakan salah satu karya tafsir penting yang ditulis oleh ulama asal India, Mulla Jiwan. Dalam kitab ini, Mulla Jiwan membahas ayat-ayat hukum dalam Alquran dengan penjelasan yang mudah dipahami. Pendekatan dalam Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah tergolong jelas dan praktis, sehingga layak dijadikan rujukan, khususnya bagi peneliti di bidang studi Alquran dan tafsir. Melalui karya ini, Mulla Jiwan menunjukkan kemampuannya dalam menggabungkan ilmu tafsir dan fikih. Hal ini menjadi bukti nyata kontribusi besar Mulla Jiwan dalam khazanah keilmuan Islam.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Jami‘ al-Bayan Karya Muhammad Al-Ijiy

Selayang Pandang Mulla Jiwan

Ahmad bin Abi Sa’id bin Abdullah bin Abdul Razaq lebih dikenal sebagai Ahmad Malajiwun atau dalam penyebutan lainnya, Mulla Jiwan. Ia lahir di kota Amethi, Lucknow, India pada tahun 1637 M/1047 H dan wafat pada tahun 1717 M/1130 H. Ia hidup pada masa pemerintahan Mughal di India. Mulla Jiwan menghafal Alquran pada usia tujuh tahun, ia mempelajari berbagai ilmu keislaman dan menguasainya, di antaranya; ilmu tafsir, hadis, dan fikih. Ia berguru kepada banyak ulama besar di masa itu, yaitu; Syekh Abdul Ahad, Syekh Muhammad al-Ashfahani, dan Syekh Nasrullah al-Ahmadi. Mulla Jiwan juga merupakan guru dari Syekh Abdul Qadir dan Syekh Abul Fadl.

Mulla Jiwan menjadi salah satu ulama besar di India setelah penyebaran madzhab Hanafi dan masuknya Islam ke berbagai wilayah anak benua. Ia menyusun berbagai karya, di antaranya; Syarh Nur al-Anwar, As-Sawanih ‘ala Manazil al-Lawa’ih, Adab al-Ahmadi fi-as-Siyar wa as-Suluk, Manaqib al-Auliya’ fi Akhbar as-Syuyukh, dan yang paling terkenal Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah.

Sepeninggal Mulla Jiwan, karyanya tetap dijadikan rujukan oleh para ulama setelahnya, memberikan pengaruh besar dalam dunia keilmuan Islam, khususnya dalam tafsir ayat-ayat hukum di madzhab Hanafiyah. (Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, 1/389-390)

Baca Juga: Mengenal Kitab-Kitab Tafsir dari Kalangan Syiah

Potret Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah

At-Tafsirat al-Ahmadiyah fi Bayan al-Ayat al-Shar’iyah yang lebih dikenal dengan Tafsir Ahmadiyah karya Mulla Jiwan, ditulis pada tahun 1099 H. Cetakan pertama di Biyha, percetakan Qadhi Abdul Karim, kemudian disempurnakan oleh Ghulam Ahmad Sahib at-Tilya’i pada tahun 1327 H, dengan catatan tambahan dari Mulla Rahim. Cetakan kedua diterbitkan di Dar al-Isa’ah al-‘Arabiyah, Afghanistan dengan total 744 halaman. (Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1/389)

At-Tafsirat al-Ahmadiyah merupakan tafsir fiqhi yang berdasar pada madzhab Hanafiyah, ditulis secara ringkas dan padat, serta memuat perbandingan pendapat dalam masalah-masalah khilafiyah. Sebelum memulai penafsiran, Mulla Jiwan mengawali pendahuluan yang menjelaskan alasan penyusunan kitab ini serta metode penulisannya. Ia juga menyebutkan berbagai karya yang menjadi sumber rujukan yang digunakan, di antaranya; Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi, Madarik al-Tanzil karya al-Nasafi, al-Kashshaf karya al-Zamakshari, dan lain sebagainya. (Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1/391-392)

Mulla Jiwan menggunakan metode tematik dalam penafsirannya, cara penyajiannya juga cukup sederhana yakni memulai dengan memberikan judul topik yang diambil dari salah satu ayat, lalu mencantumkan ayat lain yang berkaitan. Setelah itu, ia mencantumkan beberapa pendapat ulama, namun tidak selalu memberikan penjelasan panjang lebar – cukup sebagai penguat pendapat yang dipilih. Dalam penafsirannya, tentu cenderung mengikuti pandangan madzhab Hanafi. Dalam menjelaskan hukum, ia membandingkan dalil-dalil yang ada dan memilih yang paling kuat, sambil membantah dalil yang dianggap kurang tepat.

Sumber penafsiran yang digunakan Mulla Jiwan adalah Alquran, hadis, dan atsar para sahabat sehingga Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah digolongkan sebagai kitab tafsir bi al-ma’tsur. Dalam tafsirnya juga tersaji beberapa kisah israiliyyat, tapi tidak semua diterima oleh Mulla Jiwan, contohnya ia menolak cerita tentang Nabi Daud dan perempuan bernama Uria. (Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1/394) 

Baca Juga: Mengenal Kitab Tafsir Nurul Ihsan Karya Muhammad Sa’id

Contoh Penafsiran

Dalam salah satu ayat, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menegakkan salat dan menunaikan zakat:

وَاَقِيْمُوا الصَّلوةَ وَاتُوا الزَّكوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّكِعِيْنَ

Mulla Jiwan menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perintah kepada ahli kitab agar mengikuti tata cara salat umat Islam, termasuk menghadap Ka’bah dan melakukan rukun-rukun salat seperti ruku’ dan sujud.

Menurutnya, dulu orang-orang Yahudi dan bahkan Nabi Muhammad Saw dalam beberapa tahun melaksanakan salat hanya dengan berdiri lalu ditambahkan dengan ruku’ dan sujud. Sebagaimana firman Allah Swt di surah al-Hajj ayat 77 yang berbunyi “Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah dan sujudlah.”

Lebih lanjut, Mulla Jiwan juga membahas tentang kewajiban salat dan zakat yang menurutnya sudah sangat jelas dalam Islam. Karena itu, tak perlu lagi mencari-cari dalil tambahan sebab Allah sudah menyebutkan berkali-kali dalam Alquran. Terkait salat berjamaah, menurutnya itu sunnah muakkadah sesuai dengan pandangan madzhab Hanafi. (al-Malajiwun, at-Tafsirat al-Ahmadiyah, hlm.13)

Adapun penafsiran Mulla Jiwan terhadap ayat yang membahas tentang haji dalam surah Ali ‘Imran ayat 97:

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَه كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ 

Menurutnya, haji adalah kewajiban bagi yang mampu, sedangkan umrah dihukumi sunnah. Ia berlandas pada riwayat Ibnu Jarir dari Ya’qub dari Ibnu ‘Ulayyah dari Yunus dari Hasan berkata: “Rasulullah Saw membaca ayat, ‘Dan wajib bagi manusia kepada Allah untuk melakukan haji ke Baitullah, yaitu bagi siapa yang mampu menempuh perjalanan ke sana (QS. Ali ‘Imran: 97).’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan jalan atau mampu?’ Rasulullah menjawab; ‘Bekal dan kendaraan.’”

