Beranda blog Halaman 6

Hawariyun: Para Pengikut Setia Nabi Isa

0
Hawariyun: Para Pengikut Setia Nabi Isa
Hawariyun: Para Pengikut Setia Nabi Isa

Dalam kisah-kisah kenabian yang diceritakan Al-Qur’an, sosok Nabi Isa AS menempati posisi istimewa dengan berbagai keunikan, termasuk interaksinya dengan para pengikut setianya yang dikenal dengan sebutan “al-Hawariyun” (الحواريون). Kelompok ini memiliki kedudukan khusus sebagai pendukung risalah Nabi Isa di tengah penolakan dan permusuhan dari sebagian besar Bani Israil. Al-Qur’an mencatat kesetiaan mereka dan dinamika hubungan dengan Nabi Isa yang sarat dengan makna dan hikmah.

Asal-usul dan Identitas Hawariyun

Kata “Hawariyun” disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, termasuk dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 52, QS. Al-Ma’idah [5]: 111-115, dan QS. Ash-Shaff [61]: 14. Ibnu Katsir (2/38–39) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendapat tentang asal usul nama tersebut. Sebagian mengatakan bahwa mereka adalah para tukang cuci pakaian, ada pula yang mengatakan mereka dinamakan demikian karena putihnya pakaian mereka, dan sebagian lain mengatakan mereka adalah para nelayan.

Namun, Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat yang sahih adalah bahwa “Hawari” bermakna penolong (nâsir), sebagaimana disebutkan dalam hadis sahih bahwa Rasulullah Saw. ketika meminta sukarelawan pada Perang Ahzab, Zubair bin Awwam tampil ke depan. Maka Nabi Saw. bersabda: “Setiap Nabi memiliki hawari (penolong), dan hawariku adalah Zubair.”

Ibnu Ashur dalam tafsirnya (3/256) merinci bahwa Hawariyun berjumlah dua belas orang, yaitu: Simon Petrus (Simeon), saudaranya Andreas, Yohanes bin Zebedeus, saudaranya Yakobus (keempat orang ini adalah nelayan), Matius si pemungut pajak, Thomas, Filipus, Bartolomeus, Yakobus bin Halfai, Labawus, Simon al-Qanawi, dan Yudas Iskariot.[^2]

Keimanan Hawariyun dan Kesaksian Mereka

Kesetiaan para Hawariyun kepada Nabi Isa tercermin dalam respons mereka ketika Nabi Isa meminta dukungan untuk menegakkan agama Allah. Dalam QS. Ash-Shaff [61]: 14, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada para Hawariyun: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Para Hawariyun menjawab: ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.” (QS. Ash-Shaff [61]: 14).

Ibnu Katsir (8/139–140) menafsirkan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjadi penolong Allah dalam semua keadaan mereka, dengan perkataan dan perbuatan, jiwa dan harta mereka, dan untuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana para Hawariyun memenuhi seruan Isa As. Allah lalu menjadikan para Hawariyun sebagai da’i untuk menyeru manusia di negeri-negeri Syam di kalangan Bani Israil dan Yunani.

Baca juga: Siapakah Al-Hawariyyun yang Disebut dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Ibnu Ashur (3/256) menambahkan bahwa jawaban para Hawariyun menunjukkan mereka memahami bahwa memberi pertolongan kepada Isa sebenarnya adalah memberi pertolongan kepada agama Allah. Ungkapan “Kami adalah penolong-penolong Allah” tidak bermaksud membatasi pertolongan hanya pada mereka, tetapi menunjukkan kesegeraan mereka untuk memenuhi seruan tersebut.

Dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 111, Al-Qur’an menjelaskan pengakuan keimanan para Hawariyun:

وَإِذْ أَوْحَيْتُ إِلَى الْحَوَارِيِّينَ أَنْ آمِنُوا بِي وَبِرَسُولِي قَالُوا آمَنَّا وَاشْهَدْ بِأَنَّنَا مُسْلِمُونَ

Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada para Hawariyun: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku’. Mereka menjawab: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 111).

Ibnu Ashur (7/103) menafsirkan bahwa “wahyu” kepada para Hawariyun bermakna ilham yang Allah berikan kepada mereka ketika mendengar seruan Isa untuk segera membenarkannya. Ini bukan wahyu kenabian, melainkan inspirasi atau dorongan yang Allah berikan kepada mereka untuk beriman, sementara banyak Bani Israil lainnya justru mengingkari.

Kisah Hidangan dari Langit

Salah satu interaksi paling terkenal antara Nabi Isa dan para Hawariyun adalah permintaan mereka akan hidangan dari langit, sebagaimana terabadikan dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 112-115. Kisah ini begitu penting hingga memberikan nama untuk surat Al-Ma’idah (Hidangan).

Ibnu Katsir (3/202) menyebutkan bahwa kisah ini tidak terdapat dalam Injil dan umat Nasrani hanya mengetahuinya dari umat Islam. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa permintaan para Hawariyun didasari kebutuhan dan kemiskinan mereka, sehingga mereka meminta hidangan yang dapat mereka makan setiap hari.

Ketika para Hawariyun bertanya: “Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”, Nabi Isa menjawab dengan peringatan: “Bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman,” mengingatkan mereka untuk tidak meminta hal-hal yang dapat menjadi ujian bagi mereka.

Baca juga: Ikrar Setia Kaum Hawariyyun: Refleksi Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Para Hawariyun kemudian menjelaskan motivasi mereka: “Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya hati kami tenteram dan supaya kami yakin bahwa engkau telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.” Mereka mengakui kebutuhan mereka akan makanan, keinginan untuk memperoleh ketenangan hati, dan penguatan keyakinan mereka terhadap kebenaran risalah Nabi Isa.

Nabi Isa kemudian berdoa: “Ya Allah, Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang pertama dan yang terakhir di antara kami dan menjadi tanda dari Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik Pemberi rezeki.”

Ibnu Katsir (3/202) menukil beberapa penafsiran tentang ungkapan “menjadi hari raya bagi kami.” As-Suddi menafsirkan bahwa mereka akan menjadikan hari turunnya hidangan sebagai hari raya yang diagungkan oleh mereka dan generasi setelah mereka. Sufyan ats-Tsauri memaknainya sebagai hari untuk melaksanakan salat. Qatadah berpendapat itu untuk keturunan mereka, sementara Salman al-Farisi memahaminya sebagai pelajaran bagi mereka dan generasi setelah mereka.

Baca juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa

Allah mengabulkan doa tersebut dengan peringatan keras: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu setelah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia.”

Ibnu Katsir (3/202) menukil riwayat dari Abdullah bin Amr bahwa tiga kelompok yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah: orang-orang munafik, orang-orang yang kafir setelah turunnya hidangan, dan keluarga Fir’aun.

Penyelamatan Nabi Isa dan Nasib Hawariyun

Dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 54-55, Al-Qur’an menceritakan tentang upaya Bani Israil untuk membunuh Nabi Isa dan bagaimana Allah menyelamatkannya. Ibnu Katsir (2/38–39)  menjelaskan bahwa pemuka-pemuka Bani Israil berkomplot untuk mencelakakan Nabi Isa dengan cara membuat fitnah kepada penguasa saat itu yang kafir, menuduh Isa menyesatkan manusia dan menghalangi ketaatan kepada raja. Mereka juga menfitnah dengan tuduhan bahwa Isa adalah anak hasil perzinaan.

Ketika mereka mengepung rumah tempat Isa berada, Allah menyelamatkannya dengan mengangkatnya melalui lubang atap rumah ke langit, dan menjatuhkan keserupaan Isa kepada salah seorang yang berada di rumah itu. Orang-orang yang mengepung kemudian menangkap orang tersebut, menghinanya, menyalibnya, dan meletakkan mahkota duri di kepalanya, mengira dia adalah Isa.

Ibnu Katsir (8/139–140) juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Allah hendak mengangkat Isa ke langit, Isa keluar menemui para sahabatnya yang berjumlah dua belas orang di sebuah rumah. Kepalanya masih meneteskan air setelah mandi. Ia berkata kepada mereka: “Sesungguhnya di antara kalian ada yang akan mengingkariku dua belas kali setelah beriman kepadaku.” Lalu Isa bertanya: “Siapa di antara kalian yang bersedia dijadikan serupa denganku, dibunuh menggantikanku, dan bersamaku di tingkatku (di surga)?” Seorang pemuda yang paling muda di antara mereka berdiri dan berkata: “Aku.” Setelah pemuda itu menyatakan kesediaannya tiga kali, Isa berkata: “Engkaulah orangnya.” Lalu keserupaan Isa diletakkan pada pemuda tersebut, dan Isa diangkat ke langit.

