Beranda blog Halaman 7

The Pharaoh Complex dalam Alquran: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis (1)

0
The Pharaoh Complex dalam Al-Qur’an: Sikap Autokrat Hingga Gangguan Psikis Seorang Pemimpin
Patung Firaun (sumber: Unsplash)

Narasi Alquran tentang Firaun menawarkan pandangan yang mengerikan tentang jiwa seorang autokrat. Melalui tindakan dan pernyataannya, kita dapat melihat ciri-ciri kepribadian yang autokrat; haus akan kekuasaan absolut, meremehkan orang-orang yang ada di bawah pemerintahannya, dan penolakan yang mendalam terhadap setiap tantangan terhadap otoritasnya.

Firaun memang dikenal dengan sikap diktatornya. Alquran menggambarkan sosok Firaun dengan pemimpin yang mengaku dirinya sendiri—dan harus diakui pula oleh para rakyat, tidak terkecuali keluarganya sendiri—sebagai Tuhan atau dewa. Dalam hal ini, Firaun yang digambarkan di dalam Alquran memiliki kepribadian histrionik, yaitu suatu gangguan kejiwaan yang melibatkan emosi yang berlebihan dan kebutuhan yang sangat kuat untuk menjadi pusat perhatian. (Novel Naga Hong Kong Karya Naning Pranoto: Tinjauan Psikologi Sastra the Histrionic Personality Disorders of the Main Characters in Naga Hong Kong Novel Written By Naning Pranoto : a Review of Literature Psychology. E-Journal Student: Sastra Indonesia, Vol. 8 No. 1 Desember 2019, 73)

Pernyataan di atas secara sederhana ingin mengatakan bahwa Firaun di samping memiliki karakter kepemimpinan yang didaktor dan haus akan kekuasaan, di sisi lain, jika ditelaah dari pespektif psikologi, Firaun juga memiliki gangguan psikis. Gangguan psikis ini berupa terus menerus mencari kegairahan (excitement) dan penghargaan (appreciation) dari orang lain, serta kurangnya rasa empati karena berkurangnya aktivitas di wilayah otak yang terkait dengan kasih sayang.

Kompleksitas Firaun dalam Alquran

Dr. John Ng, seorang spesialis neurologi di Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, mengenalkan istilah The Pharaoh Complex (Kompleksitas Firaun). The Pharaoh Complex yang dikemukakan oleh Dr. John Ng “terilhami” dari peristiwa dan kisah-kisah di dalam Kitab Keluaran (Book of Exodus) yang terjadi antara Musa dan Harun dengan Firaun, terlebih sikap Firaun yang menjadikan orang Israel sebagai budak.

Dari pembacaannya atas Kitab Keluaran tentang Firaun, Dr. John Ng memetakan tujuh hal utama yang menandakan seorang pemimpin menderita The Pharaoh Complex atau Kompleksitas Firaun, yaitu: Pertama, berpikir dan berperilaku seperti dewa. Kedua, akan melakukan apa saja untuk mencegah hilangnya kekuasaan. Ketiga, menggunakan penipuan untuk membuat citra dan melindungi statusnya.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Keempat, membuat kompromi untuk tetap berkuasa. Kelima, berbicara secara lembut/manis, membujuk, dan menipu untuk melanggengkan kekuasaannya. Keenam, memanjakan dan membagi hasil rampasannya dengan rekan konspiratornya. Ketujuh, menggunakan ancaman, intimidasi, dan genosida untuk menghancurkan lawan mereka.

Demikian, beberapa ayat Alquran seperti Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141 yang mengabarkan akan ketiadaan empati Firaun; Q.S. Al- A’râf [7]: 103 dan Q.S. Yûnus [10]: 88 tentang kesombongan serta penolakan Firaun akan tanda-tanda ilahi, dan eksploitasi kekuasaan; Q.S. Al-A’râf [7]: 123-124, Q.S. Thâhâ [20]: 71, dan Q.S. Asy-Syu’arâ` [26]: 49 terkait penindasan dan ketidakadilan yang dilakukannya, serta ayat-ayat lainnya mengonfirmasi akan The Pharaoh Complex yang termaktub dalam Alquran.

Kompleksitas Firaun: Tiadanya Rasa Empati

Q.S. Al-Baqarah [2]: 49 yang berbunyi:

وَاِذْ نَجَّيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Pada yang demikian terdapat cobaan yang sangat besar dari Tuhanmu.

dan Q.S. Al- A’râf [7]: 141 yang berbunyi:

وَاِذْ اَنْجَيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِۚ يُقَتِّلُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌࣖ

(Ingatlah wahai Bani Israil) ketika Kami menyelamatkan kamu dari para pengikut Fir‘aun yang menyiksa kamu dengan siksaan yang paling buruk. Mereka membunuh anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Pada yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Tuhanmu.

memiliki redaksi yang sama persis, kecuali pada kata yudzabbihûna dan yuqattilûna. Secara eksplisit-tekstual, kedua ayat ini menerangkan tentang bagaimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman pengikut atau rezim Firaun yang dengan entengnya menyembelih serta membunuh anak laki-laki dan membiarkan hidup anak perempuan.

At-Thabarî mencoba menjelaskan akan perintah Firaun kepada pengikutnya untuk menyiksa dan membunuh anak laki-laki Bani Israil. Meskipun Firaun tidak melakukan praktik kekejaman tersebut secara langsung. Akan tetapi, Firaun sebagai orang yang memerintah dan penguasa, juga dianggap sebagai “pelaku utama” yang memiliki andil cukup besar (Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, jilid 01, 203-204).

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Selaras dengan At-Thabari, Quraish Shihab menukil pendapat Al-Biqâ’î bahwa kata âl pada awalnya bermakna fatamorgana. Ia menampakkan suatu yang tidak ada, dalam arti jika fatamorgana itu tidak ada, maka sesuatu tersebut juga tidak akan nampak. Dengan demikian, di kala ayat tersebut menyatakan âl-fir’aun, maka ini mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh keluarga, pengikut, dan rezim Firaun itu menampakkan kepribadian Firaun.

Di saat Bani Israil mendapatkan perlakuan yang kejam oleh para pengikut Firaun, maka di saat itu pula yang nampak di pelupuk mata mereka adalah Firaun dengan segala keadaan dan keburukannya. Sehingga, walaupun ketika itu ia tidak ada atau tidak ikut serta dalam penyiksaan, tetapi ia seakan nampak terlihat oleh mereka yang disiksa. (Tafsir Al-Mishbah, jilid 01, 190)

Lebih lanjut, Buya Hamka menerangkan bahwa salah satu dari bentuk kekejaman yang dilakukan oleh Firaun adalah memusnahkan anak laki-laki. Sehingga Firaun memerintahkan para bidan untuk segera membunuh anak laki-laki yang baru lahir dengan tujuan agar Bani Israil musnah. (Tafsir al-Azhar, jilid 01, 188)

Quraish Shihab menambahkan, konon, Firaun selama setahun memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh seluruh anak laki-laki yang lahir pada tahun itu, dan membiarkan hidup yang lahir pada tahun berikutnya, demikian seterusnya silih berganti. Nabi Harun lahir pada tahun penyelamatan, sedangkan Nabi Musa lahir pada tahun pembunuhan anak laki-laki. (Tafsir al-Mishbah, jilid 01, 190)

Baca juga: Kisah Perjuangan Ibu Nabi Musa a.s.

Menurut Wahbah Zuhaili, di balik pembunuhan serta penyiksaan anak laki-laki oleh Firaun, ada suatu kekhawatiran dan rasa takut yang membayangi pikirannya. Suatu waktu ia bermimpi ada kobaran api mengerikan yang membuatnya ketakutan. Kobaran api tersebut keluar dari Bayt al-Muqaddas (Yerussalem) masuk menuju rumah-rumah suku Qibti di Mesir, kecuali rumah-rumah Bani Israil yang tidak dimasukinya. Dari mimpi tersebut, muncul dugaan dari tafsir mimpi itu bahwa kekuasaan Firaun akan runtuh di tangan seorang lelaki dari Bani Israil. (al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, jilid 01, 174-175)

Narasi Alquran tersebut menggambarkan tentang kebrutalan Firaun di Mesir yang sering digunakan oleh para autokrat untuk mempertahankan kendali. Dalam cerita dua surah di atas, Firaun memberikan siksaan berat kepada Bani Israel; membunuh anak laki-laki dan membiarkan perempuan mereka hidup. V.A. Mohamad Ashrof mencoba membandingkan tindakan genosida dan penindasan berbasis gender ini dengan karya Ervin Staub tentang psikologi kekerasan.