Imam Syafi’i menafsirkan mampu dengan bekal dan kendaraan, Imam Malik menafsirkan mampu dengan kesehatan, berjalan dan bekerja guna memperoleh bekal dan kendaraan, sedangkan Mulla Jiwan menafsirkan sesuai dengan pandangan madzhab Hanafi, menurutnya meskipun bekal dan kendaraan tersedia akan tidak berguna tanpa adanya jaminan kesehatan dan keamanan dalam perjalanan. (al-Malajiwun, at-Tafsirat al-Ahmadiyah fi Bayan al-Ayat ash-Shari’ah, hlm.191)

Baca Juga: Mengenal Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad, Ulama Asal Sumbar

Penutup

Secara keseluruhan, Kitab at-Tafsirat al-Ahmadiyah karya Mulla Jiwan adalah tafsir yang memenuhi syarat sebagai rujukan hukum Islam. Metodenya teratur, sumbernya otoritatif, dan isinya relevan dengan kebutuhan hukum pada masanya. Meski ada kecenderungan pada satu madzhab dan tema yang terbatas, hal ini tidak mengurangi nilainya sebagai salah satu tafsir hukum penting dalam tradisi Islam.

Surah Al-Hujurat Ayat 13 dan Fenomena Perbudakan Spiritual

0
Surah Al-Hujurat Ayat 13 dan Fenomena Perbudakan Spiritual
Buya Ahmad Syafii Maarif (sumber: Bincang Syariah)

Ahmad Syafii Maarif dalam karyanya, Memoar Seorang Anak Kampung, mengatakan bahwa:

“Mereka yang mendewakan keturunan raja, ulama, atau bahkan keturunan nabi termasuk dalam kategori perbudakan spiritual ini, menurut pemahamanku. Bagiku, gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib, dan 1001 gelar lain yang mengaku keturunan nabi, atau keturunan raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir, dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian orang akan runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 13.”

Pernyataan Ahmad Syafii Maarif di atas begitu aktual terjadi hari-hari ini. Mereka yang tersemat dalam namanya beragam gelar keramat sangat disanjung dan dimuliakan oleh sebagian orang di negeri ini, bahkan begitu “didewa-dewakan”. Inilah gambaran dari kultur masyarakat tradisionalis, yang menurut Haedar Nashir, secara sosiologis, kultur mitos itu masih kuat.

Maka, tak heran banyak di antara mereka saling rebutan hendak memeluk dan mencium berkali-kali tangan orang yang dianggap keramat itu saat bertemu meskipun dalam kondisi berdesak-desakan bahkan mengancam jiwa mereka, dengan dalih mengambil berkah darinya. Fenomena inilah yang tak luput dari sorotan Ahmad Syafii Maarif di atas.

Afirmasi QS. Al-Hujurat (49) Ayat 13

Kemuliaan manusia di sisi Allah tidak ditentutakan oleh faktor keturunan ataupun faktor kekayaan, tetapi ditentukan oleh nilai ketakwaan. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an ditegaskan:

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menunjukkan bahwa kedudukan manusia di sisi Allah tidak bergantung kepada faktor keturunan, melainkan ketakwaan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Dalam hadis lain juga Rasulullah saw. mengatakan:

“Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang kulit) merah dan hitam, kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketakwaan kepada Allah.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan juga dari Abu Malik Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada kemegahan orang tuamu, keturunanmu, fisikmu, dan hartamu. Akan tetapi, Ia melihat hatimu (jiwamu). Barang siapa yang mempunyai hati yang saleh, pastilah Allah mengasihinya. Kamu semua hanyalah anak Adam dan yang paling dikasihi oleh Allah di antara kamu adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Ath-Thabrani)

Baca juga: Misi Alquran dalam Pembebasan Perbudakan

Di dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menegaskan bahwa tidak ada kemuliaan sejati yang dianggap bernilai di sisi Allah melainkan kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan kepada-Nya. Mendewa-dewakan keturunan, harta, jabatan, dan sejenisnya hanya akan menjadikan manusia lupa kepada nilai-nilai ketakwaan.

Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan bahwa potensi untuk merebut kedudukan takwa sangat terbuka lebar bagi seluruh orang beriman tanpa terkait dengan latar belakang keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Kedudukan seseorang itu ditentukan oleh kualitas hidupnya, iman, dan amalnya, bukan yang lain.

Dengan demikian, ide moral QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 tersebut membuka peluang bagi siapa pun untuk beramal saleh di muka bumi ini. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa semua manusia memiliki status yang sama, tanpa diskriminasi sedikit pun kepada siapa saja untuk meraih martabat dan keagungan nilai rohani sejauh mungkin yang dicapai dalam batas kemampuan manusia.

Menghapus Praktik Perbudakan Spiritual

Salah satu di antara risalah Islam adalah menghapus segala macam bentuk perbudakan. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw. datang membawa pencerahan dan kabar gembira. Mencerahkan manusia dari segala macam bentuk kejahiliyahan. Membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan. Mengangkat harkat martabat manusia dan mengembalikan manusia kepada fitrah penciptaannya, atau dalam istilah lain memanusiakan manusia.

Praktik-praktik semacam perbudakan, penindasan, kezaliman, dan sejenisnya itu sesungguhnya tidak berkesesuaian dan bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan spirit ajaran Islam yang mengusung semangat egaliter, pencerahan, dan berkemajuan. Oleh sebab itu, akal pikiran jangan dibiarkan tunduk oleh dogma menyesatkan yang tidak sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an. Al-Qur’an harus menjadi rujukan terakhir dan tertinggi dalam merumuskan sikap hidup beragama.

Baca juga: Jangan Terkecoh oleh Label Figur!

Lalu bagaimana timbangan Al-Qur’an terkait dengan fenomena perbudakan spiritual ini? Pengkultusan terhadap sosok tertentu, yang dianggap keramat dan suci, dalam Islam tidak dibenarkan. Barangkali inilah yang dimaksud Ahmad Syafii Maarif sebagai bentuk perbudakan spiritual sebagaimana telah digambarkan di awal tadi. Sebab, praktik perbuadakan spiritual ini dikhawatirkan akan menjerumuskan kepada jurang kemusyrikan. Kita tahu bahwa perilaku syirik, oleh Al-Qur’an, dikategorikan ke dalam bentuk kezaliman yang besar (baca: QS. Luqman [31]: 13).

Penghormatan yang dilakukan secara berlebihan terhadap sosok tertentu karena dianggap berasal dari keturunan orang suci, sebaiknya dihindari. Bukankah semua manusia memang sepantasnya dihormati dan dikasihi tanpa melihat faktor-faktor tertentu? Siapa pun ia, tidak dibenarkan berlaku zalim atas siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan merendahkan siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan menganggap hina kedudukan orang lain.