Hikmah dan Pelajaran dari Kisah Hawariyun

Kisah Hawariyun dan interaksi mereka dengan Nabi Isa As mengandung berbagai hikmah dan pelajaran penting:

  1. Keimanan sejati memerlukan keberanian dan komitmen untuk menjadi pembela kebenaran, sebagaimana para Hawariyun yang berani mengidentifikasi diri sebagai “Ansarullah” meskipun menghadapi risiko penolakan masyarakat.
  2. Dalam perjalanan keimanan, ujian dan keraguan merupakan hal yang manusiawi dan bisa menjadi jalan untuk memperkuat keyakinan, seperti yang dialami para Hawariyun ketika meminta “hidangan dari langit.”
  3. Pertolongan Allah datang dengan cara yang tidak selalu kita duga, sebagaimana Dia menyelamatkan Nabi Isa dari rencana pembunuhan dengan mengangkatnya ke langit.
  4. Pengorbanan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan membela kebenaran, sebagaimana seorang pengikut Nabi Isa bersedia mengorbankan nyawa dengan mengambil rupa Nabi Isa As.
  5. Kesetiaan kepada ajaran kenabian adalah wujud kesetiaan kepada Allah, bukan sekadar kesetiaan personal kepada sosok nabi.

Kisah para Hawariyun ini tetap relevan sebagai teladan bagi kita tentang bagaimana mendukung dan menyebarkan kebenaran dengan ketulusan dan pengorbanan. Wallahu a’lam bi-shawab.

Mendiskusikan Surah al-Muddatstsir Sebagai Wahyu Pertama

0

Ayat pertama yang diturunkan dari Alquran yang menjadi kesepakatan ulama adalah surah al-‘Alaq. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa surah al-Muddatstsir yang turun pertama kali merupakan pendapat yang perdebatkan oleh para ulama. Berikut dasar dari pendapat kedua ini:

رَوَاهُ الشَّيْخَانِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: «سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ: أَيُّ الْقُرْآنِ أُنْزِلَ قَبْلُ؟ قَالَ: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُلْتُ: أَوِ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ؟ فَقَالَ جَابِرٌ: أُحَدِّثُكُمْ مَا حَدَّثَنَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي جَاوَرْتُ بِحِرَاءَ، فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِي نَزَلْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ الْوَادِي، فَنَظَرْتُ أَمَامِي وَخَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَشِمَالِي، ثُمَّ نَظَرْتُ إِلَى السَّمَاءِ، فَإِذَا هُوَ – يَعْنِي جِبْرِيلَ – فَأَخَذَتْنِي رَجْفَةٌ فَأَتَيْتُ خَدِيجَةَ فَأَمَرْتُهُمْ فَدَثَّرُونِي، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ.».

“Diriwayatkan oleh dua imam (Bukhari dan Muslim) dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah, “Ayat Alquran mana yang pertama kali diturunkan?” Ia menjawab, “Ya ayyuhal muddaththir (Wahai orang yang berselimut).” Aku bertanya lagi, “Ataukah Iqra’ bismi rabbik?” Jabir menjawab, “Aku menceritakan kepada kalian sebagaimana yang telah diceritakan kepada kami oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya aku berada di Gua Hira untuk beribadah. Ketika masa ibadahku selesai, aku turun dan memasuki lembah. Aku melihat ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Kemudian aku melihat ke langit, ternyata ia (malaikat Jibril) berada di sana. Aku pun gemetar ketakutan, lalu aku pulang menemui Khadijah dan berkata kepada mereka (Khadijah), Selimutilah aku! Maka Allah menurunkan firmanNya: ya ayyuhal muddatstsir, qum faandzir.

Ketika Abu Salamah bertanya kepada Jabir tentang wahyu pertama yang diturunkan dari Alquran, Jabir menjawab bahwa ayat pertama yang turun adalah Ya ayyuhal muddatstsir. Namun, ketika Abu Salamah mempertanyakan kembali dengan menyebut “Iqra’ bismi rabbik” Jabir tetap bersikeras dengan pendapatnya dan membawa hadits ini sebagai dalil bahwa wahyu pertama adalah “Ya ayyuhal muddatstsir”. (Abd al-Wahhab ‘Abd al-Majīd al-Ghuzlān, al-Bayān fī Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān, (76))

Baca Juga: Al-Alaq ataukah Al-Muddatstsir, Surat Yang Pertama Kali Diturunkan?

Menjawab Pemahaman Ulama terhadap Hadis tentang “ al-Muddatstsir ”

Pertama: Ada yang mengatakan bahwa pertanyaan yang diajukan oleh Salamah kepada Jabir berkaitan dengan surah yang turun secara lengkap, sehingga Jabir ra menjawab bahwa surah pertama yang turun secara lengkap adalah surah al-Muddatstsir. Sedangkan surah al-‘Alaq tidak diturunkan secara lengkap. Pemahaman ini mendapat jawaban dari sejumlah ulama ‘ulum al-Qur’an, berikut penjelasannya:

Musā’id bin Sulaimān menyatakan dalam kitabnya Al-Muharrar fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (82) bahwa penjelasan ini kurang tepat, karena pertanyaannya adalah tentang wahyu pertama yang turun, bukan tentang surah pertama yang turun secara utuh. Oleh karena itu, penjelasan ini hanya bisa diterima sebagai kemungkinan.

Abu Syahbah dalam kitabnya al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, (115) secara tegas menolak pemahaman ini, menurutnya bagaimana mungkin seseorang dapat mengklaim atau mengatakan bahwa surah al-Muddatstsir adalah surah pertama yang diturunkan secara lengkap? Ini jelas bukan jawaban yang benar. Oleh karena itu, ketika Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari berusaha menyelaraskan dua hadis-yaitu hadis Aisyah dan hadis Jabir-beliau tidak menyebutkan pendapat ini. Pendapat tersebut justru disebutkan oleh penulis Al-Itqan.

Abd al-Wahhab al-Ghuzlān dalam kitabnya al-Bayān fī Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān, (79) mengatakan bahwa koreksi Abu Salamah terhadap Jabir dengan ucapannya “(Ataukah) ‘Iqra’ bismi rabbik’?” menunjukkan bahwa ia tidak sedang bertanya tentang surah pertama yang turun secara lengkap. Sebab, telah disepakati bahwa surah al-‘Alaq tidak diturunkan secara keseluruhan sekaligus.

Dalam hadis yang sahih disebutkan bahwa surah al-Muddatstsir tidak diturunkan secara lengkap sekaligus, melainkan yang pertama kali diturunkan darinya adalah hingga firman Allah “War-rujza fahjur”. Maka, bagaimana mungkin pernyataan Jabir dipahami sebagai bahwa itu adalah surah pertama yang turun secara lengkap?

Baca Juga: Muhammad Abduh: Surah Al-Fatihah Adalah Wahyu Pertama, Ini Argumennya

Kedua: “yang pertama” dalam hadis Jabir bersifat khusus, baik dalam arti wahyu yang turun setelah masa terhentinya wahyu atau dalam arti wahyu yang memerintahkan dakwah secara terbuka.

Penjelasan ini juga kurang tepat, karena pertanyaannya secara jelas menanyakan wahyu pertama yang turun, dan dalam hadis tersebut tidak ada indikasi bahwa Jabir ra bermaksud mengkhususkan makna “yang pertama”.

Selain itu, meskipun dalam riwayat Jabir disebutkan, “Aku mendengar Nabi SAW berbicara tentang terhentinya wahyu,” hal ini tidak menunjukkan bahwa ia bermaksud membatasi makna “yang pertama”, sebab pertanyaan yang diajukan bersifat umum mengenai wahyu pertama yang turun, bukan mengenai wahyu pertama setelah masa terhentinya wahyu. (Musā’id bin Sulaimān, Al-Muharrar fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (82))

Ghuzlān menjelaskan, Pertama: keberadaan kata “sebelumnya” dalam pertanyaan Abu Salamah, yaitu ucapannya,“Ayat Alquran mana yang diturunkan lebih dahulu?”, bersifat mutlak, karena tidak ada dalil dalam ucapannya yang membatasi maknanya dengan sesuatu. Maka, bagaimana mungkin Jabir menjawab dengan sesuatu yang memiliki makna “sebelumnya” yang terbatas? Padahal, hal ini akan menjadikan jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaannya.