Penelitiannya menunjukkan bahwa paparan terhadap kekerasan dan dehumanisasi dapat membuat para pemimpin tidak peka, sehingga tindakan kekejaman lebih mudah dibenarkan. Dari perspektif neurologis (diagnosis dan penanganan gangguan pada sistem saraf), hal ini dapat dijelaskan oleh berkurangnya empati karena berkurangnya aktivitas di wilayah otak yang terkait dengan kasih sayang. (Cultural-societal roots of violence: The examples of genocidal violence and of contemporary youth violence in the United States. American Psychologist, 51 (2), 117–132)

Tafsir al-Ibrīz sebagai Tafsir Fenomenologis Kejawaan

0
Bisri Mustofa
Tafsir Al-Ibriz Karya Kiai Bisri Mustofa

Sebagai salah satu karya monumental tafsir berbahasa lokal, Tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz karya K.H. Bisri Musthofa menjadi gambaran kuat relasi antara teks Al-Qur’an dan kultur Jawa. Akan tetapi, alih-alih hanya dipandang sebagai terjemahan dengan model Jawa Pegon, tafsir ini layak dipandang sebagai tafsir fenomenologis, yakni sebuah cara memahami makna teks suci melalui pengalaman hidup dan realitas budaya masyarakat Jawa.

Tafsir Lokal: Bukan Sekadar Terjemahan

Sebagian pembaca memandang al-Ibrīz hanya sebagai tafsir berbahasa lokal. Padahal, ia bukan sekadar terjemahan literal ayat, melainkan juga penafsiran yang merefleksikan cara orang Jawa merespons nilai-nilai Qur’ani. Nilai-nilai sufistik, harmoni sosial, dan penghormatan terhadap leluhur secara halus muncul dalam tafsir ini, meskipun tidak secara langsung menyebutkan doktrin khas kejawen.

Dalam QS. al-Furqān [25]: 63, misalnya, “Wa ‘ibādur-raḥmāni alladzīna yamsyūna ‘ala al-arḍi haunā”, Kiai Bisri menafsirkan haunā sebagai “alon-alon”, bukan sekadar rendah hati, tapi mencerminkan falsafah “ngeli tanpa keli yang artinya hidup mengikuti alur tanpa menolak keras atau menelan seluruhnya. Hal ini tidak  sekadar terjemahan semantis, tapi juga menunjukkan tafsir spiritual-kultural.

Ritual dan Ritme: Tafsir atas Slametan dan Nyadran

Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syukur dan rezeki, seperti QS. al-Kawtsar [108]: 1–2, al-Ibrīz tak hanya memberi makna literal, melainkan mengaitkan dengan praktik kenduri dan sedekah. Ini menunjukkan bagaimana Kiai Bisri menjadikan praktik slametan sebagai perpanjangan dari syukur Qur’ani, bukan budaya sekuler.

Demikian pula, QS. Yāsīn [36]: 12 yang berbicara tentang pencatatan amal, diulas dengan analogi kuat pada ziarah kubur dan tahlilan, dua tradisi yang dianggap sangat “Jawa”. Namun, dalam tafsir ini, dua tradisi tersebut diresapi dengan nilai eskatologis Qur’ani: “suwarga neraka iku nyata, oleh disekseni…”.

Nilai Asosiatif: Kematangan Spiritualitas Lokal

Ciri paling kuat dari Tafsir al-Ibrīz adalah kemampuannya mengasosiasikan pesan Qur’an dengan bahasa rasa dan pengalaman batin lokal. Misalnya dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 2, “lā raiba fīhi” ditafsiri sebagai “ora ono kang kleru sithik wae,” sebuah penegasan epistemik dengan gaya naratif Jawa yang tegas, tetapi tetap bersahaja.

Baca juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz

Pendekatan ini selaras dengan metode fenomenologi hermeneutik, yakni memahami makna tidak hanya dari struktur bahasa teks, tapi dari pengalaman manusia dalam menghidupi teks (Gadamer, Truth and Method).

Tafsir Emosional, Bukan Abstrak

Kiai Bisri tidak menafsirkan secara legalistik atau teologis abstrak. Tafsirnya mengedepankan emosi religius, di mana rasa takut, harap, sedih, dan cinta, melekat dalam kehidupan santri dan masyarakat pedesaan. Ia tidak membahas perbedaan ulama tafsir klasik secara panjang, melainkan langsung pada makna eksistensial ayat bagi orang yang mendengarnya.

Sebagai contoh, QS. al-Mulk [67]: 2 yang berbunyi “Alladzī khalaqal-mauta wal-ḥayāta…” ditafsirkan dengan penekanan pada “urip iku mung mampir ngombe”, penghayatan khas Jawa atas kefanaan hidup. Tafsir ini sederhana, tapi menyentuh sisi eksistensial pembaca.

Tafsir al-Ibrīz dan Living Qur’an

Dalam studi kontemporer, muncul konsep living Qur’an: cara umat muslim menghidupi Al-Qur’an dalam praktik budaya mereka. Al-Ibrīz adalah contoh nyata living Qur’an yang terdokumentasi dalam bentuk tafsir. Ia tidak mereduksi budaya, tapi meresapi nilai-nilai Qur’an ke dalamnya.

Baca juga: Pelestarian Budaya Lokal melalui Penafsiran Alquran

Tafsir ini juga menjadi perlawanan lembut terhadap tafsir normatif Arab-sentris. Ia memperlihatkan bahwa lokalitas bukan ancaman bagi otentisitas, melainkan pintu masuk pemaknaan yang lebih luas dan mendalam.

Penutup: Tafsir sebagai Kearifan, Bukan Dogma

Tafsir al-Ibrīz harus dibaca ulang bukan sebagai produk lokal semata, tapi sebagai model tafsir fenomenologis yang mengutamakan pengalaman religius dan bahasa jiwa masyarakat. Alih-alih menolak tradisi lokal, ia memurnikannya secara halus lewat semangat Qur’ani. Inilah yang membuatnya tetap hidup, dibaca, dan diamalkan hingga kini di banyak pesantren dan masyarakat akar rumput. Ia merupakan warisan penting yang menggambarkan tafsir yang tidak hanya menerjemahkan pesan teks suci, tapi juga menyuarakan rasa masyarakat yang menghidupi wahyu itu.

Memperoleh Hidayah, Apakah Diberi atau Dicari ?

0

Alquran turun sebagai hudan lin-nas (petunjuk bagi manusia) sebagaimana disebutkan dalam surah Albaqarah ayat 185. Lafaz an-naas atau manusia di sini tidak terbatas pada mereka yang telah memeluk Islam, melainkan mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

Namun, sebuah paradoks menarik sering terjadi dalam pemahaman tentang hidayah: ketika seseorang masuk Islam, masyarakat sering berkata “dia mendapat hidayah,” seakan-akan petunjuk itu diturunkan kepadanya tanpa usaha. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, orang tersebut biasanya telah melalui proses panjang mencari-cari apa itu Islam, apa itu iman, dan belajar hingga akhirnya menjemput petunjuk tersebut.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar yang mengarah pada dilema spiritual: apakah hidayah itu dicari atau diberi? Apakah manusia berperan aktif ataukah pasif dalam memperoleh petunjuk Ilahi? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan penggalian mendalam terhadap makna linguistik dan konseptual hidayah dalam Alquran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Dua Sisi Petunjuk: Yang Diberi dan Yang Dicari

Menelusuri jejak makna hidayah dalam Alquran, ternyata ada kedalaman linguistik yang mengagumkan. Al-Râghib al-Ashfahânî,, seorang ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk memahami kosakata Alquran, memberikan pencerahan yang luar biasa tentang hal ini.

Menurut Al-Ashfahânî, meskipun secara bahasa al-huda dan al-hidayah memiliki makna yang sama, namun Allah telah mengkhususkan lafaz al-huda untuk petunjuk yang ditangani dan diberikan-Nya, sementara istilah lain digunakan untuk yang diserahkan kepada manusia.

Perbedaan halus ini ternyata membawa implikasi teologis yang mendalam, menunjukkan bahwa Alquran membedakan secara tegas antara petunjuk yang bersifat pemberian dan petunjuk yang memerlukan pencarian aktif (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431 H, 838).

Ketika merenungkan penggunaan al-huda (الهُدَى) dalam Alquran, akan ditemukan bahwa istilah ini secara khusus merujuk pada petunjuk yang Allah berikan dan kuasai sepenuhnya. Penggunaan istilah ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat seperti “hudan lil-muttaqin”, “ula’ika ‘ala hudan min rabbihim”, dan “qul inna huda Allah huwal huda”. Konsistensi penggunaan ini menunjukkan bahwa ada dimensi hidayah yang sepenuhnya merupakan prerogatif Allah, tanpa campur tangan manusia.

Berbeda halnya dengan al-ihtida (الاهْتِدَاءُ), yang secara khusus berhubungan dengan apa yang dicari manusia melalui jalan pilihan, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Keindahan konsep ini terlihat dalam firman Allah: “wa huwal ladzi ja’ala lakumun nujuma li tahtadu biha”, yang dengan jelas menunjukkan peran aktif manusia dalam menggunakan sarana yang telah disediakan untuk memperoleh petunjuk. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab dan peran aktif dalam proses memperoleh petunjuk, bukan hanya menunggu secara pasif.