Dengan demikian, jika ditimbang dengan paradigma QS. Al-Hujurat [49] ayat 13, maka praktik perbudakan spiritual ini sesungguhnya tidak sejalan dengan nilai-nilai Al-Qur’an yang mengusung semangat egaliter, kritis, progresif, dan mencerahkan, namun tetap dalam bingkai keteladan akhlak mulia. Perilaku mendewa-dewakan kalangan tertentu yang dianggap keramat dan suci ini tidak perlu dikembangkan dalam konteks beragama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara pun demikian, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka ide moral QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 sangat relevan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Mindful Parenting ala Luqman al-Hakim: Panduan Qur’ani di Era Digital

0

Dalam Alquran, figur Luqman Al-Hakim dihadirkan bukan sebagai nabi, namun hikmah pendidikannya begitu mulia hingga pesannya diabadikan. Kurikulum pendidikannya adalah manifestasi dari mindful parenting, yakni sebuah pola asuh yang hadir seutuhnya, di mana pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga penanaman karakter melalui komunikasi efektif dan keteladanan.

Hal tersebut sejalan dengan pesan dalam surah an-Nisa ayat 9, yang mengingatkan orang tua agar tidak meninggalkan “generasi yang lemah” (dzurriyyah dhi’afan) yakni, kelemahan, yang menurut Abdul Mustaqim mencakup aspek fisik, intelektual, dan moral-spiritual (Mustaqim, 2019).

Baca Juga: Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

1. Nasihat Tauhid sebagai Pusat Orientasi Sebagai Fondasi Utama

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia menasihatinya: ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13).

Nasihat pertama dan utama dari Luqman al-Hakim adalah tauhid. Imam Ibn Ashur menegaskan bahwa ini adalah langkah paling logis, karena perbaikan akidah adalah fondasi bagi perbaikan amal. Sebelum jiwa dihiasi dengan kebaikan (tahliyah), ia harus terlebih dahulu dibersihkan dari kerusakan (takhliyah), dan kerusakan terbesar adalah syirik (Ibnu ’Âsyûr, 21/155–156).

Imam Asy-Sya’rawi menyoroti kelembutan luar biasa dalam panggilan Luqman. Panggilan “Ya Bunayya” (wahai anakku) menggunakan bentuk pengecil (tashghir) yang menunjukkan kasih sayang dan kelembutan, seolah mengatakan, “Meskipun engkau telah besar, engkau tetap anakku tersayang yang membutuhkan nasihat .

Asy-Sya’rawi juga menjelaskan bahwa kata ya’izhuhu (menasihatinya) bermakna “mengingatkan kembali,” bukan mengajari hal baru. Artinya, Luqman sedang menyentuh fitrah tauhid yang sudah ada dalam diri anaknya (Asy-Sya’rawi, 1997, 19/11633).

Syirik disebut sebagai “kezaliman yang besar” karena, sebagaimana dianalisis oleh Ibn Ashur, ia adalah kezaliman yang berlapis-lapis: zalim kepada hak Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah, zalim kepada diri sendiri dengan merendahkan martabat untuk menyembah makhluk, dan zalim kepada hakikat kebenaran itu sendiri (Ibnu ’Âsyûr, 21/155–156).

Di era digital, banyak anak tumbuh dengan “tuhan-tuhan kecil” seperti ketergantungan pada likes, validasi dari followers, atau tren sesaat. Dengan menanamkan nilai-nilai tauhid berarti membebaskan jiwa anak dari perbudakan modern ini.

Baca Juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

2. Salat sebagai Latihan Disiplin dan Ketenangan

“Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah kepada yang makruf, cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS. Luqman: 17).

Setelah akidah, Luqman beralih ke pilar amal saleh. Menurut Ibn Ashur, salat didahulukan karena ia adalah tiang penopang segala amal (‘imad al-a’mal), yang berisi pengakuan ketaatan dan permohonan petunjuk (Ibnu ’Âsyûr, 21/164–165). Imam Asy-Sya’rawi menambahkan, salat didahulukan karena ia adalah tiang agama (‘imaduddin) dan satu-satunya rukun Islam yang tidak pernah gugur kewajibannya dalam kondisi apa pun (Asy-Sya’rawi, 11654).

Salat adalah deklarasi kesetiaan kepada Allah yang dilakukan lima kali sehari. Saat azan berkumandang dengan seruan “Allahu Akbar,” itu adalah pengingat bahwa Allah lebih besar dari segala kesibukan, pekerjaan, atau gawai yang ada di hadapan kita.

Setelah salat, nasihat dilanjutkan dengan “amar ma’ruf nahi munkar”. Ini adalah isyarat bahwa kesalehan seorang individu belum sempurna jika ia belum peduli pada perbaikan sosial. Namun, yang menarik adalah urutan setelahnya: perintah untuk bersabar. Ibn Ashur menjelaskan keterkaitan yang erat ini: “Karena amar ma’ruf nahi munkar akan mendatangkan permusuhan atau gangguan dari sebagian orang, maka jika seseorang tidak bersabar, niscaya ia akan meninggalkannya” (Ibnu ’Âsyûr, 21/164–165).

Menariknya, Imam Asy-Sya’rawi menjelaskan mengapa Luqman tidak menyebut zakat di sini: karena anak pada umumnya belum memiliki harta sendiri, dan kewajiban zakat ada pada orang tuanya. Ini menunjukkan betapa bijak dan realistisnya nasihat Luqman (Asy-Sya’rawi, 11660). Ini adalah pelajaran realisme pendidikan dalam mindful parenting ; menanamkan idealisme harus diiringi dengan persiapan mental untuk menghadapi tantangannya.

Baca Juga: Meruwat Anak dalam Islam

3. Menanamkan Empati di Atas Arogansi Sebagai Akhlak Sosial

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia karena sombong, dan jangan berjalan dengan angkuh di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).

Dari ranah ibadah, Luqman beralih ke adab sosial. Larangan “memalingkan wajahmu” atau wa la tusha”ir khaddaka, menurut Ibn Ashur, adalah sebuah metafora yang sangat kuat. Kata ini berasal dari sha’ar, sejenis penyakit yang menimpa leher unta sehingga membuatnya miring.

Dengan demikian, larangan ini bukan hanya berarti “jangan berpaling”, tetapi “jangan bertingkah seolah-olah engkau lebih tinggi sehingga memandang rendah orang lain”. Ini adalah larangan terhadap segala bentuk penghinaan dan arogansi (Ibnu ’Âsyûr, 21/164).

Nasihat ini sangat relevan di era media sosial yang secara inheren memupuk budaya pamer (flexing) dan perbandingan. Mindful parenting berarti menanamkan pada anak bahwa nilai mereka tidak ditentukan oleh apa yang mereka miliki atau tampilkan. Mengajarkan empati dan kerendahan hati adalah benteng terkuat melawan arogansi digital yang seringkali lahir dari rasa tidak aman (insecurity).

4. Mengendalikan Lisan dan Perilaku Sebagai Etika Diri

“Dan sederhanalah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sungguh, seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS. Luqman: 19).