Kedua: Seandainya Jabir bermaksud membatasi “yang pertama” sebagai surah pertama yang diturunkan secara lengkap atau sebagai wahyu pertama setelah masa terhentinya wahyu, tentu dia akan menjelaskan maksudnya ketika Abu Salamah mengoreksi jawabannya dan berkata kepadanya, “Atau (yang pertama adalah) ‘Iqra’ bismi rabbik’?” Namun, Jabir tetap bersikeras dengan ucapannya, sehingga dapat dipastikan bahwa yang dia maksud dengan “yang pertama” dalam ‘Yā ayyuhal muddatstsir’ adalah “yang pertama” secara mutlak. (al-Ghuzlān, al-Bayān fī Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān, (78))

Alhasil, pendapat yang meyatakan bahwa surah al-Muddatstsir adalah surah pertama kali yang turun secara mutlak tidak benar dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas. Jika melihat kisah yang terjadi mengenai turunnya surah al-Muddatstsir maka dapat dipahami bahwa surah ini turun setelah surah al-‘Alaq karena ada riwayat yang mengatakan, “Malaikat yang pernah datang kepadaku di Hira”. Menurut Muhammad ‘Ali Salamah, kisah ini terjadi setelah peristiwa di Gua Hira, ketika surat Al-‘Alaq diturunkan. (Muhammad ‘Ali Salamah, Manhaj al-Furqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (30)) Allahu A’lam.

Keteguhan Nabi Luth di Tengah Degradasi Moral

0
Keteguhan Nabi Luth di Tengah Degradasi Moral
Sayyiduna Luth alaihissalam.

Dalam sejarah kemanusiaan, ketika nilai-nilai moral terus mengalami pergeseran dan batas-batas norma sosial semakin kabur, kisah para nabi dalam menghadapi tantangan serupa menjadi cermin refleksi yang berharga. Salah satu yang paling mencolok adalah kisah Nabi Luth—seorang rasul yang diutus kepada masyarakat yang telah mencapai titik nadir dalam degradasi moral.

Di tengah situasi seperti ini, muncul sosok-sosok yang menentang arus dengan mempertahankan nilai-nilai kebenaran. Kisah Nabi Luth memberikan teladan abadi tentang keteguhan prinsip di tengah lingkungan yang menolak nilai-nilai moral secara sistematis. Bagaimana beliau mempertahankan prinsip tanpa kekerasan? Apa strategi beliau melindungi keluarga dari pengaruh lingkungan yang merusak? Dan refleksi apa yang dapat kita petik dari keberanian moralnya?

Dakwah Tanpa Kekerasan di Tengah Permusuhan

Kaum Sodom dikenal sebagai masyarakat pertama yang secara terbuka melakukan praktik homoseksual. Alquran mencatat peringatan tegas Nabi Luth:

وَلُوْطًا اِذْ قَالَ لِقَوْمِهٖٓ اَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ

Dan (ingatlah) Luth ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji) yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kamu di dunia ini?” (Q.S. Al-A’raf [7]: 80).

Al-Maragi (Juz 8/hlm. 204) menjelaskan bahwa Nabi Luth menegur kaumnya dengan menyatakan perbuatan mereka “telah mencapai puncak keburukan”. Perbuatan mereka bertentangan dengan fitrah yang tidak pernah dilakukan siapapun sebelumnya. Al-Maragi menekankan: “Perbuatan mereka bertentangan dengan fitrah manusia, sehingga tidak ada jiwa manusia sebelum mereka yang tertarik melakukannya, selain bertentangan dengan petunjuk agama.”

Baca juga: Kisah perilaku Homoseksual Kaum Nabi Luth

Perhatikan metode dakwah Nabi Luth yang menggunakan pendekatan rasional. Beliau tidak memaksakan pendapat dengan kekerasan, melainkan menyentuh fitrah dan akal sehat manusia. Beliau mempertanyakan logika di balik perilaku yang bertentangan dengan keberlanjutan kehidupan manusia. Nabi Luth mengingatkan bahwa bahkan binatang tidak melakukan praktik seperti itu—burung dan serangga membangun sarang mereka untuk kehidupan berpasangan yang bertujuan melestarikan keturunan, sedangkan manusia yang memiliki akal seharusnya lebih mulia.

Pendekatan yang menyentuh logika dan fitrah ternyata jauh lebih efektif daripada intimidasi atau kekerasan. Bahkan ketika menghadapi penentangan terhadap nilai-nilai fundamental, Nabi Luth memilih jalan argumen dan penalaran. Metode ini menjadi cermin bagi para pendakwah dan pendidik masa kini—bagaimana menyampaikan kebenaran dengan tegas namun tetap menghormati kecerdasan audiensnya.

Keteguhan Prinsip Tanpa Kompromi Nilai

Menghadapi penolakan, Nabi Luth tetap teguh pada prinsipnya: “Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan Tuhanmu untukmu? Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 165-166).

Ar-Razi (24/ 526–527) memaparkan dua kemungkinan makna ayat ini. Pertama, bahwa mereka sebagai bagian dari umat manusia menjadi terkenal dengan perbuatan ini. Kedua, bahwa mereka memilih laki-laki daripada perempuan. Beliau juga menjelaskan bahwa frasa “apa yang Allah ciptakan untukmu dari istri-istrimu” menunjukkan bahwa mereka tidak hanya meninggalkan perempuan, tetapi juga menyalahgunakan cara yang Allah tetapkan dalam hubungan suami-istri.

Ketika kaumnya mengancam akan mengusirnya, Nabi Luth dengan tegas menyatakan: “Sesungguhnya aku sangat membenci perbuatanmu.” (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 168).

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?

Ar-Razi menjelaskan bahwa ungkapan “من القالين” (termasuk orang-orang yang membenci) lebih kuat penekanannya daripada sekadar mengatakan “إني قال” (aku membenci). Ini seperti perbedaan antara mengatakan “Dia termasuk ulama” yang lebih kuat penekanan maknanya daripada “Dia seorang alim”. Ini menunjukkan kebencian Nabi Luth terhadap perbuatan tersebut sangat mendalam, bukan sekadar ketidaksetujuan biasa.

Nabi Luth berhasil memisahkan antara menghormati manusia sebagai individu dengan menolak tegas perbuatan buruk mereka. Beliau tidak membenci kaumnya sebagai manusia, tapi dengan tegas menolak perbuatan mereka. Inilah keseimbangan yang sering hilang dalam diskusi moral kontemporer—menolak perbuatan buruk tanpa mendehumanisasi pelakunya. Keteguhan prinsip tidak berarti kehilangan rasa hormat terhadap kemanusiaan orang lain, tetapi juga tidak mengorbankan kebenaran demi diterima.

Mempertahankan Keluarga di Lingkungan Beracun

Tantangan Nabi Luth semakin kompleks ketika istrinya sendiri tidak mendukung misinya. “Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir: istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya…” (Q.S. At-Tahrim [66]: 10).

Ibnu Katsir (8/192) menegaskan bahwa pengkhianatan yang dimaksud adalah dalam agama, bukan perbuatan keji: “Istri-istri nabi terjaga dari perbuatan keji demi kehormatan para nabi.” Beliau menjelaskan bahwa kedekatan dengan nabi tidak memberi manfaat tanpa keimanan pribadi: “Mereka hidup bersama para nabi, makan siang dan malam bersama mereka, tidur bersama mereka dalam hubungan yang paling dekat. Namun, hal itu tidak memberi manfaat ketika mereka tidak menerima keimanan.”

Baca juga: Doa Nabi Luth as. yang Diabadikan Allah dalam Alquran

Ketika perintah meninggalkan kota datang, Nabi Luth diperintahkan: “Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang menoleh ke belakang.” (Q.S. Hud [11]: 81).

Ibnu Katsir (4/291) menjelaskan bahwa Nabi Luth diperintahkan untuk menjadi pengawal di belakang keluarganya dan memastikan mereka tidak menoleh ke belakang saat azab turun.

Kisah ini memberi kita cermin tentang tantangan mendidik keluarga di lingkungan yang tidak mendukung nilai-nilai kebaikan. Nabi Luth tidak menyerah pada tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga meski menghadapi resistensi dari pasangannya. Beliau tetap berusaha melindungi keluarganya yang mau mengikuti kebenaran. Ini menggambarkan bahwa menjaga nilai dalam keluarga memerlukan konsistensi dan kesabaran, termasuk menghadapi kemungkinan bahwa anggota keluarga sendiri bisa menjadi tantangan terberat.

Keberanian Moral dalam Menghadapi Tekanan Sosial

Puncak keberanian moral Nabi Luth terjadi ketika melindungi tamunya dari kaumnya. “Dan kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Mereka sejak dahulu melakukan perbuatan-perbuatan keji. Luth berkata, ‘Wahai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)-ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?'” (Q.S. Hud [11]: 78).

Dalam situasi genting ini, beliau mengungkapkan keluhannya. “Dia (Luth) berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).'” (Q.S. Hud [11]: 80).

Baca juga: Narasi Sosial Penghambat Dakwah Rasulullah saw.

Ibnu Katsir ((4/291) menyebutkan hadis Rasulullah: “Semoga Allah merahmati Luth, sungguh dia berlindung kepada rukun yang kokoh—yakni Allah—dan Allah tidak mengutus nabi setelahnya kecuali dalam jumlah yang banyak dari kaumnya.” Ini menunjukkan bahwa Allah memberikan penghargaan khusus atas keberanian Nabi Luth yang berdiri sendiri.