Yang lebih menarik lagi, al-ihtida mencakup spektrum usaha yang luas: pencarian petunjuk (talab al-hidayah), mengikuti orang yang berilmu, dan berusaha mencari dengan sungguh-sungguh (taharri). Kedalaman makna ini tergambar indah dalam QS. Taha: 82, dimana frasa thumma ihtada bermakna “kemudian ia terus-menerus mencari petunjuk, tidak berhenti dari usahanya, dan tidak kembali kepada kemaksiatan” (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431 H, 839). Makna yang berkelanjutan ini menunjukkan bahwa hidayah bukanlah pencapaian sekali jadi yang bisa dianggap selesai, melainkan proses berkelanjutan yang memerlukan komitmen jangka panjang dan ketekunan yang tidak mengenal lelah.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Tingkatan Hidayah: dari Umum hingga Khusus

Setelah memahami perbedaan mendasar antara al-huda dan al-ihtida, muncul pertanyaan yang lebih kompleks tentang aplikasi konsep ini dalam realitas. Imam Ar-Razi, dengan kecerdasan analitisnya yang tajam, mengangkat pertanyaan yang menggelitik: mengapa Al-Qur’an disebutkan sebagai hudan lil-muttaqin di satu tempat, namun di tempat lain disebutkan sebagai hudan lin-nas? (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254).

Pertanyaan sederhana ini ternyata membuka pintu pemahaman yang luas tentang hierarki hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa ada struktur berlapis dalam konsep hidayah yang perlu dipahami secara komprehensif, bukan sekadar dipandang sebagai konsep tunggal yang homogen.

Menjawab kegelisahan intelektual ini, Ar-Razi menjelaskan bahwa hidayah terbagi dalam beberapa tingkatan yang saling terkait namun berbeda kualitasnya. Allah menyebut Al-Qur’an sebagai hidayah secara umum, kemudian hidayah itu sendiri terbagi dua: terkadang menjadi petunjuk yang jelas dan terang bagi manusia, terkadang memerlukan usaha lebih untuk memahaminya (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254). Stratifikasi ini menunjukkan bahwa tidak semua aspek hidayah dapat dipahami dengan mudah oleh setiap orang, melainkan memerlukan kesiapan spiritual dan intelektual yang berbeda-beda.

Dimensi historis juga menambah kekayaan pemahaman ini. Al-Qur’an, selain menjadi hidayah dalam dirinya sendiri, juga mengandung bayyinat min al-huda wal-furqan, penjelasan penjelasan dari hidayah dan furqan yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil (Mafâtîẖ Ghayb, 5/254). Kesinambungan ini menunjukkan kontinuitas dan universalitas pesan ilahi yang melampaui batas-batas temporal dan kultural, menegaskan bahwa kebenaran memiliki benang merah yang menghubungkan seluruh peradaban dan zaman.

Aspek sosiologis juga tidak kalah menarik untuk dicermati. Al-Ashfahânî dengan jeli mencatat bahwa lafaz an-nas dalam Al-Qur’an terkadang dimaksudkan untuk orang-orang utama, bukan semua yang disebut manusia secara umum. Spesifikasi ini terjadi ketika dipertimbangkan makna kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu adanya akal yang berfungsi, ingatan yang aktif, dan akhlak-akhlak terpuji serta makna-makna khusus yang menjadi ciri khas manusia (Al-Râghib al-Ashfahânî, 1431, hlm. 829). Selektivitas ini menunjukkan bahwa responsivitas terhadap hidayah sangat bergantung pada kualitas kemanusiaan seseorang, bukan sekadar status biologis sebagai homo sapiens.

Melengkapi gambaran yang kompleks ini, Ar-Razi menjelaskan fenomena psikologis yang sering dialami manusia: dorongan kuat yang tiba-tiba muncul dalam hati tanpa sebab yang jelas, yang kemudian terbukti membawa kebaikan atau justru sebaliknya. Dorongan yang membawa kebaikan berasal dari malaikat yang memberi petunjuk, sementara yang membawa kerusakan berasal dari setan yang menyesatkan (Mafâtîẖ Ghayb 19/18–19). Kompleksitas dinamika internal ini menunjukkan bahwa proses pencarian hidayah melibatkan pertarungan spiritual yang tidak kasat mata, memerlukan kemampuan membedakan antara bisikan positif dan negatif yang silih berganti dalam sanubari manusia.

Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Hal Untuk Memperkuat Keyakinan

Hukum Perubahan: Usaha Manusia Mendahului Pertolongan Allah

Dari pemahaman tentang kompleksitas hidayah, perjalanan pencarian makna sampai pada prinsip universal yang dinyatakan dalam QS. Ar-Ra`d: 11. Ayat ini bagaikan kunci emas yang membuka rahasia hubungan antara usaha manusia dan respons Ilahi.

Al-Maraghi, dengan gaya tafsir yang aplikatif, menjelaskan bahwa Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesejahteraan sehingga menghilangkannya dari mereka, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka dengan saling berbuat zalim, saling menyerang, dan melakukan keburukan-keburukan yang merusak tatanan masyarakat (Tafsir Al-Marâghî, 13/78–79). Prinsip kausalitas ini menunjukkan bahwa perubahan kondisi eksternal, baik positif maupun negatif, selalu dimulai dari transformasi kondisi internal, menciptakan pola hubungan sebab-akibat yang dapat diprediksi dan dipahami.

Memperkuat pemahaman ini, Ar-Razi dengan tegas menegaskan bahwa seluruh mufasir bersepakat bahwa Allah tidak mengubah apa yang dimiliki suatu kaum berupa nikmat-nikmat dengan menurunkan hukuman, kecuali setelah ada kemaksiatan dan kerusakan dari mereka (Mafâtîẖ Ghayb, 19/20). Konsensus ulama ini menunjukkan bahwa hukuman ilahi bukanlah tindakan sewenang-wenang atau takdir buta, melainkan konsekuensi logis dan adil dari pilihan moral yang dibuat manusia secara sadar.

Transisi dari prinsip sosial ke dimensi individual terlihat jelas dalam penjelasan Ibnu Ashur. Ketika seseorang berjuang sungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Allah (jaahadu fiina), Allah memberikan jaminan akan menunjukkan jalan-jalan-Nya kepada mereka (lanahdiyannahum subulana).

Hidayah dalam konteks ini mencakup bimbingan spiritual dan kemudahan praktis dari Allah melalui penyiapan hati dan petunjuk syariat (Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, 21/ 36–37). Jaminan ilahi ini menunjukkan bahwa ada kepastian matematis dalam hubungan antara usaha spiritual dan respons Allah, meskipun bentuk dan waktu respons tersebut tidak selalu dapat diprediksi oleh manusia.

Aspek psikologis dari prinsip ini dijelaskan Ar-Razi dengan sangat menarik. Mengetahui bahwa malaikat mencatat setiap amal perbuatan memiliki efek transformatif: ketika seseorang yang beriman hendak melakukan kemaksiatan dan ia meyakini bahwa malaikat menyaksikannya, rasa malu kepada mereka akan menghalanginya dari melakukan kemaksiatan tersebut (Mafâtîẖ Ghayb 19/18–19).

Mekanisme psikologis ini menunjukkan bahwa kesadaran spiritual dapat menjadi sistem kontrol diri yang sangat efektif, mengubah perilaku dari dalam tanpa paksaan eksternal, menciptakan transformasi yang autentik dan berkelanjutan.

Keharmonisan Ikhtiar dan Taufiq

Setelah menelusuri berbagai aspek hidayah dari dimensi linguistik, teologis, hingga psikologis, sampailah pada sintesis yang mengubah paradigma pemahaman. Hidayah ternyata bukanlah konsep dikotomi yang mempertentangkan “mencari” versus “diberi,” melainkan simfoni harmonis antara usaha manusia dan pertolongan Allah yang saling melengkapi dan memperkuat.

Transformasi pemahaman ini membawa implikasi praktis yang revolusioner. Pemahaman baru ini mengembalikan dignitas dan peran aktif manusia dalam proses spiritual, mengubah mentalitas dari penerima pasif menjadi pencari aktif, tanpa mengabaikan aspek fundamental ketergantungan kepada Allah. Manusia bukan robot yang menunggu program dari langit, tetapi juga bukan makhluk yang bisa meraih segalanya dengan kekuatan sendiri.

Dalam konteks dakwah, revolusi pemahaman ini mengubah paradigma dari “memberi hidayah” menjadi “memfasilitasi pencarian hidayah.” Perubahan sudut pandang ini sangat signifikan karena menyadarkan bahwa seorang pendakwah bukanlah pemberi hidayah -karena itu hak prerogatif Allah semata- melainkan fasilitator yang bertugas menyediakan akses informasi dan menciptakan kondisi yang mendukung pencarian kebenaran. Pendekatan ini menghilangkan arogansi spiritual yang sering muncul dan mengembalikan kerendahan hati dalam berdakwah.