Terakhir, Luqman menyentuh etika personal yang paling terlihat: cara berjalan dan berbicara. Menurut Ibn Ashur, perintah “sederhanalah dalam berjalan” (waqshid fi masyika) adalah anjuran untuk mengambil jalan tengah, antara gaya berjalan yang angkuh dan yang dibuat-buat lemah (Ibnu ’Âsyûr, 21/168). Sementara “lunakkanlah suaramu” (waghḍuḍ min shautika) bukan sekadar mengecilkan volume, tetapi mengurangi nada yang keras dan kasar.

Analisis Ibn Ashur tentang “suara keledai” sebagai perumpamaan elok (tasybih baligh) untuk suara yang tidak disukai sangat mengena (Ibnu ’Âsyûr, 21/169). Di dunia digital, “suara keledai” ini bisa bermanifestasi dalam bentuk komentar kebencian, cyberbullying, atau konten provokatif.

Di sinilah relevansi nasihat Abdul Mustaqim tentang pentingnya “mengucapkan perkataan yang baik” (mengacu pada QS. An-Nisa: 9) bertemu dengan nasihat Luqman. Orang tua tidak hanya memberi nasihat (ngomong), tetapi harus menjadi teladan (uswah) dalam berkomunikasi, sehingga anak belajar mengendalikan ekspresi dirinya (Mustaqim, 2019).

Baca Juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

Penutup

Kurikulum pendidikan Luqman adalah sebuah cetak biru yang utuh. Ia memulai dari akar (tauhid), membangun tiangnya (ibadah dan kesabaran), lalu menyempurnakannya dengan dinding pelindung (akhlak sosial dan kendali diri). Semuanya disampaikan dengan panggilan lembut, “Wahai anakku…”, sebuah penanda dialog yang penuh kasih. Di era gadget, pola ini menjadi relevansi yang mendesak.

Mindful parenting tidak menuntut orang tua untuk sempurna, tetapi mengajak untuk hadir secara utuh, meneladani dalam takwa, dan berkomunikasi dengan hikmah. Karena dalam dunia yang penuh distraksi, warisan terbaik untuk seorang anak bukanlah gawai terbaru, melainkan hubungan yang kuat dengan orang tua yang hadir jiwanya. Wallahu ‘alam.

Lahwul Hadits dan Krisis Standar Hidup di Era Digital

0

Di era algoritma ini, lahwul hadits menjadi salah satu penyebab krisis standar hidup yang dialami manusia tanpa sadar. Manusia hidup berdampingan dengan beragam tren digital yang selalu hadir dengan wajah baru. Konten-konten yang bersliweran di gawai kecil masuk begitu saja, mengisi ruang pikiran tanpa peduli layak atau tidaknya dikonsumsi otak. Pada akhirnya, banyak orang menjadikan konten-konten media sosial sebagai standar hidup secara cuma-cuma, meski sering kali isinya hanyalah lahwul hadits—ucapan kosong yang melalaikan.

Baca Juga: Memilih Circle di Media Sosial: Pelajaran dari Surah Al-Kahfi

Padahal, tidak semua konten layak ditelan mentah-mentah tanpa difilter terlebih dahulu. Ada oknum yang sengaja menjerumuskan orang-orang yang berselancar di media sosial dengan lahwul hadits: konten menyesatkan, tidak terbukti secara ilmiah, bahkan bertolak belakang dengan kebenaran. Ironisnya, semua itu dibungkus semenarik mungkin hingga tak tampak celah penyelewengannya. Fenomena ini telah diingatkan Alquran dalam Surah Luqman ayat 6:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ

Di antara manusia ada orang yang membeli percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu

Dalam Tafsir al-Maraghi [21/74], ayat ini dijelaskan sebagai peringatan terhadap sekelompok manusia yang lebih memilih hal-hal yang melalaikan dibandingkan pembicaraan yang bermanfaat. Mereka menjadikan dongeng, mitos, lelucon, dan cerita kosong sebagai konsumsi utama, bahkan digunakan sebagai alat untuk menghalangi orang dari agama Allah.

Tindakan semacam ini tidak sekadar berhenti pada penyimpangan individu, namun telah menjadi industri yang mengakar. Dalam penjelasan al-Maraghi, disebutkan contoh seperti Nadhr bin al-Harits yang membeli buku-buku cerita asing untuk kemudian diceritakan kepada masyarakat sebagai tandingan terhadap Alquran. Ia bahkan membayar wanita-wanita untuk menggoda para pemuda muslim agar meninggalkan Islam. Semuanya dibungkus dalam bentuk hiburan yang tujuannya bukan sekadar menghibur, tapi menyesatkan dari jalan Allah secara terselubung.

Baca Juga: Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

Kini, lahwul hadits hadir dalam rupa yang lebih canggih, yaitu berupa konten digital estetik, tren musik, suara narator meyakinkan, atau potongan video yang memprovokasi. Banyak di antaranya menggiring opini dengan narasi semu seperti, Jangan berharap balasan dari kebaikan dari siapapun, dunia tidak seadil itu” atau “Selain donatur, dilarang ngatur. Pesan-pesan semacam ini terdengar realistis, padahal jika ditelaah mendalam, justru seperti ini malah bentuk modern dari lahwul hadits.

Krisis standar hidup pun lahir dari sini. Orang tak lagi menjadikan sumber ajaran Islam sebagai kompas, tetapi justru menjadikan konten viral sebagai patokan. Nilai diukur bukan dari benar atau salah menurut agama, tapi seberapa relate dengan nafsunya sendiri, seberapa relate dengan tren yang ada. Yang dikejar bukan lagi keridaan Allah, tapi validasi digital. Ayat ini benar-benar menjadi cermin zaman bahwa ketika informasi tidak ditimbang dengan ilmu dan iman, lahwul hadits akan menjelma kiblat baru, menggantikan petunjuk yang benar.

Karena itu, umat Islam wajib membentengi diri dari krisis standar hidup akibat lahwul hadits. Caranya bukan sekadar meninggalkan konten menyesatkan, tetapi juga dengan senantiasa membentengi diri dengan ilmu, menyaring apa yang masuk ke pikiran, dan menjaga hati agar tak larut dalam arus hiburan menipu. Berhati-hati terhadap lahwul hadits bukan berarti menjauhi hiburan atau media sosial sepenuhnya. Namun, kita harus bijak memilih perihal bagaimana informasinya, menimbang manfaatnya, dan menjadikannya dasar dalam bersikap serta mengambil keputusan hidup. Tidak semua hal viral membawa kebenaran; tidak semua yang populer layak diikuti.

Baca Juga: Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani

Algoritma akan terus menyuguhkan apa yang manusia sukai, tanpa peduli benar atau salah menurut agama. Maka, kemampuan memilah dengan akal sehat dan hati yang terdidik oleh ilmu adalah kunci agar manusia tidak terjebak dalam lahwul hadits. Mari jadikan Alquran sebagai standar utama dalam hidup. Ukur segala sesuatu dengan timbangan ilmu, bukan popularitas. Jika tidak, kita akan menjadi generasi tanpa arah, diseret arus tren sesat, dan tenggelam dalam lahwul hadits yang menyesatkan.