Keberanian moral tidak selalu berarti kekuatan fisik. Berdiri membela kebenaran meski merasa lemah dan sendirian adalah keberanian sejati. Bahkan Nabi Luth, seorang rasul, merasa lemah secara fisik dan bercita-cita memiliki kekuatan lebih untuk menghadapi kaumnya. Namun, beliau tetap tidak gentar menjalankan kewajibannya.

Penutup

Alhasil, keberanian moral Nabi Luth juga terlihat dalam upayanya menawarkan alternatif halal kepada kaumnya—dengan mengarahkan mereka kepada pernikahan yang sah—meski tahu usulannya akan ditolak. Ini menunjukkan bahwa melawan kemungkaran tidak hanya dengan mengatakan “tidak”, tetapi juga menawarkan alternatif baik yang sesuai dengan fitrah manusia. Di tengah dunia yang nilai-nilainya semakin beragam dan berubah, teladan Nabi Luth mengajarkan keseimbangan yang sulit namun penting: keteguhan tanpa kebencian, prinsip tanpa kekerasan, dan keberanian tanpa kesombongan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Mengenal Kitab Ahkam Alquran Karya Imam Al-Tahawi

0

Dalam khazanah keilmuan Islam, banyak ulama besar yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam bidang tafsir dan fiqih. Salah satu di antaranya adalah Imam al-Tahawi, seorang ulama terkemuka dari mazhab Hanafi yang dikenal dengan pemikirannya yang tajam dan karya-karyanya yang monumental. Salah satu karyanya adalah Ahkam Alquran, sebuah kitab tafsir yang fokus membahas hukum-hukum dalam Alquran dengan pendekatan fiqih yang sistematis.

Baca Juga: Mengenal Al-Kiya Al-Harrasi, Pengarang Kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an

Biografi Imam al-Tahawi

Imam al-Tahawi memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah bin Abdul al-Malik bin Salamah bin Sulaym bin Sulayman bin Janab al-Azdi Al-Misri al-Tahawi. Ia sering dikenal dengan Abu Ja’far atau al-Tahawi yang merupakan nama dari tempat kelahirannya yakni desa Taha, yang termasuk dalam wilayah El Ashmunein (Ashmunin) di Mesir Hulu yang kini termasuk dalam pusat Samalut dari Provinsi Minya di Mesir.

Dalam kitabnya Ahkam Alquran (hlm. 14) terdapat penjelasan mengenai perbedaan pendapat ulama akan tahun lahirnya, sebagian ulama mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 229 H, sedangkan sebagian lagi mengatakan pada tahun 230 H. Namun pendapat yang paling masyhur atau paling banyak dirujuk oleh sejarawan mengatakan bahwa al-Tahawi lahir pada tahun 239 H, hal tersebut diriwayatkan oleh beberapa ulama, seperti Sa’id Al-Sam’ani (W. 562 H), Ibnu ‘Asakir (wafat 571 H), Ibnu Al-Jawzi (W. 597 H), Yaqut (W. 626 H), Ibnu Katsir (W .774 H), Ibnu Hajar (W. 836 H), dan Ibnu Al-‘Imad (W. 1089 H).

Pendidikan awalnya dimulai dari ibunya dan berbagai majelis ilmu di Masjid Amr bin Ash. Sepanjang hidupnya, ia berguru pada banyak ulama besar, termasuk Bakar bin Qutaybah dan Ahmad bin Abi ‘Imran. Namun ia tidak pernah melakukan perjalanan ilmiah ke luar Mesir, hanya pernah ke Syam pada tahun 268 H untuk belajar fiqih dari Abu Hazim Abdul Hamid bin Ja’far.

Baca Juga: Tafsir Ayat Al-Ahkam Karya Abdur Rosyad Suhudi dan Makmun Afandi Nur

Karya-karya Imam al-Tahawi

Selain kitab tafsir Ahkam Alquran terdapat beberapa kitabnya yang juga popular, diantaranya: Syarh Ma’ani al-Atsar, Ikhtilaaf al-Fiqhiyah, Mukhatashar ath-Thahawi, Sunan asy-Syafi’I, Al-Aqidah ath-Thahawiyah, Naqdlu kitab al-Mudallisin li Faqih Baghdad al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi, Taswiyatu baina Hadtsana wa Akhabarana, Asy-Syurut ash-Shaqhir, Asy-Syurut al-Ausath, Asy-Syurut al-Kabir, dan masih banyak lagi.

Potret Tafsir Ahkam Alquran 

Kitab tafsir Ahkam Alquran merupakan kitab yang berisi penafsiran mengenai ayat-ayat hukum. Pada awalnya, imam al-Tahawi mengikuti mazhab Syafi’i di bawah bimbingan pamannya, yakni Ismail bin Yahya al-Muzani. Namun, ia kemudian berpindah ke mazhab Hanafi karena merasa lebih sesuai dengan metode hukum yang dipelajarinya, sehingga kitab ini ditulis oleh imam al-Tahawi dengan bersandar pada hukum dalam mazhab Hanafi.

Kitab ini terdiri dari 4 juz, namun yang ditemukan hanya satu juz dari kitab ini, yaitu juz pertama yang berhasil ditemukan oleh para peneliti. Juz pertama tersebut kemudian ditahqiq oleh Dr. Sa’aduddin Unal dan untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1995 oleh Pusat Penyelidikan Islam (ISAM), sebuah lembaga di bawah naungan Kementerian Agama Turki. Kemudian Juz pertama ini dicetak menjadi dua jilid.

Metode dan Sumber Penafsiran

Kitab Ahkam Alquran karya al-Tahawi disusun berdasarkan bab-bab fiqih, tanpa mengikuti urutan ayat dan surah dalam Alquran. Penafsiran dalam kitab ini mengutamakan makna lahiriah daripada makna batin, lebih mengedepankan makna umum, serta mencantumkan qira’at beserta sanadnya jika ada. Selain itu, kitab ini menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat dengan ayat muhkam, didukung oleh hadis, sunah, serta pendapat sahabat dan ulama salaf.

Metode yang digunakan adalah metode tahlili, yang mencakup qira’at, asbabun nuzul, ayat tematik, hadis, pendapat sahabat, tabi’in, dan ulama mujtahid, serta pembahasan dalil dan riwayat terkait. Adapun sumber penafsirannya adalah Alquran, hadis, serta pendapat sahabat dan tabi’in, sehingga tafsir ini dapat dikatakan tafsir bil ma’tsur. Dalam muqodimah kitab juga dijelaskan bahwa imam al-Tahawi juga memiliki metode yang bijak dalam mentarjih riwayat-riwayat bukan hanya dengan mengkritik para perawi sanad, tetapi juga dengan mempelajari hukum-hukum yang tertulis, serta menjelaskan dasar-dasar umum. (al-Tahawi, Ahkam Alquran, 1995, hlm. 5)

Baca Juga: Mengenal Tafsir Ahkam al-Qur’an Karya Ibnu al-Faras

Contoh Penafsiran

Dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam, imam at-Tahawi pada umumnya menafsirkan dalam bentuk penggalan ayat, lalu ia jelaskan penafsiran penggalan demi penggalan ayat tersebut dan dikaitkan dengan hukum yang terkandung didalamnya, seperti contoh penafsiran dalam penggalan Q.S an-Nisa ayat 43, yang didalamnya mengandung hukum tayammum.

فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik.

Para ulama berbeda pendapat tentang makna “debu” dalam ayat ini. Abu Hanifah dan Zufar berpendapat bahwa semua yang berasal dari bumi, seperti pasir dan tanah, dapat digunakan untuk tayamum. Sementara itu, pendapat lain menyatakan hanya tanah bersih yang sah digunakan.

Imam al-Tahawi menyebutkan hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa bumi dijadikan sebagai masjid dan tempat bersuci. Kemudian hadis ini digunakan sebagai penguat argumen al-Tahawi yang berpendapat bahwa setiap tanah yang sah untuk salat juga sah untuk tayamum. Hal ini ia sandarkan juga pada pendapat imam Abu Hanifah dan Zufar. (al-Tahawi, Ahkam Alquran, 1995, hlm. 102)

Hikmah Sirah Nabawiyah sebagai Pedoman Hidup

0
Sirah Nabawiyah sebagai Pedoman Hidup
Sirah Nabawiyah sebagai Pedoman Hidup

Manusia dapat mengemban tugas sebagai khalifah di bumi jika dia memahami tuntunan Allah Swt. dengan baik, salah satunya melalui Sirah Nabawiyah. Perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. dapat menjadi pedoman agar manusia tidak salah dalam melangkah atau mengambil kebijakan. Nabi saw. menjadi panutan bagi kita semua karena sabdanya selalu selaras dengan apa yang beliau perbuat. Dalam Alquran, tuntunan menjadikan Nabi saw. sebagai pedoman hidup tertera para QS. Al-Ahzab ayat 21, yang menegaskan diri Nabi saw. Sebagai teladan baik.