Bagi mereka yang merasa “belum mendapat hidayah,” konsep ini memberikan harapan yang sangat konkret. Kondisi tersebut bukan karena Allah tidak mau memberi atau ada diskriminasi ilahi, tetapi karena proses pencarian yang mungkin belum optimal atau belum menemukan metode yang tepat. Setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kapasitas inheren untuk menjemput petunjuk melalui usaha yang sungguh-sungguh, doa yang khusyuk, dan pembersihan jiwa yang konsisten.

Dalam konteks masyarakat yang semakin plural dan multikultural, pemahaman ini juga menghilangkan rasa superioritas agama yang seringkali merusak harmoni sosial. Setiap orang, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau budayanya, memiliki akses yang sama terhadap petunjuk universal Alquran. Yang membedakan hanyalah intensitas pencarian, metode yang digunakan, dan kesiapan menerima, bukan faktor-faktor eksternal yang tidak dapat diubah.

Alquran sebagai hudan lin-nas telah tersedia seperti mata air yang jernih, tinggal bagaimana setiap individu menjemputnya dengan sungguh-sungguh melalui keseimbangan yang indah antara ikhtiar dan taufiq, antara usaha maksimal dan penyerahan total kepada Allah. Wallahu a’lam.

Membingkai Kembali Nafs al-Muthma’innah di Era Distraksi Digital

0
Membingkai Kembali Nafs al-Muthma'innah di Era Distraksi Digital
Surah Al-Fajr ayat 27.

Dunia digital menghadapkan setiap individu pada sebuah kenyataan pahit. Sebuah studi yang dipaparkan oleh Dr. Gloria Mark, seorang pakar rentang perhatian, mengungkap bahwa alih-alih membantu, perangkat digital justru sering dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dan produktivitas yang menurun (Mark, 2025, hlm. 190). Dalam kacamata Islam, fenomena ini bukanlah hal baru. Ia adalah cerminan modern dari tabiat asli hati manusia yang oleh Imam al-Ghazali (3/36) gambarkan memang mudah bergejolak (taqallub), laksana sehelai bulu di tengah gurun yang diombang-ambingkan angin.

Kondisi ini bahkan terbukti berdampak pada kesehatan fisik. Studi Dr. Mark menemukan adanya korelasi antara aktivitas digital yang sarat interupsi dengan tingginya tekanan darah. Partisipan studi yang pekerjaannya sering diganggu juga menunjukkan ekspresi wajah marah yang terdeteksi oleh perangkat lunak, berbeda dengan kelompok yang bekerja tanpa gangguan (Mark, 2025, hlm. 191). Jika hati secara alami sudah mudah goyah, lantas bagaimana ajaran Islam membingkai ulang konsep ketenangan jiwa agar tetap relevan di tengah badai distraksi ini?

Solusi Al-Qur’an untuk Jiwa yang Gundah

Al-Qur’an menawarkan satu solusi inti yang tak lekang oleh waktu dalam surah Ar-Ra’d ayat 28: “…Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”

Ayat ini bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan sebuah kaidah psikologis-spiritual yang fundamental.

Menurut Imam Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya (13/137), kata “tenteram” atau thuma’ninah di sini adalah kondisi tenang yang lahir dari keyakinan, menjadi lawan dari idhthirab atau kegoncangan batin akibat keraguan. Kata kerja bentuk sekarang (fi’il mudhari’) pada frasa tathma’innu menandakan sebuah ketenteraman yang bersifat terus-menerus dan berkelanjutan.

Baca juga: Tiga Fase Kehidupan Jiwa dalam Perspektif Tafsir al-Razi

Makna dzikrullah (mengingat Allah) pun sangatlah dalam. Bagi Syekh Abdurrahman as-Sa’di, saat jiwa memahami kebenaran-kebenaran dalam Al-Qur’an, yakni sebagai bentuk dzikrullah, ia akan menemukan kepastian yang menyingkirkan segala cemas dan ragu (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418). Dalam pandangan Ibnu ‘Asyur (13/138), dzikrullah juga mencakup kesadaran akan pengawasan-Nya serta zikir lisan yang berfungsi mengingatkan hati.

Dari sini, dapat ditarik sebuah benang merah. Dzikrullah bukan sekadar aktivitas, melainkan sebuah proses sadar untuk mengalihkan fokus hati dari kebisingan dunia menuju satu-satunya sumber kepastian. Proses inilah yang menjadi fondasi untuk meraih kondisi jiwa yang lebih tinggi.

Puncak Ketenangan: An-Nafs al-Muthma’innah

Kondisi puncak inilah yang disebut sebagai an-nafs al-muthma’innah. Ia adalah sebuah tingkatan mulia yang diganjar dengan panggilan langsung dari Sang Pencipta dalam surah Al-Fajr ayat 27-30: “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya…”

Jiwa yang mencapai derajat ini adalah jiwa yang oleh Ibnu ‘Asyur sebut keyakinan seseorang pada Al-Qur’an sudah kokoh dan hatinya merasa aman dari segala bentuk ketakutan di masa depan. Frasa “rida dan diridai-Nya” menunjukkan sebuah hubungan timbal balik yang indah. Jiwa tersebut rida dan lapang dada menerima segala ketetapan takdir dari Allah, dan sebagai balasannya, Allah pun rida atas segala amal dan pengabdiannya (30/341).

Baca juga: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 28: Zikir dalam Perpsektif Buya Hamka

Inilah kondisi jiwa yang, dalam bahasa Imam al-Ghazali (3/37), telah bersih dan dimakmurkan oleh takwa, sehingga menjadi singgasana bagi ilham kebaikan, bukan lagi sarang bagi bisikan keburukan.

Analisis atas konsep ini menunjukkan sebuah relevansi yang luar biasa. Nafs al-Muthma’innah bukan lagi sekadar tujuan ukhrawi yang abstrak, tetapi menjadi sebuah kebutuhan mendesak di dunia yang secara aktif memerangi ketidaktenangan batin setiap insan.

Kearifan Klasik di Tengah Arus Digital

Di sinilah letak inti dari “pembingkaian kembali” itu. Apa yang digambarkan dalam studi Dr. Mark sebagai “perang atensi” di era digital, sesungguhnya adalah arena modern dari pertarungan abadi dalam hati yang digambarkan Imam al-Ghazali berabad-abad lalu.

Maka, ajakan Dr. Mark untuk beralih dari “tindakan otomatis” (seperti refleks membuka gawai) menuju “tindakan terkontrol” yang penuh kesadaran atau meta-awareness (Mark, 2025, hlm. 192), adalah gema modern dari seruan Al-Qur’an untuk memilih dzikrullah secara sadar. Memilih untuk merenungi satu ayat Al-Qur’an adalah sebuah “tindakan terkontrol” paling ampuh untuk melawan arus distraksi otomatis yang dirancang untuk membuat manusia lupa.

Beberapa Pelajaran untuk Diamalkan

  • Pelajaran pertama adalah pentingnya intervensi yang sadar. Alih-alih merespons dorongan gelisah secara otomatis dengan distraksi, seseorang bisa belajar untuk menjeda dan menyadari dorongan tersebut. Momen jeda inilah yang menjadi kesempatan untuk secara sadar memilih zikir sebagai penenang, sebuah latihan praktis untuk mengendalikan gejolak hati.
  • Pelajaran kedua adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai jangkar keyakinan. Di tengah lautan informasi yang seringkali nisbi dan membingungkan, kembali kepada satu ayat Al-Qur’an setiap hari dapat menjadi sumber kepastian. Ketenangan sejati, sebagaimana diisyaratkan dalam oleh Syekh as-Sa’di, lahir dari sebuah kebenaran yang pasti, bukan dari opini yang terus berubah (As-Sa‘dī, 2000, hlm. 418).
  • Pelajaran ketiga adalah menginternalisasi hakikat kekayaan jiwa. Budaya membandingkan diri yang marak di era modern dapat dilawan dengan pemahaman mendalam atas sabda Rasulullah saw: “Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan jiwa” (H.R. Tirmidzi, no. 2373). Rasa syukur yang aktif menjadi cara praktis untuk menumbuhkan kekayaan jiwa tersebut dan membangun sifat ridha.

Penutup

Perjalanan dari cemas digital menuju jiwa yang tenang adalah sebuah hijrah batin yang memerlukan kesadaran dan usaha. Ia bukanlah tentang meninggalkan dunia modern, melainkan tentang menaklukkan gejolak hati dengan senjata yang telah Allah sediakan. Dengan menjadikan zikir sebagai napas, Al-Qur’an sebagai kompas, dan rasa syukur sebagai perisai, seorang hamba dapat meraih ketenangan sejati di tengah zaman yang penuh tantangan ini. Wallahu a’lam.

Ayat-Ayat Alquran di Balik Hijrah Nabi Muhammad saw.