 

 

Mengingat Ayat Mutasyabihat dengan Nazam Hidayatush Shibyan

0
Mengingat Ayat Mutasyabihat dengan Nazhom Hidayatush Shibyan
Nazhom Hidayatush Shibyan

Kamis lalu, ada naskah master mushaf dengan konten suplemen ayat mutasyabihat (ayat-ayat mirip) yang sedang ditashih oleh teman-teman pentashih LPMQ. Hal ini menjadi diskusi menarik antara kami. Jadi, satu halaman naskah tersebut memiliki hamisy berupa informasi nama surah, nomor ayat, dan halaman mana yang berlafaz mirip dengan ayat tertentu di halaman tersebut. Kata saya, mushaf ini mirip seperti at-Tibyan al-Mufashshal yang disusun oleh Syekh Yasir Bayyumi, dosen Al-Azhar Mesir.

Lalu kemarin, ketika scroll Instagram. Saya menemukan faidah dzahabiyyah di postingan @huffadzkrapyak tentang al-‘inayah bil ayah al-wahiidah. Sebuah tips mengingat ayat mutasyabihat dengan berfokus pada lafaz/kalimat yang beda sendiri dari kalimat miripannya. Anomali, kalau kata tren sekarang.

Dua momen ini membuat saya bernostalgia saat beberapa tahun lalu sowan ke al-muqri’ah Ustadzah Ihsan, Lc. MA. asal Kota Banjarmasin. Putri Dr. KH. M. Saberan Afandi, MA. yang konon merupakan doktor hadits pertama di Asia Tenggara.

Baca juga: Hidayatus Shibyan, Kitab Tajwid Dasar yang Banyak Diajarkan di Pesantren

Ketika saya menanyai Ustadzah Ihsan tentang trik beliau untuk mengingat ayat mutasyabihat, beliau memberikan jawaban unik yang belum pernah saya temui: “Nazhomkan Hidayatush Shibyan”, ujar beliau.

Hidayatush Shibyan li Fahmi Musykilil Qur’an (bukan Hidayatush Shibyan fi Tajwidil Qur’an) merupakan nazam dengan 142 bait yang digubah oleh Syekh al-Mihiy. Jika anda pernah belajar Tuhfatul Athfal, pasti familiar dengan laqab beliau. ‘Ali bin ‘Umar bin Ahmad al-Mihiy nama panjangnya. Gelarnya “Nuruddin”. Tuhfatul Athfal merupakan output Sulaiman al-Jamzury setelah berguru dengan al-Mihiy.

سَمَّيْتُهُ بِتُحْفَةِ الْأَطْفَالِ * عَنْ شَيْخِنَا الْـمِيهِىِّ ذِي الْكَمَالِ

“Aku beri nama (nazam) ini Tuhfatul Athfal.”

*

“(Kuriwayatkan) Dari guru kami, al-Mihiy yang mempunyai kesempurnaan.”

Namun setelah dibaca-baca, saya jadi paham, mengapa nazam ini kurang masyhur di tradisi tahfizh Alquran kita. Ternyata nazam ini hanya mencakup hingga Surah adz-Dzariyat. Selain itu, perlu beberapa kali jeda berpikir untuk memahami bait-bait Hidayatush Shibyan ini. Itupun masih susah mendapat maksudnya.

Misalnya untaian bait ke-130 ini:

‎  ‎فَأَقْبَلَ ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ   *   ‎وَأَقْبَلَ ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ

Jika dibaca sekali-dua, sepertinya belum bisa dipahami maksud bait ini. Paling yang sekilas dapat ditangkap adalah bait ini menyangkut Surah al-Qalam dan ath-Thur.

Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir

Nazam ini rasanya tidak untuk kalangan pemula, seperti saya. Dan ini sempat membuat saya sepintas sinis. “Ah, ini tak perlu diketahui”. Namun pikiran itu langsung diusir oleh semangat ihya’ut turots.

Diperlukan kemampuan memahami dan mengoordinasikan untaian bait dengan hafalan Al-Qur’an yang dimiliki. Artinya, mensyaratkan kemampuan kebahasaan, nalar dhobith dan hafalan yang mutqin 30 juz.

Oleh karena itu, Ihsan menyarankan untuk nazhoman sambil membaca syarahnya dulu agar paham maksud Syekh al-Mihiy. Nanti seiring waktu, hafalan nazam akan diiringi pemahaman.

Syarahnya berjudul Mauriduzh Zham’an karya Dr. ‘Abdul Waliy Abu Bakar ‘Abdul Waliy, anggota Lajnah Muraja’ah/Tashih Mushaf Alquran Mesir. Syarah ini juga telah ditinjau ulang dan ditashih oleh Syekh Mahmud Amin Thonthowi, Kepala Lajnah Mesir periode 1998-2004.

Mauriduzh Zham’an sukses menerangkan dengan ringkas dan lugas nazam al-Mihiy. Begitu menukil bait nazam, ‘Abdul Waliy langsung menuliskan ayat-ayat yang dimaksud di bawahnya. Ia juga memberikan tanda baca tertentu pada bait, dan membuat kategorisasi berdasarkan surah. Sangat memudahkan pembaca.

Baca juga: ‘Mutasyabih Nadzm’: Corak Baru dalam Elaborasi ‘I’jaz Al-Qur’an’

Mari kita baca kembali bait 130 tadi, tapi melalui POV ‘Abdul Waliy:

)فَأَقْبَلَ( ٱلثَّانِي بِذِبْحٍ وَٱلْقَلَمْ   *   ‎)وَأَقْبَلَ( ْٱلطُّورِ وَأُوْلَى ٱلذِّبْحِ ثَمّْ

“Fa aqbala itu letaknya kedua (setelah wa aqbala) pada adz-Dzibh (ash-Shaffat) dan al-Qalam.”

*

“(Sedangkan) Wa aqbala ada pada ath-Thur dan lebih dahulu pada adz-Dzibh secara urutan.”

Tanda kurung seketika memberikan pemahaman, bahwa maksud bait ini adalah kemiripan  kata فَأَقْبَلَ (ayat 50) dan وَأَقْبَلَ (ayat 27). Yang terdapat pada Surah ash-Shaffat (diistilahi al-Mihiy dengan “adz-Dzibh” karena surah itu menceritakan penyembelihan Nabi Isma’il a.s.). Dan juga pada al-Qalam (ayat 30) dan ath-Thur (ayat 25).

Pada akhirnya, nazam ini takkan berdampak apa-apa pada hafalan, jika tiada tanggungjawab untuk muraja’ah. Hidayatush Shibyan hanyalah bantuan, bukan tujuan. Dr. Hj. Umi Husnul Khatimah, anggota tim pelaksana ahli pentashihan LPMQ pernah menasehati penulis, “Baca saja, muraja’ah. Tugasmu cuma itu, sisanya Allah yang memudahkan.”

Wallahu waliyyut taufiq.