Pesan Surat al-Ahzab Ayat 21

Allah Swt berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.” (Al-Aḥzāb [33]:21)

Surah tersebut menegaskan bahwasanya Allah menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai role model  bagi kita semua.  Sungguh mustahil jika Allah membuat sebuah teori tanpa eksekutor sebagai contoh bagi keseluruhan umat manusia. Dalam Tafsir al-Misbah, ayat tersebut diperuntukkan bagi orang Quraisy yang ingkar akan risalah Rasulullah saw, karena seharusnya mereka meneladani sikap dan mengikuti wahyu yang di bawa oleh Nabi. (Tafsir al-Misbah, jilid 11, 242)

Baca juga: Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui

Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan bahwa contoh teladan baik dengan norma-norma yang dipaparkan ada dihadapan kita semua (pribadi agung Nabi Muhammad saw.), tinggal bagaimana kita merealisasikan sesuai dengan konteks zaman. Kebanyakan, seseorang yang berusaha untuk meneladani Rasulullah dalam kehidupannya adalah mereka yang percaya akan datangnya hari akhir.

Contoh nyata keteladanan nabi Muhammad saw. dapat dilihat dari kisah seseorang dari suku badui yang awalnya hanya berminat meminta harta rampasan perang berupa domba. Dalam benak orang tersebut, tidak ada niatan sama sekali untuk memahami agama Islam. Hal ini terdengar materialistik. Hanya saja, kemurahan hati Nabi Muhammad saw. membuat persepsi berubah, sehingga badui tersebut luluh dan mengajak yang lain untuk masuk ke dalam agama Islam. Cerita tersebut menggambarkan kebaikan pribadi Nabi yang toleran dan murah hati tanpa memandang ras, suku, bahkan agama.

Sirah Nabawiyah Sebagai Faktor Pendukung dalam Memahami Konteks Ayat

Sirah Nabawiyah juga menjadi aspek untuk memahami konteks dari penurunan Alquran. Sebagaimana diketahui, Alquran diturunkan oleh Allah tidak dalam ruang kosong, sehingga sejarah merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan untuk memahami penurunan ayat. Sebagai contoh, QS. Albaqarah [2]: 191 jika  dipahami secara teks maka akan menjadi label kebenaran dalam meneror non muslim, padahal mereka termasuk orang yang hidup di suatu negara dan dilindungi oleh pemerintah.

Baca juga: Meneladani Rasulullah Saw. Melalui Konsep Uswah, Qudwah, dan Ittiba’

Dalam kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam Alquran karya al-Qurtubi, ayat tersebut menjelaskan tentang pembunuhan yang boleh dilakukan dalam situasi peperangan. Bahkan, peperangan untuk melindungi diri (defensif) diharuskan meskipun sampai pada wilayah haram. Ayat tersebut tidak melegitimasi legalitas membunuh orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah atau kafir zimmi. Sirah Nabawiyah yang juga diserap dari riwayat hadis, menjadi penjelas bagi Alquran untuk tidak semena-mena dalam menghilangkan nyawa seseorang. (Tafsir al-Qurthubi, jilid 2, 794)

Tidak hanya itu, Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum perlu menggunakan Sirah Nabawiyah untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam dan detail. Seperti dalam surah Alqalam tentang sifat Nabi Muhammad yang berbunyi:

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Alqalam [68]:4)

Keagungan akhlak Rasulullah bisa dijadikan sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia untuk mendapatkan kebaikan dunia khususnya akhirat. Sirah Nabawiyah menjelaskan spesifikasi pekerti agung yang dimiliki Nabi saw. sebagai contoh konkrit yang kemudian dapat diimplementasikan dalam berkehidupan.

Buku karangan Yasir Qadhi yang berjudul Muhammad saw. Teladan Sempurna bagi Umat Manusia, memberikan sebuah gambaran  tentang kemuliaan Nabi Muhammad saw. Tindakan yang dilakukan oleh Nabi bisa menjadi inspirasi berupa regulasi atau ketentuan di masa sekarang. Seperti kebijakan bernegara di Kota Madinah terhadap beberapa agama yang bersifat plural.  Sebagai pemimpin, Nabi mampu memberikan kepuasan bagi seluruh agama. Keadilan dijunjung tinggi dengan wawasan yang luas sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat diterima oleh semua kalangan. (Muhammad saw. Teladan Sempurna bagi Umat Manusia, 247)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Beberapa pasal dari piagam Madinah mendukung terbentuknya sebuah kedamaian dalam negara yang plural. Seperti pasal 45 yang mengharuskan seseorang mukmin untuk menyambut baik perjanjian perdamaian yang diajukan. Sangat berbanding terbalik dengan motivasi teroris yang membawa konsepsi jihad untuk menanamkan rasa takut kepada kelompok lain.

Penutup

Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir menjadi penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Sirah Nabawiyah atau perjalan hidup Nabi Muhammad saw. merupakan aspek penting yang harus dipahami oleh umat muslim. Melalui Sirah Nabawiyah, kita tidak hanya belajar secara teoritis, tetapi juga praktis. Nabi Muhammad saw. memberikan contoh nyata dalam menerapkan Alquran di kehidupan sehari-hari. Dengan meneladani perjalanan hidup baginda Nabi, kita dapat mengambil hikmah serta memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh.

Al-Balad ayat 11-13: Keseriusan Alquran terhadap Penghapusan Budak

0

Keberadaan budak di zaman ini memang sudah tidak ada lagi, karena hal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai-nilai moralitas. Namun, sebelum negara-negara saat ini menerapkan dan bersepakat dengan nilai-nilai tersebut, Islam dengan visi Ramatan lil Alamin jauh lebih dulu telah mengajarkan bagaimana memperlakukan golongan lemah dan terpinggirkan. Salah satunya adalah budak.

Narasi di atas bukan bentuk klaim semata tanpa bukti, karena banyak sekali ayat ataupun hadis yang menampilkan budak sebagai golongan yang harus diperlakukan secara baik dan dihargai sebagai manusia. Untuk menemukan indahnya ajaran dan nilai Islam dalam memperlakukan budak, seseorang tidak boleh melihat hanya dari fakta sosial yang terjadi saat ini karena perbudakan memang sudah tidak ada lagi sekarang.

Baca Juga: Misi Alquran dalam Pembebasan Perbudakan

Perbudakan pada masa turunnya wahyu adalah sebuah realitas sosial yang sudah menyatu dan mengakar dengan budaya masyarakat saat itu. Sehingga memperlakukan para budak dengan manusiawi adalah perilaku yang tabu dan gamang dilakukan oleh masyarakat. Namun ketika Islam pertama kali membahas budak, ayat yang turun membahasnya adalah sebagai berikut:

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ فَكُّ رَقَبَةٍۙ

Maka, tidakkah sebaiknya dia menempuh jalan (kebajikan) yang mendaki dan sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu. (Itulah upaya) melepaskan perbudakan (Q.S. Al-Balad: 11-13)

Tafsir Al-Balad: 11-13

Dalam tafsir Jami’ Al-Bayan, al-Thabari mengutip beberapa pendapat tentang makna aqabah. Al-Hasan memaknai aqabah dengan bukit di neraka jahannam, Qatadah mengartikannya dengan kesulitan yang sangat dan bukit tanpa jembatan. Seluruh makna aqabah mengandung sesuatu yang buruk, menyiksa dan harus dilewati. Oleh karena itu pada ayat selanjutnya dijelaskan cara untuk selamat dari hal tersebut.

Al-Thabari kemudian menampilkan jalan agar selamat dari aqabah tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam redaksi berikut:

حدثني يعقوب، قال: ثنا ابن عُليَّة، عن أبي رجاء، عن الحسن ﴿وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ﴾ قال: ذُكر لنا أنه ليس مسلم يعتق رقبة مسلمة، إلا كانت فداءه من النار

Dari Ya’kub, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abu Raja’ dari Al-Hasan tentang firman Allah “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan budak.” Al-Hasan berkata: telah disebutkan kepada kami bahwa tidak ada seorang muslim pun yang membudakkan seorang budak muslim, kecuali hal itu menjadi tebusannya dari neraka. 

Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menampilkan makna kebahasaan dari kata al-fakk yang tidak ditemukan dalam Tafsir al-Thabari. Kata al-fakk berarti memisahkan dua hal yang saling melekat seperti melepaskan ikatan atau rantai. Jadi, memerdekakan budak berarti melepaskannya dari sifat-sifat penghambaan dan memberikannya kebebasan. Lebih jauh lagi, al-Razi memaknai kata al-fakk dengan lepasnya jiwa seseorang dari jeratan nafsunya sampai ia mendapatkan kebebasan abadi berupa surga.