0
ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad
ayat-ayat Alquran di balik hijrah nabi Muhammad

Hijrah Nabi Muhammad saw. dan umat Islam dari Makkah ke Madinah menandai mulainya era baru dakwah Islam. Di Madinah, umat Islam seakan menemukan ‘rumah’, dan di ‘rumah’ tersebut peradaban Islam mengalami perkembangan pesat. Oleh karena itu, peristiwa yang sangat ikonik ini menjadi pertimbangan khalifah Umar bin Khattab dalam menentukan awal kalender hijriyah.

Di balik kesuksesan hijrah Nabi Muhammad saw. tersebut, terdapat lika-liku perjuangan beliau dan para sahabatnya. Perjuangan ini didokumentasikan dalam beberapa ayat Alquran. Sebagian dari ayat-ayat tersebut, ada yang menyinggung langsung peristiwa hijrah di redaksinya, namun ada pula yang tidak.

Berdasar catatan M. Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadsi Sahih, didapati setidaknya tiga ayat Alquran yang berkaitan erat dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Surah Yasin [36]: 9

وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ

“Kami memasang penghalang di hadapan mereka dan di belakang mereka, sehingga Kami menutupi (pandangan) mereka. Mereka pun tidak dapat melihat.”

Dijelaskan oleh M. Quraish Shihab bahwa ketika kaum musyrik Quraisy berencana membunuh Nabi Muhammad saw. sebelum berangkat hijrah dengan memata-matai tempat pembaringan Nabi, tanpa mereka sadari, ternyata Nabi Muhammad saw. berhasil keluar dengan selamat. Beliau melemparkan segenggam tanah ke kepala masing-masing kaum Quraisy yang mengintai dengan membaca firman Allah, surah Yasin ayat 9 tersebut.

Keterangan yang berbeda disampaikan oleh at-Tabari dalam tafsirnya. Menurut beliau, ayat ini turun berkaitan dengan Abi Jahal bin Hisyam yang hendak membunuh Nabi dengan melemparkan batu besar ke kepala Nabi saat beliau sujud, namun tiba-tiba penglihatannya tertutup, dan dia tidak bisa melihat Nabi. Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid memberi penafsiran yang sama dengan at-Tabari, namun sedikit lebih detail.

Sementara itu, Ibn Katsir dan al-Qurtubi dalam masing-masing penafsirannya, mencantumkan dua versi penjelasan terkait ayat 9 surah Yasin tersebut. Riwayat pertama sama dengan penjelasan at-Tabari dan Nawawi al-Bantani. Riwayat yang kedua, yaitu masih tentang Abu Jahal dan kawan-kawan musyriknya yang sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik terhadap Nabi Muhammad saw. lalu Nabi keluar melewati mereka dengan menggenggam pasir kemudian melemparkannya ke sekitar kepala dan mata mereka sembari membaca ayat tersebut (sebagian riwayat menyatakan Nabi membaca mulai dari awal surah Yasin hingga ayat 9). Abi Jahal dan teman-temannya tidak menyadari bahwa Nabi Muhammad saw. keluar melewati mereka.

Terlepas dari ragam peristiwa di balik ayat tersebut, satu hal yang diketahui dengan jelas yaitu, melalui wasilah ayat tersebut, Nabi Muhammad saw. bisa mengelabui kaum musyrik Quraisy yang berniat mencelakai beliau, dan beliau berhasil melanjutkan dakwahnya.

Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Surah al-Anfal [8]: 30

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ اَوْ يَقْتُلُوْكَ اَوْ يُخْرِجُوْكَۗ وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ

“(Ingatlah) ketika orang-orang yang kufur merencanakan tipu daya terhadapmu (Nabi Muhammad) untuk menahan, membunuh, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.”

Dalam konteks hijrah Nabi Muhammad saw., M. Quraish Shihab melanjutkan penjelasan tentang riwayat kekagetan kaum musyrik Quraisy yang mendapati Ali bin Abi Thalib yang tidur di tempat tidur Nabi Muhammad saw., sementara itu Nabi sudah berhasil keluar dari rumah. Menurut mufasir asal Indonesia itu, kejadian tersebut diabadikan dalam ayat 30 surah al-Anfal.

Meski ada perbedaan riwayat tafsir terkait konteks turun ayat ini, beberapa mufasir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurtubi memperjelas bahwa konteks yang mendekati tepat adalah berkenaan dengan peristiwa hijrah, yaitu ketika kaum musyrik Quraisy berembuk merencanakan pembunuhan Nabi Muhammad saw. yang kemudian Allah balas dengan rencanaNya yang paling baik, yakni dengan menyelamatkan Nabi.

Di saat-saat hendak hijrah, Nabi Muhammad saw. memang diberitahu oleh Allah terkait rencana busuk Abu Jahal dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, peristiwa segenting itu, Nabi saw. bisa hadapi dengan tenang, sesuai perintah dan rencana Allah.

Ketenangan Nabi Muhammad saw. ini berlanjut hingga persembunyian beliau dan Abu Bakar di Gua Tsur ketika dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Bagian ini yang kemudian disinggung oleh Alquran dalam surah at-Taubah [9] ayat 40.

Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 40: Kisah Hijrah Abu Bakar

Surah at-Taubah [9]: 40

اِلَّا تَنْصُرُوْهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّٰهُ اِذْ اَخْرَجَهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ثَانِيَ اثْنَيْنِ اِذْ هُمَا فِى الْغَارِ اِذْ يَقُوْلُ لِصَاحِبِهٖ لَا تَحْزَنْ اِنَّ اللّٰهَ مَعَنَاۚ فَاَنْزَلَ اللّٰهُ سَكِيْنَتَهٗ عَلَيْهِ وَاَيَّدَهٗ بِجُنُوْدٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا السُّفْلٰىۗ وَكَلِمَةُ اللّٰهِ هِيَ الْعُلْيَاۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

“Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Pada lanjutan cerita tentang hijrah Nabi Muhammad saw. M. Quraish Shihab menarasikan bahwa Abu Bakar cemas, kawatir persembunyiannya bersama Nabi Muhammad saw. di Gua Tsur diketahui oleh Abu Jahal dan gerombolannya. Nabi kemudian menenangkannya. Keadaan ini direkam oleh Alquran dalam ayat ke-40 surah at-Taubah. Mufasir-mufasir yang lain sepertinya juga sepakat dengan riwayat tersebut.

Berdasar pada redaksi ayat, Nabi Muhammad saw. berusaha menenangkan sahabatnya, Abu Bakar, dengan mengingatkan bahwa Allah bersama mereka. Sementara itu, kekawatiran Abu Bakar bukan tanpa sebab, beliau tahu bahwa Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin umat, dan betapa besar bahaya bagi masa depan umat Islam jika Nabi Muhammad saw. sampai celaka.

Ekspresi kekawatiran itu ditulis dalam Tafsir Marah Labid,

وكان الصِّدِّيقُ قَدْ حَزَنَ عَلَى رَسُولِ الله صلّى الله عليه وسلّم لَا عَلَى نَفْسِهِ فقال لَهُ: يَا رسول الله إذَا مِتُّ أَنَا فَأنَا رَجُلٌ وَاحِدٌ وَإذا مِتَّ أَنْتَ هَلَكْتَ الْأُمَّةَ وَالدِّيْنَ.

‘Abu Bakar R.A. mengkhawatirkan Rasulullah saw., bukan mengkhawatirkan dirinya. Sahabat Rasul itu berkata, ‘Wahai Rasul, jika saya mati, maka yang mati adalah saya seorang diri, namun jika Anda yang mati, maka yang mati adalah Anda, umat dan juga agama.’

Pada akhirnya, Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar berhasil sampai di Madinah dengan selamat.

Sebenarnya masih banyak ayat lain yang juga mendokumentasikan perjuangan para sahabat dalam berhijrah. Setidaknya tiga ayat yang telah dibahas di awal adalah ayat-ayat yang fokus merekam lika-liku perjuangan Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar ketika berhijrah.

Jika umat Islam tahu tentang keberhasilan dan kesuksesan peristiwa hijrah ke Madinah, maka juga jangan lupa tentang perjuangan di balik kesuksesan tersebut. Oleh karena itu, memperingati hijrah, berarti juga meneladan perjuangannya. Wallah a’lam.

Selamat Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharram 1447 H!

Kategorisasi Orang-orang yang Mendapatkan Rizq Karim dalam Alquran

0

Rezeki (rizq) dalam Alquran merupakan konsep yang sangat luas, mencakup segala bentuk pemberian Allah, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, material maupun spiritual, duniawi maupun ukhrawi. Salah satu bentuk rezeki yang disebut secara khusus adalah rizq karîm (rezeki yang mulia).

Menurut M. Quraish Shihab, kata karîm dalam Alquran bukan memiliki makna mulia, akan tetapi sesuatu yang terbaik menurut objeknya. Sehingga, ini menjadi salah satu alasan dan dorongan penulis untuk mengetahui makna kata tersebut secara mendalam.