Qur’anic Green Ethics: Tafsir Ekologis dalam Menjawab Krisis Iklim Global

0

Krisis iklim kini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup manusia dan alam. Banjir, deforestasi, polusi udara, kekeringan ekstrem, hingga kepunahan spesies semakin banyak terjadi yang disebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan melewati batas. Alquran, sebagai kitab samawi yang diturunkan untuk menjadi pedoman sepanjang zaman, ternyata mengandung prinsip-prinsip yang bisa dijadikan fondasi untuk membangun kesadaran ekologis.

Penafsiran terhadap ayat-ayat yang bersangkutan dengan alam ini dikenal sebagai tafsir ekologis (green tafsir), yaitu pendekatan yang menitikberatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari nilai etis keislaman.

Baca Juga: Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris

Kerusakan Alam dalam Perspektif Alquran

Alquran secara eksplisit menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan ulah langsung dari tangan manusia, sebagaimana dalam firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rūm [30]: 41).

Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa degradasi ekologis bukanlah takdir, melainkan hasil dari tindakan manusia yang tak bertanggung jawab dalam menjaga amanah kekhalifahan di bumi.

Dalam Maḥāsin At-Ta’wīl, Al-Qāsimiy menegaskan bahwa kerusakan yang dimaksud ayat tersebut adalah mencakup maksiat dan dosa-dosa yang diperbuat serta seluruh tindakan yang merusak seperti perusakan hutan, eksploitasi laut, hingga pencemaran sungai, yang semuanya terjadi karena bersumber dari keserakahan manusia.

Baca Juga: Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan

Manusia sebagai Khalifah Ekologis

Konsep manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ merupakan fondasi etis dalam membangun teologi lingkungan yang Islami. Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ…الْأَيَة

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,.. (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Ibnu ‘Āsyūr dalam Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menafsirkan kata “khalifah” tidak sekadar pemimpin, namun juga sebagai pengelola bumi yang harus tetap menjaga keseimbangan dan ketertibannya. Artinya, manusia bertanggung jawab penuh, bukan hanya dengan sesama, tetapi juga dengan makhluk hidup lain dan sistem ekologis secara keseluruhan.

Prinsip Keseimbangan dan Tidak Berlebihan

Prinsip keseimbangan (mizān) menjadi inti ajaran Islam dalam menjaga alam. Allah SWT berfirman:

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ . اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ

Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu.” (QS. Ar-Rahmān [55]: 7–8).

Dalam tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa mizān bukan hanya tentang keadilan atau kesimbangan sosial, melainkan mencakup segala aktivitas dalam kehidupan manusia termasuk dalam keseimbangan ekologis, contohnya pengambilan hasil hutan, energi, air, dan lainnya. Hal Ini selaras dengan prinsip dasar Islam tentang tidak berlebihan dalam menggunakan sumber daya alam (Q.S. Al-A’rāf [7]: 31).

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Tafsir Ekologis dalam Jurnal dan Literatur Kontemporer

Dalam artikel “Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya”, Widiastuty dan Anwar (2025) mengembangkan konsep green religion berbasis Alquran, dengan menekankan bahwa keberlanjutan alam adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah. Islam, menurut mereka, harus hadir tidak hanya dalam ruang masjid, tetapi juga dalam kebijakan konservasi dan perilaku ekologis umat.

Artikel lain yang ditulis oleh Mutma’inah dan Abidin (2024) membahas bagaimana green-deen dari tafsir lokal al-Ibrīz karya KH Bisri Musthofa. Mereka menunjukkan bahwa nilai-nilai pelestarian lingkungan dapat dijumpai secara eksplisit dalam ayat-ayat alam, seperti Q.S. Al-A’rāf [7]: 56, yang berbunyi:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. (QS. Al-A’rāf [7]: 56).

Tafsir ini menekankan bahwa tindakan menjaga lingkungan bukan hanya anjuran etis, tapi sudah mencapai level kewajiban spiritual yang tinggi.

Hadis dan Tradisi Nabi tentang Ekologi

Rasulullah Saw. juga memberikan teladan dalam sikap ekologis, seperti tercermin dalam larangan menebang pohon secara sembarangan dan anjuran untuk menanam pohon:

حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ

Jika hari kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat benih kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, tanamlah. (HR. Ahmad No. 12981).

Hadis ini tidak hanya menggambarkan nilai optimisme, tetapi juga komitmen Nabi Saw. dalam melestarikan lingkungan meskipun dalam kondisi genting.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

Kesimpulan

Dengan demikian, pembacaan tentang tafsir ekologis merupakan jembatan antara teks wahyu dengan realitas lingkungan hidup. Dengan menggali nilai-nilai Qur’ani seperti tawāzun (keseimbangan), mas’ūliyyah (tanggung jawab), dan rahmah (kasih sayang terhadap semua makhluk), umat Islam dapat berperan aktif dalam menyelamatkan lingkungan. Alquran tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga mengajarkan ekoteologi yang relevan di era krisis global.

Oleh karena itu, krisis iklim bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Jawaban atasnya dapat dimulai dari pemahaman ulang terhadap wahyu ilahi dan pengamalan tafsir ekologis dalam kehidupan sehari-hari.

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (3-Selesai)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Q.S. Al-A’râf [7]: 123-124, Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49 merupakan serangkaian narasi Alquran yang membicarakan terkait penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Firaun dan rezimnya. Kita bisa sepakati, keempat ayat tersebut memiliki kemiripan dan keselarasan kandungan makna.

Dari pada itu, keempat ayat tersebut berlatar belakang ayat-ayat sebelumnya yang mengisahkan tentang perintah Firaun terhadap para penyihirnya untuk melawan Musa dan Harun. Namun apa yang terjadi? Justru para penyihir Firaun tertunduk, tersungkur sujud di depan seluruh orang yang menyaksikan peristiwa tersebut sembari menyatakan iman mereka kepada Tuhan semesta alam di hadapan Musa dan Harun. (Tafsir Al-Azhar, jilid 16, 4452 dan Tafsîr asy-Sya’râwî, jilid 03, 4301)

Pasca para penyihir tersebut bersujud dan menyatakan keimanan mereka kepada Allah, serta pengakuan kekalahan mereka kepada menghadapi Musa, lantas Firaun mengecam dan menolak apa yang mereka lakukan sembari berkata, “Apakah kalian beriman kepadanya (Musa) sebelum aku izinkan kalian? Sungguh kalian telah melakukan suatu makar di dalam kota ini agar kalian bisa keluar bersama para penduduk dari sini!” (Tafsir Al-Mishbah, jilid 05, 208)

Sungguh…”, pernyataan Firaun dalam Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49, “ memang dia (Musa) pemimpin besar kalian yang mengajarkan kalian sihir!” Perkataan Firaun tersebut merupakan suatu pernyataan jebakan (syubhah) kepada para penduduknya agar tidak terpengaruh dari apa yang dilakukan oleh Musa dan terjadi kepada para penyihirnya. (al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, jilid 08, 599)

Melihat apa yang terjadi terhadap para penyihirnya dan menyadari dampak keimanan mereka kepada Allah serta mengakui kekalahan melawan Musa, Firaun naik pitam. Dia mengancam akan menghukum mereka dengan berkata, “… kalian akan menerima akibatnya! Akan kupotong tangan dan kaki kalian semua secara bersilang dan aku pasti akan menyalib kalian semua!