Baca Juga: Abu Ubaidah Ma’mar al-Taimî, Seorang Mantan Budak, Pengarang Kitab Majâz al-Qur’ân

Sedangkan dalam Tafsir Ibn Katsir, pembahasan ayat ini semacam pengulangan dari Tafsir al-Thabari dan lebih banyak menampilkan hadis-hadis keutamaan membebaskan budak. Dari seluruh redaksi hadis yang terdapat dalam kitab tafsir tersebut, memiliki kesamaan dalam narasi mengenai pahala atau balasan bagi seorang muslim yang memerdekakan budak. Muatan riwayat-riwayat tersebut sama dengan kutipan di atas, hanya berbeda pada susunan bahasanya saja.

Penutup

Fenomena perbudakan telah berlangsung selama berabad-abad di berbagai belahan penjuru dunia. Budak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kala itu, tetapi keberadaannya tidak dianggap bahkan disamakan dengan barang komoditas yang layak diperdagangkan sebagai ladang bisnis bagi kaum bangsawan. Apalagi diperlakukan dengan baik atau dimerdekakan, menganggap budak sebagai manusia yang memiliki kehendak tidak terpikirkan oleh masyarakat kala itu.

Islam sebagai agama yang menjunjung kesetaraan dan keadilan, memandang fenomena perbudakan sebagai tindakan yang melawan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam berpikir dan berkehendak. Memperlakukan budak dengan baik sebagaimana manusia umumnya ingin diperlakukan dengan baik adalah bentuk konkret dari ajaran Islam yang hendak menaikkan derajat budak dan menempatkannya sebagai golongan yang perlu diperhatikan.

Baca Juga: Konsep Kesetaraan Ras dalam Alquran

Maka dari itu, Muhammad Syahrur berpendapat bahwa ajaran Islam telah melompat jauh dan melakukan perubahan besar dalam peradaban sejarah manusia dengan meletakkan dasar-dasar pembebasan budak. Karena pada hakikatnya, Islam menilai manusia setara dan sama tanpa memandang suku, warna kulit dan bahasa. Ukuran kemuliaan manusia dalam Islam terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT sebagaimana tertulis dalam surah al-Hujurat ayat 13.

Wallahu a’lam.

Perbedaan I’jaz Alquran dan Ijaz Alquran

0

Terdapat dua istilah yang sering muncul dalam konteks keagungan dan pewarisan ilmu Alquran, yaitu i’jaz Alquran dan ijaz Alquran. Meskipun sekilas terdengar serupa, kedua istilah tersebut memiliki makna yang sangat berbeda. Secara garis besar, i’jaz Alquran merujuk pada kemukjizatan Alquran yang menjadikannya tidak tertandingi, sedangkan ijaz Alquran berkaitan dengan gaya bahasa.

Baca Juga: Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik

I’jaz Alquran 

I’jaz adalah menetapkan kelemahan, yang dimaksudkan i’jaz dalam hal ini adalah menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad Saw dengan menampakkan ketidakmampuan orang Arab dan generasi sesudahnya hingga saat ini untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yakni Alquran.(Al-Qaththan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, 265)

Adapun perbedaan pendapat mengenai kemukjizatan Alquran, yaitu:

Pertama, an-Nadzam menyatakan bahwa cara menyingkap kemukjizatan Alquran melalui shirfah (pengalihan), yang dimaksudkan adalah Allah Swt mengalihkan bangsa Arab untuk menentang Alquran dan menghilangkan kemampuan akalnya. Pendapat ini ditolak oleh Imam as-Suyuthi, berdasarkan firman Allah Swt dalam surah al-Isra’ ayat 88:

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَ الْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهِ وَ لَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

“Katakanlah, ‘sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak mampu memenuhi tantangan, yaitu membuat yang serupa dengan Alquran padahal kemampuan itu ada dalam diri mereka. Demikian pula pendapat yang menyatakan kemukjizatan Alquran akan hilang dengan berakhirnya masa tantangan, jelas tidak diterima karna bertentangan dengan ijma’ yang menyebutkan bahwa tidak ada mukjizat yang abadi selain Alquran.

Kedua, menurut al-Qadhi Abu Bakar, sisi kemukjizatan Alquran ada pada susunan, urutan dan kesinambungannya.

Ketiga, al-Imam Fakhruddin menyebutkan bahwa sisi kemukjizatan Alquran ada pada nilai kefasihannya, keindahan uslubnya, dan kebebasannya dari semua macam cela.

Keempat, az-Zamlikani berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran kembali pada susunan yang menjadi ciri khasnya, bukan kemutlakannya, adanya keseimbangan susunan maupun bentuk kosakata, serta ketinggian maknanya. Pendapat yang sudah disebutkan hanya beberapa dari sekian banyak pendapat lainnya.(Suyuthi, Ulumul Qur’an II, 667–669)

Menurut Manna’ al-Qaththan dalam Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an (hlm. 272), kemukjizatan Alquran setidaknya mengacu pada 3 aspek, di antaranya: bahasa, ilmiah dan tasyri’ (penetapan hukum). Dengan memahami hal ini, semakin jelas bahwa kemukjizatan Alquran sangat luar biasa dalam segala dimensinya, serta membuktikan bahwa Alquran tetap berlaku dan menjadi petunjuk abadi sepanjang zaman.

Baca Juga: Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Ijaz Alquran

Ijaz merupakan salah satu kajian dalam ilmu balaghah, secara umum ijaz berarti gaya bahasa yang ringkas namun padat makna. Ayat-ayat Alquran seringkali menggunakan kata yang relatif sedikit tanpa mengurangi kejelasan maknanya. Penetapan konsep ijaz sangat efektif dalam penyampaian sesuatu, keunggulan ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan Alquran dari aspek bahasa.

Dalam Ilmu Balaghah karya Khamim dan Ahmad Subakir (hlm.88), ijaz terbagi menjadi 2, yaitu; Pertama, ijaz qashr merupakan ungkapan lebih ringkas daripada kandungan makna yang panjang tanpa ada yang terbuang, contohnya dalam surah al-Baqarah ayat 179:

وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa jikalau seseorang telah sadar membunuh maka tentu ia akan dibunuh, ia akan tercegah untuk membunuh. Dari hal tersebut, seseorang akan memelihara hidupnya sendiri maupun hidup orang lain. Sebagian besar orang Arab menganggap bahwa adanya hukuman qishash itu meminimalisir atau bahkan meniadakan pembunuhan.

Kedua, ijaz hadzf merupakan adanya sedikit pembuangan namun tidak merusak makna yang dimaksud, contohnya dalam surah Maryam ayat 20:

قَالَتْ أَنَّىٰ يَكُونُ لِى غُلَٰمٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِى بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا

“Maryam berkata, ‘bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.”

Kata bergaris bawah pada ayat diatas merupakan ijaz hadzf, yang mana terdapat pembuangan pada salah satu hurufnya. Kata “وَ لَمْ أَكُ بَغْيًا” asalnya adalah “وَ لَمْ أَكُنْ بَغْيًا”. Penghapusan huruf “ن” pada kata tersebut bertujuan untuk menciptakan struktur kalimat yang lebih ringkas dan fasih, namun mempertahankan pemahaman makna secara utuh.

Baca Juga: I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah

Penutup

Dengan memahami perbedaan mendasar antara i’jaz Alquran dan ijaz Alquran, dapat meningkatkan rasa kagum terhadap keagungan Alquran. I’jaz Alquran sebagai bukti bahwa tiada satupun yang mampu menandingi keindahan, ketetapan dan kehebatan Alquran. Lebih dari sekadar perbedaan konsep i’jaz Alquran dan ijaz Alquran, perlu dipahami pula bahwa ijaz Alquran merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak i’jaz Alquran. Memahami segala sesuatu tentang Alquran bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga memperkokoh keyakinan bahwa Alquran adalah wahyu yang sempurna.

Al-Baqarah Ayat 183: Penafsiran tentang Puasa Umat Terdahulu

0

Surah al-Baqarah ayat 183 adalah dalil diwajibkannya syariat puasa Ramadan atas umat Islam. Shiyam atau Shaum secara harfiah berarti menahan untuk berpindah dari suatu keadaan ke keadaan yang lainnya. Sedangkan definisi syariat menurut Ibn Asyur adalah menahan makan, minum dan mendekati perempuan dalam rentang waktu tertentu dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan melaksanakan perintah-Nya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q. S. Al-Baqarah: 183)

Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Kewajiban Puasa dengan Kewajiban Umat Terdahulu

Pada susunan ayat tersebut, terdapat kalimat dengan terjemahan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” yang menunjukkan bahwa ibadah ini sudah ada sebelum umat Islam melakukannya. Dari penggalan ayat tersebut timbul pertanyaan seputar puasa yang diwajibkan atas orang-orang sebelum umat Islam dan bagaimana ketentuan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalamnya.