Baca Juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Kata rizq karîm dalam Alquran

Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh Al-Qur`ân al-Karîm (h.321) menyebutkan, bahwa kata rizq karîm dalam Alquran dengan kata kunci razaqa (رزق) terdapat ada 6 lafaz dalam 2 bentuk harakat yang berbeda.

Yang pertama, terdapat dengan 5 lafaz rizqun karîmun (رِزۡقٞ كَرِيمٞ) yang berbaris dhammatain yang disebutkan pada surah al-Anfal [8]: 4 dan 74, al-Hajj [22]: 50, al-Nur [24]: 26, dan Saba [34]: 4. Sedangkan yang kedua, terdapat dengan 1 lafaz rizqan karîman (رِزۡقٗا كَرِيمٗا) yang berbaris fathatain yang disebutkan dalam surah al-Ahzab [34]: 31.

Makna rizq karim dalam pandangan mufassir

Kata rizq merupakan isim mashdar dari kata razaqa yang berarti ‘atha (pemberian), baik pemberian dalam dunia maupun akhirat, sedangkan kata karîm merupakan isim mashdar yang diambil dari kata karuma yang berarti suatu sifat mulia yang ditampakkan dari akhlak dan perbuatannya. (al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`an, 1:257 dan 2: 553)

Makna rizq karîm memiliki makna yang sangat beragam. Beberapa mufassir dan ulama klasik memberikan pendapatnya bahwa makna rizq karîm adalah rezeki akhirat yaitu surga. Pendapat ini dikemukakan oleh imam Qatadah, al-Thabarî, Ibnu ‘Âsyûr, al-Thabâthabâ`î, dan Ibnu ‘Athiyyah.

Al-Alûsî dan al-Thabrisî memberikan makna yang berbeda, bahwa rizq karîm adalah sesuatu yang agung derajatnya, tinggi kedudukannya, dan menyenangkan bagi penerimanya. Dan dikatakan juga bahwa rizq karîm adalah rezeki yang selamat dari segala bentuk kerusakan dan gangguan. (Al-Mu’jam fî Fiqh Lughat al-Qur`an wa Sirr Balâghatih, Juz 24.)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa makna kata karim digunakan untuk mensifati segala sesuatu yang sempurna, terpuji, istimewa, dan memuaskan sesuai objeknya. Sedangkan makna rizq mencakup berbagai makna rezeki, baik berbentuk material dan spiritual ataupun rezeki dunia dan akhirat.

Hal ini menunjukkan bahwa makna kata ini tidak hanya terbatas untuk rezeki di surga, tetapi mencakup berbagai bentuk rezeki yang beraneka ragam dan memuaskan penerimanya, baik rezeki material dan spiritual maupun dunia dan akhirat. (Tafsir Al-Mishbah, 4: 461 dan 621, 8: 514, dan 10: 567)

Kategorisasi orang-orang yang menerima rizq karīm dalam Alquran

Dari analisis terhadap ayat-ayat tersebut, dapat dikategorikan beberapa kelompok orang yang menurut Alquran akan memperoleh rizq karîm, yaitu: orang-orang yang beriman, mengerjakan perbuatan kebaikan, melaksanakan salat, bersedekah dan berinfak, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, memberikan pertolongan sesama muslim, dan yang menjaga dirinya dari hal-hal yang haram.

Kesimpulan

Dalam Alquran, istilah rizq karîm menggambarkan sebuah bentuk rezeki yang tidak sekadar pemberian biasa, melainkan rezeki yang memiliki kualitas istimewa, mulia, dan terbaik sesuai dengan kebutuhan serta keadaan penerimanya. Rezeki ini tidak hanya terbatas pada aspek material semata, tetapi juga mencakup dimensi spiritual, bahkan mencakup karunia yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d Ayat 26: Rezeki adalah karunia Allah swt yang Harus Diusahakan

Para mufassir klasik dan kontemporer memahami rizq karîm sebagai anugerah yang luhur, seperti surga, kenikmatan abadi, serta segala bentuk kebaikan yang bersih dari cela dan gangguan. Lebih lanjut, Alquran secara eksplisit memberikan isyarat bahwa tidak semua orang akan menerima rizq karîm. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang dipandang layak dan pantas menerimanya.

Di antara mereka adalah orang-orang yang beriman sepenuh hati, yang senantiasa menjalankan salat, bersedekah, berhijrah, berjihad di jalan Allah, serta menjaga diri dari perbuatan keji seperti zina. Selain itu, mereka yang memberikan pertolongan kepada sesama juga termasuk dalam kategori penerima anugerah mulia ini.

Dengan demikian, rizq karîm tidak semata-mata soal keberuntungan atau kebetulan, melainkan sebuah karunia agung yang merupakan hasil dari kesalehan pribadi dan sosial seseorang. Rezeki yang mulia ini menjadi bentuk penghargaan atas kesetiaan hamba kepada Tuhannya dan bukti bahwa setiap amal baik tidak pernah luput dari perhatian dan balasan Allah SWT.

 

 

Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan

0
Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan
Ilustrasi gerakan sujud (sumber: Unsplash).

Dari semua gerakan dalam salat, sujud adalah yang paling “membumi”. Dahi bersentuhan dengan tanah, lutut dan telapak menekan bumi, tubuh menunduk sepenuhnya, dan mulut melafazkan subḥāna rabbiyal aʿlā—“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”. Ironis, bukan? Tubuh merendah, tapi yang diucap justru tentang keagungan. Itulah kontradiksi indah dari sujud: makin rendah posisi tubuh, makin tinggi posisi jiwa.

Alquran menyebut sujud tidak hanya sebagai gerakan ibadah, tapi juga bentuk tertinggi dari penghormatan spiritual. Bahkan sejak penciptaan manusia, sujud sudah menjadi simbol ketaatan penuh malaikat kepada perintah Tuhan (al-Baqarah [2]: 34). Maka tidak mengherankan bila sujud terus menerus ditafsir ulang oleh para mufasir, ulama sufi, bahkan ilmuwan Barat yang menyimak kebudayaan Islam dari kejauhan.

Sujud: Gerakan Tubuh, Pusat Jiwa

Dalam struktur salat, sujud menempati posisi sentral. Ia dilakukan dua kali dalam satu rakaat, lebih sering dari rukuʿ. Dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, ar-Rāghib al-Aṣfahānī menyebut kata “sajada” mengandung arti “tawāḍuʿ” dan “khuḍūʿ”—rendah hati dan patuh total.

Alquran menggambarkan orang-orang saleh sebagai:

“يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًۭا”

“Mereka bersujud dengan dagu-dagu mereka menyentuh tanah.” (al-Isrāʾ [17]: 107)

Ibnu ‘Āsyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (juz 15, hlm. 312) menafsirkan bahwa penggunaan kata “adzqān” (dagu) menunjukkan intensitas dan kekhusyukan sujud, bukan sekadar bentuk ritual, tapi momentum pembebasan jiwa dari ego.

Dalam konteks psikologi kontemporer, Carl Jung menyebut dalam esainya Modern Man in Search of a Soul bahwa manusia butuh semacam “ritual depersonalisasi” untuk terhubung dengan realitas transenden. Dalam Islam, sujud menjadi ruang paling sunyi dan jujur untuk itu.

Sujud dan Ketundukan Kosmik

Alquran tidak hanya menyuruh manusia bersujud, tapi juga menyebut bahwa seluruh alam semesta bersujud:

“وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلْأَرْضِ طَوْعًۭا وَكَرْهًۭا”

“Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud kepada Allah, dengan sukarela maupun terpaksa.” (ar-Raʿd [13]: 15)

Baca juga: Makna Sujud para Malaikat kepada Nabi Adam

Fakhruddīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr (juz 19, hlm. 201) menjelaskan bahwa sujud kosmis ini bukan gerakan fisik, melainkan penyerahan hakiki semua makhluk kepada sistem ilahi. Planet-planet, musim, dan bintang semuanya “bersujud” dalam ketaatan hukum ciptaan.

Dalam perspektif astrofisika, gerakan planet yang berputar dalam orbit tetap dan patuh terhadap gravitasi adalah bentuk keteraturan kosmis yang mencerminkan submission, istilah yang bahkan senada dengan makna Islam. Karen Armstrong dalam bukunya, A History of God menulis, “Sujud dalam Islam bukan hanya ketundukan manusia pada Tuhan, tapi juga refleksi harmoni alam dengan yang Mahatinggi.”

Sujud sebagai Antitesis Kesombongan

Kisah Iblis yang menolak sujud kepada Adam adalah narasi klasik tentang arogansi:

“أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَـٰفِرِينَ”

“Ia enggan dan menyombongkan diri, dan termasuk golongan kafir.” (al-Baqarah [2]: 34)

Baca juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Ibn Qayyim dalam Miftāḥ Dār al-Saʿādah (juz 1, hlm. 123) menyebut bahwa dosa pertama dalam sejarah adalah istiktbār (kesombongan) yang menolak sujud. Maka sujud dalam Islam bukan hanya ibadah, tapi latihan antiarogansi paling fundamental. Ia memecah keangkuhan, meletakkan kepala di tempat paling rendah, dan menjadikan tanah sebagai tempat kembali segala kesombongan.