Baca juga: The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

Quraish Shihab, menukil dari pendapat Ibnu ‘Asyûr, mengatakan tatkala Firaun melihat para penyihirnya beriman, ia sangat marah sehingga bermaksud menyiksa mereka. Akan tetapi ia sadar bahwa menyiksa mereka sebab keimanan mereka kepada Musa merupakan suatu yang tidak wajar menurut etika dan prinsip pertandingan.

Karenanya, Firaun membuat-buat alasan untuk melampiaskan kemarahannya itu dengan berkata bahwa mereka beriman sebelum mendapat izinnya. Hal tersebut merupakan kecerobohan dan penghinaan yang menyebabkan sanksi. Ia menggambarkan bahwa seandainya mereka meminta izin, maka ia akan mengizinkannya. Akan tetapi, mereka lancang, maka para penyihir tersebut harus mendapat siksa. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 08, 332-333)

Ulama lainnya, lanjut Quraish Shihab, memahami ucapan Firaun tersebut (memang dia (Musa) pemimpin besar kalian yang mengajarkan kalian sihir) sebagai tuduhan adanya kerja sama antara tiga pihak. Yaitu tokoh yang mengajar para penyihir pilihan itu bersepakat bersama untuk menokohkan Musa dengan cara mengaku Nabi kemudian menampakkan sihirnya dihadapan Firaun, agar para pembesar Mesir itu mengundang penyihir unggulan.

Akan tetapi, karena sang guru, bersama para penyihir pilihan Firaun dan Musa—ketiganya—telah sepakat melakukan makar. Maka para penyihir itu mengalah dan pura-pura percaya guna meraih tujuan mereka mengusir Firaun dari Mesir dan merebut kekuasaan. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 08, 333 dan Tafsîr asy-Sya’râwî, jilid 03, 4302)

Kompleksitas Firaun: Penindasan dan Ketidakadilan, hingga Sikap Narsisme

Tanggapan anarkis Firaun terhadap segala bentuk perbedaan pandangan digambarkan dengan jelas dalam keempat ayat tersebut. Firaun mengancam hukuman berat, termasuk mutilasi dan penyaliban, bagi mereka yang mengimani Musa tanpa seizinnya. Perlakuan tanpa ampun ini ia lakukan untuk meredam ketergantungannya pada rasa takut dan kekerasan untuk mempertahankan kendali kekuasaannya.

Penindasan terhadap perbedaan pandangan melalui sikap anarkis dapat dipahami melalui konsep terorisme negara, di mana pemerintah menggunakan kekerasan untuk menanamkan rasa takut dan melenyapkan oposisi politik. Hal ini sejalan dengan perilaku Firaun, karena ia menggunakan teror untuk mencegah adanya tantangan terhadap otoritasnya. (“Re Defining Terrorism”, Australian Journal of Law and Society, vol. 4, 1987, 630)

Selain itu, penggunaan kekerasan dan ancaman oleh Firaun untuk membungkam para penentangnya menyoroti ketergantungan para autokrat pada rasa takut sebagai alat kontrol. Hal ini sejalan dengan konsep teori pembelajaran sosial, di mana rasa takut akan hukuman dapat menekan perbedaan pendapat. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa orang belajar dari mengamati perilaku, sikap, dan hasil dari perilaku orang lain.

Dalam konteks ini, menyaksikan hukuman keras yang dijatuhkan kepada para penentang berfungsi sebagai pencegah yang kuat bagi orang lain yang mungkin mempertimbangkan kembali sebelum menentang pemerintahan Firaun.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Demikian, penindasan yang dilakukan Firaun terhadap perbedaan pandangan tidak hanya mengonfirmasi penggunaan rasa takut dan kekerasan sebagai alat pemerintahan, tetapi juga mencerminkan konsep yang lebih luas tentang terorisme negara dan teori psikologis tentang dampak rasa takut terhadap perilaku.

Jika dilihat dari sudut pandang lain, apa yang dilakukan Firaun merupakan efek dari narcissistic personality disorder (NPD), yaitu suatu kondisi psikologis kompleks yang muncul dengan pola kemegahan yang meluas, kebutuhan akan kekaguman, dan kurangnya empati. NPD, atau jika penulis sederhanakan adalah “sikap narsisme”, dapat menyebabkan gangguan sosial dan pekerjaan yang signifikan dan sering kali disertai komplikasi gangguan kejiwaan dan penyalahgunaan zat.

Individu yang mengalami narsisme sering kali menunjukkan rasa “optimis” diri yang berlebihan, kebutuhan akan kekaguman yang berlebihan, dan kurangnya empati. Adapun Firaun yang melakukan perilaku anarkisme dan terorisme merupakan suatu bentuk sikap nasrsisme yang mana dirinya ingin diakui sebagai Tuhan atau seorang dewa. Imbasnya, ketika para penyihirnya mengimani Musa dan Harun, Firaun marah dan mulai melakukan hal keji kepada mereka.

Respons Firaun terhadap tanda-tanda ilahi merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor psikologis yang dialaminya; the pharaoh complex. Pada akhirnya, sikap congkak dan sombong Firaun memiliki hikmah sebagai kisah peringatan, yang menyoroti bahaya kekuasaan yang tidak terkendali dan pentingnya tetap terbuka terhadap pandangan lain.

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Kejadian dan peristiwa antara Musa dan Firaun merupakan kisah yang paling banyak termaktub dalam Alquran. Tentunya, banyak hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran serta peringatan terhadap para qâri`-nya. Kisah Firaun yang menjadi objek pembahasan di dalam artikel ini tidak hanya ingin menunjukkan “seperti inilah perilaku Firaun di masa lalu”. Akan tetapi, ada hal menarik yang dapat dipelajari dengan sudut pandang berbeda; yaitu psikologi.

Kisah umat terdahulu—termasuk Musa dan Firaun—yang termaktub dalam Alquran bukan hanya sekadar reka ulang terhadap sejarah aktor yang berperan di dalam lingkup sejarahnya. Alquran secara tegas mengatakan bahwa kisah-kisah pra-Islam juga berperan dalam membentuk suatu pola pemahaman yang menjadi dasar keimanan seorang muslim. “Laqad kâna fî qashasihim ‘ibratun li ulî al-albâb”, demikian Alquran menyatakannya. Wallâhu a’lam.

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (2)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Pada bagian pertama telah dipaparkan tentang karakter negatif Firaun yang termaktub pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141, yaitu tiadanya rasa empati kepada orang lain yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Tiadanya rasa empati tersebut disebabkan gangguan sistem saraf sehingga mengakibatkan adanya praktik kekerasan dan dehumanisasi yang dapat membuat para pemimpin tidak peka.