Tafsir tentang Kewajiban Puasa atas Umat Terdahulu

Menurut Shidiq Hasan Khan dalam tafsirnya yang berjudul Fathul Bayan, terdapat tiga penakwilan terkait al-Baqarah ayat 183 tersebut. Pertama, puasa Ramadan yang diwajibkan atas umat Yahudi dan Nasrani sebagaimana umat Islam melakukannya, tetapi mereka merubahnya. Kedua, puasa selain Ramadan. Ketiga, meninggalkan makan, minum dan semisalnya dalam beberapa waktu.

Dalam Tafsir al-Alusi disebutkan bahwa umat Yahudi meninggalkan kewajiban puasa Ramadan dan menggantinya dengan puasa satu hari yaitu Asyura, sebagai simbol kemenangan dan keselamatan atas binasanya Firaun di sungai Nil. Maka dari itu ada pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari penggalan ayat tersebut adalah umat Nasrani saja, karena umat Yahudi berbeda dari segi waktu dan jumlah harinya.

Sedangkan orang-orang Nasrani menambah jumlah hari dalam syariat puasa Ramadan menjadi 50 hari. Umat Nasrani melakukan puasa ketika musim panas ekstrem sehingga menimbulkan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dari situ pemimpin dan ulama mereka bersepakat untuk mengganti waktunya dan menambah puasa sepuluh hari sebagai kafarat atas kesepakatan tersebut. Setelah itu, disempurnakan menjadi lima puluh oleh pemimpin mereka sebagai nazar atas kesembuhannya dari penyakit.

Baca Juga: Penjelasan tentang Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Berbagai Kitab Tafsir

Sebelum disyariatkannya puasa Ramadan atau tepatnya ketika masa permulaan munculnya Islam, para sahabat memiliki kewajiban berpuasa pada tiga hari pertama di setiap bulan dan hari Asyura. Puasa saat itu memiliki perbedaan dengan puasa umat Islam sekarang dari segi waktu. Waktu puasa pada saat itu dimulai dari permulaan malam hingga ke malam berikutnya. Sebagaimana terdapat dalam sebuah kutipan dalam Tafsir al-Baghawi, yaitu:

فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: كَانَ صَوْمُ مَنْ قَبَلْنَا مِنَ الْعَتَمَةِ إِلَى اللَّيْلَةِ الْقَابِلَةِ كَمَا كَانَ فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ

Said ibn Jubair berkata: puasa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita dimulai sejak awal malam hingga malam berikutnya sebagaimana dilakukan pada masa awal-awal Islam.

Penakwilan berikutnya menyebutkan bahwa yang diwajibkan atas orang-orang sebelumnya adalah esensi puasa atau sifatnya berupa menahan dari sesuatu seperti makan, minum dan bersenggama. Dimana hal itu tidak terikat kepada ketentuan waktu dan jumlah puasa yang harus dilakukan. Pendapat ini diugkapkan oleh Al-Suddi, Abu Al-Aliyah dan Al-Rabi’.

Ketiga pendapat di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan puasa Ramadan yang  dilakukan umat Islam saat ini. Namun adanya fakta bahwa syariat puasa Ramadan selama tiga puluh  datangnya kemudian setelah kewajiban puasa tiga hari di setiap awal bulan dan hari Asyura, mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan puasa yang diwajibkan atas umat-umat terdahulu berbeda dengan puasa umat Islam saat ini.

Baca Juga: Puasa Umat Nabi Muhammad saw. dan Umat Para Nabi Sebelumnya

Penutup

Terlepas dari itu semua, dapat ditarik benang merahnya bahwa terdapat beragam pendapat dalam memahami penggalan al-Baqarah ayat 183 tentang puasa bagi orang-orang sebelum umat Islam. Selain  menunjukkan bahwa puasa sudah dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan pendidikan terhadap hawa nafsu serta ego, terdapat perbedaan mekanisme antara puasa umat terdahulu dan puasa umat Islam saat ini. Bahkan puasa tidak hanya dilakukan oleh pemeluk agama samawi saja, tetapi orang-orang Hindu melakukannya juga.  Wallahu a’lam

Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia

0
Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia
Bal‘am bin Ba‘ura‘: Ulama yang Jatuh dalam Godaan Dunia

Pada zaman Nabi Musa, hiduplah seorang alim dari kalangan Bani Israil yang tinggi ilmunya dan dihormati banyak orang. Namun, siapa sangka, di balik alim dan memiliki kehormatan yang tinggi, pada akhirnya ia terjerumus dalam kesesatan dan kebinasaan. Siapakah ia? Ia bernama Bal’am bin Ba’ura’.

Kisah ini bermula ketika Nabi Musa a.s. hendak mendatangi negeri tempat tinggal Bal’am dan berperang melawan penduduknya yang kafir. Penduduk negeri tersebut meminta Bal’am untuk berdoa melawan Nabi Musa dan kaumnya, karena Bal’am dikenal sebagai seseorang yang doanya selalu dikabulkan, serta mengetahui nama-nama Allah yang Agung (Ism al-‘Azam).

Mulanya, Bal’am menolak permintaan mereka. Namun, setelah didesak, akhirnya ia menyetujui keinginan mereka untuk mendoakan kejelekan kepada Nabi Musa, dan doanya dikabulkan, sehingga Nabi Musa beserta kaumnya tersesat di Tih (Sinai) selama 40 tahun akibat doanya. Tiba gilirannya, Nabi Musa memohon kepada Allah agar siapapun yang menghalangi dakwahnya, maka sesatkanlah ia. Ba’lam pada akhirnya hilang kemuliaannya, tercabutlah keimanannnya, sehingga mati dalam keadaan kufur [Zainuri Ihsan, Mujahadah: Bacaan dan Amalan Penting untuk Mempercepat Terkabulnya Hajat, 70].

Malik bin Dinar berkata bahwa Bal’am merupakan seorang ulama dari Bani Israil. Ia adalah sosok yang selalu dimintai pertolongan dalam keadaan sulit karena doanya yang mustajab. Nabi Musa a.s. pernah mengutusnya untuk mendatangi Raja Madyan supaya beriman kepada Allah. Namun sayangnya, Bal’am tergiur dengan hadiah dan harta yang disodorkan oleh Raja Madyan supaya mengikuti agamanya dan meninggalkan agama Nabi Musa a.s. [Tafsīr al-Munīr, 9/164]. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-A’rāf: 176 berikut.

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ

Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya.

Al-Zuhaili menjelaskan bahwa jika Bal‘am tetap berpegang pada ayat-ayat Allah dan mengamalkannya, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan menjadikannya salah satu ulama yang saleh. Namun, ia justru lebih memilih dunia, tergoda oleh kenikmatannya, serta sibuk mengejar hawa nafsunya. Ia tidak mengarahkan pikirannya kepada kebahagiaan akhirat, tidak mengambil petunjuk dari ayat-ayat Allah, dan tidak berusaha mencapai kesempurnaan taat kepada-Nya. Ia juga tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya dengan memanfaatkannya untuk mencari rida-Nya [Tafsīr al-Munīr, 9/164].

Baca juga: Surah Shad Ayat 31-33: Cara Nabi Sulaiman Mencintai Perkara Dunia

Al-Sa’di menyebutkan, bilamana seseorang yang mulanya dikaruniai ilmu, kemudian justru melepaskan diri darinya, seakan-akan ia mencopot pakaian yang melindunginya. Ilmu yang seharusnya mengangkat seseorang ke derajat yang lebih tinggi dengan menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan amal saleh. Namun, ketika ilmu itu ditinggalkan, ia kehilangan perlindungan, dan setan pun dengan mudah menguasainya serta mendorongnya kepada kebinasaan [Tafsīr al-Sa’dī, 308].

Allah kemudian memberikan perumpamaan tentang kehinaan dan kerendahan Bal’am dengan menganalogikannya seperti seekor anjing yang selalu menjulurkan lidah, baik ketika dikejar maupun dibiarkan. Sebuah gambaran keadaan yang paling buruk dan paling hina dari seekor anjing, yang dijadikan perumpamaan bagi seseorang yang telah berpaling dari ayat-ayat Allah. Berikut lanjutan redaksi ayat di atas.

فَمَثَلُه كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ

Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga).