Sujud juga menjadi titik rawan bagi yang lalai. Bukan tidak mungkin, dalam era citra dan branding personal hari ini, sujud bisa berubah dari makna spiritual menjadi gaya simbolik. Sujudnya panjang, tapi pikirannya sibuk menata unggahan Instagram. Karenanya, tafsir sujud hari ini harus mencakup kesadaran batin, bukan hanya ketepatan posisi.

Sujud dan Data Kehidupan

Dalam riset medis yang dimuat di Journal of Physical Therapy Science (Vol. 27, 2015), sujud terbukti memberikan efek relaksasi psikosomatik. Posisi kepala di bawah jantung memperlancar sirkulasi darah ke otak, menurunkan stres, dan menenangkan sistem saraf. Ini menguatkan posisi sujud sebagai ibadah yang menyentuh tubuh dan jiwa secara simultan.

Di sisi lain, data sosial dari Pew Research (2020) menyebutkan bahwa generasi muda muslim, terutama di perkotaan, lebih jarang salat lengkap dengan kekhusyukan. Banyak yang terburu-buru, bahkan melewatkan sujud. Maka menjadi penting untuk menghidupkan kembali kesadaran tafsir sujud sebagai momen berhenti sejenak dari sirkus dunia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Bagi sebagian orang, sujud menjadi tempat terakhir untuk menangis diam-diam. Tidak perlu caption panjang, tidak ada penonton, tidak ada peran yang harus dimainkan. Hanya ada hamba dan Tuhan—dahi, debu, dan derai air mata.

Sujud tidak mengenal kasta, tak peduli jabatan. Semua orang bertemu tanah. Dan dari sanalah martabat sejati justru dibangun: bukan karena tinggi posisi berdiri, tapi dalam rendahnya sujud yang tulus.

Tafsir QS. Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir Perpsektif Buya Hamka

0

Alquran sebagai kalam Illahi merupakan sumber utama pedoman hidup bagi umat Islam. Di antara pesan utamanya adalah ajakan untuk senantiasa melakukan dzikir, yakni mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dalam suka maupun duka. Salah satu ayat yang secara eksplisit menyampaikan nilai dzikir sebagai penenteram jiwa dalam firman Allah QS. Ar-Ra’d [13]: 28:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ  اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

“Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” Ayat ini tidak hanya mengandung makna spiritual yang dalam, tetapi juga menjadi sandaran bagi banyak ulama dan cendekiawan Muslim dalam menjelaskan hubungan antara ketenangan batin dan kekuatan iman.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna 

Penulis mengangkat kajian ini untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman hidup Buya Hamka selama masa tahanan memengaruhi pemahaman dan penafsirannya tentang dzikir dalam konteks ketenteraman jiwa.

Penulis percaya bahwa pendekatan personal dan pengalaman spiritual Buya Hamka sangat penting dalam menyingkap tafsir ayat ini. Dzikir dipahami sebagai kekuatan batin untuk menghadapi krisis dan tekanan hidup, relevan bagi umat Islam di era modern yang penuh kecemasan dan disrupsi.

Definisi Dzikir dan Pentingnya dalam Kehidupan

Kata dzikir (ذِكْر) berasal dari akar dzakara (ذَكَرَ) yang berarti “mengingat” atau “menyadari”. Dalam Al-Quran, dzikir memiliki berbagai makna sesuai konteks ayat. Berbagai mufasir dan sarjana Muslim memberikan definisi beragam namun saling melengkapi.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (13: 3761) menjelaskan dzikir bukan hanya ibadah lisan, tapi penguatan rohani, ketenangan jiwa, dan kesadaran akan Tuhan dalam setiap keadaan. Dzikir disebutnya sebagai penyegar jiwa, penenang hati, penghapus gelisah, dan penuntun batin menuju cahaya Ilahi.

Tulisan Buya Hamka sangat dipengaruhi pengalaman hidupnya. Saat dipenjara, jauh dari keluarga, dzikir menjadi kekuatan batin utama. Ia gunakan waktu itu untuk memperbanyak dzikir dan menulis tafsir. Kesunyian penjara memberi ruang dekat dengan Allah, sehingga dzikir baginya nyata, bukan sekadar teori.

Surah ar-Ra‘d ayat 28 di atas menegaskan bahwa ketenangan sejati hanya dapat dicapai lewat dzikir. Di tengah kekacauan informasi dan kegelisahan sosial, dzikir menjadi jalan untuk kembali ke kesadaran yang benar dan ketenangan hakiki. Dzikir juga mengingatkan tujuan hidup dan menjaga hati dari kelalaian.

Melalui kajian ini, penulis ingin mengeksplorasi secara mendalam bagaimana Buya Hamka memahami dan menafsirkan konsep dzikir, sekaligus mengkaji relevansi dzikir dalam konteks kehidupan modern yang penuh tantangan dan dinamika bagi umat Islam saat ini.

Baca Juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Penafsiran Buya Hamka terhadap Surah Ar-Ra’d [13]: 28

Dalam Tafsir Al-Azhar (13: 3761), Buya Hamka menafsirkan dzikir bukan sekadar ucapan lisan, melainkan proses batin yang mendalam. Dzikir membawa ketenangan jiwa dan mendekatkan diri pada Tuhan, berdasarkan pengalaman spiritualnya yang kaya dan penuh makna.

Menurut Buya Hamka, manusia sering menghadapi kegelisahan seperti kesempitan rezeki, ketidakpastian masa depan, kesedihan, dan kesendirian. Dalam situasi ini, hanya dengan mengingat Allah melalui shalat, doa, membaca Alquran, dan dzikir sadar, hati akan menemukan ketenteraman sejati.

Kesimpulan

Buya Hamka menegaskan bahwa dzikir sejati bukan hanya bacaan di bibir, tapi menghidupkan kesadaran spiritual. Dzikir yang benar mampu memperkuat jiwa menghadapi ujian, mengurangi ketakutan, serta mengarahkan hati pada harapan dan keteguhan iman yang kokoh dalam hidup.

Dalam tafsir QS. Ar-Ra’d ayat 28, Buya Hamka menegaskan dzikir sebagai sumber ketenangan hati sejati. Dzikir bukan hanya ucapan lisan, melainkan jalan batin menuju ketenteraman yang bergantung pada kesadaran ilahiah dan hubungan hati yang kuat dengan Allah.

Baca Juga: Dzikir Yasin Fadhilah KH. Maimun Zubair Serta Tata Cara Bacanya

Dzikir yang benar menurut Hamka mencerminkan iman matang dan batin terjaga, bukan sekadar simbol kosong. Ayat ini harus dihayati dan diamalkan. Di tengah tekanan hidup, dzikir jadi penawar jiwa, benteng ketenangan, serta penguat hati menghadapi ujian zaman.

Cabaran dan Peluang Tafsir Alquran dalam Konteks Malaysia

0
Cabaran dan Peluang Tafsir Alquran dalam Konteks Malaysia
Masjid "Pink" Putra, salah satu ikon masyarakat muslim di Putrajaya, Malaysia.

Tafsir Alquran dalam konteks Malaysia menghadapi dinamika yang kompleks antara tradisi keilmuan Islam klasik dengan realitas sosial-budaya masyarakat multietnik. Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan Islam sebagai agama rasmi, Malaysia memiliki posisi unik dalam pengembangan tafsir yang relevan dengan konteks lokal.

Perkembangan tafsir di Malaysia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kedatangan Islam dan proses islamisasi yang berlangsung secara bertahap. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri dalam menghasilkan interpretasi yang autentik dengan tetap mempertahankan esensi ajaran Islam yang universal.

Cabaran dalam Tafsir Alquran

Pluralitas Sosial dan Keharmonian Antara Kaum

Salah satu cabaran (tantangan) utama dalam tafsir Alquran di Malaysia adalah bagaimana menginterpretasikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan antara umat Islam dan nonmuslim. Dalam masyarakat majemuk Malaysia, penafsiran yang eksklusif berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. Para mufasir Malaysia perlu mengembangkan pendekatan yang menekankan nilai-nilai toleransi dan keadilan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip teologis Islam.

Konsep wasatiyyah (moderasi) menjadi kunci dalam menangani isu ini. Tafsir yang dikembangkan harus mampu menjelaskan bagaimana Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) dalam konteks kehidupan berbangsa yang plural.

Pengaruh Globalisasi dan Modernitas

Globalisasi membawa tantangan baru dalam tafsir Alquran di Malaysia. Penetrasi ideologi liberal dan sekuler melalui media massa dan teknologi informasi mempengaruhi cara pandang masyarakat muslim terhadap ajaran agama. Para mufasir dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan-persoalan kontemporer seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi.