Kompleksitas Firaun: Penolakan akan Tanda-tanda Ilahi dan Eksploitasi Kekuasaan

Bagian kedua dalam artikel ini akan mengulas tentang Kompleksitas Firaun (The Pharaoh Complex) yang berupa rasa congkak, sombong, penolakan Firaun akan tanda-tanda Ilahi, dan eksploitasi kekuasaan. Karakter ini disinggung dalam Q.S. Al- A’râf [7]: 103, yang berbunyi:

ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْۢ بَعْدِهِمْ مُّوْسٰى بِاٰيٰتِنَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ وَمَلَا۟ىِٕهٖ فَظَلَمُوْا بِهَاۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ

Kemudian, Kami utus Musa setelah mereka dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Lalu, mereka mengingkarinya. Perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.

 dan Q.S. Yûnus [10]: 88 yaitu:

وَقَالَ مُوْسٰى رَبَّنَآ اِنَّكَ اٰتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَاَهٗ زِيْنَةً وَّاَمْوَالًا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ رَبَّنَا لِيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلِكَۚ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلٰٓى اَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوْا حَتّٰى يَرَوُا الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ

Musa berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberikan kepada Fir‘aun dan para pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan (yang banyak) dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, (akibat pemberian itu) mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat azab yang sangat pedih.”

Diceritakan dalam Q.S. Al-A’râf [7]: 103, Firaun dan rezimnya secara keliru menolak tanda-tanda ilahi, menunjukkan kecongkaan dan kesombongan yang mendalam dan penolakan untuk mengakui otoritas yang lebih tinggi. Hal ini lebih lanjut ditekankan dalam Q.S. Yûnus [10]: 88 di mana Musa menyoroti bagaimana Firaun dan para rezimnya menyalahgunakan kemegahan dan kekayaan mereka untuk menyesatkan orang-orang.

Penolakan akan Tanda-tanda Ketuhanan

Abû Hayyân al-Andalûsi memaklumkan bahwa Musa—demikian pula saudaranya, Harun—diutus oleh Allah kepada Bani Israil dengan dibekali tanda-tanda ilahiah (mu’jizât) yang luar biasa. Bahkan, Abû Hayyân menilai bahwa mu’jizât Musa adalah yang paling besar yang belum pernah dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya. Disebut demikian karena Musa diutus kepada umat manusia yang paling banyak melakukan praktik manipulasi, kriminal, protes, dan kebodohan; yaitu Yahudi. (al-Bahru al-Muhîth, jilid 10, 223)

Demikian selaras dengan keterangan Ahmad Mushthafâ al-Marâghî dalam tafsirnya, Tafsîr al-Marâghî, bahwa Musa diutus dengan membawa mukjizat kepada Firaun yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar dari para pengikut (atbâ’) dan rezimnya (mala’). Imbasnya adalah perilaku sombong, kufur, dan ingkar dari mereka, sampai berani menentang tanda-tanda kebesaran Allah serta berpaling dari keimanan. Karenanya, salah satu misi Musa adalah melenyapkan sihir dan para pelakunya dengan mukjizat. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 09, 22-23)

Lebih lanjut, Buya Hamka menjelaskan bahwa Musa datang dengan membawa ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah, mukjizat yang akan “melawan” kekuatan dan kekuasaan rezim Firaun. Tetapi apa yang terjadi? Penggalan ayat fadhalamû bihâ memperlihatkan akan penentangan dan penolakan rezim Firaun terhadap tanda-tanda kekuasaan tersebut. Mereka tidak ingin tunduk dan tetap bersikeras pada kekuasaan mereka. (Tafsir al-Azhar, jilid 04, 2465)

Baca juga: The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

Kesombongan ini, terang V.A. Mohamad Ashrof, dapat dikaitkan dengan fenomena psikologis yang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger, di mana individu dengan pengetahuan atau kompetensi terbatas melebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Persepsi diri Firaun sebagai otoritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi menyebabkan disonansi kognitif (cognitive dissonance) ketika dihadapkan dengan tanda-tanda ilahi, yang menyebabkannya menggandakan perilaku opresinya. (Unskilled and Unaware of it: How Difficulties in Recognizing One’s Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments. Journal of Personality and Social Psychology, 77 (6), 1132)

Pengabaian Firaun terhadap Musa dan tanda-tanda ilahi merupakan contoh klasik dari kesombongan otoriter. Penyangkalan terhadap otoritas eksternal (di luar kekuasaannya) dan kepercayaan pada kesempurnaan dirinya sendiri.

Eksploitasi Kekuasaan

Q.S. Yûnus [10]: 88 menyoroti permohonan Musa kepada Allah untuk menghentikan tirani yang dilakukan oleh Firaun dan para pengikutnya. Secara khusus, ia menunjukkan bagaimana mereka menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan mereka—yang seharusnya menjadi amanah—untuk menindas rakyatnya, serta membelokkan mereka dari ajaran Allah.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Dalam hal ini, al-Marâghî kian menegaskan bahwa permohonan Musa kepada Allah merupakan sebentuk “sikap amarahnya” atas kelakuan Firaun serta pengikut-pengikutnya. Mereka bersikap demikian sebab mereka telah melampaui batas, dengan tidak mempergunakan harta kekayaan untuk rakyat. Karenanya, Musa lebih memilih membawa keluar Bani Israil yang tertindas dari Mesir, dan mengajak mereka yang ingin ikut akan mengimani satu Tuhan, Tuhan Musa dan Harun, yaitu Allah. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 11, 147-148)

Demikian, terang Al-Marâghî, sikap sombong, congkak, angkuh, dan melampaui batas merupakan sunnatullah yang disebabkan oleh bergelimangnya harta. Imbasnya, meminjam istilah Karl Max, adalah kaum borjuis (arbâb) mempergunakan kaum proletar (riqâb al-nâs) sebagai budak dan tawanan mereka. (Tafsîr al-Marâghî, jilid 11, 147-148)

Dari pada hal tersebut, ditegaskan dalam Q.S. Al-Qashash [20]: 4 yang mendeskripsikan bagaimana Allah menyoroti sikap Firaun yang melampaui batas. Dalam firmannya, Allah menyebut bahwa “Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah. Dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil). Dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuannya. Sesungguhnya dia (Firʻaun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Dalam Q.S. Al-Qashash [20]: 4, Firaun digambarkan sebagai seseorang yang meninggikan dirinya di bumi dan membagi rakyatnya menjadi beberapa kelas dan menindas beberapa golongan tertentu dari Bani Israil. Strategi ini merupakan ciri khas autokrasi yang bertujuan untuk melemahkan perlawanan kolektif dan memastikan dominasi absolut. Demikian, Firaun berupaya memanipulasi agama untuk melayani tujuannya sendiri, menuduh Musa menggunakan sihir untuk melemahkan dewa-dewa yang telah ada

Oleh karenanya, kemuliaan dan kekayaan yang Firaun dan rezimnya miliki digunakan sebagai sarana untuk memperkuat dominasi politik dan ideologis mereka, menciptakan rasa kebenaran yang salah mengenai kekuasaan mereka. Musa menyadari bahwa ini bukan sekadar bentuk ketidakadilan sosial, tetapi juga bentuk penindasan religius yang terstimulasi secara spiritual yang merusak iman rakyat, dan dengan demikian ia berdoa agar Allah sepenuhnya menghilangkan pengaruh merugikan mereka.