Al-Qurthubi mengomentari, anjing yang senantiasa menjulurkan lidah merupakan analogi yang cocok dalam menggambarkan keserakahan seperti anjing yang terus membungkuk demi meraup kepuasan dunia dan memuja kenikmatannya tanpa pernah merasa kenyang [Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, 9/383]. Sebab, apabila seseorang memandang maksiat sebagai suatu kenikmatan, secara tidak sadar ia akan terdorong kepada perbuatan maksiat tersebut [Syajarah al-Ma’ārif, 8].

Ilmu yang dimiliki sepatutnya menjadi jalan untuk semakin dekat dengan-Nya, bukan malah sebaliknya. Sebagaimana pesan firman Allah:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Az-Zumar: 42).

“Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Yunus: 24).

Baca juga: Sapi Bani Israil Simbol Pengorbanan dan Ketundukan

Al-Zuhaili mengutip pendapat al-Razi, bahwasanya kisah Bal’am ini menjadi pengingat keras bagi para ulama. Sebab, orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan kehilangan keberkahan ilmu, dan semakin jauh dengan Allah [Tafsīr al-Munīr, 9/165].

Begitu pula al-Maraghi mengungkapkan bahwa kisah dalam ayat di atas menjadi pelajaran dan peringatan bagi orang-orang beriman agar tidak mengikuti hawa nafsu, sehingga tidak tergelincir ke dalam jurang yang sama seperti yang dialami oleh Bal’am. Ia tersesat karena kecintaannya pada dunia, ketergantungannya pada syahwat, dan kesenangan duniawi [Tafsīr al-Maraghī, 9/107]. Betapa cobaan tidak hanya datang dari kekurangan, tetapi juga dalam bentuk kelebihan pula.

Kisah Bal‘am bin Ba‘ura‘ menjadi pengingat bagi kita bahwa ilmu yang tinggi tidak menjamin seseorang tetap berada di jalan yang lurus. Godaan dunia bisa saja datang dalam berbagai macam bentuk yang tidak terduga. Jika di masa lalu Bal‘am tergelincir karena godaan harta dan kedudukan, maka di era modern, banyak orang alim yang justru diuji dengan ketenaran melalui media sosial.

Baca juga: Membumikan Alquran di Tengah Gelombang Digitalisasi

Media sosial memberikan wadah kepada semua orang, termasuk seseorang dengan ilmu agama yang mumpuni untuk mendapatkan pengikut yang banyak, dihormati, dan dijadikan panutan. Namun, tanpa kesadaran dan kontrol diri, popularitas bisa menjadi jebakan yang menjerumuskan. Hasrat untuk mempertahankan eksistensi kerap kali membuat seseorang lebih mengutamakan engagement dibandingkan tujuan karena-Nya. Tidak jarang, terjadi distorsi dalam penyampaian ilmu, hanya menyampaikan yang viral, menyederhanakan perkara agama secara berlebihan, atau bahkan terjerumus dalam debat kusir demi mempertahankan citra.

Alquran telah memberikan gambaran jelas bahwa ilmu seharusnya menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya, bukan alat untuk mencari keuntungan duniawi. Sebagaimana perumpamaan anjing yang selalu menjulurkan lidah, orang alim yang tergoda oleh dunia tidak akan pernah merasa cukup dengan popularitas yang sudah diraih. Oleh karena itu, penting bagi siapa pun yang berilmu untuk selalu mengintrospeksi diri, merawat ikhlas, menata niat, dan senantiasa berpegang teguh pada prinsip yang dibenarkan-Nya, agar tidak tergelincir seperti Bal‘am bin Ba‘ura‘.

Wallāhu a’lamu.

Perbedaan Pendapat Para Mufasir tentang Sihir

0

Akhir-akhir ini dunia maya sedang diributkan tentang pro dan kontra mengenai sihir. Dalam Alquran sendiri sudah banyak ayat-ayat yang membahas tentang sihir, baik sebagai bentuk ujian bagi manusia maupun sebagai perbuatan yang diharamkan karena dapat menyesatkan dan merugikan orang lain. Salah satunya yakni yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah:102, yang berbunyi

وَمَا كَفَرَ سُلَيْمٰنُ وَلٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَاۤ اُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هٰرُوْتَ وَمَارُوْتَۚ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنْ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوْلَاۤ اِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْۚ

“ Sulaiman itu tidak kafir, tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itulah jangan kafir”.

Quraish Shihab menafsirkan ayat diatas bahwa sihir merupakan bentuk cobaan bagi manusia untuk menguji ketaatan dan keimanan mereka.Sebagaimana Harut dan Marut mengajarkan sihir bukan untuk disalahgunakna, melainkan sebagai ujian untuk membedakan siapa yang tetap berpegang teguh pada kebenaran dan siapa yang tergoda oleh sihir yang menyesatkan. Quraish Shihab juga menjelaskan Sihir diharamkan dalam Islam karena dapat menyesatkan dan merugikan orang lain. Menurutnya sihir bukan hanya sekedar permainan ilusi, tetapi sesuatu perbuatan yang dapat memisahkan hubungan suami istri dan menimbulkan kehancuran dalam kehidupan seseorang dengan bantuan setan.(Tafsir Al-Misbah, Jilid 1, hal 278-280)

Baca Juga: Sihir: Antara Fakta dan Trik Belaka

Namun, Pandangan Hamka mengenai sihir berbeda dengan Quraish shihab. Dalam penafsiran surah Taha ayat 68 dan surah al-A’raf ayat 116 Hamka menjelaskan bahwa sihir yang dipertunjukkan oleh para tukang sihir di hadapan Nabi Musa hanyalah sulap belaka, bukan sesuatu yang memiliki kekuatan gaib. Di beberapa tafsir juga dijelaskan bahwa tali dan tongkat mereka dicat dengan warna emas atau perak, sehingga Ketika terkena sinar matahari, tampak seolah-olah bergerak seperti ular. Fenomen ini mirip dengan mainan anak-anak yang dibuat menyerupai ualr, yang sekilas dapat mengecoh dan menimbulkan rasa takut, padahal hanya benda mati tanpa nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dipertunjukkan para penyihir di hadapan Fir’aun bukanlah sihir dengan kekuatan ghaib, melainkan sekedar ilusi yang mempermainkan presepsi mata manusia. (Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, hal 4450-4451)

Dari kedua penafsiran diatas dapat disimpulkan bahwa ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna sihir. Ada yang mengatakan bahwa sihir merupakan kekuatan ghaib. Ada juga yang menafsirkan sihir hanyalah sebuah trik sulap untuk memanipulasi manusia. Lalu, bagaimana Alquran menanggapi orang yang melakukan sihir? Dalam QS. Taha: 69 yang berbunyi:

وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ

“dan tukang sihir itu tidak akan pernah beruntung dari manapun ia datang.”

Ayat diatas menunjukkan bahwa tukang sihir tidak akan pernah beruntung. Hukum dalam ayat ini berlaku untuk semua tukang sihir di setiap zaman. Hal ini dapat kita lihat dari cara Alquran dengan tidak menggunakan kata “mereka itu tidak akan beruntung”, tetapi menggunakan kata yang lebih umum “tukang sihir itu tidak akan pernah beruntung”. Kata الساحر  (tukang sihir) dalam ayat ini menunjukkan bahwa hukum ini berlaku bagi semua tukang sihir di semua zaman, bukan hanya pada zaman nabi Musa.

Baca Juga: Tafsir Ahkam : Apakah Boleh Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Sihir?

Selanjutnya Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’: 48, yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sungguh, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”

Meskipun ayat ini tidak secara langsung menyebutkan bahwa sihir adalah dosa syirik yang tidak terampuni, para ulama menafsirkan sihir sebagai bagian dari kesyirikan. Dalam tafsir Al-Azhar, buya Hamka menjelaskan bahwa syirik memiliki berbagai jenis, salah satunya adalah syirik at-Taqrib, yaitu mendekatkan diri kepada sesuatu selain Allah untuk mendapatkan manfaat atau perlindungan. Jika kita lihat praktik sihir yang ada, banyak pelakunya yang meminta bantuan dari jin, roh, atau kekuatan gaib untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini membuat sihir masuk dalam kategori syirik at-Taqrib, karena melibatkan ketergantungan kepada makhluk selain Allah. Selain itu, jika seseorang meyakini bahwa sihir memiliki kekuatan mutlak tanpa campur tangan Allah, maka ini termasuk syirik al-Asbab, yaitu meyakini bahwa sesuatu memiliki pengaruh sendiri tanpa mengakui kehendak Allah.

Dengan berbagai pandangan ulama tafsir yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa sihir adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, baik itu dianggap sebagai kekuatan gaib maupun sekedar trik ilusi. Alquran dengan tegas menyatakan bahwa tukan sihir tidak akan pernah beruntung, bahkan tidak akan diampuni dosanya oleh Allah, karena sihir termasuk dalam kesyirikan. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbagai macam sihir yang mengancam diri kita Amin Ya Rabbal Alamin.