Baca juga: Jejak Manuskrip Alquran Malaysia di Pulau Dewata

Cabaran ini memerlukan pendekatan hermeneutika yang mampu menjembatani antara teks suci dengan realitas zaman. Tafsir tidak lagi dapat bersifat literal semata, tetapi harus mempertimbangkan maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariah) dalam memberikan interpretasi yang relevan.

Metodologi dan Otoritas Penafsiran

Persoalan metodologi tafsir juga menjadi cabaran tersendiri. Terdapat perdebatan antara pendekatan tradisional yang berpegang pada tafsir bi al-ma’thur (tafsir berdasarkan riwayat) dengan pendekatan modern yang menggunakan tafsir bi al-ra’y (tafsir berdasarkan pemikiran). Selain itu, pertanyaan tentang siapa yang berhak menafsirkan Alquran juga menjadi isu yang sensitif.

Dalam konteks Malaysia, otoritas penafsiran seringkali dikaitkan dengan institusi-institusi formal seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan majelis-majelis agama negeri. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kebebasan akademik dengan kontrol institusional.

Peluang dalam Tafsir Alquran

Tradisi Keilmuan Islam Nusantara

Malaysia memiliki tradisi keilmuan Islam Nusantara yang kaya dan beragam. Warisan ulama-ulama terdahulu seperti Syeikh Daud al-Fatani, Syeikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syeikh Zainal Abidin al-Fatani dapat menjadi fondasi untuk pengembangan tafsir yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Malaysia.

Baca juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Pendekatan tafsir bi al-isyarah (tafsir simbolik) yang berkembang dalam tradisi tasawuf Nusantara dapat diintegrasikan dengan metodologi tafsir modern untuk menghasilkan interpretasi yang holistik dan spiritual.

Kemajuan Teknologi dan Digitalisasi

Perkembangan teknologi informasi membuka peluang besar dalam penyebaran dan aksesibilitas tafsir Alquran. Platform digital memungkinkan pengembangan aplikasi tafsir yang interaktif dan multimedia. Hal ini dapat meningkatkan minat masyarakat, terutama generasi muda, untuk mempelajari dan memahami Alquran. Digitalisasi juga memungkinkan pengembangan database tafsir yang komprehensif, memudahkan penelitian komparatif dan analisis tematik terhadap berbagai karya tafsir.

Pendidikan dan Institusi Akademik

Universitas-universitas di Malaysia seperti Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Islam Antarabangsa Malaysia memiliki program pengajian (prodi) Islam yang berkualitas tinggi. Institusi-institusi ini dapat menjadi pusat pengembangan tafsir yang ilmiah dan metodologis. Kerjasama dengan kampus-kampus luar negeri juga membuka peluang untuk pertukaran pengetahuan dan pengembangan metodologi tafsir yang lebih komprehensif.

Kesimpulan

Cabaran dan peluang tafsir Alquran dalam konteks Malaysia menggambarkan kompleksitas dinamika agama dalam masyarakat modern. Pendekatan yang seimbang antara mempertahankan autentisitas teks suci dengan responsivitas terhadap realitas sosial menjadi kunci keberhasilan. Pengembangan tafsir yang kontekstual namun tidak kehilangan substansi ajaran Islam merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para ulama dan cendekiawan muslim Malaysia.

Baca juga: Siratan Pesan Azyumardi Azra untuk Kebangkitan Islam Asia Tenggara

Dengan memanfaatkan kekayaan tradisi keilmuan Islam Nusantara, kemajuan teknologi, dan institusi pendidikan yang berkualitas, Malaysia berpotensi menjadi rujukan dalam pengembangan tafsir Alquran yang relevan dengan konteks Asia Tenggara dan dunia Islam secara keseluruhan.

Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri

0
Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri
Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri

Belakangan ini, publik dikejutkan oleh berbagai kisah tragis yang tersebar luas di media sosial: nenek mencuri bawang karena terpaksa, ibu mencuri susu formula untuk anaknya, ayah mengambil beras dari toko karena tak sanggup melihat anaknya kelaparan, atau remaja mencuri makanan karena tak punya keluarga dan tempat tinggal.

Mirisnya, kasus-kasus ini tak jarang langsung diseret ke ranah hukum tanpa diselami alasan di baliknya. Masyarakat terburu-buru menghakimi, padahal sering kali pencurian itu dilakukan karena terpaksa demi bertahan hidup.

Fenomena pencurian karena kebutuhan mendesak atau keterpaksaan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah cermin dari kegagalan sistem sosial. Ketika seseorang mencuri demi sesuap nasi, pertanyaannya bukan hanya “mengapa mencuri?”, tapi juga “di mana kita saat mereka kelaparan sehingga terpaksa mencuri?”

Dalam realitas sosial hari ini, kemiskinan struktural, minimnya jaminan sosial, dan ketimpangan ekonomi menjadi akar dari tindak kriminal semacam ini. Namun, bagaimana Alquran memandang tindakan seperti ini? Apakah Islam hanya menghukum tanpa mempertimbangkan latar belakang pelaku?

Alquran dan Perspektif Keadilan yang Berkeadaban

Alquran memang menegaskan bahwa pencurian adalah perbuatan terlarang. Dalam Q.S. al-Mā’idah: 38 disebutkan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Namun, ayat ini tidak berdiri sendiri. Ulama tafsir, seperti al-Qurṭubī dalam al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qur’ān, menjelaskan bahwa penerapan hukuman potong tangan tidak berlaku sembarangan. Ada banyak syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi: barang curian harus mencapai nilai nisab tertentu, dilakukan dengan niat mencuri, bukan karena terpaksa atau dalam kondisi darurat, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bukan terang-terangan karena kebutuhan hidup.

Ibnu Taymiyyah bahkan secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mencuri karena kelaparan, maka tidak dikenakan hukum potong tangan, melainkan negara wajib memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, hukum pidana tidak kaku, melainkan memperhatikan konteks sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.

Solusi Alquran: Bukan Hanya Hukuman, tapi Perlindungan Sosial

Jika ditelusuri lebih jauh, Alquran banyak berbicara tentang keadilan sosial dan kewajiban menolong fakir miskin. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 273, Allah berfirman:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ

(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang itu.

Baca juga: Al-Baqarah Ayat 188 dan Relevansinya dengan Tindakan Korupsi

Ayat ini menggambarkan bahwa sebagian orang miskin tidak meminta-minta, tetapi kebutuhan mereka tetap mendesak. Di sinilah masyarakat dan negara seharusnya hadir. Memberi sebelum diminta. Menyantuni sebelum terlambat.

Alquran tidak hanya menurunkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi juga mewajibkan zakat, infak, dan sedekah sebagai mekanisme pencegahan terhadap munculnya kejahatan karena kemiskinan.

Maqāṣid al-Syari’ah: Menjaga Jiwa dan Kesejahteraan

Dalam kerangka maqaṣid al-syari‘ah, tindakan mencuri karena kelaparan termasuk dalam situasi darurat (ḍarūrah). Tujuan utama syariat adalah menjaga agama (ḥifẓ al-din), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-mal). Namun, dalam kondisi darurat, menjaga jiwa menjadi prioritas utama.

Ketika seseorang mencuri demi menyelamatkan hidupnya atau anak-anaknya dari kelaparan, maka perbuatan itu tidak bisa disamakan dengan pencurian karena serakah. Dalam kaidah fikih disebutkan:

“Ad-darūrātu tubīḥ al-maḥẓūrāt”

Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.

Namun, bukan berarti Islam melegalkan pencurian. Justru, Islam mengajak semua pihak; individu, masyarakat, dan negara untuk menciptakan sistem sosial yang adil sehingga tak seorang pun harus memilih antara mencuri atau mati kelaparan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertama, hentikan budaya menyalahkan korban keadaan. Bukan berarti membenarkan pencurian, tapi memahami latar belakangnya. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang sibuk menghukum tanpa menyediakan solusi.

Kedua, dorong sistem jaminan sosial yang lebih adil. Islam sudah mencontohkan lewat konsep zakat, baitul mal, dan infak wajib untuk orang miskin. Negara modern pun bisa menyesuaikannya lewat program bantuan langsung yang menyeluruh dan tepat sasaran.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

Ketiga, jadikan Alquran bukan hanya sebagai bacaan, tapi sumber inspirasi sosial. Ayat-ayat yang menekankan pentingnya membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan melindungi hak orang lemah, harus menjadi pedoman dalam merancang kebijakan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pencurian karena terpaksa bukan hanya persoalan kriminalitas, ia bisa juga karena jeritan sosial dari mereka yang tersisih. Nah, di sini Alquran mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya memberi hukuman, tetapi juga mencegah penderitaan. Sudah saatnya kita membaca Alquran bukan hanya dengan lidah, tapi juga dengan hati dan empati.